Definisi Riba
Arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
2.
Dasar hukum
a.
Surat Ali Imron, ayat 30:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.
b.
SuratAr-Rum,
ayat 39:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
3.
Alasan riba haram
Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:
a.
Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti.
b.
Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya.”
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.
c.
Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja.
(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari
segi perekonomian).
d.
Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara
sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. (Ini suatu alasan yang dapat
diterima, dipandang dari segi etika).
e.
Pada umumnya pemberi piutang
adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu, maka
pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya
untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. (Ini ditinjau
dari segi sosial).
f.
Dalam riba terdapat unsur
pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion
de l’home par l’hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang
yang miskin tetap miskin.
4.
Sejarah pengharaman riba
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (النساء : 160 ،161 )
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar
hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal
menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma
basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat,“Ya, menyusut.”
Maka Beliaupun melarangnya.[1]Tidak
sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau
salah satunya mengandung unsur lain.
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku
pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu
ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari
dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, maka Beliau
bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.”[2]
5.
Pengertian bunga bank
Bunga bank merupakan balas jasa yang diberikan oleh bank
berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual
sebuah produknya. Selain hal tersebut bunga juga dapat diartikan harga yang
harus dibayar kepada seorang nasabah yang memiliki sebuah simpanan dengan
jharus dibayar oleh nasabah bank yaitu nasabah yang memperoleh pinjaman.
6.
Hukum bunga bank
Bunga bank ini termasuk riba, sehingga bunga bank juga diharamkan
dalam ajaran Islam. Bedanya riba dengan bunga/rente (bank) yakni riba adalah
untuk pinjaman yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga/rente (bank) adalah
untuk pinjaman yang bersifat produktif. Namun demikian, pada hakikatnya baik
riba, bunga/rente atau semacamnya sama saja prakteknya, dan juga memberatkan
bagi peminjam.
Pendapat Ulama
Mengenai Buna Bank
No
|
Pendapat
Ulama
|
Hukum
|
Alasan
|
Jumhur (mayoritas/kebanyakan)
Ulama’
|
Haram
|
Sama dengan riba, segala keuntungan atas
berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk
bunga bank
|
|
Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi
Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi
|
Haram
|
Bunga bank
itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam
|
|
Dr. Sayid Thantawi
Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir
|
Boleh
|
Perkataan
yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam tanpa ditopang dengan
kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan perekonomian tanpa ditopang
perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba
|
|
rapat komisi VI dalam Musyawarah
Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas
Muhammadiyah Malang
|
Haram
|
Bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan.
|
|
A. Hasan, pendiri dan pemimpin
Pesantren Bangil (Persis)
|
Tidak Haram
|
Bunga bank seperti di negara kita ini bukan
riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan
dalam surat Ali Imran ayat 130.
|
|
Musyawarah nasional alim ulama NU
pada 1992 di Lampung
|
Tafshil
|
Boleh ketika dalam keadaan darurat
|
|
Al-Syirbashi
|
Tafshil
|
Bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang
yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak.
Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu
dengan bunga.
|
[1] (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343,
Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).