This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, March 28, 2016

HUKUM PERDATA DAGANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dipersembahkan untuk Hukum Perdata Dagang


I. PENGERTIAN

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.

II. HAK DAN KEWAJIBAN BAGI KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Berdasarkan pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain:
a.    Hak dan Kewajiban Konsumen
  •   Hak konsumen
1)        Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa
2)        Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa, sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3)        Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa
4)        Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan
5)        Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6)        Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7)        Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosialnya
8)        Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9)        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
  •   Kewajiban konsumen
1.    Membaca, mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan
2.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa
3.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

b.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut.
  •   Hak pelaku usaha
1)        hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
2)        hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3)        hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4)        hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5)        hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
  •   Kewajiban pelaku usaha
1)        Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2)        Melakukan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3)        Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen
4)        Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar nutu barang atau jasa yang berlaku
5)        Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat maupun yang diperdagangkan
6)        Memberi kompensasi, ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan
7)        Memberi kompensasi ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.

III. ASAS PERLINDUNGAN KONSU

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni:
1.    Asas Manfaat
Adalah segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.    Asas Keadilan
Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.    Asas Keseimbangan
Adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual.
4.    Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.    Asas Kepastian Hukum
Adalah pelaku maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.

IV. TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Tujuan perlindungan konsumen meliputi:
1.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/ atau jasa
3.    Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.    Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi
5.    Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6.    Meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

V. PERBUATAN YANG DI LARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.      larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.      larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
•    Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
•    Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
•    Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
•    Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
•    Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
•    Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
•    Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
•    Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
•    Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
•    Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri.Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar   tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3)  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
•    Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
•    Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
•    Bekas: sudah pernah dipakai.
•    Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh.Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4)  Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

VI.      TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
•    Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
•    Cacat barang timbul pada kemudian hari.
•    Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
•    Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

VII. SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
   -Pengembalian uang atau
   -Penggantian barang atau
   -Perawatan kesehatan, dan/atau
   -Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2),  15, 17  ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
          o Pengumuman keputusan Hakim
          o Pencabuttan izin usaha.
          o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
          o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
          o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

Contoh Kasus Perlindungan Konsumen

“Kasus Penarikan Produk Obat Anti-Nyamuk HIT”

Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1.      a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan  standar yang dipersyaratkan, peraturan yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b. Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang  dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam hitungan, kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu, janji yang diberikan.
c. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan   dalam label
e. Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
f. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
2.      Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.
a.    Secara tidak benar dan/atau  seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu, dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b.   Secara tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen, langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
3.    Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan  atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a.    Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b.    Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c.    Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
4.     Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang
a.    Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b.    Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c.    Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5.    Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6.    Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan
a.       Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.      Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.       Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.

Analisis

Agar tidak terjadi lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:
1.    Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
2.    Teliti sebelum membeli;
3.    Biasakan belanja sesuai rencana;
4.    Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
5.    Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
6.    Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal 4, hak konsumen adalah :
a.       Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
b.      Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil yellow).
c.       Ayat 3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
d.      Para pelaku usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.


Contoh Kasus Perlindungan Konsumen 2

“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:

Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF.

Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.

Penanganan Kasus
Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumen
mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a.    menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yang dibeli konsumen;
b.    menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.
c.    Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia
PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.

3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor.


Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu.

2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama mengenai:
    a. hak-hak dan kewajiban para pihak
    b. kapan perjanjian itu jatuh tempo;
    c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi)

3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Contoh Kasus Pelindungan Konsumen 3

“Kasus Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air”
KASUS
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

ANALISA KASUS
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.

Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.



Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan.Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.


DAFTAR PUSTAKA

http://widiawati-blogs.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

http://silmi-sabila.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

http://cuzzyncuz.wordpress.com/2013/05/20/perlindungan-konsumen-dan-contoh-kasus/

http://agussetiadis.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html

http://nadi4rahayu.blogspot.com/2012/12/makalah-perlindungan-konsumen.html

http://arditanunung.blogspot.com/2013/05/makalah-hukum-bisnis-tentang.html

KASUS LEGISLATIF (Kasus Korupsi Dana Alokasi Umum dan Penyaluran Dana Eks Pinjaman Daerah Kendal Pada 2003/2004)

KASUS LEGISLATIF
(Kasus Korupsi Dana Alokasi Umum  dan Penyaluran Dana Eks Pinjaman Daerah Kendal Pada 2003/2004)

A. Legislatif (Legislathief)

Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Dalam UUD 1945 pasal 19 s.d. 22B secara eksplisit dirumuskan tujuan, fungsi, dan wewenang DPR yang menjadi pedoman lembaga legislatif dalam pola penyelenggaraan negara, optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi.
Selanjutnya, di pasal 20A UUD 1945 ayat 1 ditetapkan fungsi DPR antara lain fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
a.      Fungsi Legislasi
DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
b.      Fungsi Anggaran
DPR membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden.
c.       Fungsi Pengawasan
DPR melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Berdasarkan undang-undang dasar 1945 pasal 1 ayat 2 yang menjelaskan bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang mempunyai tugas sebagai kedaulatan negara. Dengan memiliki beberapa kewenangan atau kekuasaan yaitu kewenangan  untuk menetapkan dan mengubah UU sesuai pasal 3 dan 37 ayat UUD 1945 serta menetapkan garis-garis besar Negara. Selain MPR Lembaga legislatif di Indonesia juga meliputi DPR untuk pusat dan DPRD untuk tingkat provinsi dan kabupaten / kota ditambah DPD sebagai perwakilan daerah. DPR-RI memiliki tugas diantaranya membentuk undang-undang dan melakukan pengawasan (supervisi) terhadap penggunaan APBN, namun apa yang terjadi apabila DPR menyalahgunakan tugas, fungsi, dan kewenangannya? Alhasil yang terjadi adalah perbuatan pidana yang sangat familiar saat ini, yaitu korupsi.
Mungkin tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa “ladang” korupsi bukan hanya birokrasi dikalangan eksekutif yang akan dibahas kemudian, tetapi juga dikalangan legislatif. Mengapa tidak, sudah begitu banyak anggota DPRD maupun DPR dihukum secara berjamaah dalam kasus tindak pidana korupsi. Ketika mereka menjadi terperiksa / tertuduh, mereka ramai-ramai beralibi ‘azas praduga tak bersalah’ dan ‘pembunuhan karakter’, seolah-olah yang terlihat adalah bahwa mereka dizalimi sekaligus bersembunyi dibalik azas yang paling terkenal dalam hukum pidana itu. Anehnya, anggota DPR yang terperiksa dan terpidana itu selalu memiliki anggapan yang sering disampaikan melalui media cetak atau media elektronik sebagai permainan politik.
  1. Kasus Murdoko
  • KPK Periksa Ketua DPRD Jateng Sebagai Tersangka Korupsi APBD
Jakarta - Sepekan berselang sejak ditetapkan sebagai tersangka, Ketua DPRD Jateng Murdoko dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia akan diperiksa terkait kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kendal 2003/2004.
"M diperiksa sebagai tersangka," tutur Kabag Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Selasa (3/4/2012)
Sampai pukul 10.30 WIB, Murdoko belum hadir di kantor KPK. Besar kemungkinan jika dia datang dan kondisi kesehatannya memungkinkan, dia akan ditahan seperti tersangka-tersangka KPK lainnya.
Komisi     Pemberantasan Korupsi membidik Murdoko atas dua kasus dugaan korupsi dengan taksiran kerugian uang negara senilai Rp 4,75 miliar. Kasus ini terjadi saat Murdoko menjabat anggota DPRD Semarang periode 1999-2004.
Kasus pertama, ia diduga melakukan korupsi Dana Alokasi Umum 2003 sebesar Rp 3 miliar dengan modus pinjaman kepada pemerintah Kendal. Kedua, Murdoko juga diduga terbelit kasus penyaluran dana eks pinjaman daerah Kendal pada 2003/2004.
  • Analisis Penyebab Kasus Korupsi Murdoko
Korupsi merupakan tindak kejahatan dimana secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
            Dari kasus diatas mengenai korupsi yang dilakukan oleh Murdoko selaku badan legislative dapat ditarik kesimpulan tantang alasannya melakukan korupsi. Murdoko melakukan korupsi dikarenakan lemahnya tanggung jawab terhadap masyarakat yaitu menggunakan uang rakyat untuk memperkaya dirinya bukan untuk disalurkan kembali ke rakyat yang semestinya. Kurangnya transparasi dalam pengambilan keputusan pemerintah juga merupakan kelonggaran bagi Murdoko untuk melakukan korupsi.
            Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah yang banyak tentu menjadi suatu iming-iming bagi mereka yang tidak kuat menahan ambisi memperkaya diri sendiri. Iman serta jiwa yang kuat akan mental uang diperhitungakn disini oleh masing-masing individu yang melakukannya. Seseorang mempunyai suatu privasi dalam hidupnya yang memang sebenarnya tidak dapat diketahui dengan blak-blakan. Lingkungannya yang tertutup membuat Murdoko mampu melakukan korupsi dengan sesuka hatinya sebagai badan legislative memanfaatkan jaringan kolega teman-temannya maupun teman sejabatannya.
Lemahnya ketertiban umum menjadikan mereka tidak takut akan hukuman yang menjatuhi mereka. Jika di dalam media masa memiliki kekuatan untuk meliput suatu perkara yang sudah terungkap tetapi media memiliki ruang yang membuat dirinya tidak diperkenankan meliput kehidupan dan bagaimana suatu proyek itu dijalankan dengan semestinya.
            Korupsi merupakan tindakan yang melibatkan antara tindakan penggelapan, nepotisme, dan juga penyalahgunaan di bidang pemerintah yang seperti penyogokan, pemerasan, campur tangan pemerintah, dan penipuan. Keinginan untuk terbiasanya hidup glamour dirasakan oleh Murdoko yang menganggap gaji pemerintahan dirasa kecil sehingga untuk menambah pundi-pundinya beliau melakukan korupsi terhadap dana atau suatu proyek yang sedang dikerjakannya.
            Korupsi terjadi dapat dikarenakan di berbagai bidang. Bisa karena lembaganya, peraturan yang dianggap hanya sebagai pil pahit sementara yang terkadang tidak membuat jera karena begitu ringannya, atau bisa karena masyarakatnya sendiri yang tidak tahan melihat uang berlibat ganda.
    Dalam kasus ini Murdoko melanggar UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UUD 1945 pasal 20A ayat 1.
  • Solusi untuk mengatasinya
           Lembaga yang menangani kasus korupsi sebenarnya adalah Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Namun lembaga ini belum bisa ataupun belum maksimal dalam penanganan kasus korupsi yang ada karena masih belum ada yang terungkap masalahnya. Sehingga KPK benar-benar harus bisa memberantas semua kasus Korupsi di Negeri ini oleh karena itu :
Diawali dengan mempunyai jiwa kejujuran karena kejujuranlah yang dapat memberantas korupsi. Apabila individual kita memiliki jiwa kejujuran maka kasus korupsi di negeri ini akan semkin berkurang bahkan perlahan akan mampu terselesaikan.
Pemerintah juga harus tegas memberikan hukum terhadap orang yang tersandung kasus korupsi. Kalau perlu berikan hukuman yang berat agar dapat membuat jera orang-orang yang tersandung korupsi.
Selanjutnya adalah agama. Di mana setiap agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan kebaikan dan melarang melakukan kejahatan. Kita menemukan pendidikan tentang agama secara intens hanya pada pesentren, madrasah, atau yang sejenisnya di agama lain.Jika pendidikan agam lebih diperbanyak dan secara kontinyu, pastinya akan memberikan dampak yang cukup baik untuk menjadikan manusia menjadi lebih baik. Baik dari segi pengetahuan umum, maupun pengetahuan agama.

B. SOLUSI LAIN :
•    Solusi Radikal
Korupsi merupakan extra ordinary crime, maka penanganannya harus dengan cara radikal. Jadi, 'hukuman mati' untuk koruptor harus dilegalkan. Meskipun belum ada terdakwa kasus korupsi dijatuhi hukuman mati, tapi suatu saat pasal ini akan efektif dan harus diberlakukan di Indonesia. Sehingga, hukuman mati menjadi solusi jitu untuk memberantas korupsi. Jika tak ada pemberlakuan hukuman mati kepada koruptor, dan hukuman yang diberikan kepada mereka terlalu ringan, maka hal itu pasti tidak akan menimbulkan efek jera.
Untuk itulah, perlu pembenahan sistem hukum, sehingga tidak ada lagi yang berani melakukan korupsi. Pembenahan itu terkait banyaknya koruptor yang divonis bebas. Apalagi, banyak koruptor mendapat fasilitas mewah di dalam tahanan.
•    Sistem penggajian yang layak.
Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Dan itu sulit berjalan dengan baik bila gaji mereka tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa.
•    Larangan menerima suap dan hadiah.
Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah.
•    Teladan pemimpin.
Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwa, seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dengan penuh amanah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UUD TENTANG PERLINDUNGAN ANAK


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
KUHP Buku Kedua Bab XIV: Kejahatan Terhadap Kesusilaan
Pasal 281
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1.    barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
2.    barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan
Pasal 282
(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.
Pasal 283
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umumya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, benda atau alat itu telah diketahuinya.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa membacakan isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka oranng yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat yang lalu, jika isi tadi telah diketahuinya.
(3) Diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah, barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan, tulis- an, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa sebagaimana dimaksud dalam ayat pertama, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga, bahwa tulisan, gambaran atau benda yang melang- gar kesusilaan atau alat itu adalah alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan.
Pasal 283 bis
Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan tersebut dalam pasal 282 dan 283 dalam menjalankan pencariannya dan ketika itu belum lampau dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi pasti karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian tersebut.
Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1.a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
1.b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
2.a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
2.b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seormig wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1.    barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2.    barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3.    barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 2 87, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 2 86, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1.    pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2.    pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 295
(1) Diancam:
1.    dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2.    dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 - 290 dan 292 - 297, pencabutan hakhak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 - 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keu tungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat, pidmmya dapat ditambah sepertiga
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu

Hukum Adat

                                                                             
                                                                      HUKUM ADAT



A. KATA PENGANTAR 
Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya  dalam  menulis resume  untuk  memenuhi tugas  mata kuliah Hukum Adat.
Resume  ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai  sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
 Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Adat  Bapak  Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.


                                                                                BAB I

                                                                       PEMBAHASAN
 
A.    Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan didalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain didalam hubungan yang beraneka ragam.
Perkawinan ini sekaligus juga meneruskan garis hidup (sosial), orang tuanya (atau salah satu dari orang tuanya). Dalam hubungna kerabatyang bersegi satu, maka perkawinan itu adalah juga suatu syarat yang mengatur kesanak saudaraan semenda (aanverwantschap). Perkawinan merupakan suatu bagian daripada lalu lintas dan yang menyebabkan bagian-bagian clas mempertahankan atau merubah kedudukannya, mempertahankan keseimbangan dalam sukunya, dan dalam lingkungan masyarakat seluruhnya yang bersifat sudah puasdengan seorang dirinnya (zelf genoegzaam).
Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas atau derajat-derajat didalam dan diluar masyarakat dipertahankan. Dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.
Akan tetapi walaupun merupakanurusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, perkawinan itu senantiasa merupakan urusan hidup perseorangan, baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan orang-orang yang juga disegani.

B.    Sistem Perkawinan Adat

Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun  Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga dengan sistem Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang dipengaruhi oleh hukum islam.
Sistem Exogami, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga, misalnya dilingkungan masyarakat Batak. Akan tetapi saat ini sistem perkawinan Exogami suah luntur. Sedangkan pada sistem perkawinan Endogami pria diharuskan mencari calon istri dilingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini berlaku didaerah Toraja Tengah atau dikalangan masyarakat Kasta Bali.
Dalam perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dua sistem perkawinan ini, walaupun ada beberapa daerah yang masih mempertahankan guna kepentingan kerabat dan harta warisan.

C.    Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat

Sebagaimana telah disebutkan diatas, perkawinan secara Hetherogammi merupakan pengaruh dari hukum islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan  mencari calon istri dari luar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dari batas-batas nasab  atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.
Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.
Perkawinan bermadu atau seorang suami mempunyai lebih dari satu istri terdapat hampir disemua lingkungan masyarakat.didalam masyarakat hukum islam beristri lebih dari satu adalah sah berdasarkan Q.S An-Nisa’ : 3 yang artinya:
”Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua, tiga atau empat tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja.”
Tetapi untuk berlaku adil itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan segi keadilannya.
Dengan berlakunya UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 jiwa ketentuan Al-Quran itu disalurkan dalam pasal 3 yang menyatakan:
1.    Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

                                                                          BAB III
                                                                    KESIMPULAN

Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.

HUKUM ACARA PERDATA

HUKUM ACARA PERDATA

                                                                                   BAB I
                                                                         PENDAHULUAN

1. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda beda. Ada kalanya kepentingan mereka itu saling bertentangan yang dapat menimbulkan sengketa. Untuk menghindarkan gejala tersebut maka dibuatlah tata tertib atau ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Dalam kaidah hukum tersebut anggota masyarakat diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa sehingga kepentingan anggota masyarakat yang lain akan terjaga dan terlindungi dan apabila dilanggar maka akan dikenakan sanksi.
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil yaitu kesemua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan kepentingan(hak-hak dan kewajiban-kewajiban) perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil.

2. SIFAT HUKUM PERDATA

Dalam hukum perdata, orang yang merasa haknya dilanggar maka disebut sebagai penggugat sedangkan orang yang ditarik kepengadilan yang dianggap melanggar hak orang lain/ penggugat maka ia disebut tergugat. Apabila penggugat lebih dari satu maka disebut sebagai penggugat l, penggugat ll dan seterusnya, bergitu juga dengan tergugat yang lebih dari satu maka disebut sabagai tergugat l, tergugat ll dan seterusnya.
Menurut yurisprudensi, gugatan ditujukan kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa (putusan MA 1 Agustus 1983 no.1072 K/Sip/1982). Sedangkan istilah turut tergugat yang digunakan untuk menyebut bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban melakukan sesuatu namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan maka harus diikut sertakan.
Diatas telah dikemukankan bahwa penggugat adalah seorang yang merasa bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat. Kata merasa dan dirasa sengaja dipakai karena belum tentu benar-benar melanggar hak penggugat.
Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh pihak penggugat. Hal ini berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan.
Penggugat mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara, dalam batas-batas tertentu penggugat dapat merubah atau mencabut kembali tuntutannya namun apabila tergugat sudah memberikan jawaban maka kedua hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan izin tergugat. Walaupun penggugat memiliki pengaruh besar dalam jalannya perkara namun apabila gugatannya sudah diajukan ke pengadilan maka ia terikat oleh peraturan yang sudah baku yang sifatnya memaksa. Misalnya tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek, banding, kasasi dan peninjauan kembali ditentukan secara cermat dan tenggang waktu tersebut tidak bisa dilanggar, apabila dilanggar maka permohonan yang bersangkutan akan dinyatakan tidak diterima.
Bukan hanya para pihak termasuk kuasanya saja yang terikat dalam peraturan, tata cara atau peraturan permainan hukum acara perdata tetapi juga hakim yang memeriksa perkara tersebut.

3. HUKUM ACARA PERDATA POSITIF
Hukum acara perdata nasional hingga kini belum juga diatur dalam undang-undang begitu juga dengan dengan RUU tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum yang telah disahkan pada sidang pleno B.P. L.P.H.N. ke 13 pada tanggal 12 juni 1967 yang belum juga disahkan.
Kaidah-kaidah hukum acara perdata sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.) yang berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (B.W) dalam buku keempat, Reglement Catatan sipil yang memuat kaidah-kaidah yang semula hanya berlaku untuk golongan tertentu yang baginya berlaku perdata barat.
Ada juga yang terdapat pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. & Tahun 1989 tentang peradilan Agama, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan untuk banding, UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan peradilan Ulangan yang khusus untuk wilayah Jawa dan Madura yang kemudian berdasarkan yurisprudensi kini juga berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura.
Apabila ada masalah-masalah yang tidak diatur dalam H.I.R dan R. Bg maka dapat dipakai peraturan yang terdapat dalam Reglement of de Burgelijke rechtsvordering (R.V.). Surat Edaran Mahkamah Agung pun mempengaruhi hukum acara perdata misalnya S.E.M.A No.02 tahun 1964 yang berisi intruksi penghapusan sandera.

4. SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA H.I.R.

Perancang H.I.R. adalah ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhr. Mr. H. L. Wichers yang merupakan seorang jurist bangsawan pada masa itu. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jendral Jan Jacob R. untuk merencanakan sebuah reglemant tentang administrasi, polisi, acara perdata,dan acara pidana bagi golongan Indonesia yang waktu itu bagi golongan Indonesia berlaku Staatblad 1819 No. 20 yang memuat 7 pasal perihal hUkum acara perdata.
Dalam waktu 8 bulan, ia telah menyelesaikan rancangannya serta peraturan dan penjelasannya. Kemudian didengarkannya pendapat para hakim agung, diantara mereka ada yang setuju dan ada yang tidak setuju kemudian mengajukan usul untuk ditambah dengan lembaga penggabungan, penjaminan, intervensi dan rekes sipil seperti pada R.V., namun hal itu ditentang dengan alasan
1. Kalau ditambah-tambah menjadi tidak sederhana,
2. R.V. saja yang diberlakukan jika maksudnya ingin lengkap.
Kemudian dengan usulan seorang hakim yang berpengalaman akhirnya ditambahkan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang setelah diubah dan ditambah kini jadi pasal yang penting yaitu pasal 393 H.I.R. karena didalamnya dinyatakan dengan tegas bahwa H.I.R berlaku, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yaitu peraturan yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam R.V.
Rancangan tersebut diterima oleh Gubernur Jendral dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848 dengan Stbl. 1848 No.16 yang disebut sebagai Het Inlands Reglement (I.R.) dan mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848. Pada tanggal 29 september 1849 I.R disahkan dengan Firman raja No.93 dan diumumkan dengan Stbl.1849 No.63.
Perubahan dan penambahan terjadi beberapa kali namun pada tahun 1941 terjadi perubahan yang mendalam karena terbentuknya Lembaga Kejaksaan. Karena perubahan yang mendalam dalam bahasa belanda adalah herzien maka selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement. Setelah Negara kita merdeka maka diadakan penerjemahan maka H.I.R disebut pula dengan R.I.B.(reglement Indonesia Baru)

                                                                            BAB II
                                                       CARA MENGAJUKAN GUGAT

1. PENGERTIAN PERMOHONAN DAN GUGATAN

Dalam perkara gugatan dikenal istilah penggugat dan tergugat yang digunakan untuk menyebutkan pihak yang merasa haknya dilanggar dan pihak yang dirasa melanggar hak penggugat, sedangkan dalam permohonan dikenal istilah pemohon saja untuk menyebutkan pihak yang memohonkan sesuatu ke pengadilan.
Gugatan dan permohonan mempunyai perbedaan yaitu dalam gugatan adanya konflik atau sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan di pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam gugatan hakim berfungsi mengadili dan memutuskan siapa diantara pihak penggugat dan tergugat yang benar dan yang tidak benar. Dalam permohonan hakim sekedar bertugas menjadi seorang tenaga tata usaha negara yang mengeluarkan suatu ketetapan atau lazim disebut putusan declaratoir.
Permohonan biasanya mengenai permohonan pengangkatan anak angkat, Pewalian, pengampuan, perbaikan catatan sipil dan sebagainya.

2. PERIHAL KEKUASAAN MUTLAK DAN KEKUASAAN RELATIF

Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan yaitu wewenang mutlak atau absolute competentie dan wewenang relatif atau relative competentie.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili atau attributie van rechtsmacht. Contohnya masalah perceraian bagi yang beragama islam maka berdasarkan UU no.1 tahun 1974 pasal 63(1)a wewenang tersebut ada pada pengadilan agama. Untuk masalah warisan, sewa menyewa, utang piutang, jual beli, gadai, hipotik berada dalam wewenang pengadilan negeri.
Wewenang relatif atau distributie van rechtmacht, mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengdilan yang serupa. Adapun asas yang berwenang adalah pengadiilan negeri tempat tinggal tergugat atau disebut actor sequitur forum rei.
Terhadap asa Actor Sequitur Forum Rei, terdapat beberpa pengecualian misalnya terdapat pada pasal 118 H.I.R yaitu sebagai berikut:
1. Gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat, apabila tidak diketahui tmpat tinggal tergugat;
2. Apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, penggugatlah yang menentukan pilihan dimana gugatan tersebut diajukan;
3. Akan tetapi pad ad 2 tadi apabila pihak tergugat ada 2 prang misalnya yang 1 orang yang berhutan dan yang lain sebagai penjamin maka gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri pihak berhutang. Secara analogis dengan ketentuan yang termuat dalmam pasal 118(2)bagian akhir ini, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat;
4. Apabila ditempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugat diajukan kepada ketua pengadilan negari tempat tinggal penggugat;
5. Dalam ad 4 tadi apabila gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang itu terletak. Gugatan ini harus tentang barang tetap artinya untuk mendapatkan barang tetap tersebut;
6. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, guga diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal yang dilih dalam akta tersebut.
Pengecualian-pengecualian lain yang terdapat pada B.W, R.V dan UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan antara lain:
1. apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka pengedalinan, gugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tingal orang tuanya, walinya atau pengampunya(pasal 21 B.W)
2. yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri di daerah mana ia bekerja (pasal 20 B.W)
3. buruh yang menginap ditempat majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikannnya.
4. tentang kepailitan, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri yang menyatakan tergugat pailit(pasal 99 ayat 15 R.V)

3. PERIHAL GUGAT LISAN DAN TERTULIS

Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya yang telah diberi surat kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani surat gugatan tersebut.. Surat permintaan itu disebut sebagai surat gugatan.
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang berwemnang mengadili perkara tersebut, berdasarkan ketentuan pasal 120 HIR maka ketua pengadilan negeri akan membuat gugatan yang dimaksud. Untuk surat gugatan yang bercap jempol harus dilegalisasi terlebih dahulu sesuai dengan putusan mahkamah agung tanggal 24 agustus 1978 no. 769 K/Sip/1975.
Surat gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan. Dalam hokum acara perdata bagian dari gugat disebut Fundamenteum Petendi atau posita yang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum. Surat gugatan juga harus dilengkapi dengan petitum yaitu hal-hal apa yang diinginkan oleh penggugat agar diputuskan dan hakim wajib mengadili semua bagian dai petitum serta dilarang untuk memutuskan lebih dari apa yang diminta penggugat.

5. PERIHAL PARA PIHAK YANG BERPERKARA, PERWAKILAN ORANG, BADAN HUKUM DAN NEGARA


Pada asasnya setip orang boleh berperkara di depan pengadilan namun ada pengecualian yaitu mereka yang belum dewasa dan orang yang sakit ingatan, mereka itu harus diwakili oleh orang tua atau walinya atau juga pengampunya dalam berperkara.
Perseroan Terbatas yaitu suatu badan hukum dapat juga menjadi pihak yang berperkara. Yang ahrus bertindak untuk dan atas nama badan hukum tersebut adalah direktur PT tersebut.
Apabila negara yang digugat maka gugatan harus diajukan terhadap pemerintahan republik Indonesia. Gugatan tersebut dapat diajukan di pengadilan negeri Jakarta maupun luar Jakarta tergantung dimana perbuatan tersebut dilakukan.
Seseorang yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus merupakan wakil yang sah, mempunyai surat kuasa yang menyebutkan nomor perkara, pengadilan negeri dimana dan untuk apa surat kuasa tersebut.
Surat kuasa khusus dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik dihadapkan seorang notaris. Surat kuasa tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain pada bagian akhirnya memuat kalimat”surat kuasa ini diberikan dengan hak subtitusi” yang artinya menggantikan orang yang semula diberi kuasa dan orang yang telah melimpahkan kuasanya maka tidak berhak lagi untuk mewakili pihak yang bersangkuatan.
Surat kuasa juga dapat dilakukan dengan lisan dimuka persidangan yang nantinya dimuat secara lengkap dalam berita acara pemeriksaan sidang. Apabila pemberian kuasa tersebut untuk mengajukan banding atau kasasi maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus.

                                                                       BAB IIl
                                                   PERIHAL ACARA ISTIMEWA


l. PENGERTIAN GUGUR DAN PERSTEK
Jika pada hari sidang yang ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat dan atau tidak menyuruh wakilnya maka berlakulah acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR akan tetapi bila salah satu penggugat atau tergugat hadir maka tidak berlakulah hal acara istimewa ini.
Pada pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur yang berbunyi sebagai berikut :
“Jikalau sip[enggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi sipenggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya sekali lagi.”
Dalam bunyi pasal 124 HIR terdapat kalimat “telah dipanggil dengan patut”. Artinya yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut UU yang dilakukan jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu. Apabila cara pemanggilan tidak dilakukan dengan sah maka hakim sekali lagi akan menyuruh juru sita untuk memanggil pihak penggugat tersebut dan biaya pemanggilan tersebut menjadi tanggungan jurusita.
Dalam hal penggugat, sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para ahliwarisnya untuk meneruskan gugatan atau justru mencabut gugatan tersebut. Ahliwaris datang menghadap pada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk mengutarakan maksudnyadan surat gugatan tersebut harus diubah dengan mencantumkan para ahli waris sebagai penggugat, apabila ada salah seorang ahli waris tidak mau ikut menggugat, agar gugatan tersebut tidak dinyatakan tidak diterima maka ahli waris yang tidak mau menggugat diikut sertakan sebagai turut tergugat, sekedar untuk tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Apabila gugat digugurkan maka dibuatlah surat putusan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
Perstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia telah menurut hukum acara harus datang. Perstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan pasal 126 HIR, juga pihak tergufgat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Persoalan perstek diatur dalam pasal 125 HIR.
Apabila tergugat / para tergugat hadir pada sidang pertama dan tidak hadir dalam sidang-sidang berikutnya lalu hakim mengundurkan sidang maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir(dengan adanya perlawanan). Dalam pemeriksaan apabila ada seorang atau lebih dari sekian banyak tergugat ti9dak pernah hadir dalam sidang pemeriksaan perkara yang bersangkutan maka harus dijatuhkan putusan contradictoir.
Pada pasal 125 ayat 1 HIR menentukan bahwa untuk putusan perstek yang mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut :
1. tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan,
2. ia/mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap,
3. ia/mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut,
4. petitum tidak melawan hak,
5. petitum beralasan.

2. CARA PEMBERITAHUAN PUTUSAN PERSTEK
Putusan perstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya diterangkan bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek tersebut kepada pengadilan negeri yang sama, dalan tenggang waktu dan dengan cara yang telah ditentukan dalam pasal 129 HIR.
Dalam surat putusan perstek tertulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis, didalamnya juga menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi.
Seperti halnya berita acara pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang maka surat pemberitahuan putusan perstek dibuat oleh juru sita atas sumpah jabatan dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

3. KEHARUSAN PENGUNDURAN SIDANG APABILA SALAH SEORANG TERGUGAT PADA SIDANG PERTAMA TIDAK DATANG

Ketentuan pasal 126 HIR memberi kebebasan pada hakim apabila dianggap perluy untuk mengundurkan sidang serta memanggil kembali para pihak, bila para pengugat atau salah seorangnya ataupun para tergugat atau salah seorangnya tidak hadir dalam sidang pertama. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keharusan untuk menjatuhkan putusan perstek atau putusan gugur.
Pada pasal 127 HIR menegaskan apabila pada sidang yang pertama salah seorang tergugat tidak datang ataupun tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya untuk datang kepengadilan maka pemeriksaan perkara akan ditangguhkan pada hari persidangan lain. Tetapi apabila yang tidak datang itu adalah si penggugat maka sidang dapat diteruskan. Bila tergugat telah dipanggil lagi oleh pengadilan dan tetap tidak datang maka persidangan tetap dilanjutkan dan dianggap tergugat tidak mengajukan perlawanan dan akan diputus secara contradictoir.

4. CARA MENGAJUKAN PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN PERSTEK
Cara mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek diatur dalam pasal 129 HIR. Menurut pasal 129 ayat 1 HIR, yang dapat mengajukan gugatan adalah tergugat yang dihukum dengan putusan tidak hadir dan tidak menerima dengan putusan itu. Perlawanan terhadap putusan perstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa.
Tenggang waktu mengajukan perlawanan adalah :
1. dalam waktu 14 hari setelah putusan perstek diberituahukan kepada pihak yang kalah itu sendiri.
2. sampai hari ke-8 setelah teguran seperti yang dimaksud dalam pasal 196 HIR apabila teguran itu datang menghadap
3. kalau ia tidak datang waktu ditegur, sampai hari ke-8 setelah sita eksekutor.

Perlawanan terhadap putusan perstek hanya dapat diajukan 1 kali saja atrinya hanya terhadap putusan perstek tang pertama saja sedangkan pada putusan perstek yang kedua yang bersangkutan hanya diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding.
Perihal mengenai banding ini diatur dalam pasal 8 UU no. 20 tahun 1947 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Dari putusan pengadilan negeri yang dijatuhkan di luar hadir tergugat, tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulang melainkan hanya dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat minta pemeriksaan ulang tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
2. jika, dari sebab apapun juga tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalan pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh menggunakan pemeriksaan ulang.
Dari pasal tersebut diatas tampak jelas bahwa tergugat yang untuk pertama kalinya dikalahkan dengan putusan perstek, tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding melainkan hanya diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek saja sesuai dengan pasal 129 HIR.

                                                                             BAB IV
                                PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN


1. SIFAT DAN ARTI AKTA PERDAMAIAN DIPERBANDINGKAN DENGAN PERDAMAIAN DILUAR SIDANG

Mungkin untuk menyelesaikan sebuah sengketa antara 2 pihak atau lebih dapat dipilih penyelesaian diluar siding secara damai dapat dengan bantuan teman baik ataupun kepala desa, apabila jalan damai itu berhasil maka gugatan harus dicabut tetapi bila tidak maka sidang akan dilanjutkan.
Adapun cara berdamai di depan hakim selama perkara diperiksa. Menurut ketentuan pasal 130 ayat 1 HIR, hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan negeri. Apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Oleh karana perdamaian bersifat mau sama mau antar pihak maka terhadap putusan damai itu menurut ketentuan pasal 130 ayat 3 HIR yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan atau kasasi

2. PERIHAL JAWABAN TERGUGAT, GUGAT GINUGAT DAN EKSEPSI

Perihal jawaban tergugat, gugat ginugat dan eksepsi merupakan persoalan-persoalan yang akan dibahas secara bersama-sama dan sekaligus maka pada umumnya diajukan bersama-sama dalam jawaban tergugat. Sesungguhnya HIR menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan namun kini sudah lazim jawaban tergugat diajukan secara tertulis dalam bentuk replik yang kemudiam dijawab oleh pihak penggugat secara tertulis juga dalam bentuk duplik.jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam :
1. jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi
2. jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (Verweer ten pricipale)
tentang tangkisan / eksepsi, HIR hanya mengenal 1 macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim.
Eksepsi tersebut terdiri dari 2 macam yaitu eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif, kedua eksepsi itu disebut eksepsi prosesuil dal hukum acara perdata.
Eksepsi yang berdasarkan hukum materiil ada 2 macam yakni :
1. eksepsi dilatoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan
2. eksepsi peremptoir yaitu eksepsi yang menghalangi dikabuklannnya gugatan.
Eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut adalh eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk wewenang pengadilan negeri akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan lain. Hal ini diatur dalam pasal 134 HIR. Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung bahkan hakim wajib karena jabatannya.
Eksepsi mengenai kekuasaan relatif adal eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tertentu tidak berkuasan mengadili perkara tertentu.
Jawaban tergugat yang mengenai pokok perkara hendaknya dibuat dengan jelas, pendek dan berisi, langsung menjawab pokok persoalan dengan mengemukakan alsan-alasan yang mendasar.
Perihat gugat ginugat, gugat balasan, gugat balik, atau gugat rekonpensi diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b HIR dari kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat apabila ia atau mereka kehendaki dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan atau gugat balik terhadap penggugat.
Pada asasnya gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara, pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebut dalam pasal 132b HIR
1. jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat sedang gugat balasan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya
2. jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asal dimasukkan, tidak berhak oleh karena berhubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan
3. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan
4. jika dalam pemeriksaan tingklat pertama tidak dimasukkan gugat balasan maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balasan.
Gugat balasan pun dapat diajukan secar lisan dipersidangan yang nantinya akan dicatat dalm berita acara sidang. Hal ini biasa terjadi di kota-kota kecil yang penduduknya memiliki perkara perdata. Gugat balasan biasanya diputuskan dalam satu putusan bersama gugat asal. Pertimbangan hukumnya yang menuat 2 hal yaitu pertimbangan dalam kopensi dan pertimbangan dalam rekopensi.
Gugat balasan sangat bermanfaat bagi pihak yang berperkara seperti menghemat ongkos perkara, mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian, menghindarkan putusan yang saling bertentangan

3. PERIHAL M,ENAMBAH ATAU MENGUBAH SURAT GUGATAN

HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugatan, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sejauhmana penambahan surat gugat itu akan diperkenankan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan surat gugat diperkenankan asalkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugikan.
Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat diajukan setelah tergugat mengajukan jawaban serta harus mendapat persetujuan dari tergugat apabila tergugat tidak setuju dengan hal itu maka permohonan akan ditolak. Sebaliknya dalam hal pengurangan gugatan biasanya akan diperbolehkan oleh hakim.
HIR tidak mengatur mengenai perihal pencabutan gugat akan tetapi dalam praktek prihal pencabutan gugatan senantiasa diizinkan selama pihak tergugat tidak mengajukan jawaban.

4. PENGIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DALAM PROSES

Perihal pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam HIR. Namun apbila dibutuhkan dalam praktek dapat mengambil alih bentuk yang terdapat dalam peraturan lain seprti vrijwaring, voeging, tussenkomst yang berpedoman pada RV tapi disesuaikan dengan kebuituhan praktek.
Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, diluar belah pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut. Cara mengajukannya bahwa pihak tergugat dalam jawabannya secar lisan atau tertulis mohon kepada majelis hakim agar diperkenankan untuk memanggil seorang sebagai pihak yang turut berperkar dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut untuk melindungi tergugat. Permohonan semacam ini disebut gugatan insidentil dandengan putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggapan tidak beralasan, putusan sela tersebut bdisebut putusan insidentil.
Penggugat dalam pokok perkara ditanya pendapatnya mengenai jawaban yang diajukan tergugat dalam vrijwaring tersebut. Dalam hal ini disampingtergugatb dapat mengajukanpermohonan vrijwaring juga sepeti dalam gugatan biasa dalam pokok perkara dapat diajukan gugat balasan. Maka akan terjadi bahwa penggugat semula menjadi penggugat konpensi/ tergugat dalam rekonpensi dan tergugat semula menjadi tergugat dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi sedang pihak ketiga yang ditarik daln perkara ini menjadi tergugat dalam vrijwaring.
Hampir sama keadaannya dengan penjaminan tersebut, tussenkomst atau intervensi adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik terhadap penggugat maupun kepada tergugat melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.Oleh karena ada intervensi ini, maka perdebatan menjadi perdebatan segitiga. Kemudian putusan dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan.
Lain lagi dari percampuran pihak ketiga yang merasa berkepentingan lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin mkenggabungkan dirikepada salah satu pihak. Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk ikut proses terlebih dahulu harus didengar kesemuanya pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim mempertimbangkan kepentingan masing-masing sebelum menolak atau mengabulkan percampuran pihak ketiga tersebut.

5. PERIHAL KUMULASI GUGATAN DAN PENGGABUNGAN PERKARA


Kumulasi gugatan tidak diatur dalam HIR. Pada umumnya setiap gugatan harus berdiri sendiri, penggabungangugat hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertantuyaitu apabila pihak penggugat atau tergugat yang masih itu-itu juga orangnya.
Apabila suatu gugatan ditujukan kepada seseorang dalam 2 kualitas, hal itu tidak diperkenankan. Misalnya beberapa penggugat secara bersama-sama menggugat beberapa tergugat dalam satu surat gugat, agar mereka membayar utang masing-masing kepada masing-masing penggugat. Hal ini tidak diperkenankan karena perkara-perkara itu tidak mempunyai koneksitas yang satu dengan yang lainnya.
Apabila pada 1 pengadilan ada 2 perkara yang saling berhubungan apalagi para pihak itu juga yang saling berperkara maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar perkara tersebut digabungkan. Permohonan penggabungan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugat yang kedua atau gugat yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat maka hal itu harus diajukan bersama-sama dalam jawaban pertama. Untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan putrusan sela yang disebut putusan insidentil. Penggabungan perkara dan kumulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV.

                                                                         BAB V
                                                        PERIHAL PEMBUKTIAN



1. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN SERTA ALAT-ALAT BUKTI

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatanbenar-benar ada atau tidak. Adanya hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi, maka gugatannya ditolak, apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya.
Selain untuk hal-hal yang telah diakui setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini dalam hukum acara perdata disebut faktor notoir. Adalah sudah diketahui khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum, merupakan notoir, bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintahan tutup dan harga tanah di kota, terutama di Jakarta, lebih mahal daripada harga tanah di desa. Fakta notoir merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan alat-alat tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hokum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Pasal 162 H.I.R berbunyi bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok yang berikut ini. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perintah kepada hakim dalam hal hukum pembuktian harus berpokok pangkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR dari pasal 163 sampai seterusnya.
Perihal tersebut dijawab oleh pasal 164 H.I.R yang menyebutkan 5 macam alat-alat bukti, ialah:
1. Bukti surat
2. Bukti saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpahan
Dalam praktek masih terdapat satu bukti lagi yang sering dipergunakan, ialah “pengetahuan hakim”. Yang dimaksud “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam siding, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya.

2. BUKTI SURAT
Dalam pasal 137 HIR yang berbunyi kedua belah pihak boleh timbale balik menuntut melihat surat keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan kepada hakim. Hal ini memungkinkan kepada ke-2 belah pihak untuk minta dari pihak lawan untuk menyerahkan kepada hakim surat-surat yang berhubungan dengan perkara.
Pada pasal 138 HIR mengatur bagaimana cara bertindak apabila salah satu pihak menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Apabila terjadi demikian maka pengadilan negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal itu. Dalam proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utam. Acara perdata mengenal 3 macam surat.
1. surat biasa, merupakan surat yang tidak sengaja dijadikan sebagai bukti dan tidak dibuat secara formal.
2. Surat otentik,surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya. Surat ini mempunyai kekuatan bukti formil dan materil bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya sedangkan bagi pihak ketiga hanya sebagai bukti bebas serta mempunyai kekuatan yang mengikat.
3. Surat dibawah tangan,surat ini yang isi dan tanda tangannya maka kekuatan pembuktiannya hamper sama dengan akta otentik.

3. BUKTI SAKSI
Dalam suasana hokum adat dikenal 2 macam saksi yaitu saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang dipersoalkan dan saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hokum itu dilakukan sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hokum tersebut.
Dalam pasal 145 HIR yang berbunyi :
1. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
b. Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai
c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun
d. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang
2. Akan tetapi keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hokum sipil daripada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
3. Orang yang tersebut dalam pasal 146 HIR 1 a dan b tidak berhak minta mengundurkan diri daripada member kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka
4. Pengadilan negeri berkuasa akan mendengar diluar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang-kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.
Dapat pula terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara perdata didengar kesaksian orang asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia atau orang bisu tuli, mengenaai hal itu pada pasal 151 HIR memberikan petunjuk agar supaya pasal 284 dan 285 HIR tentang saksi dalam pemeriksaan perkara pidana diberlakukan dalam hal ini.

4. PERSANGKAAN

Persangkaan dalam hokum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hokum acara pidana. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas.
Menurut pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, yang dihubungakan dengan perbuatanm-perbuatan tertantu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu antara lain :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal
2. Hal-hal dimana oleh UU diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hokum yang tetap
4. Kekuatan yang oleh UU diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.

5. PENGAKUAN
Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hokum acara perdata :
1. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang
2. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang
Kedua pengakuan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang berbeda.
Menrut ketentuan pasal 174 HIR bahwa pengkuan yang diucapkan didepan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orangyang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri, baikpun diucapkan oleh orang yang istimewa dikuasakan untuk mengatakannya.
Pengakuan diluar sidang yang dilakuakan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terltak pada bahwa pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikan lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang pengakuan diluar sidang yang dilakukan secara lisan apabila dikehendaki agar dianggap terbuktia adanya pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau bukti lainnya.
Tentang pengakuan berembel-embel ada 2 yaitu :
1. Pengakuan dengan klausula
2. Pengakuan dengan kwalifikasi

6. BUKTI SUMPAH
Pasal pasal dari HIR yang mengatur perihal sumpah adalah pasal-pasal 155, 156, 158 dan 177.
Yang disumpah adalah salah satu pihak oleh karana yang menjadi bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah bukannya sumpah itu sendiri.
Ada 2 macam sumpah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim dan supah yang dimohonkan oleh pihak lawan, baik sumpah penambah (pasal 155 HIR) maupun sumpah pemutus bermaksud mennyelesaikan perkara.
Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus ataupun sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Oleh karan sumpah itu disebut juga sumpah penentu.