This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, April 3, 2016

UUD PERHUTANAN: LAHAN HUTAN

LAHAN HUTAN
 
A.    Landasan lahan hutan
Pengertian hutan menurut UU NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.
Dengan pengertian hutan di atas sama halnya dengan yang lain (objek pemanfaatan alam) penuh dengan tindakan yang merugikan, misalnya saja dalam hal illegal logging, pembakaran lahan secara disengaja, alih fungsi hutan, penambangan di wilayah hutan dll.  Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka untuk melindungi hal-hal yang dapat merugikan lahan hutan, baik lingkungan maupun hal-hal yang menyangkut ruang lingkup hutan maka di aturlah UU tersebut, yaitu UU NO 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN. 

 Dalam UU tersebudi jelaskan dalam Asas, Tujuan, Dan Ruang Lingkup:
Pasal 2
Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan berasaskan:
 a. keadilan dan kepastian hukum;
b. keberlanjutan;
c. tanggung jawab negara;
d. partisipasi masyarakat;
e. tanggung gugat;
f. prioritas; dan
g. keterpaduan dan koordinasi.
Pasal 3
Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan:
a. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan;
b. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;
c. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan
d. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Pasal 4
Ruang lingkup pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan meliputi:
a. pencegahan perusakan hutan;
b. pemberantasan perusakan hutan;
c. kelembagaan;
d. peran serta masyarakat;
e. kerja sama internasional;
f. pelindungan saksi, pelapor, dan informan;
g. pembiayaan; dan
h. sanksi.

B.    Prosedur penyelesaian kasus Lahan Hutan

Dalam kasus ini (lahan hutan) masyarakat bisa saja diwakili oleh pemerintah dalam hal meliindungi hak-hak lingkungan sebagaimana UUD 11945 pasal 33 ayat 3 dikarenakan lingkungan hutan yang rusak oleh aktivitas yang illegal . Misalnya dalam kebakaran asap di Riau dan sekitarnya yang merugikan atas rakyat yang disebabkan oleh pembakaran hutan illegal. Hal ini menurunkan kualitas hidup seseorang karena seringnya menghirup udara yang mengandung karbondioksida tinggi (kabut     asap).
    Dalam penggugataan terhadap oknum koorperasi yang melakukan tindak pembakaran hutan illegal, pemerintah atas nama rakyat yang menjadi korban asap bisa melakukan hak warga Negara.  Jadi pemerintah mewakili hak gugat itu. Jalan yang ditempuh bisa menggunakan class action, sesuai dengan pengertiannya, hal yang perlu dicatat dalam kasus ini yaitu tidak efektifnya gugatan jika di lakukan sendiri-sendiri.
    Dalam kasus kebakaran hutan hal yang paling dirasakan adalah udara yang tidak sehat yang dapat merusak jaringan pernafasan, jelas semua penduduk di Riau disekitarnya terkena imbas dari pembakaran lahan tersebut. Aka dapat disimpulkan pemerintah dapat mewakili hak gugat rakyat terhadap koorperasi yang illegal dalam melkaukan pemakaran hutan.

C.    Kritik dan saran
Kasus pembakaran lahan hutan sejatinya menjadi issue yang sudah lama di Negara kita. Hapir setiap tahun di musim kemarau kebakaran hutan terjadi baik di sHapir setiap tahun di musim kemarau kebakaran hutan terjadi baik di sengaja maupun tidak disengaja, baik illegal maupun legal. Akan tetapi setiap penanganannya sulit di laksanakan oleh pemerintah Negara, paling banter hanya mereka LSM maupun organisasi yang pro dengan lingkungan.
Pada hakikatnya pemerintah dengan landasan melindungi kesejahteraan rakyat dapat menuntut pihak-pihak yang bermain-main atas pembakaran hutan yang illegal, hal ini sesuai prinsi dasar Negara yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Akan tetapi entah karena tidak menghiraukan atau bahkan lebih-lebih “bermain” dengan koorperasi yang membutuhkan lahan guna kepentingannya sendiri.
Saran kepada pemerintah akan kerusakan lahan hutan maupun lingkungan hidup tetap menjaga kewibawaan dan cepat serta tanggap dalam menagani kasus-kasus tersebut, entah itu dari Kementrian Kehutanan, WALHI, maupun pejabat yang bertanggung jawab atas semua lingkungan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.   

KOPRASI

A.    Pengertian
Secara umum  yang dimaksudkan dengan koperasi adalah suatu badan usaha besama bergerak dalam bidang  perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomian lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, berkewajiban melakukan suatu usaha yangbertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.

Sedangkan dalam pengertian koperasai dalam UU No 12 tahun 1967 adalah “organisasi ekonomi rakyat yang berwatak social, beranggotakan orang-orang, atau badan hokum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan” (Pasal 3 UU no. 12/1967) .
Tetapi pengertian dalan UU ini telah dihapus seiring diundangnya UU No. 25 tahun 1992. Koperasi menurut UU ini adalah “badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hokum koperasi dengan melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan rakyat yang bedasar atas asas kekeluargaan. 

Pengertian lain yang dikemukakan oleh Hedrojogi dalam bukunya Koperasai (azaz-azaz, teori dan praktik) menyebutkan definisi koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bergabung secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, social dan budaya mereka yang sama melalui perusahaan yang dimiliki dan diawasi secara demokratis.
Maka kesemua pengertian di atas koperasi pokok-pokonya adalah pembenahan dalam bidang ekonomi yang berdasarkan kesepakatan anggota dengan di dasari atas prinsip-prinsip bersama menguntungkan satu sama lain tanpa adanya perbedaan. 

B.    Pembentukan koperasi dan syarat-syaratnya
Dalam setiap organisasi kepngurusan yang melibatkan system structural, maka dalam hal itu butuh adanya ketentuan-ketentuan sebagai syarat atas terbentuknya organisasi tersebut. Dalam hakikatnya pembentukan koperasi merupakan suatu perkumpulan yang mempunyai visi dan misi yang sama, mempunyai kepentingan bersama yaitu meningkatkan taraf hidup sesame anggotanya dan kalau mungkin meningkatkan hidup masyarakat di lingkungan dareahnya yang sama-sama ekonominya lemah.

Di dalam pembetukan koperasi dapat terbentuk karena adanya beberapa factor atau pendorong yang menyebabkan terbentukna koperasi, antara lain :
1.    Inisiatif dari seseorang atau beberapa orang dari kelompok orang-orang yang merasa senasib (golongan ekonomi lemah) yang telah sepakat untuk mencari jalan keluar melalui usaha bersama untuk menigkatkan taraf hidupnya.
2.    Adanya dorongan dan tuntutan daari pihak LKMD (lembaga ketahanan Masyarakat Desa) dan atau pihak pemerintah yang mengetahui potensi-potensi untuk perbaikan hidup masyarakat itu ada tetapi penggerak itu belum tergugah semagatnya (pelopor belum ada).

Selanjutnya dalam mendirikan akan timbul seseorang sebagai pendiri koperasi (tentunya atas persetujuan para calon angggotanya) harus memnuhi beberapa syarat, antaralain:
1.    Mempunyai minat dan dinamika yang besar, kreatif dan bercita-cita tinggi, mempunyai jiwa social yang tebal untuk bekerja bagi kepentingan orang banyak.
2.    Berjiwa pancasila sehingga dapat memupuk persatuan dan kesatuan, jujur dan berwibawa sehinngga, mendapat kepercayaan penuh
3.    Mempunyai keluwesan untuk menegakkan integrasi, sehingga segala sesuatu kelak dalam pelaksanaan usaha akan sejalan searah.   

Sejalan dengan hal ini sebelum tindak lanjut yang lebih jauh mengenai rapat pembentukannya, maka harus mampu mengadakan beberapa penelaahan tentang sosio-ekonomi sekitar lingkungan agar diketahui ruang lingkup kerja koperasi tersebut. Situas- tersebut yang diobsevasi anatara lain:
1.    Situasi kondisi penghidupan rakyat dalam lingkungan dimana koperasi itu akan didirikan
2.    Untuk menentukan jenis koperasi mana yang harus dibentuk, yang dapat memenuhi harapan para calon anggota
3.    Halangan-halangan dan hambatan-hambatan yang dipikirkan akan timbul tetapi dengan perhitungan akan dapat diatasi, apabila jenis koperasi tertentu dibentuk di daerah atau lingkungan yang bersangkutan.
Syarat selanjutnya ketika koperasi benar-benar akan didirikan adalah menyiapkan Anggaran Dasar Koperaasi, menentukan saat rapat pembentukan koperasi, dan lain-lain yang dirasa perlu dalam menunjang kelancarannya.
Dalam rapat pembentukan koperasi ini pembuatan berita acara harus dilakukan secermat mungkin, mengingat berita acaraini dalam waktu dekat sangat diperlukan dan akan sangat membantu dalam mengajukan surat permintaan Badan Hukum bagi koperasi yang bersangkutan. Akta pendirian yang dimaksudkan dalam pembentukan koperasi ini harus berisi :
1.    Pernyataan tentang dibentuknya koperasi, dengan menyebutkan jenisnya, lengkap dengan data, tempat dan jumlah calon anggota dan pesrta lainnya yang hadir.
2.    Nama orang-orang yang membentuk koperasi tersebut (mereka yang oleh rapat pembentuk koperasi diberi kuasa untuk menandatangani akata pendirian atau pembentukan koperasi yang bersangkutan)
3.    Tanda tangan mereka yang membentuk koperasi
4.    Anggara Dasar Koperasi yang telah disiapkan dan di setujui oleh rapat pembentukan koperasi ini.

Dalam memenuhi persyaratan  sebagai pendirian koperasi menurut UU No 25 Tahun 1992 pada pasal 6, 7, dan 8 mengenai syarat pembentukan
Pasal 6
1)    Koperasi primer  dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang
2)    Koperasi sekunder  dibentuk oleh sekurang-kurannya 3 (tiga) koperasi
Pasal 7
1)    Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar
2)    Koperasi mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia
Pasal 8
Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 Ayat (1) memuat sekurang-kurangnya :
1.    Daftar nama pendiri;
2.    Nama dan tempat kedudukan;
3.    Maksud dan  tujuan serta bidang usaha;
4.    Ketentuan mengenai keanggotaan ;
5.    Ketentuan mengenai rapat anggota;
6.    Ketentuan mengenai pengelolaan;
7.    Ketentuan mengenai permodalan;
8.    Ketentuan mengenai jangka waktu  berdirinya;
9.    Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;
10.    Ketentuan mengenai sanksi.

C.    Macam-macam koperasi
Macam-macam koperasi berbeda-beda tergantung dimana dan untuk apa koperasi itu didirikan.   Menurut PP No.60 tahun 1959 tentang perkembangan Gerakan Koperasi (Pasal 2), mengatakan sebagai berikut :
(1)    Pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi ialah pembedaan koperasi yang didasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi.

(2)    Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditentukan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota suatu koperasi.
Maka dalam ketentuan tersebut, koperasi dapat di bagi menjadi tujuh jenis (Pasal 3):
a.    Koperasi Desa
b.    Koperasi Pertanian
c.    Koperasi Peternakan
d.    Koperasi Perikanan
e.    Koperasi Kerajinan/industri
f.    Koperasi Simpan Pinjam
g.    Koperasi Konsumsi
Ir. Kaslan A. Tohir, dalam bukunya yang berjudul “Pelajaran koperasi”  menyebutkan adanya pengelompokan dari bermacam-macam koperasi menurut klasik, adalah:
•    Koperasi pemakaian (koperasi warung, koperasi sehari-hari, koperaasi distribusi, warung andil dan sebagainya). Tujuan koperasi ini ialah membeli barang-barang yang dibutuhkan anggota-anggotanya dan membagi barang-barang itu kepada mereka.
•    Koperasi penghasil atau koperasi produksi, tujuan dari koperasi ini ialaah mengerjakan sesuatu pekerjaan bersama-sama.
•    Koperasi simpanpinjam, tujuan dari koperasi ini  adalah memberi kesempatan kepada anggota-anggotanya untuk menyimpan dan meminjam uang.

D.    BMT (koperaasi syariah)
Secara harfiah Baitulmaal berarti rumah dana, dan baitul tamwil berarti rumah usaha.   Sedang menurut Ensiklopedia Hukum Islam  baitul maal adalah lembaga keuangan Negara yang bertugas menerima, menyimpan dan mendristibusikan uang Negara sesuai dengan aturan syariat. Sementara menurut Harun Nasaution,  baitul mal biasa diartikan sebagai perbendaharaan  (umum atau negara).

Adapun tujuan dari didirikannya BMT sebenarnya sama dengan koperasi kan tetapi didasari oleh prinsip syariah, yaitu lebih jelasnya menigkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umunya. Orentiasi BMT lebih terkhusus pada kesejahteraan anggota dan masyarakat, diharapkan dengan menjadi anggota BMT, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup melalui usahanya. BMT berbeda dengan BPR Syariah atau Bank Umum Syariah. BMT berbadan hokum koperasi, secara otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan usaha kecil dan Menengah, sedangkan BPRS Atau BUS terikat dengan peraturan Departemen Keuangan dan juga dari Bank Indonesia.

1.    Status hokum BMT
Bentuk Badan Hukum MBT
Walaupun BMT merupakan institusi baru yang lahir dari system hokum islam. BMT memilikikesamaan dengan institusi yang telah lama dikenal dalam system hokum nasional, tetapi BMT memiliki karaktesistik yang khas dan tidak dimiliki oleh institusi yang lain. BMT ada yang berbadan hokum dan ada yang bukan berbadan hokum. BMT yang berbadan hokum menggunakan badan hokum yang berbeda-beda, ada yang berbadan hokum koperasi, dan ada pula yang berbadan hokum yayasan. BMT yang tidak berbadan hokum pada umumnya menggunakan istilah LSM atau KSM.

Para praktisi BMT berpendapat bahwa berkaitan dengan bentuk badan  hokum  BMT, telah ada landasan hokum yang menetapkan koperasi sebagai badan hokum BMT. Hal ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI c.q. Dirjen Pembangunan Daerah No. 538/PKKN/IV/1997 Tangal 14 April 1997 Tentang Status Hokum Untuk Lembaga Keuangan Syariah. 

Peraturan  Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 telah menjelaskan persoalan usaha simpan pinjam yang dilaksanakanoleh koperasi atau BMT. Ketentuan tersebut meliputi : pertama, kegiatan usaha simpan pinjam hanay dapat dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam atau unit Simpan Pinjam; kedua, Koperaasi simpan Pinjam dapat berbentuk Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder; ketiga, Unit Simpan Pinjam dapat dibentuk oleh Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder. 

2.    Kegiatan BMT
Dalam kegiatan BMT ada beberapa macam, antara lain: 
a.    Menggalang dan menghimpun dana yang digunakan untuk membiayai usaha-usaha anggotanya.
b.    Memberikan pembiayaan kepada anggota sesuai dengan penilaian kelayakan yang dilakukan oleh pengelola BMT bersama yang berasangkutan. Sebagai imbalan atas jasa ini, MBT akan mendapat bagi hasil sesuai aturan yang ada.
c.    Mengelola usaha simpan pinjam itu secara professional sehingga kegiatan BMT bias menghasilkan keuntungan dan dapat di pertanggung jawabkan.
d.    Mengembangkan usaha-usaha di sector riil yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan penunjang usaha anggota, misalnya distribusi dan menunjang usaha anggota.

BMT dalam operasionalnya dapat menghimpun dana sebagai berikut :
1.    Simpanan Pokok khusus (SPK), yaitu simpanan yang merupakan modal awal untuk mendirikan BMT. Jumlah tidak terbatas, terserah para penyimpan akan menyimpan berapa menurut kesemampuannya. Jumlah kepemilikan tidak mempengaruhi hak suara dalam rapat. SPK ini ditarik dari masyarakat sehubungan dengan adanya pendirian BMT
2.    Simpanan Pokok (SP), merupakan simpanan yang menjai bukti keanggotaan di BMT, biasanya besarnya sama setiap anggota dan dapat diangsur.
3.     Simpanan Wajib (SW), meruoakan kewajiban yang harus dibayar oleh setiap angggota BMT sesuai dengan periode waktu yang telah ditetapkan, misalm=nya harian, minggunan, bulanan, tahunan.
4.    Simpanan Sukarela (SS), merupakan simpanan atau titipan anggota dan calon anggota kepada BMT, bisa dalam bentuk tabungan, deposito, atau berbentuk lain yang sah.
5.    Jasa , merupakanproduk BMT (sebagai usaha jasa keuangan). Anggota yang telah memenuhi persyaratan dapat memperoleh pelayanan jasa keuangan yang ada di BMT dengan member fee kepada BMT.
6.    Wadiah, merupakan titioan umum yang ada di BMT dan umumnya disimpan dalam produk ini dana social seperti zakat, infak, dan sebagainya.
Menurut Muhammad Ridwan,  dalam melakukan operasional rutin BMT menggunakan dua prinsip yakni prinsip Wadi’ah dan Mudharabah.

1.    Prinsip Wadi’ah
Produk penitipan dari anggota kepada BMT. Ada dua macam pengembangan prinsip wadi’ah,
a.    Wadi’ah Amanah
Yaitu penitipan barang atau uang di mana BMT tidak memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barang tersebut. Penyimpan menitipkan semata-mata demi keamanan dan kenyamanan. Atas dasar produk ini, BMT akan menarik biaya penyimpanan, administrasi, serta biaya lain yang melekat pada penyimpanan dan pengamanan.
b.    Wadi’ah Yad Dhamanah
Yaitu penitipan barang atau uang (umumnya uang), di mana BMT berwenang untuk mengelola dana tersebut. Atas dasar kewengan ini BMT akan memberikan kompensasi berupa bonus kepada penyimpan.

2.    Prinsip Mudharabah
Dalam produk BMT bagi hasil antara pemilik dana dengan pengusaha. Secara umumdi bagai menjadi mudharabah muthlaqah dan muwayyadah.
a.    Mudharabah muthlaqah  
Yaitu akad penyimpanan dari anggota kepada BMT dengan system bagi hasil, di mana BMT tidak dapat pembatasan apa pun dalam penggunaan dananya. BMT diberikan kebebasan untuk memanfaatkan dana simpanan untuk pengembangan usaha BMT.
b.    Mudharabah muqayyadah
Yaitu akad penyimpanan dari anggota kepada BMT dengan system bagi hasil, di mana BMT dibatasi dalam penggunaan dananya. Sejak awal disepakati, bahwa dana tersebut hanya dapat dialokasikan untuk membiayai proyek tertentu.


                                                                DAFTAR PUSTAKA
.
Hendrojogi. 2000. Koperasi (azaz-azaz, teori dan praktik). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Manan, abdul. 2012. Hokum Ekonomi syariah. Jakarta: kencana Prenada media Group
Setiady, ahmad dkk. 2005. Koperasi Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Arbitase syariah sebagai penyelesaian sengketa alternatif

A.    Arbitase syariah sebagai penyelesaian sengketa alternatif
 
Peradilan agama adalah sebutan resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman di Indonesia. Peradilan agama merupakan peradilan khusus karena peradilan agama hanya mengadili perkara-perkara tertentu atau golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, peradilan agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, namun tidak mencangkup seluruh perdata islam.
Sejak berdirinya Bank Syariah di Indonesia yang dimulai pada tahun 1992, pemerintah kemudian membuat suatu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, perbankan syariah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Didalam undang-undang tersebut terlihat bahwa di Indonesia terdapat dua sistem perbankan. Sistem itu antara lain adalah sistem konvensional yang menggunakan sistem bunga dan sistem syariah yang didasarkan pada ketentuan Hukum Islam.

Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Syariah diatur dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004. Dalam undang-undang itu diatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioprasikan dan diimplementasikan oleh Bank Syariah. Undang-undang itu juga memberi arahan bagi bank-bank konvensional atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Atas peluang itu, berkembanglah bank-bank yang mendasarkan oprasionalnya pada sistem Danamon, Bank Mega, Bank OKI, BPD Jabar, Bank IFI, bahkan pada saat ini telah ada Bank asing yang membuka cabang syariah, yaitu Bank HSBC. 

Lembaga keuangan nonbank pun sekarang ini sudah cukup banyak yang menggunakan sistem syariah antara lain asuransi, pegadaian, obligasi, pasar modal dan reksadana syariah. Oleh karenanya, dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia maka, kemungkinan untuk terjadi suatu perselisihan antara lembaga keuangan dengan nasabahnya akan semakin besar. 

Untuk itu maka, perlu adanya suatu penyelesaian perselisihan dalam hal ini terutama penyelesaian sengketa alternatif sengketa dalam lembaga keuangan syariah yang akan memberikan penyelesaian secara adil dan cepat yang timbul dalam berbagai bidang seperti bidang keuangan, jasa, perdagangan, indrustri maupun bidang lainnya yang didasarkan pada utamanya yakni ajaran Al-Qur’an.

Keberadaan Lembaga Arbitrase sebagai salah satu bentuk alternatif penyelesaian hukum, juga dimasukkan ke dalam upaya hukum alternatif penyelesaian sengketa yang diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam menjembatani para pihak yang bersengketa melalui cara musyawarah sekaligus obyektivitas yang tidak memihak salah satu pihak. Upaya untuk memenuhi harapan tersebut, maka MUI (Majelis Ulama Indonesia) membentuk sebuah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang merupakan cikal bakal adanya Basyarnas.

B.    Kritik dan saran
.              Meskipun sudah banyak perkara lembaga keuangnya syariah yang mendapatkan penyelesaian dengan cara arbitrasi syariah namun,  sayangnya sampai sekarang ini belum ada hukum materiil yang khusus mengatur mengenai arbitrase syariah yang dapat dijadikan patokan para arbiter dalam menyelesaikan perkara.
Diharapkan para arbiter pada arbitrase syariah merupakan SDM yang memang sudah ahli dalam permasalahan syariah dan juga mereka sudah mendapatkan pelatihan dan pendidikan khusus sebelumnya. Selain itu, akhlaknya haruslah sesuai sebagai seorang Muslim, karena dikawatirkan oknum yang mengatasnamakan Islam namun ternyata tidak menjalankan prinsip sebagai seorang Muslim.

Ekonomi Syariah: HUKUM INVESTASI SYARIAH

HUKUM INVESTASI SYARIAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Hukum Ekonomi Syariah”

 


Dosen Pengampuh :
Hj. Rahma Maulida, M.ag

Disusun oleh :
Mufid Mukhorobin (210112018)

PROGRAM SUTUDY AHWAL ASSYAHSYIAH
KOSENTRASI BISNIS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2015

A.    Investasi Syariah
Investasi syariah yang ada dalama produk bank syariah diantaranya ialah, menhimoun dana masyarakat, penyaluran dana dan prinsip jasa keuangan. Produk-produk ini sudah dijalankan sesuai fatwa MUI yang membolehkan adanya akad tersebut. Lebih lanjut kita akan membahas macam-macam jenis produk-produk bank syariah.
1.    Menghimpundana masyarakat
a.    Prinsip al wadi’ah
Di dalam bank syariah wadi;ah ini di terapka dalam giro wadi’ah yad al-Dhamanah.adapun dengan di ambilnya ini karena dalam yad amanah  maka dana tersebut tidak akan terpakai dan hanya diam saja, hal ini yang tidak ada artinya dalam penghimpunan dana masyarakat. Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya . 

Tapi walaupun  demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah :
•    Bersifat titipan,
•    Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
•    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah yaitu:
•    Bersifat simpanan,
•    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
•    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. 

b.    Penerapan mudharabah dalam perbankan syariah
Mudharabah memmiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib al-mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik-profesionalitas maupun karakternya.

Untuk mengatasi hal diatas, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan pihak ketiga. Tambahan pihak ketiga ini diperankan oleh bank syariah sebagai perantara antara shahib al-mal dan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing. Dalam skema indirect financing bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga (DP-3) sebagai sumber dananya.
Selanjutnya dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank kedalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Nah, keuntungan penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan pemilik DP-3. Proses inilah yang dipotret dalam neraca bank syariah.

2.    Pembiayaan Jual Beli
•    Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan dengan prinsip jual beli diaplikasikan dalam skim murabahah, yaitu pembelian barang oleh bank untuk nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan pembayaran ditangguhkan dalam jangka di bawah satu bulan. 

SKEMA PEMBIAYAAN MURABAHAH
•    Pembiayaan Salam
Pembiayaan dengan Ba’i Salam di bank syariah di peruntukan pada pembiyaan pertanian jangka pendek. Bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank lalu membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan mengirim barang yang dipesan setelah jatuh temp o.
Ketika barang akan dikirimkan oleh nasabah, bank dapat menjyualnya kembali kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapatkan keuntungan.

•    Pembiayaan Istishna’
Pembiayann bank syariah dengan akad jual beli Istishna’ dipraktikkan untuk pembiayaan kontruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Bank bertindak sebagai pemesan (pembeli) sedangkan nasabah sebagai penjual (pembuat). Bank dapat menyalurkan dana secara bertahapsesuai dengan prinsip Istishna’.ketika barang akan atau susah selesai, bank dapat menjualnya secara cicilan kepada nasabah lain untuk mendapat keuntungan.
Praktik pembiayaan jual beli istishna’ bank dipesan oleh nasabah untuk jenis kontruksi atau manufaktur, kemudian bank memberikan kepercayaan kepada pihak lain untuk pembuatan sebagaimana yang dipesan oleh nasabah. Model demikian sering disebut bay al istishna’ pararel.

•    Implementasi Akad Ijarah Dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Penggunaan Ijarah  di dalam produk pembiayaan perbankan syariah termuat di dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan lainya. Di dalam konteks perbankan syariah, Ijarah adalah suatu lease contract  di mana bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan seperti gedung atau alat transportasi yang telah di tentukan kepada nasabah berdasarkan pembebanan biaya yang telah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge). Tetapi keduanya ada perbedaan meskipun juga juga ada persamaannya.
a.    IMBT (Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik)
Pengertian IMBT menurut fatwa DSN MUI adalah “perjanjian sewa meny    ewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa”. Sedangkan IMBT menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah “akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang”.
Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut diakhir masa sewa;
b.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 

Berdasarkan uraian di atas, dalam IMBT terdapat dua akad, yaitu akad al-bai’ dan akad IMBT. Al-bai’ merupakan akad jual beli, sedangkan akad IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.

•    Dasar Hukum IMBT
1.    UU Perbankan Syariah Pasal 1 ayat (25) huruf b , Pasal 19 ayat (1) dan (2) masing-masing huruf f , Pasal 21 huruf b angka 4 .
2.    Aturan teknis operasional IMBT dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 7/46/PBI/2005 Pasal 16 dan SE BI No. 10/14/DPbS Tahun 2008 bagian III.7.

•    Implementasi IMBT dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Ketentuan IMBT yang berhubungan dengan bank yaitu terkait dengan status yang dimuat dalam SE BI dan kewajiban yang dimuat dalam PBI dimana status dan kewajiban tersebut harus dilakukan oleh bank  tersebut. 

Status artinya bahwa bank adalah pihak yang menyediakan biaya pengadaan obyek sewa berupa barang, baik yang sudah menjadi milik bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain. Selain itu bank bertindak selaku pemberi janji untuk memberikan pilihan pemindahan kepemilikan kepada nasabah setelah objek sewa menjadi miliknya. Ketentuan ini sesuai dengan salah satu syarat keabsahan ijarah yaitu bahwa para pihak yang terkait transaksi ijarah adalah mereka yang memiliki kemampuan, baik secara usia maupun nalar. 

Adapun kewajiban bank meliputi menyediakan barang sewa tepat waktu yang kualitas dan kuantitasnya sesuai kesepakatan; menanggung biaya pemeliharaan barang sewa yang bersifat materiil dan struktural sesuai kesepakatan kecuali apabila kerusakan barang itu akibat pelanggaran atau kesalahan nasabah; dan mengalihkan kepemilikan barang kepada nasabah yang dituangkan dalam akad tersendiri setelah masa ijarah selesai atau selama periode akad ijarah. dalam konteks nasabah, ia dikenakan kewajiban membayar biaya sewa secara tunai dan bersama-sama dengan bank menanggung biaya pemeliharaan barang sewa. di samping itu nasabah berkewajiban menjaga keutuhan barang sewa. 

Contoh praktek IMBT adalah seorang nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, membutuhkan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya, lalu memohon kepada Bank Syariah untuk menyewa alat-alat berat itu. Akan tetapi jika ternyata alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia kemudian memutuskan untuk membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahiya bi tamlik yaitu menyewa peralatan tersebut, pada akhir masa sewa nasabah membelinya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidah, Atik, Fiqih Muamalah, Ponorogo: Stain Po Press, 2006.
A Karim, Adiwarman, 2013, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.Hal. 149. 
Sari, elsi kartika dan advendi simangunsong, hukum dalam ekonomi, jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia 2007.
Hakim, Atang Abd, 2001, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung : PT. Refika Aditama, Hal:265.
Haroen, Nasrun, Dr. H.MA, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

Sosiologi Hukum: PENELITIAN HUKUM NORMATIF DAN HUKUM EMPIRIS

                              PENELITIAN HUKUM NORMATIF  DAN HUKUM EMPIRIS
                                         Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
                                                                    “Sosiologi Hukum“


                                                                    Dosen pengampu :
                                                              Niswatul Hidayati, M.H.I

                                                                          Disusun Oleh :
                                                                      ZIKRI FADLI AS
                                                             MASJUDIN FATHUNNIZAR

                                                                  JURUSAN SYARIAH
                                                  PRODI AHWAL SYAKHSIYAH (SA.D)
                     SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                                2016


                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Telah diketahui bersama bahwa perbedaan pemahaman para ahli mengenai eksistensi dari ilmu hukum menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Perdebatan-perdebatan itu didasari oleh perbedaan mengenai batasan defenisi “hukum” itu sendiri, madzhab yang dianut, dan sejarah dari perkembangan itu sendiri, hingga pengkategorian ilmu hukum termasuk dalam ilmu social atau berdiri sendiri sebagai ilmu hukum.
Seperti para penganut paham positivisme (kaum legisme formal) selalu mengatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang mendasarkan pada system norma yang ekslusif (paham normatif). Atau dengan kata lain hukum tidak berhubungan dengan kondisi sosial, hukum hanya merupakan alat untuk memutuskan tentang benar atau salah atas suatu “duduk perkara” atau kasus hukum yang terjadi. Berbeda hal pula dengan para ahli yuridis sosiologis yang beranggapan bahwa hukum tidak bisa lepas dari keberadaannya dimasyarakat (paham empiris). Hukum mengalami proses interaksi dengan masyarakat secara empiris materialis (nyata) pada proses penciptaan maupun ketika diterapkan di masyarakat. Selain itu, hukum bisa pula dimaknai sebagai gejala social dalam bentuk perilaku masyarakat yang lazim dan kental dan terjadi berulang-ulang.

B.    Rumusan masalah
1.    Jelaskan apa yang dimaksud penelitian hukum normatif ?
2.    Jelaskan unsur-unsur objek, hasil dan manfaat, serta bahan hukum dalam penelitian hukum normatif ?
3.    Jelaskan apa yang dimaksud penelitian hukum empiris ?
4.    Jelaskan tipe-tipe, objek, dan manfaat penelitian hukum empiris ?

                                                                             BAB II
                                                                     PEMBAHASAN

A.    Penelitian Hukum Normatif
1.    Pengertian Penelitian Hukum Normatif
Penelitian hukum normatif adalah hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan system norma. System norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah :
“…suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. …penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi…”   
Didalam keterangan Dr.Mukti Fajar ND.  Yang dikutip dari Sutadnyo Wigyosubroto memberikan istilah “penelitian hukum normative dengan istilah penelitian doctrinal, yaitu penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengonsep atau sang pengembangnya.”
Penelitian hukum doctrinal tersebut oleh beliau dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a.    Penelitian doctrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai asas hukum alam dalam system moral menurut doktrin hukum alam
b.    Penelitian doctrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah-kaidah perundang-undangan menurut doktrin positivisme
c.    Penelitian doctrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai keputusan hakim in concreto menurut doktrin realism.

2.    Objek Penelitian Hukum Normatif
 Penelitian normatif hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah peraturan saja. Tidak sampai pada perilaku manusia yang menerapkan peraturan tersebut. contohnya, apabila orang tertarik dengan investasi asing di Indonesia cukup mengkaji mengenai segala ketentuan tentang phenomena tersebut. segala tentang aturan perundang-undangan dari proses perizinan, pengiriman masuknya peralatan, pembuatan kontrak karya, kontrak tenaga kerja asing dan lokal, hingga pembuatan perusahaan joint venture. Dengan seperti itu orang tidak lagi meneliti perilaku dari para tenaga kerja asing ketika bekerja di Indonesia atau mempertanyakan mengenai perilaku para investor asing yang sering kali angkuh dala proses negosiasi pembuatan joint venture agreement dengan pengusaha Indonesia juga tidak perlu meneliti mengenai perilaku investor asing yang suka menyuap para birokrat dalam proses mengurus perizinan.  

Oleh karena itu penelitian hukum normatif menempatkan system norma sebagai objek kajiannya. System norma yang dimaksud sebagai objek kajian adalah seluruh unsur dari norma hukum yang berisi nilai-nilai tentang bagaimana seharusnya manusia yang bertingkah laku. Unsur-unsur tersebut adalah :
a.    Norma dasar
b.    Asas-asas hukum
c.    Kitab Undang-Undang atau Perundang-undangan
d.    Doktrin atau ajaran hukum
e.    Dokumen perjanjian (kontrak)
f.    Keputusan pengadilan
g.    Keputusan birokrasi
h.    Segala bentuk dokumen hukum yang dibuat secara formal dan mempunyai kekuatan mengikat.

Objek Kajian dari penelitian hukum normatif selalu bersumber dari system norma yang seluruh bahannya “dianggap” telah tersedia, sehingga tidak perlu untuk mencari informasi tambahan yang bukan dari sumber tersebut. Hal ini perlu dijadikan pedoman untuk dijadikan batasan yang jelas.
Hal yang sering kali bisa menimbulkan kesalahan bagi peneliti ketika melakukan penelitian adalah mencampur-adukkan antara norma dengan perilaku. Intinya penelitian hukum normatif berhenti pada penelitian mengenai system norma saja dan tidak mengkaji mengenai perilaku seseorang atau lembaga dalam melaksanakan atau menjalankan norma tersebut.  

3.    Hasil dan Manfaat Penelitian Hukum Normatif
Beberapa hasil dan manfaat dari penelitian hukum normative adalah :
a.    Menentukan hubungan dan status hukum para pihak dalam sebuah peristiwa hukum.
b.    Memberikan penilaian (justifikasi) hukum terhadap suatu peristiwa hukum. Apakah salah, benar atau apa yang sebaiknya menurut hukum.
c.    Meluruskan dan menjaga konsistensi dari system norma terhadap norma dasar, asas-asas, doktrin, kontrak serta peraturan perundangan yang berlaku atau yang akan diberlakukan.

4.    Bahan Hukum Dalam Penelitian Hukum Normatif
Di dalam keterangan Soerjono Soekanto yang dikutip dari buku Dr.Mukti Fajar ND.  Soerjono menggunakan istilah data sekunder atau data kepustakaan yang didalamnya mengandung bahan hukum, sementara Peter Mahmud tidak menggunakan istilah data, namun langsung mengatakan sebagai bahan hukum. Pemilihan peristilahan ini bukannya tanpa alasan, menurut beliau memang harus dibedakan antara bahan dengan data yaitu :
a.    Istilah bahan adalah terjemahan dari bahasa inggris yang disebut material. Sementara data lebih bersifat informasi. Dalam penelitian normatif, system hukum dianggap telah mempunyai seluruh material/bahan, sehingga tidak perlu dicari keluar dari system norma tersebut. sedangkan data adalah informasi yang harus dicari ke luar dari system.
b.    Bahan digunakan untuk istilah bagi sesuatu yang normatif dokumentatif, bahan penelitian hukum dicari dengan cara penelitian kepustakaan (termasuk wawancara dengan narasumber), sementara digunakan untuk sesuatu yang informatif empiris yang harus dicari melalui pengamatan atau observasi ke dunia nyata.
Bahan hukum atau data sekunder diperinci dalam berbagai macam tingkatan, yaitu  :
a.    Bahan hukum primer, bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangan, risalah resmi, putusan pengadilan dan dokumen resmi Negara
b.    Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum, dan ensiklopedia hukum.
c.    Bahan nonhukum adalah bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian seperti buku politik, buku ekonomi, data sensus, laporan tahunan perusahaan, kamus bahasa dan eksiklopedia umum. Bahan ini menjadi penting karena mendukung dalam proses analisis hukumnya.
Akan tetapi sangat dianjurkan untuk sebaiknya menggunakan istilah bahan hukum primer, sekunder dan bahan nonhukum seperti diatas, karena lebih jelas perbedaan atas kualitas dan muatannya.

B.    Penelitian Hukum Empiris
1.    Pengertian Penelitian Hukum Empiris
Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan social, kenyataan kultur, dan lain-lain.
Oleh karena itu untuk mendukung ilmu hukum, tidak cukup hanya dilakukan dengan melakukan studi mengenai norma saja. Hukum pada kenyataannya dibuat dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat. Artinya, keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan social masyarakat serta perilaku manusia yang terkait dengan lembaga hukum tersebut. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa ”,.untuk mampu memahami hukum lalu lintas tidak bisa hanya membaca undang-undang lalu lintas saja, tetapi juga harus turun dan mengamati langsung apa yang terjadi dijalan raya…”