Sunday, April 3, 2016

Ekonomi Syariah: HUKUM INVESTASI SYARIAH

HUKUM INVESTASI SYARIAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Hukum Ekonomi Syariah”

 


Dosen Pengampuh :
Hj. Rahma Maulida, M.ag

Disusun oleh :
Mufid Mukhorobin (210112018)

PROGRAM SUTUDY AHWAL ASSYAHSYIAH
KOSENTRASI BISNIS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2015

A.    Investasi Syariah
Investasi syariah yang ada dalama produk bank syariah diantaranya ialah, menhimoun dana masyarakat, penyaluran dana dan prinsip jasa keuangan. Produk-produk ini sudah dijalankan sesuai fatwa MUI yang membolehkan adanya akad tersebut. Lebih lanjut kita akan membahas macam-macam jenis produk-produk bank syariah.
1.    Menghimpundana masyarakat
a.    Prinsip al wadi’ah
Di dalam bank syariah wadi;ah ini di terapka dalam giro wadi’ah yad al-Dhamanah.adapun dengan di ambilnya ini karena dalam yad amanah  maka dana tersebut tidak akan terpakai dan hanya diam saja, hal ini yang tidak ada artinya dalam penghimpunan dana masyarakat. Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan dan menggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya . 

Tapi walaupun  demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah :
•    Bersifat titipan,
•    Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
•    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah yaitu:
•    Bersifat simpanan,
•    Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
•    Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. 

b.    Penerapan mudharabah dalam perbankan syariah
Mudharabah memmiliki ciri-ciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib al-mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal dengan baik-profesionalitas maupun karakternya.

Untuk mengatasi hal diatas, maka ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang melibatkan pihak ketiga. Tambahan pihak ketiga ini diperankan oleh bank syariah sebagai perantara antara shahib al-mal dan mudharib. Jadi, terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing. Dalam skema indirect financing bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga (DP-3) sebagai sumber dananya.
Selanjutnya dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank kedalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Nah, keuntungan penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan pemilik DP-3. Proses inilah yang dipotret dalam neraca bank syariah.

2.    Pembiayaan Jual Beli
•    Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan dengan prinsip jual beli diaplikasikan dalam skim murabahah, yaitu pembelian barang oleh bank untuk nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan pembayaran ditangguhkan dalam jangka di bawah satu bulan. 

SKEMA PEMBIAYAAN MURABAHAH
•    Pembiayaan Salam
Pembiayaan dengan Ba’i Salam di bank syariah di peruntukan pada pembiyaan pertanian jangka pendek. Bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Bank lalu membayar harga yang disepakati di awal kontrak, sementara nasabah akan mengirim barang yang dipesan setelah jatuh temp o.
Ketika barang akan dikirimkan oleh nasabah, bank dapat menjyualnya kembali kepada pihak lain dengan harga yang lebih tinggi agar mendapatkan keuntungan.

•    Pembiayaan Istishna’
Pembiayann bank syariah dengan akad jual beli Istishna’ dipraktikkan untuk pembiayaan kontruksi dan barang-barang manufaktur jangka pendek. Bank bertindak sebagai pemesan (pembeli) sedangkan nasabah sebagai penjual (pembuat). Bank dapat menyalurkan dana secara bertahapsesuai dengan prinsip Istishna’.ketika barang akan atau susah selesai, bank dapat menjualnya secara cicilan kepada nasabah lain untuk mendapat keuntungan.
Praktik pembiayaan jual beli istishna’ bank dipesan oleh nasabah untuk jenis kontruksi atau manufaktur, kemudian bank memberikan kepercayaan kepada pihak lain untuk pembuatan sebagaimana yang dipesan oleh nasabah. Model demikian sering disebut bay al istishna’ pararel.

•    Implementasi Akad Ijarah Dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Penggunaan Ijarah  di dalam produk pembiayaan perbankan syariah termuat di dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan lainya. Di dalam konteks perbankan syariah, Ijarah adalah suatu lease contract  di mana bank atau lembaga keuangan menyewakan peralatan seperti gedung atau alat transportasi yang telah di tentukan kepada nasabah berdasarkan pembebanan biaya yang telah ditentukan secara pasti sebelumnya (fixed charge). Tetapi keduanya ada perbedaan meskipun juga juga ada persamaannya.
a.    IMBT (Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik)
Pengertian IMBT menurut fatwa DSN MUI adalah “perjanjian sewa meny    ewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa”. Sedangkan IMBT menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah “akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang”.
Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
a.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut diakhir masa sewa;
b.    Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. 

Berdasarkan uraian di atas, dalam IMBT terdapat dua akad, yaitu akad al-bai’ dan akad IMBT. Al-bai’ merupakan akad jual beli, sedangkan akad IMBT merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa.

•    Dasar Hukum IMBT
1.    UU Perbankan Syariah Pasal 1 ayat (25) huruf b , Pasal 19 ayat (1) dan (2) masing-masing huruf f , Pasal 21 huruf b angka 4 .
2.    Aturan teknis operasional IMBT dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia) No. 7/46/PBI/2005 Pasal 16 dan SE BI No. 10/14/DPbS Tahun 2008 bagian III.7.

•    Implementasi IMBT dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Ketentuan IMBT yang berhubungan dengan bank yaitu terkait dengan status yang dimuat dalam SE BI dan kewajiban yang dimuat dalam PBI dimana status dan kewajiban tersebut harus dilakukan oleh bank  tersebut. 

Status artinya bahwa bank adalah pihak yang menyediakan biaya pengadaan obyek sewa berupa barang, baik yang sudah menjadi milik bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain. Selain itu bank bertindak selaku pemberi janji untuk memberikan pilihan pemindahan kepemilikan kepada nasabah setelah objek sewa menjadi miliknya. Ketentuan ini sesuai dengan salah satu syarat keabsahan ijarah yaitu bahwa para pihak yang terkait transaksi ijarah adalah mereka yang memiliki kemampuan, baik secara usia maupun nalar. 

Adapun kewajiban bank meliputi menyediakan barang sewa tepat waktu yang kualitas dan kuantitasnya sesuai kesepakatan; menanggung biaya pemeliharaan barang sewa yang bersifat materiil dan struktural sesuai kesepakatan kecuali apabila kerusakan barang itu akibat pelanggaran atau kesalahan nasabah; dan mengalihkan kepemilikan barang kepada nasabah yang dituangkan dalam akad tersendiri setelah masa ijarah selesai atau selama periode akad ijarah. dalam konteks nasabah, ia dikenakan kewajiban membayar biaya sewa secara tunai dan bersama-sama dengan bank menanggung biaya pemeliharaan barang sewa. di samping itu nasabah berkewajiban menjaga keutuhan barang sewa. 

Contoh praktek IMBT adalah seorang nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, membutuhkan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya, lalu memohon kepada Bank Syariah untuk menyewa alat-alat berat itu. Akan tetapi jika ternyata alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia kemudian memutuskan untuk membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahiya bi tamlik yaitu menyewa peralatan tersebut, pada akhir masa sewa nasabah membelinya.


DAFTAR PUSTAKA

Abidah, Atik, Fiqih Muamalah, Ponorogo: Stain Po Press, 2006.
A Karim, Adiwarman, 2013, Bank Islam Analisis Fikih dan Keuangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.Hal. 149. 
Sari, elsi kartika dan advendi simangunsong, hukum dalam ekonomi, jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia 2007.
Hakim, Atang Abd, 2001, Fiqh Perbankan Syariah, Bandung : PT. Refika Aditama, Hal:265.
Haroen, Nasrun, Dr. H.MA, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.

0 comments:

Post a Comment