This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, April 10, 2016

ANALISIS KASUS KUHP: KASUS POLISI

KASUS POLISI
 
Dalam kesempatan kali ini saya akan menganalisis sebuah kasus KUHP yaitu tentang polisi, yang mana membahas tentang pencurian motor terhadap seseorang dengan mencari bukti dan de langsiri dengan penyelidikan.

•         Asnawi, warga Lawang Gintung RT04/06, Kelurahan Lawanggintung, Bogor, kehilangan sepeda motor Yamaha Mio nopol F 5022 BU, di areal parkir LBPP Kids Tanah Sereal, Bogor, sekitar pukul 21.40 WIB, hari Minggu tanggal 4 Maret 2012.

•         Saat itu korban tengah menghadiri undangan. Ketika korban kembali, motor yang diparkirnya sudah tidak ada di tempat. Petugas kemudian mengembangkan penyelidikan.

•         Pada tanggal 6 Maret 2012. Pelaku pencurian melintas di Jalan Bantar Kambing menggunakan sepeda motor Mio warna putih Nomor Polisi F 2993 LR. Anggota menghentikannya dan kemudian dilakukan penangkapan terhadap pelaku, MY alias Tomi (27) yang berprofesi sebagai buruh, oleh petugas Kepolisian Resor Bogor Kota.

•         Guna melengkapi barang bukti hasil kejahatan, petugas melakukan penggeledahan di kediaman tersangka di Kampung Bojong Tengah RT 01/02, Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Diketemukan plat nomor F 5022 BU diketahui Plat nomor sepeda motor Yamaha Mio yang telah dicuri dan plat nomor kendaraan lain Nomor F 4624 ND dan B 6474 SNL. Selain itu petugas menemukan kunci letter T.

B. LOCUS DELICTI

Locus delicti ini berkaitan dengan hukum pidana mana yang diberlakukan serta kompetensi relatif pengadilan. Hukum pidana yang diberlakukan adalah hukum pidana Indonesia, sebab peristiwa pidana ini terjadi di wilayah Indonesia. Hal ini berkaitan dengan asas teritorial.

Sedangkan kompetensi relatif pengadilan berkaitan dengan pengadilan mana yang berhak mengadili kasus ini. Untuk kasus tersebut, dengan menggunakan teori perbuatan fisik, maka pencurian tersebut berhak diadili oleh Pengadilan Negeri Bogor, karena pada kasus ini yang terjadi adalah delik formil, yaitu pencurian, di mana delik dikatakan selesai terjadi pada saat pencurian tersebut selesai dilakukan.

C. TEMPUS DELICTI


Peristiwa pidana ini menggunakan teori perbuatan fisik karena merupakan delik formil yang merumuskan tentang perbuatan, terjadi pada hari Minggu, 4 Maret 2012 pada pukul 21.40 WIB.

D. AZAS-AZAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA


Dalam kasus ini yang digunakan adalah asas teritorial. Hal ini ada dalam Pasal 2 KUHP yang berbunyi : “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia”. Jadi, setiap perbuatan pidana yang dilakukan di Indonesia, baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing, dapat dijerat dengan hukum pidana Indonesia. Karena pelaku melakukan tindak pidana tersebut di Indonesia , maka berlaku lah Hukum Pidana Indonesia, yakni menggunakan KUHP.

E. PASAL YANG DIKENAKAN

Pasal 362 KUHP yang berbunyi : ”Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”

F. PERUMUSAN TINDAK PIDANA

Pasal 362 KUHP ini merumuskan unsur-unsurnya, serta menyebutkan kualifikasinya.

G. PENGURAIAN UNSUR

Barangsiapa//mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain//melawan hukum.

1. Barangsiapa

à Yang dimaksud dengan ”barangsiapa” dalam pasal ini ialah orang atau subyek hukum yang melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban, serta tidak ada dasar pemaaf dan pembenar, yakni MY alias Tomi. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

2. Mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain

à Dalam kasus ini MY mengambil sepeda motor yang bukan miliknya, melainkan milik Asnawi, warga Lawang Gintung, Bogor. MY mengambil sepeda motor yang diambil seluruhnya, atau dengan kata lain sepeda motor seutuhnya. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

3. Melawan hukum

à Tindakan MY tersebut melawan hukum formil secara jelas yakni pasal 362 KUHP, dan juga hukum materiil yakni yang oleh masyarakat tidak dibolehkan.  Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

Kesimpulan : Jika ketiga unsur telah dipenuhi, maka MY dapat dijerat dengan Pasal 362 ini.

H. PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA

    Kejahatan dan Pelanggaran

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk dalam kategori kejahatan, karena berada dalam buku II dan merupakan delik hukum, sebab sudah dirasakan sebagai tindakan yang melawan hukum sebelum delik itu dinyatakan dalam undang-undang.

    Delik Materiil dan Delik Formil

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk dalam kategori delik formil, karena yang dirumuskan adalah perbuatannya.

    Delik Komisi dan Delik Omisi

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk dalam kategori delik komisi, karena perbuatan ini melanggar larangan dengan perbuatan aktif, yakni mencuri sepeda motor.

    Delik Dolus dan Delik Culpa

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk dalam kategori delik dolus, karena si MY dengan tujuan ingin mengambil sepeda motor tersebut tanpa izin (mencuri).

    Delik Biasa dan Delik Aduan

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik biasa, karena penuntutannya tidak memerlukan aduan dari pihak yang dirugikan, siapa saja dapat melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

    Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik berdiri sendiri, karena terdiri atas satu delik yang berdiri sendiri (hanya ada satu tindak pidana saja).

    Delik Selesai dan Delik Berkesinambungan/Delik Berlangsung Terus

Tindak pidana adalah Pasal 362 KUHP ini termasuk delik selesai, karena perbuatan pencurian ini terjadi dalam satu waktu yang singkat (langsung selesai).

    Delik Tunggal dan Delik Berangkai

Tindak pidana adalah Pasal 362 KUHP ini termasuk delik tunggal, karena dilakukan hanya dengan satu perbuatan dan hanya satu pasal yang dikenakan.

    Delik Pokok/Sederhana, Delik Berkualifikasi, dan Delik Berprivilige

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik pokok/sederhana, karena dalam unsur-unsurnya mencantumkan unsur-unsur pokok yang menentukan pemidanaannya. Tidak ada unsur yang memperberat maupun memperingan.

    Delik Politik dan Delik Komuna

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik komuna dan bukan delik politik, karena tidak berhubungan dengan politik yang dapat mengancam keamanan dan keselamatan negara.

    Delik Propria dan Delik Komuna

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik komuna, karena dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa terbatas oleh kualifikasi/golongan. Hal ini ditandai dengan kata ”barangsiapa” yang ada di awal pasalnya.

    Delik Terhadap Kepentingan

Tindak pidana dalam Pasal 362 KUHP ini termasuk delik terhadap kekayaan.

I. KESALAHAN

Kesalahan dalam arti luas adalah dolus atau culpa. Di dalam kasus ini yang terjadi adalah delik dolus. Dolus merupakan kesalahan yang dilakukan dengan sengaja (merupakan kesengajaan). Kesalahan terjadi sebab perbuatan pidana di mana si pelaku dapat dihukum karena telah mengambil barang milik orang lain yang sudah dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, serta tidak ada dasar yang sah (dasar pembenar ataupun dasar pemaaf).

Dasar pemaaf tercantum dalam :

Pasal 44 KUHP mengenai ketidakmampuan seseorang untuk berpikir

Pasal 48 KUHP mengenai overmacht atau daya paksa dalam arti relatif sempit

Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan melampaui batas (noodweer excess)

Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai perintah jabatan tanpa wewenang dengan itikad baik.


Dasar pembenar tercantum dalam :

Pasal 48 KUHP mengenai keadaan darurat

Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai bela paksa (noodweer)

Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai perintah jabatan yang sah dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.


J. AJARAN KAUSALITAS


Dalam kasus ini ajaran kausalitas tidak diperlukan, sebab tindak pidana ini termasuk dalam golongan delik formil. Adapun delik yang menggunakan ajaran ini adalah delik materiil, delik omisi tidak murni, dan delik yang dikwalifisir.

K. SIFAT MELAWAN HUKUM

Dalam pasal ini disebutkan sifat melawan hukum. Semua unsur-unsur dalam delik tersebut telah memenuhi seluruh unsur dalam salah satu pasal 362 di KUHP sehingga memiliki sifat melawan hukum.

Sifat melawan hukum dalam peristiwa ini masih harus dibuktikan lagi, dan dirumuskan dalam pasal tersebut, yaitu perbuatan tersebut mengambil barang milik orang lain.

L. PERCOBAAN/POGING

Dalam kasus ini sebenarnya tidak ada percobaan (poging) karena perbuatan tersebut merupakan delik yang telah selesai. Sedangkan dikatakan percobaan apabila akibatnya tidak selesai atau tidak tercapai. Untuk kejahatan pencurian, tidak ada yang namanya percobaan (poging).

Syarat Percobaan/Poging sesuai Pasal 53 KUHP :

    Niat
    Adanya permulaan pelaksanaan tindakan
    Pelaksanaan tindakan tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri

PERKAWINAN CAMPURAN DAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

                           PERKAWINAN CAMPURAN DAN BEDA AGAMA MENURUT
                                         UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
 
                                                                           ARTIKEL

Abstrak
Perkawinan di Indonesia sesuai dengan syariat Islam telah lama terlaksana, yakni sejak zaman kedatangan Islam di bumi nusantara. Karena perkawinan adalah hal yang sangat disunnahkan dalam Islam dan mengingat bahwa Indonesia dihuni oleh penduduk yang hetorogen baik dari agamanya, budayanya maupun  suku bangsanya, maka sangat besar kemungkinan terjadi perkawinan antara satu kewarganegaraan menika (kawin) dengan orang yang berkerwarganegaraan lain begitu pula halnya dengan perkawinan anatara orang yang berbeda agama, umpamanya orang yang beragama Islam kawin dengan orang yang beragama lain. Oleh karena kompleksitas pelaksanaan perkawinan seperti itu dan juga dikhawatirkan terjadinya persoalan-persoalan social yang negatif, maka oleh pemerintah membuat suatu kebijakan tentgang perkawinan, termasuk perkawinan campuran dan perkawinan beda agama. Kebijakan tersebut ditandai dengan diformalkannya sejumlah aturan perundang-undangan yang mengatur tentag perkawinan dan berlaku bagi semua kewarganegaraan dan pemeluk agama di Indonesia. Aturan tentang perkawinan di Indonesia semakin jelas, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disertai dengan aturan pelaksanaannya dengan keluarnya PP No. 9 Tahun 1975. Selanjutanya oleh pemerintah juga mengeluarkan Kepres tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI),  kemudian  terbit pula Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diberi kewenangan menangani perkara umat Islam di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, washiat, dan wakaf. Dengan adanya undang-undang dan peraturan lainnya tentang perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, berarti bahwa siapa saja (orang Islam) yang melangsungkan perkawinan di negari ini, di samping harus merujuk pada syarat dan rukun yang ada dalam fikih Islam, harus pula merujuk pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu maka perkawinan campuran dan perkawinan beda agama di Indonesia, semakin jelas aturannya sehingga akan lebih mempermudah bagi pelaksana-pelaksananya untuk melayani setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan. Namun, dalam kenyataannya masih ditemukan sebagian mereka yang melangsungkan perkawinan menyalahi aturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Sehingga masih terdapat kasus-kasus perkawinan antara orang yang berbeda agama dan juga masih berbeda kebangsanaan.

          Kata kunci: Perkawinan campuran, beda agama dan Undang-undang.
    Pendahuluan
     A.  Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan  kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” ( UU No.1/Th 1974, pasal 1)
Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, dibawah ridha Allah SWT.
Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya , agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya.
Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya disatu sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu undang-undang perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Departemen Agama merupakan satu-satunya instansi pemerintah yang diberi amanat berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawasan dan pencatatan dalam memberikan pelayanan nikah dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu buku nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi mereka yang beragama Islam merupakan dokumen yang mempunyai status kekuatan hukum yang sama dengan akta perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang beragama selain agama Islam. Untuk itu tidak ada alasan bagi sebagian negara yang mengharuskan warganegaranya yang kawin dengan warganegara Indonesia untuk melaksanakan pendaftaran ulang perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.
Maka dari itulah kami mencoba melakukan tinjauan dan
ulasan masalah Perkawinan Campuran dan perkawinan
Antar Pemeluk Agama di tinjau dari Hukum Perdata Islam di Indonesia.

B.Pengertian dan Beberapa Istilah Perkawinan
1.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974)
2.Perkawinan Campuran adalah Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57 )
3.Perkawinan antar pemeluk agama, dimaksudkan seorang laki-laki beragama Islam akan nikah dengan seorang perempuan pemeluk agama non muslim atau sebaliknya.
     C.  Azas-azas Perkawinan.
Hubungan antara laki-laki dan wanita dalam ikatan tali perkawinan merupakan sunnatullah, ketetapan Allah yang ditentukan pada alam/ manusia  dan makhluk lainnya dan bagi seorang muslim perkawinan merupakan ibadah. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhananyang Maha Esa. Perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan terjamin kelangsungan dan mempunyai kepastian hukum, maka perkawinan perlu dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh Karena itu berdasarkan ketentuan tersebut maka perkawinan bagi penduduk Indonesia tidak hanya merupakan ikatan keperdataan saja tetapi juga mempunyai ikatan batiniah sebagai refleksi dari pelaksanaan ajaran Agama dan kepercayan yang dianutnya.
Hal ini akan terlihat pada saat dilakukan upacara perkawinan, tidak boleh ada  perkawinan satu jenis antara pria dengan pria atau antara wanita dengan wanita, tidak boleh ada perkawinan yang dibatasi waktunya yang disebut dengan istilah kawin kontrak, karena dalam  perkawinan kontrak tidak bersifat kekal.
Di samping itu perkawinan harus dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa hukum agama dan kepercayaan yang dipeluknya menjadi dasar yang menentukan bagi keabsahan atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
     Tujuan perkawinan menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut :
1.Menyempurnakan tingkat pengamalan agama. Pernikahan adalah perintah agama Islam yang harus dijalankan oleh manusia bagiyang mampu berkeluarga.
2.   Menjaga kehormatan, tatkala seorang telah mencapai dewasa, dorongan seksual cukup deras dan terkadang tidak mampu menahan. Dengan perkawinan, dorongan seksual akan lebih terkendali sehingga kehormatan seseorang dapat terjaga dengan baik.
3. Menggapai ketenangan, kecintaan dan kasih sayang. Perkawinan diharapkan untuk memberi ketenteraman jiwa, memupuk jalinan cinta dan saling memberikan kasih sayang di antara pasangan.
4.   Melestarikan keturunan
5.   Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Ada beberapa azas yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
      a.   Azas Ketuhanan Yang Maha Esa
Perkawinan yang dilakukan oleh WNI harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya clan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam harus dilakukan menurut yketentuan hukum agama Islam (hukum munakahat), begitu pula bagi mereka yang beragama selain agama Islam dilakukan menurut hukum agama yang dipeluknya.

b.  Azas Pencatatan
      Dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menetapkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-¬masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 tersebut, maka perkawinan itu selain harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan yang dipeluknya, juga harus dihadapan Pegawai Pencacat Nikah dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi rnereka yang beragama Islam. Terhadap mereka yang tidak memenuhi ketetentuan sebagaiman tersebut di atas maka perkawinannya dinyatakan tidak sah. Pegawai Pencatat Nikah (Penghulu) adalah pejabat yang diberi wewenang, hak dan tanggung jawab berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemeriksaan, dan pencatatan perkawinan.
      Adapun tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk:
(1). Memberikan kepastian hukum bagi  pernikahan yang bersangkutan. (2). Menjadi bukti otentik dengan adanya buku nikah. (3). Mendapatkan perlindungan hukum, dan menjadi dasar bagi yang besangkutan untuk menuntut ke Pengadilan apabila salah satu pihak merasa teraniaya. (4).Menjadi terlaksananya tertib administrasi negara, sehingga dapat diketahui jumlah penduduk Indonesia yang melaksanakan perkawinan setiap tahunnya.
c.  Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Bagi Suami istri dalam perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dan masing-masing suami istri dapat melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dan apabila cukup alasan hukum bahwa tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, maka suami dapat mengajukan permohonan talak, sedangkan istri dapat melakukan gugatan cerai pada Pengadilan.
d.  Asas Kematangan Jiwa
Bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan diperlukan kedewasaan dan kematangan jiwa dan raganya. Usia dewasa berdasarkan Undang-Undang Perkawinan adalah 21 Tahun, baik bagi calon pria maupun wanita. Sehingga bagi mereka yang telah berusia 21 tahun dianggap telah dewasa untuk kawin dan tidak diharuskan lagi adanya surat izin untuk menikah dari kedua orang tuanya. Sedangkan bagi yang berusia kurang dari 21 tahun bila akan menikah harus ada izin dari kedua orang tuanya, dengan ketentuan bagi pria telah berusia 19 tahun dan bagi wanita telah berusia 16 tahun. Kemudian bagi pria yang usianya kurang dari 19 tahun dan bagi wanita yang usianya kurang dari 16 tahun, maka yang bersangkutan untuk dapat menikah terlebih dahulu harus mendapat izin/dispensasi dari Pengadilan.
e.  Poligami dibatasi secara ketat.
Perkawinan menurut undang-undang ini adalah monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang, hanya dapat dilakukan  apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu secara berturut-turut yakni isteri tidak dapat menjalankan tugas sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; Adanya persetujuan dari isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya; Izin dari pengadilan.
 f.  Perceraian dipersulit.
Perceraian suatu yang amat tidak disenangi oleh isteri, merupakan pintu darurat dalam mengatasi krisis. Oleh karena itu undang-undang menentukan  bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. D. Perkawinan Campuran
 
1. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57)
b.Ruang Lingkup.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
      Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1). Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
2)   Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3). Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. ( pasal 58 ).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini. ( pasal 59 ).
Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan atau intemasional.
Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau globalisasi di pelbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi problem/permasalahan.
           c.  Tatacara Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka    yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)  Fotokopi paspor yang sah
2)  Surat     izin    menikah    dari    kedutaan   negara
     pemohon
3)  Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4)  Pasfoto uuran 2×3 sebanyak 3 lembar
5) Kepastian kehadirin wali  atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
            6)  Membayar biaya pencatatan
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1) Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/ kelurahan untuk mendapatkan:    
a) Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b) Surat Keterangan asal usul (N.2)
      c) Surat Persetujuan mempelai (N.3),
      d) Surat Keterangan tentang orang tua (N.4),
      e) Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2) Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
            a) Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,
b)  Kartu imunisasi,
c)  Imunisasi Tetanus Toxoid II,
      Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan, untuk :
1).Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis ( menurut model N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;
2).Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebesar 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah). (PMA Nomor 147 Tahun 2004).
                  3). Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu.
(a)   Surat keterangan untuk nikah menurut N.1 (b)   Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat menurut model N2;
(c)   Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3,
(d)   Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat setingkat menurut model N4,
(e)  Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N5.
(f) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan. (g) Pasfoto masing-masing 3×2 sebanyak 3 lembar. (h) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun. (i)   Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari atasanya atau kesatuannya.
(j) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.                           
(k)  Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka  yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989.                          
(l)   Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah.  
(m)  Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.
4). Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.
5). Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.
6). Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.
7).  Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.
8). Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah.
9).Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.
       d.  Tata cara legalisasi Buku Nikah
1)   Mengisi formulir permohonan
2)   Menyerahkan buku nikah asli
3) Menyerahkan fotokopi buku nikah yang sudah dilegalisir oleh KUA tempat nikah
4)   Menyerahkan fotokopi KTP bagi WNI
5)   Menyerahkan fotokopi paspor bagi WNA
6)Menyerahkan surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon bagi  perkawinan campuran.
7)Menyerahkan surat kuasa dan Kartu Tanda Penduduk yang mengurus, apabila pengurusan dilakukan orang lain.
 2.   Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
             1.Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken”, selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asiny, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
 
b. Perkawinan  campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
                           Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
d.   Perkawinan Campuran Antar Agama
        Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.
       Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 .M dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa “Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai !arangan terhadap suatu perkawinan campuran.” Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900
E.  Perkawinan Beda Agama
1.   Menurut UU N0. 1 tahun 197 4
Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.
Di samping itu lembaga pencatatan perkawinan di Indonesia hanya di Kantor Urusan Agama Kecamatan bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non Islam, pencatatannya di Catatan Sipil. Jika antara calon suami dengan calon isteri berlainan agama, maka tidak ada lembaga pencatatan perkawinannya. Oleh karena itu sebelum akad nikah kedua calon harus memilih untuk mengikuti agama dari salah satunya.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
 Perkawinan beda agama menurut kompilasi hukum Islam sama dengan prinsip yang ada pada fiqh munakahat yaitu perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dilarang, sedangkan dengan ahli kitab dibolehkan.
3.  Menurut Hukum Islam
a.Kawin dengan perempuan musyrik.
 Para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan ke luar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme. Firman Allah SWT:

Terjemahnya:  “Dan janganlah kamu kawin dengan perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Seorang budak perempuan Mukmin lebih baik dari perempuan musyrik walaupun mengagumkan kamu. Dan janganlah kamu kawinkan perempuan perempuan Muslim dengan laki-Jaki musy¬rik sebelum mereka beriman. Seorang budak laki-laki Mukmin lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun mengagumkan kamu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak kamu ke sorga dan keampunan dengan izinNya. (Q.S:Al-Baqarah: 221)
b.Menurut hukum agama Islam seorang laki-laki muslim boleh nikah dengan wanita beragama Nasrani dan Yahudi yang disebut dengan ahli al-kitab sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 5.

Terjemahnya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila  kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi, (QS. Al-Maidah: 5).
 Perempuan musyrik tidak mempunyai Agama yang mengharam¬kannya berbuat khiyanat, mewajibkannya berbuat amanah, menyu¬ruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat jahat. Apa yang dikerjakannya dan pergaulan yang dilakukannya terpengaruh oleh ajaran-ajaran kemusyrikan, padahal ajaran berhala ini berisi khurafat dan sangkaan-sangkaan, lamunan dan bayangan-bayangan yang dibisikkan syaitan. Karena itu ia akan bisa berkhianat kepada suaminya dan merusak akidah agama anak-anaknya. Bilamana laki-laki Muslim kawin dengannya karena tertarik akan kecantikan¬nya, maka hal ini akan membuat perempuannya lebih bangga hidup dalam kesesatannya, bahkan tambah menyesatkannya. Jika matanya terpedaya oleh rupa yang cantik dan hatinya tergila kepada kecantikan, berarti dia terjerumus ke dalam kesenangan akan kecantikan dan melupakan nasib buruk yang menimpanya.
Adapun perempuan Ahli Kitab tidaklah berbeda jauh dengan ke¬adaan laki-laki mukmin. Karena ia percaya kepada Allah dan ber¬ibadah kepadaNya, percaya kepada para Nabi, hari kemudian dan pembalasannya, dan memeluk agama yang mewajibkan berbuat baik, mengharamkan berbuat jahat.
Perbedaan hakiki yang besar an¬tara kedua orang tersebut adalah mengenai keimanan pada kerasulan Muhammad s.a.w. Orang yang percaya kepada adanya kenabian, ti¬daklah akan ada perintang untuk percaya kepada kenabian Muham¬mad s.a.w. sebagai penutup para Nabi, kecuali karena kebodohannya terhadap ajaran yang dibawa oleh beliau. Sebab apa yang dibawa oleh beliau sama seperti yang pernah dibawa oleh para Nabi sebelumnya, tetapi dengan beberapa tambahan yang sesuai dengan tuntutan kema¬juan zaman, dan memberikan persiapan untuk menampung lebih banyak hal-hal yang akan terjadi oleh kemajuan zaman. Atau rintang¬an bagi orang yang tidak percaya kepada kenabian Muhammad kare¬na secara lahir menentang dan menolak ajaranNya, tetapi hati kecil¬nya mengakui kebenarannya.
Adapun dimaksud Perkawinan Antar Pemeluk Agama adalah perkawinan antar orang
 (pria/wanita) yang berlainan agama yaitu orang Islam dengan yang bukan orang bukan Islam.” (Zuhdi 1991: 4).
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam Undang-undang No. 1 Tahun. 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun. 1991. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang larangan orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam yaitu :
1.Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tetentu :
a.karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria   lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.seorang wanita yang tidak beragama Islam.
      2. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 dan 44 KHI, tersebut mengatur larang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga jelas apabila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti perkawinannya tidak sah.
Akan tetapi apabila dilihat dari pemahaman fiqh di Indonesia, memungkinkan trjadinya perkawinann antara seorang pria yang beragama Islam untuk menikah dengan wanita ahlul kitab. Karena mempunyai kitab suci yang berasal dari wahyu Allah. Hal ini berasal dari pemahaman tekstual firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 5.
Moh. Daud Ali berpendapat bahwa dalam surah Al-Maidah ayat 5 tersebut, Allah memberi keringanan berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab. Selanjutnya ia menegaskan bahwa keringanna itu hanya diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslimah.
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa lelaki muslim halal kawin dengan wanita Yahudi atau Nasrani, namun demikian ia disyaratkan harus mampu menyelamatkan kehidupan agamanya, agama anak-anak, dan umat Islam pada umumnya.
Mencermati pendapat di atas mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dalam kaitannya dengan UU No. 1 Th. 1974 dan KHI, maka dapat disebut persolan khilafiyah.
Adapun macam-macam Perkawinan antar Pemeluk Agama dan Hukumnya, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Musyrik. Islam melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu:
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu “. (Q.S Al-Baqarah ayat 221).
Dikalangan ulama berbeda pendapat siapa musyrikah yang haram dinikahi itu. Menurut Ibnu Jarir At-Thabrani, seorang ahli Tafsir bahwa musyrikah yang dilarang itu adalah dari bangsa Arab karena pada waktu turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Akan tetapi kebanyakan dari pada ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah bai darinbangsa Arab ataupun bukan, selain ahlul kitab tidak boleh dikawini.   
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab, Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman Allah SWT,
….. Terjemahnya:….. Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, ….. (Q.S- Al-Maidah ayat 5).
 Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antar seorang pria   Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadahnya itu mengandung unsur syrik yang cukup jelas.    Adapun Perkawinan  antara seorang wanita Muslimah dengan pria Non Muslim, Ulama    telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan seorang pria non-muslim. Adapun dalil yang menjadi dasar wanita hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-muslim  sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 221 : “dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”
Menurut Ijama’ para ulama bahwa hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam selain ahlul kitab, ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir kepercayaannya berbeda. Mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti kepercayaan mereka.
F. Kesimpulan
   1. Perkawinan adalah salah satu sunnah Rasulullah saw, yang sangat dianjurkan, dan dianggap berdosa bagi orang Islam yang tidak mau melaksanakan perkawinan. Rasulullah saw. Sangat benci kepada orang Islam yang tidak mau menikah, oleh karenanya dia (orang tersebut) dianggap tidak termasuk golongan Rasulullah saw.
   2. Perkawinan di Indonesia telah diatur menurut perundang-undangan dan juga peraturan pemerintah, sehingga memberikan kemudahan kepada setiap pelaksana perkawinan untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan regulasi yang telah ada. Dengan demikian maka persoalan social yang sering timbnul akibat perkawinan, terutama perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sudah dapat ditekan, sehinghga dapat memberikan kenyamanan dan ketertiban bagi masyarakat yang hidap berdampingan antara suku bangsa dan beda agama secara harmonis.
3. Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada    hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 57)
4.  Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.

                                                                 DAFTAR PUSTAKA
 
1.  Al-Quran al-Karim
         2.  Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, 2004
           3.   Kitab UU Hukum Perdata BW
4.   UU Dasar Negara RI No. 1945
5. UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
6.    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7.    UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.    Kompilasi Hukum Islam, 1991
9.    BPHN – Pengkajiari Hukum tentang Perkawinan Campuran Tahun 1992/1993
10.  BPHN – Penelitian Hukum tentang Permasalahan Hukum dalam Praktek
       Perkawinan Antar Agama Dalam Hal Harta Perkawinan, Warisan, dan Status Anak 
       tahun 1993/1994.
11.  PHN – Aspek-aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan Campuran
       Tahun 1993.
12.  Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Anak Hasil Perkawinan Antar
       WNI dan WNA Tahun 2004.
13.   Majdi, Analisis Fatwa Hukum Munakahat, 2006



PENAFSIRAN HTN

PENAFSIRAN HTN 

BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar belakang
Penafsiran hukum kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Setiap peraturan perundang-undangan bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sifatnya umum, dan pasif karena tidak menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan yang bersifat abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif. Oleh karena itu, setiap ketentuan perundang-undangan perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Bahkan teks undang-undang itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Pihak yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut. Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Pada bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasar.
B.    Rumusan Masalah

1.    Konsep Penafsiran HTN
2.    Macam-macam Penafsiran HTN
3.    Penafsiran HTN Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Konsep penafsiran HTN

    Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.cara penafsiran hukum:

1)Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
         Dalam pengertian subyektif ,apabila ditafsirkan seperti yang di kehendaki oleh pembuat undang-undang.Dalam pengertian obyektif,apabila penafsiran lepas dari pada pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.

2)Dalam pengertian sempit dan luas.
     Dalam pengertian sempit(restriktif),yakni apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi misalnya;Mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)pengertian hanya uang logam saja dan barang di artikan benda yang dapat dilihat dan di raba saja.dalam pengertian luas (ekstensif),ialah apabila dalilyang di tafsirkan di beri pengertian seluas-luasnya.Misalnya: Pasal 1756Perdata alinea ke-2 KUH Perdata tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a)    Otentik,Ialah penafsiran yang seperti diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang      di lampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.Penafsiran ini mengikat umum.
b)    Doktrinair,Ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya para ahli.hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c)    Hakim,Penafsiran yang bersumber pada hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu(pasal 1917 ayat (1) KUH Perdata.

B.    Macam-macam metode penafsiran HTN

    Macam-macam penafsiran HTN ada 10 macam, yaitu:
1.    Penafsiran tata bahasa (gramatikal).
    Pada penafsiran gramatikal ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan.
2.    Penafsiran sahih (autentik/resmi).
    Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
3.    Penafsiran historis.
Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
a.    Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.
b.    Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang tersebut.
4.    Penafsiran sistematis.
    Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain.
5.    Penafsiran nasional.
    Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku.
6.    Penafsiran teleologis (sosiologis).
    Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran sosiologis dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah.
7.    Penafsiran ekstensif.
    Penafsiran ekstentif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
8.    Penafsiran restriktif.
    Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
9.    Penafsiran analogis.
    Penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya,
10.    Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
    Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang.

C.    Penafsiran HTN di Indonesia
    Interpretasi atau penafsiran Merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Penafsiran Hukum
    Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang ssmenyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut.
    Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio.
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang.
    Cara-cara atau metode penafsirannya ada bermacam-macam ialah sebagai berikut:
1). Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie).
2). Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie).
3). Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan  (sistematische interpretatie).
4). Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie).
5). Penafsiran otentik (authentieke interpretatie).
6.) Penafsiran analogis.
7). Penafsiran a contrario.
8). penafsiran ekstensif
9). Penafsiran restrictif
10). Penafsiran perbandingan
    Dalam menghadapi kekosongan hukum, hakim melakukan konstruksi hukum atau penafsiran analogis. Disini hakim mengadakan penafsiran atas suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. misalnya, menyambung aliran listrik dianggap mengambil aliran listrik.
1). Penafsiran gramatikal,  adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang tersebut.
2). Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie).
3). Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu dengang pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkakutan atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudya.
4). Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masarakat.
5). penafsiran otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan  oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan,
6). Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias, sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.
7). Penafsiran a contratrio yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
8). Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan.
9). Penafsiran restriktif  yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan.
10). Penafsiran perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.

BAB III
PENUTUP
 
A.    Kesimpulan
    Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
macam-macam cara penafsiran hukum:
1. Penafsiran Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
2. Penafsiran Dalam pengertian sempit dan luas.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a. otentik
b. Doktrinair atau Ilmiah
c. Hakim
        macam- macam metode penafsiran
1.    Penafsiran tata bahasa (gramatikal).
2.    Penafsiran sahih (autentik/resmi).
3.    Penafsiran historis.
4.    Penafsiran sistematis.
5.    Penafsiran nasional.
6.    Penafsiran teleologis (sosiologis).
7.    Penafsiran ekstensif.
8.    Penafsiran restriktif.
9.    Penafsiran analogis.
10.    Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
        cara penerapan metode penafsiran  pertama-tama selalu dilakukan penafsira gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan  perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya.Apabila perlu dilanjutkan  dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqiey, Prof.Dr.jimly, S.H, pengantar ilmu hukum tata negara. jakarta: skretariat jendral dan kepaniteraan mahkamah konstitusi. 2006

Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum yang di akses daari http://adzata.blogspot.com/2012/11/berbagai-cara-penafsiran-dalam-ilmu.htm diakses tanggal 4 oktober 2014

Penafsiran hukum diakses dari http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.com/2011/12/penafsiran-hukum.html diakses tanggal 4 oktober 2014


















FIQIH MAWARIS: HUKUM WARIS MENURUT HUKUM ADAT

HUKUM WARIS MENURUT HUKUM ADAT


                                                                            BAB I
                                                                  PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang

Hukum waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut:
1.   Hak purba/pertuanan ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2.   Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
3.   Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.
4.   Struktur pengelompokkan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
5.   Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berimah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris. Hukum waris dalam arti luas yaitu penyelenggaraan pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.

                                                                            BAB II
                                                                   PEMBAHASAN
 
A.    Waris menurut hukum adat
1.TakTerbaginyaHartaBenda
Tidak terbaginya harta peninggalan ini di sementara lingkungan hukum berhubungan dengan asas bahwa harta - benda yang diterima dari nenek moyang tidak mungkin dimiliki selain dari pada bersama - sama dengan para ahli waris lainnya yang secara keseluruhan merupakah kesatuan yang tak terbagi.
Sepanjang seseorang semasa hidupnya memperoleh harta pencarian (harta hasil usaha         pribadi), maka harta tersebut sepeninggalannya berpindah sebagai kebulatan tak terbagi     kepada keturunannya yang berhak atas itu, yang semasa hidup si pewaris juga sudah                                                                                                                                                                    berhubungan dengan harta tersebut selaku ahli-waris.[3]

Kemungkinan pertama
            Harta kekayaan tetap tak terbagi karena :
a.       tidak mungkin dibagi
b.      kelompok kerabat mempunyai hak bersama, biasanya dibawah pimpinan mamak kepada waris (Minangkabau), kepala dari (Ambon) selaku kepala kerabat.
Bila harta kerabat semacam ini terbengkalai : “guntung” (Minangkabau), “linyap” (Ambon) karena kerabatnya punah, maka harta tersebut dapat jatuh ke tangan kerabat-kerabat-kerabat yang karib atau bila mereka tidak ada, kepada masyarakat.


Kemungkinan kedua
            Harta peninggalan itu mungkin juga tidak terbagi karena yang berhak mewaris hanyalah satu anak, yaitu anak laki-laki tertua (pada sebagian penduduk asli Lampung, kebanyakan pula di Bali), anak perempuan tertua sebagian) dan kalau tidak ada, anak laki-laki bungsu (pada suku Semnedo di Sumatera Selatan, suku Dayak Landak dan Tayan di Kalimantan-Barat).

Kemungkinan Ketiga
            Mungkin harta peninggalan itu tidak terbagi karena sesudah meninggalkan si pemilik, hartanya dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan materiil keluarga yang bersangkutan.

b. Pembagian Semasa Hidup dan Wasiat
1.    Pembagian/pembekalan semasa hidup
Pembagian harta-kekayaan (sekaligus ataupun sebagian demi sebagian) semasa hidup di pemilik merupakan kebalikan dari tetap tak terbaginya harta peninggalan, meskipun kedua-keduanya berdasarkan pokok pikiran yang sama (harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat, diperuntukkan dasar hidup materiil bagi para warganya dalam generasi-generasi berikutnya). Di waktu anak menjadi dewasa meninggalkan rumah orang tuanya, membentuk keluarga mandiri (mencar, manjai), ia seringkali dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya, ternak, benda-benda tersebut sejak semula menjadi dasar materiil keluarga baru dan merupakan bagiannya di dalam harta keluarga, yang kelak akan diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan, sesudah kedua orang tuanya meninggal.

2. Wasiat
            Pemilih harta-benda semasa hidupnya dapat pula dengan cara lain melakukan pengaruh atas dan oleh karena itu mendorong ke arah pembagian harta peninggalan.

1.    “Hibah” – “Wasiat”
Cara pertama yang jarang ditempuh ini disebut dengan istilah Islam : hibah-wasiat. Lembaga tersebut bermanifestasi dalam perbuatan pemilik yang bertujuan: agar bagian tertentu dari harta kekayaanya diperuntukkan bagi salah seorang ahli-warisnya sejak saat pewaris yang bersangkutan meninggal dunia.

2.    “Wekas”, “welking”, “umnat”   
Pembagian harta secara lain yang lebih umum dikenal dan dipraktekkan diseluruh Nusantara terjadi kalau seorang pemilik pada akhir hayatnya menjumlah dan menilai harta-kekayaannya serta mengemukakan keinginan dan harapannya berkenaan dengannya kelak.

c.       Ahli Waris
a.       Waris Utama :
Pada umumnya yang menjadi ahli-waris ialah para warga yang paling karib di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang didasarkan di dalam keluarga/barayan si pewaris, yang pertama-pertama mewaris ialah anak-anak kandung. Namun pertalian dan solidaritas keluarga itu di semnetara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertaubatan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada kerabat-kerabat yang merupakan bagian clan (patrilineal ataupun matrilineal), maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan kelaurga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.

Lembaga Hidup waris
            Titik pangkal : harta keluarga sejak semula diperuntukkan dasar hidup materiil bagi mereka yang lahir dari keluarga yang bersangkutan mendapatkan realisasinya di dalam asas penggantian tempat, lembaga hidup waris. Keturunan dari anak (waris) yang meninggal mendahului pewarisnya, menerima porsi orang tuanya dari harta peninggalan kakeknya. Hanya peradilan agama (Islam) – lah yang kadang-kadang menyebabkan penerobosan asas tersebut.

Posisi janda 
            Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak berhak mewaris, namun selaku isteri turut memiiki harta yang diperoleh selama, karena dan untuk ikatan perkawinan (harta kebersamaan), disamping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian itu berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilineal.

Kebersamaan harta Perkawinan
            Dalam hal ada kebersamaan harta perkawinan dan tidak ada keturunan, maka sipeninggal jodoh yang satu, yang tinggal hidup mewaris seluruh harta kekayaan/peninggalan, jika jodoh terakhir inipun meninggal pula, maka harta tersebut dibagi sama rata di antara para warga kerabat kedua pihak, atau dua pertiga untuk kerabat suami dan sepertiga bagi kerabat pihak isteri.

Anak Angkat
            Anak angkat berhak mewaris selaku anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang adopsi itu melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak, maka anak angkat yang bersangkutan berhak mewaris sebagai anak. Itulah titik pangkal hukum adat.

Perbuatan Tunai
            Selaku perbuatan tunai, adopsi selalu menimbulkan hak mewaris sepenuhnya. Pendorong ke arah pengangkatan anak ialah biasanya hasrat meneruskan.mengoperkan harta-kekayaan kepada anak angkatnya, yang pada hakekatnya bermakna : mempertahankan garis hidup sendiri didalam proses umum kontinuasi generasi.

Pewarisan tanpa anak
            Pewarisan harta-benda dalam hal tiada anak telepas dari tuntutan hak jodoh yang hidup terlama dan anak angkat adalah mudah.

d.                  Bagian –Bagian harta Peninggalan
1.      Harta benda Kerabat
Perbedaan dalam pewarisan antara benda-benda yang berasal dari kerabat (harta warisan), dengan yang diperoleh secara mandiri di dalam keluarga, sering tampak jelas dalam hal si pewaris tidak mempunyai anak : barang asalnya kembali kepada kerabatnya sendiri (agar tidak hilang) sedangkan benda – benda keluarganya jatuh ke tangan jodoh yang masih hidup.
Telah kita ketahui bahwa di sementara lingkungan hukum, ikatan kerabat yang kuat dapat pula mempengaruhi pewarisan benda-benda yang diperoleh didalam keluarga.
2.                  Harta- Benda Keluarga
Perbedaan dalam pewarisan akibat solidaritas keluarga dapat timbul berhubung dengan adanya perkawinan kedua.
Jika dua isteri dari satu suami membentuk keluarga sendiri-sendiri dengan anak-anak mereka masing-masing, maka harta benda keluarga-keluarga itupun tetap terpisah.
3.                  Harta-Benda Martabat Tertentu
Benda-benda keramat di dalam suatu kerabat dapat terkait pada kualitas pemiliknya.

2.  Menurut Hukum Islam
a.      Dasar – dasar pewarisan Islam
Kaum muslimin yang sama-sama melakukan hijrah meninggalkan kampung halamannya sendiri memiliki ikatan bathin yang kuat, karena merasa senasib dan sependeritaan. Dalam hukum ini, apabilah salah seorang diantara mereka meninggal dunia, maka harta peninggalannya diwarisi oleh kerabatnya (ahli warisnya) yang sama-sama ikut berhijrah.[4]
Kemudian apabila sipeninggal warisan dari muhajir itu tidak mempunyai kerabat yang ikut hijrah, maka yang mewarisi hartanya adalah walinya dari golongan anshor.[5]
Adapun dasar-dasar kewarisan menurut Hukum Islam atau yang disebut juga dengan ashabul morots ada tiga :
1.      Qorobah
Pertalian hubungan darah adalah dasar pewarisan yang utama. Pertalian lurus keatas disebut ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati, termasuk ibu, bapak, kakek, nenek dst.
2.      Semenda
Perkawinan yang syah menurut syariat, menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami dan istri.
3.      Wala
Yang dimaksud wala’ disini ialah kerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budaknya.

b.      Rukun dan Syarat Kewarisan
1.      Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi maupun mati hukmi. Mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
2.      Al-Waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati lantaran memiliki dasar/sebab kewarisan
3.      Mauruts, yaitu harta peninggalan simati yang sudah bersih setelah dikurangi untuk biaya perawatan jenazahnya pembayaran hutangnya dan pelaksanaanya wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.
Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia harus benar-benar hidup pada saat muwarrisnya meninggal dunia. Persyaratan ini penting artinya terutama pada ahli waris yang mafdgud (hilang tidak diketahui beritanya) dan anak yang masih dalam kandungan ibunya.

c.       Unsur – Unsur Kewarisan
Proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang msih hidup dalam hukum Kewarisan Islam mengenal tiga unsur, yaitu : pewaris, harta warisan dan ahli waris.
1.      Yang Mewariskan atau Pewaris
Pewaris, yang dalam literatur fikih disebut al-muwarrits, ialah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan perinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sedauh matinya pewaris, maka kata “pewaris” itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati. 

2.      Harta  Warisan
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ah;I warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit  atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli

Macam-macam Harta Warisan
            Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah untuk harta warisan yaitu “ apa-apa yang ditinggalkan”, yang dalam pandangan ahli Ushul Fikih berarti umum, maka dapat dikatakan bahwa harta warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.      

3.      Ahli Waris Dan Haknya
Ahli waris atau disebut warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan perpenuhinya persyaratan sebagai berikut :
1.      Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris
2.      Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan.
3.      Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

Perincian Ahli waris
1.      Ahli Waris dalam hubungan kerabat
a.    Anak laki-laki dan akan perempuan
Dasar kewarisan anak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah firman Allah dalam surah al-Nisa ayat 11.
b.    Cucu, baik laki-laki maupun perempuan
Yang dimaksud dengan cucu dalam pendaat ini adalah anak- anak dari anak laki-laki seterusnya kebawah dan anak-anak dari anak perempuan seterusnya kebawah.
Menurut golongan Ahli sunnah, cucu laki-laki dan cucu perempuan baru mendapat hak kewarisn bila sudah tidak ada anak laki-laki, baik anak laki-laki itu ayahnya sendiri atau saudara ayahnya.
c.    Ayah
Ayah dapam kedudukannya sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 11. ayah sebagai ahli waris tidak dapat terhijab secara penuh oleh siapapun.
d.    Ibu
Hak ibu dalam kewarisan dijelaskan Allah dalam al-Qur’an ayat 11 surah al-Nisa. Dan seperti ayah, ibu tidak dapat dihijab secara penuh oleh siapapun.
e.    Kakek
Kakek berhak mendapat warisan bila ayah sudah tidak ada lagi, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ayah. Selama perantara itu masih hidup ia tidak berhak atas harta warisan. Kakek dapat mewaris bersama anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan,  atau cucu, baik laki-laki atau perempuan.
f.    Nenek
Nenek dari pihak ayah berhak menerima warisan bila ayah dan ibu sudah meningal lebih dahulu, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ibu maupun ayah. 
g.    Saudara
Saudara kandung menjadi ahli waris bila tidak ada anak atau cucu dan tidak ada pula ayah. Alasan tertutupnya saudara oleh anak adalah firman Allah surat al-Nisa’ayat 12 dan 176 yang menyatakan bahwa saudara baru menjadi ahli waris bila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu.
Tentang tertutupnya saudara oleh ayah didasarkan kepada saudara baru berhak menerima warisan bila pewaris adalah punah atau kalalah (QS.IV:176) sedangkan pengertian pengertian kalalah oleh orang Arab menurut yang dipahami jumhur ulama ialah tidak mempunayi anak dan juga tidak mempunyai ayah.
Saudara seayah mendapat hak warisan sebagai pengganti saudara kandung. Saudara kandung lebih dekat kepada pewaris dibandingkan saudara seayah, karena pertaliannnya dengan saudara kandung melalui dua jalur ayah dan jalur ibu, sedangkan dengan saudara seayah hanya satu jalur yaitu jalur ayah saja.
Saudara seibu baru berhak mendapat warisan bila tidak ada anak atau cucu dari pewaris, baik laki-laki atau perempuan, tidak ada pula ayah dan kakek. Saudara kandung ataupun seayah tidak menutup hak saudara seibu. 
a.       Anak Saudara
Adanya hak kewarisan anak saudara itu pada dasarnya adalah melalui perluasan pengertian dari saudara yang haknya dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikannya oleh anaknya dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikan oleh anaknya dan anak saudara belum akan mendapatkan hak selama ayahnya yang menghubungkannya kepada pewaris masih hidup
Anak saudara kandung mendapat warisan bila sudah tidak ada saudara seayah dan orang yang menghijab saudara seayah itu, sedangkan anak saudara seayah mendapat warisan bila sudah tidak ada anak saudara kandung dan tidak ada pula orang-orang yang menutupnya. Anak saudara seibu (hanya dalam paham Syi’ah) mendapat warisan bila tidak saudara seibu dan orang yang menutup saudara seibu itu. Sebagai ahli waris, saudara beserta anak-anaknya disebut kerabat gais kesamping pertama 
b.      Paman
Penempatan paman sebagai ahli waris adalah mellaui perluasan dari pengertian kakek. Bagi mereka anak laki-laki yaitu paman atau saudara kandung atau seayah dari ayah atau yang disebut paman, sedangkan saudara ayah yang perempuan atau bibi, bukan ahli waris. Begi pula yang dapat diperluas pengertiannya hanyalah kakek, sedangkan nenek tidak dapat diperluas pengertiannnya kepada anaknya, baik laki-laki atau perempuan.
c.       Anak paman
Anak paman disini adalah anak dari paman yang hubungannya hanya dengan ayah, itu pun ayah yang kandung atau seayah dari ayah, sedangkan anak yang dimaksud hanyalah yang laki-laki. Anak bibi dalam segala bentuknya bukanlah ahli waris dalam pengertian ini

Macam-macam Ahli Waris dan Hak Masing- masing
1.    Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :
a.       ½ kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak laki-laki)
b.      2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak laki-laki.
2.    Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah :
a.       ½ kalau ia sendiri saja atau
b.      2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki, kemudian  diantara mereka berbagai sama banyak
c.       1/6 kalau bersamanya ada anak perempuan seorang saja.
3.    Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagai berikut :
a.       1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau bersama dua orang saudara atau lebih
b.      1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu tyetapi hanya bersama ayah
c.       1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama dnegan suami atau istri 


4.    Ayah. Sebagai ahli waris szaul furudh kemungkinan bagian ayah adalah
a.       1/6 kalau ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki
b.      1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan anak atau cucu perempuan.

5.    Kakek
a.       1/6  kalau bersamanya ada anak atau cucu laki-laki
b.      1/6 bagiand an kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau cucu perempuan
6.    Nenek  (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.
7.    Saudara peempuan kandung.
a.       ½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki kemudian diantara mereka berbagi sama banyak.
8.    Saudara perempuan seayah.
a.       ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara seayah laki-laki
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki seayah
c.       1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan 
9.    Saudara laki-laki seibu
a.       1/6 kalau ia hanya seorang
b.      1/3 kalau ia lebih dari seoarang dan diantaranya berbagi sama banyak
10.    Saudara perempuan seibu
a.       1/6 kalau ia hanya seorang diri
b.      1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama bayak
11.    Suami
a.       ½ kalau tidak ada anak atau cucu
b.      Kalau ada bersamanya anak atau cucu
12.    Istri
a.       ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris
b.      1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.
d.      Hal – Hal Yang Mengugurkan Hak Mewarisi
Mawani’il irsi atau penghalang hak mewarisi ialah hal-hal yang dapat menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya. 
Mawani’il irsi ada empat macam, tiga diantaranya telah disepakati para        fugoha yaitu :
1.    Pembunuhan
2.    Berlainan agama
3.    Perbudakan
4.    Berlainan negara
I.        Pembunuhan
Para ulama sepakat pendapatnya (selain hawarij) bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.

II.     Berlainan Agama
Orang kafir adalah selain orang Islam baik ia beragama samawi atau bergama budaya maupu Atheis tidak beragama.
Imam Ahmad dan aliran Malikiyah menetapkan bahwa mereka tidak dapat saling mewarisi bila aham ahli waris dan pewarisnya berbeda. Adapun orang murtad mempunyai kedudukan yang tersendiri. Orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari siapapun, baik kerabatnya itu muslim ataupun bukan atau sama-sama murtad.
Harta milik orang murtad yang didapat setelah riddah, disepakati para fukoha dimasukkan ke Baitul maal. Tetapi harta yang didapat ketika masih muslim, menurut Imam hanafi diwarisi kerabatnya yang muslim. Alasan yang dikemukakan ialah saat riddah adalah saat kematian (bagi murtad laki-laki) sebab pada saat itu ia kena sanksi hukuman mati.
 
III.   Perbudakan
Meskipun sejak semula islam menghendaki perbudakan dihapus, namun karena pada waktu itu perbudakan merupakan suatu kenyataan yang sudah merata dimana-mana dan sukar dihapus, maka perbudakan mendapatkan tempat didalam pembahasan hukum Islam.
Seorang budak statusnya tidak bisa menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekelaurgaan dnegan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya.
Dan ia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta apa-apa.

IV.  Berlainan negara
Berlainan negara antara orang-orang yang non muslim. Berlainan negara antar orang-orang non muslim berarti terputusnya ishmah dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan, dengan catata bahwa berlainan negara dalam hakekatnya saja tidak bepengaruh dalam segi hukum.

________________________________________
[1] Lihat Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, penerbit Liberty, 1990, Jakarta. hal 151.
[2] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris, penerbit Mujahidin, 1990, Semarang. hal 1.
[3] Ibid
[4] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris, penerbit Mujahidin, 1990, Semarang.
[5] Lihat Prof. Dr. Amir syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Penerbit Kencana, 2004, Padang.

HADIST AHKAM: HIBAH WASIAT DAN WAKAF

HIBAH WASIAT DAN WAKAF

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mulia dan sempurna islam mengatur seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia serta memberikan solusi terhadap seluruh problematika kehidupan. Yang telah menghimbau umatnya untuk saling menolong dalam hal kebaikan dan ketakwan. Salah satunya mendermakan harga.
    Pribadi yang mulian dan muslim sejati ialah insan yang suka memberikan lebih apa yang di minta srta berderma di waktu susah maupun senang. Untuk lebih memahami tentang cara mendermakan untuk islam makaa dalm hal ini kita pelajari bagimana cara melakukan hibah, wasiat dan wakaf yang di benarkan oleh islam.

BABII
PEMBAHASAN

A.    LARANGAN MENARIK KEMBALI HIBAH

حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال
 : قال النبي صلى الله عليه و سلم ( العائد في هبته كالكلب يقيء ثم يعود في قيئه )
Di ceritakan dari muslim bin ibrahim diceritakan dari wahib diceritakan dari ibnu thawus darri ayahnya dari ibnu abbas ra berkata,  bahwa Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang yang menarik kembali pemberiannya, seperti seekor anjing yang muntah dan memakan kembali muntahannya.”

Orang yang yang menarik kembali hibahnya baik dia seorang suami attau bukan sama dengan anjing yg muntah kemudian makan kebali muntahannya itu
Nabi mengharamkan kita menarik kembali sedekah sesudah di terima oleh seseorang jumhur ulama’ menetapkan bahwa hibah ayah kepada anak dapat ditarik kembali mengingat hadist yang diriwayat kan oleh ‘an nu’man ibnu husyair.

Hibah saudara kepada saudara tidak dapat di tarik kembali,demikianlah pendapat as syafi’I,malik,al auza’i

Abu hanifah dan ulama’-ulama’ lain berpendapat, bahwa seluruh pemberian hibah dapat di tarik kembali,terkecuali hibah anak kepada ayah dan mahrom.

Kesimpulan:

Hadis ini memberikan pengertian bahwa agama tidak membenar kan kita menarik kembali hibah sesudah di serahkan kepada seseorang.


B.    Pengukuhan Hibah

وَسَمِعْتُ أَبِي ، وَذَكَرَ حَدِيثًا رَوَاهُ حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ ، عَنْ أَبِي الأَسْوَدِ ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الأَشَجِّ ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ ، عَنْ خَالِدِ بْنِ عَدِيٍّ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، أَنَّهُ قَالَ مَنْ جَاءَهُ مِنْ أَخِيهِ مَعْرُوفٌ مِنْ غَيْرِ إِشْرَافِ وَلا مَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبَلْهُ وَلا يَرَدُّهُ ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ

Dari kholid  bin adi, sesungguhnya nabi Muhammad saw telah bersabda: barang siapa yang di beri oleh saudaraya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima(jangan di tolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yang di berikan allah kepadanya.

Hadist di atas menjelaskan tentang pengukuhan hibah bahwa ang di maksud hibah sendiri ialah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwktu ia hidup tapa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang. Membrikan sesuatu kepada orang lain asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuj dan mendaopat  pahala dar allah swt. Untuk ini hibah sendiri huumnya mubah.
Adapun rukun hibah adalah:
1.    Wahib.
2.    Mauhub lah.
3.    Mauhub.
4.    Akad.

C.    MAKNA WAKAF

حدثنا يحيى بن يحيى التميمي أخبرنا سليم بن أخضر عن ابن عون عن نافع عن ابن عمر قال
 : أصاب عمر أرضا بخيبر فأتى النبي صلى الله عليه و سلم يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبيت أرضا بخيبر لم أصب مالا قط هو أنفس عندي منه فما تأمرني به ؟ قال ( إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها ) قال فتصدق بها عمر أنه لا يباع أصلها ولا يبتاع ولا يورث ولا يوهب قال فتصدق عمر في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن لا يأكل منها بالمعروف أو يطعم صديقا غير متمول

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra. Bahwa Saidina Umar bin Khattab mendapat bagian sebidang tanah di khaibar, maka beliau mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal tanah tersebut. Beliau berkata “Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, tidak pernah saya mendapat tanah yang lebih bagus darinya, maka apa yang akan engkau perintahkan terhadapku tentang tanah tersebut?”. Rasulullah berkata “jika kamu kehendaki, kamu tahan asalnya dan kamu shadaqahkan”. Perawi hadis berkata “maka Saidina Umarpun menshadaqahkannya dengan ketentuan tidak boleh dijual, di hibah, dan tidak boleh diwariskan. Beliau bershadaqah untuk para faqir, kerabat, budak yang akan dimerdekakan dengan tebusan (mukatab), pada sabilillah, ibnu sabil dan tamu, serta tiada berdosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakannya dengan cara yang baik serta tidak berlebihan
Umar memperoleh sebidang tanah dari harta rampasan perang khoibar, yang paling baik yg pernah di perolehnya. Umar bertanya kepada nabi tentang apa yg lebih baik yg di lakukannya untuk tahnah itu, menurut petimbangan nabi
Nabi menerangkan bahwa umar boleh ,ewakafkan tanahnya, tanah itu tetap menjadi miliknya dan menyedekahkan hasil yang di peroleh dari tanah itu.
Umar menyedekahkan ytanah itu sebagai wakaf, dengn syarat tanah itu tidak boleh di jual dan tidak dapat di pusakakan.
Hasil tanah itu di berikan para fakir, dzawilqurba, para mukatab guna melepaskan diri dari perbudakan, untuk ibnu sabil, para pejuang di jalan allah, para musyafir dan menjamu tamu.
Hadis ini lah yg menjadi dalil bagi sahnya wakaf dan menandaskan bahwa wakaf itu bukan salah satu perbuatan jahiliah. Demikian madhab jumhur ulama.
Para ulama sepakat mensahkan kita mewakafkan masjid.
Dari hadist ini menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh dijual tidakl boleh dihibahkan tidak boleh dipisahkan dan haruslah tunduk terhadap syarat syarta yang dibuat oleh sipenberi wakaf.
Selain dari pada itu hadist ini menyatakan keutamaan wakaf dan itulah yang dinamakan sedekah jariyah, juga keutamaan umar.
Golongan ulama yang mengartikan al qurba dalam hadist ini dengan kerabat, maka mereka membolehkan kita mewakafkan harta kita kepada dzawil arham. Goloongan yang mengartikan dzawil qurba disini dengan kaum kerabat nabi atau kaum kerabat yang papa, mereka tidak membenarkan wakaf ahli yaitu mewakafkan harta kepada kaum kerabat
Hadist ini menunjukkan bahwa wakaf itu sah dan harta wakaf tidak boleh dijual, di hibahkan, di pusakakan. Manfaat sajalah yang dimiliki oleh yang menerima wakaf.

D.    . Pohon Sanad

E.    Jarh Wa Ta’dil

No    Perawi    lahir    Wafat    Jarh wa ta’dil
1    ابن عباس    -    249 ه    ثقة
2      طاوس    -    -    -
3    ابن طاوس    -    -    -
4    وهيب    -    74 هـ بـ المدينة    صحابى
5    مسلم بن إبراهيم    -    222 هـ بـ البصرة    ثقة مأمون

F.    Biorafi Ibnu Abbas ra.

Abdullah bin `Abbas bin `Abdul Muththalib bin Hasyim lahir di Makkah tiga tahun sebelum hijrah. Ayahnya adalah `Abbas, paman Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Lubabah binti Harits yang dijuluki Ummu Fadhl yaitu saudara dari Maimunah, istri Rasulullah. Beliau dikenal dengan nama Ibnu `Abbas. Selain itu, beliau juga disebut dengan panggilan Abul `Abbas. Dari beliau inilah berasal silsilah khalifah Dinasti `Abbasiyah.
Ibnu `Abbas adalah salah satu dari empat orang pemuda bernama `Abdullah yang mereka semua diberi titel Al-`Abadillah. Tiga rekan yang lain ialah ‘Abdullah bin `Umar (Ibnu `Umar), `Abdullah bin Zubair (Ibnu Zubair), dan `Abdullah bin Amr. Mereka termasuk diantara tiga puluh orang yang menghafal dan menguasai  Al-Qur’an pada saat penaklukkan Kota Makkah. Al-`Abadillah juga merupakan bagian dari lingkar `ulama yang dipercaya oleh kaum muslimin untuk memberi fatwa pada waktu itu.
Beliau senantiasa mengiringi Nabi. Beliau menyiapkan air untuk wudhu` Nabi. Ketika shalat, beliau berjama`ah bersama Nabi. Apabila Nabi melakukan perjalanan, beliau turut pergi bersama Nabi. Beliau juga kerap menhadiri majelis-majelis Nabi. Akibat interaksi yang sedemikian itulah, beliau banyak mengingat dan mengambil pelajaran dari setiap perkataan dan perbuatan Nabi. Dalam pada itu, Nabi pun mengajari dan mendo`akan beliau.
Pernah satu hari Rasul memanggil `Abdullah bin `Abbas yang sedang merangkak-rangkak di atas tanah, menepuk-nepuk bahunya dan mendoakannya, “Ya Allah, jadikanlah Ia seorang yang mendapat pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan berilah kefahaman kepadanya di dalam ilmu tafsir.”
Ibnu `Abbas juga bercerita, “Suatu ketika Nabi hendak ber-wudhu, maka aku bersegera menyediakan air untuknya. Beliau gembira dengan apa yang telah aku lakukan itu. Sewaktu hendak memulai shalat, beliau memberi isyarat supaya aku bendiri di sebelahnya. Namun, aku berdiri di belakang beliau. Setelah selesai shalat, beliau menoleh ke arahku lalu berkata, ‘Hai `Abdullah, apa yang menghalangi engkau dari berada di sebelahku?’ Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, engkau terlalu mulia dan terlalu agung pada pandangan mataku ini untuk aku berdiri bersebelahan denganmu.’ Kemudian Nabi mengangkat tangannya ke langit lalu berdoa, ‘Ya Allah, karuniakanlah ia hikmah dan kebijaksanaan dan berikanlah perkembangan ilmu daripadanya.'”
Usia Ibnu `Abbas baru menginjak 15 atau 16 tahun ketika Nabi wafat. Setelah itu, pengejarannya terhadap ilmu tidaklah usai. Beliau berusaha menemui sahabat-sahabat yang telah lama mengenal Nabi demi mempelajari apa-apa yang telah Nabi ajarkan kepada mereka semua. Tentang hal ini, Ibnu `Abbas bercerita bagaimana beliau gigih mencari hadits yang belum diketahuinya kepada seorang sahabat penghafal hadits:
“Aku pergi menemuinya sewaktu dia tidur siang dan membentangkan jubahku di pintu rumahnya. Angin meniupkan debu ke atas mukaku sewaktu aku menunggunya bangun dan tidurnya. Sekiranya aku ingin, aku bisa saja mendapatkan izinnya untuk masuk dan tentu dia akan mengizinkannya. Tetapi aku lebih suka menunggunya supaya dia bangun dalam keadaan segar kembali. Setelah ia keluar dan mendapati diriku dalam keadaan itu, dia pun berkata. ‘Hai sepupu Rasulullah! Ada apa dengan engkau ini? Kalau engkau mengirimkan seseorang kemari, tentulah aku akan datang menemuimu.’ Aku berkata, “Akulah yang sepatutnya datang menemui engkau, karena ilmu itu dicari, bukan datang sendiri.’ Aku pun bertanya kepadanya mengenai hadits yang diketahuinya itu dan mendapatkan riwayat darinya.”
Dengan kesungguhannya mencari ilmu, baik di masa hidup Nabi maupun setelah Nabi wafat, Ibnu `Abbas memperolah kebijaksanaan yang melebihi usianya. Karena kedalaman pengetahuan dan kedewasaannya, `Umar bin Khaththab menyebutnya ‘pemuda yang tua (matang)’. Khalifah `Umar sering melibatkannya ke dalam pemecahan permasalahan-permasalahan penting negara, malah kerap mengedepankan pendapat Ibnu `Abbas ketimbang pendapat sahabat-sahabat senior lain. Argumennya yang cerdik dan cerdas, bijak, logis, lembut, serta mengarah pada perdamaian membuatnya andal dalam menyelesaikan perselisihan dan perdebatan. Beliau menggunakan debat hanya untuk mendapatkan dan mengetahui kebenaran, bukan untuk pamer kepintaran atau menjatuhkan lawan debat. Hatinya bersih dan jiwanya suci, bebas dari dendam, serta selalu mengharapkan kebaikan bagi setiap orang, baik yang dikenal maupun tidak.
`Umar juga pernah berkata, “Sebaik-baik tafsir Al-Qur’an ialah dari Ibnu `Abbas. Apabila umurku masih lanjut, aku akan selalu bergaul dengan `Abdullah bin `Abbas.” Sa`ad bin Abi Waqqas menerangkan, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih cepat dalam memahami sesuatu, yang lebih berilmu dan lebih bijaksana daripada Ibnu `Abbas.” Ibnu `Abbas tidak hanya dikenal karena pemikiran yang tajam dan ingatan yang kuat, tapi juga dikenal murah hati. Teman-temannya berujar, “Kami tidak pernah melihat sebuah rumah penuh dengan makanannya, minumannya, dan ilmunya yang melebihi rumah Ibnu `Abbas.” `Ubaidullah bin `Abdullah bin Utbah berkata, “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti tentang hadits Nabi serta keputusan-keputusan yang dibuat Abu Bakar, `Umar, dan `Utsman, daripada Ibnu `Abbas.”
Perawakan Ibnu `Abbas tinggi tapi tidak kurus, sikapnya tenang dan wajahnya berseri, kulitnya putih kekuningan dengan janggut diwarnai. Sifatnya terpuji, memiliki budi pekerti yang mulia, rendah hati, simpatik-empatik penuh kecintaan, ramah dan akrab, namun tegas dan tidak suka melakukan perbuatan sia-sia. Masruq berkata mengenainya, “Apabila engkau melihat `Abdullah bin `Abbas maka engkau akan mengatakan bahwa ia seorang manusia yang tampan. Apabila engkau berkata dengannya, niscaya engkau akan mengatakan bahwa ia adalah seorang yang paling fasih lidahnya. Jikalau engkau membicarakan ilmu dengannya, maka engkau akan mengatakan bahwa ia adalah lautan ilmu.”
Saat ditanya, “Bagaimana Anda mendapatkan ilmu ini?” Ibnu `Abbas menjawab, “Dengan lisan yang gemar bertanya dan akal yang suka berpikir.” Terkenal sebagai ‘`ulama umat ini’, Ibnu `Abbas membuka rumahnya sebagai majelis ilmu yang setiap hari penuh oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu padanya. Hari-hari dijatah untuk membahas Al-Qur’an, fiqh, halal-haram, hukum waris, ilmu bahasa, syair, sejarah, dan lain-lain. Di sisi lain, Ibnu `Abbas adalah orang yang istiqomah dan rajin bertaubat. Beliau sering berpuasa dan menghidupkan malam dengan ibadah, serta mudah menangis ketika menghayati ayat-ayat Al-Qur’an.
Sebagaimana lazimnya kala itu, pejabat pemerintahan adalah orang-orang `alim. Ibnu `Abbas pun pernah menduduki posisi gubernur di Bashrah pada masa kekhalifahan `Ali. Penduduknya bertutur tentang sepak terjang beliau, “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”
`Abdullah bin Abbas meriwayatkan sekitar 1.660 hadits. Dia sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadist sesudah `Aisyah. Beliau juga aktif menyambut jihad di Perang Hunain, Tha`if, Fathu Makkah dan Haji Wada`. Selepas masa Rasul, Ia juga menyaksikan penaklukkan afrika bersama Ibnu Abu As-Sarah, Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama `Ali bin Abi Thalib.
Pada akhir masa hidupnya, Ibnu `Abbas mengalami kebutaan. Beliau menetap di Tha`if hingga wafat pada tahun 68H di usia 71 tahun. Demikianlah, Ibnu `Abbas memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan serta akhlaq `ulama.

                                                                 DAFTAR PUSTAKA
Mahalli, KH. Ahmad Mudjib, hadist hadist muttafaq alaih. Jakarta: pranada media. 2003
Ash Shiddieqy , TM Hasbi, Mutiara Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.2003