HUKUM ADAT
A. KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya dalam menulis resume untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Resume ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Adat Bapak Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
BAB I
PEMBAHASAN
Resume ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Adat Bapak Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
BAB I
PEMBAHASAN
A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan didalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain didalam hubungan yang beraneka ragam.
Perkawinan ini sekaligus juga meneruskan garis hidup (sosial), orang tuanya (atau salah satu dari orang tuanya). Dalam hubungna kerabatyang bersegi satu, maka perkawinan itu adalah juga suatu syarat yang mengatur kesanak saudaraan semenda (aanverwantschap). Perkawinan merupakan suatu bagian daripada lalu lintas dan yang menyebabkan bagian-bagian clas mempertahankan atau merubah kedudukannya, mempertahankan keseimbangan dalam sukunya, dan dalam lingkungan masyarakat seluruhnya yang bersifat sudah puasdengan seorang dirinnya (zelf genoegzaam).
Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas atau derajat-derajat didalam dan diluar masyarakat dipertahankan. Dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.
Akan tetapi walaupun merupakanurusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, perkawinan itu senantiasa merupakan urusan hidup perseorangan, baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan orang-orang yang juga disegani.
B. Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga dengan sistem Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang dipengaruhi oleh hukum islam.
Sistem Exogami, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga, misalnya dilingkungan masyarakat Batak. Akan tetapi saat ini sistem perkawinan Exogami suah luntur. Sedangkan pada sistem perkawinan Endogami pria diharuskan mencari calon istri dilingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini berlaku didaerah Toraja Tengah atau dikalangan masyarakat Kasta Bali.
Dalam perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dua sistem perkawinan ini, walaupun ada beberapa daerah yang masih mempertahankan guna kepentingan kerabat dan harta warisan.
C. Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat
Sebagaimana telah disebutkan diatas, perkawinan secara Hetherogammi merupakan pengaruh dari hukum islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan mencari calon istri dari luar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dari batas-batas nasab atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.
Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.
Perkawinan bermadu atau seorang suami mempunyai lebih dari satu istri terdapat hampir disemua lingkungan masyarakat.didalam masyarakat hukum islam beristri lebih dari satu adalah sah berdasarkan Q.S An-Nisa’ : 3 yang artinya:
”Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua, tiga atau empat tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja.”
Tetapi untuk berlaku adil itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan segi keadilannya.
Dengan berlakunya UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 jiwa ketentuan Al-Quran itu disalurkan dalam pasal 3 yang menyatakan:
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
BAB III
KESIMPULAN
Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.
0 comments:
Post a Comment