PENDEKATAN FENEMOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.
Di antara tokoh orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi. Dechipering The Signs of God yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Pendekatan fenomenologi
2. Tujuan dan tugas pendekatan fenomenologi
3. Objek pendekatan fenomenologi
4. Karakteristik pendekatan fenomenologi
5. Langkah-langkah Metodis Fenomenologi
6. Contoh pendekatan fenomenologi
7. Kelemahan dan kelebihan pendekatan fenomenologi
C. Tujuan
1. Memahami pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
2. Mengetahui tujuan dan tugas fenomenologi dalam studi Islam
3. Mengetahui sasaran pendekatan fenomenologi dalam studi islam
4. Mamahami ciri khas pendekatan fenomenologi studi Islam
5. Mengetahui dan memahami langkah-langkah pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
6. Memahami studi kasus yang diselesaikan menggunakan pendekatan fenomenologi
7. Mengetahui keterbatasan dan keunggulan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan fenomenologi
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama 1
Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, Fenomena (phenomena) merupakan hal-hal (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh pancaindera. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari fenomen. Dalam falsafah , pengamatan teliti atas suatu gejala, tanpa mempermasalahkan asal gejala
Fenomenologi agama adalah Ilmu yang mempelajari agama sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati secara obyektif dengan menggunakan analisa deskriftif. 2jadi Pendekatan fenomenologi adalah pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.
B. Tujuan dan tugas pendekatan fenomenologi
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan3
Tujuan dari fenomologi adalah :
a. Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.4
b. Memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
C. Objek pendekatan fenomenologi
Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ,yang terdiri dari empat lapisan.
1. Lapisan terluar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu :
a. objek yang suci, ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang dengannya diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan yang suci
. b. kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan.
c. manusia yang suci dan masyarakat yang suci.
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa dilihat, didengarkan. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.
2. lapisan dalam yang pertama.
Schimmel menyebutnya sebagai the world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep penciptaan , konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir .
3. lapisan dalam kedua
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
4. Lapisan yang paling dalam (pusat)
merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian.
Pertama, Tuhan sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata “KAU”.
Kedua, sebagai Tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai “DIA” sebagai kesatuan yang absolute. [5]
Dari pandangan Schimmel tentang aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam , ruang dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat, serta Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurut William C. Chittick, dalam http://fundonesia.com/islamic-thought/tinjauan-kritis-atas-pemikiran-annemarie-schimmel-tentang-pendekatan-fenomenologis-dalam-studi-islam/#ixzz2TS0aLOc9, karya Schimmel memberikan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berpikir, memungkinkan apresiasi oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia menyimpulkan dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan sumber orisinil, baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya. [2]6
D. Karakteristik pendekatan fenomenologi
Pendekatan fenomenologi dalam penilitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran agama non islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
(1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati;
(2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan
(3) fenomenologi agama diartikan sebagai metode khusus dalam kajian-kajian agama.7
E. Langkah-langkah Metodis Fenomenologi
1. Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2. Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3. Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4. Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5. Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.8
F. Contoh pendekatan fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.
1. Tahlilan
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.
2. Ziarah
Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.
3. Sekatenan dan Grebeg Maulid
Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.
G. Kelemahan dan kelebihan pendekatan fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme (saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen) agama.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,K. Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT. Gramedia, 1981
Ngainun,naim. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009
Abdul halim mahmud,ali. Tradisi Baru Penelitian Agama. Bandung:Nuansa.2001
Hanafi,hasan. Islamplogi 2. Yogyakarta: Lkis.2004
Baidhawy,Zakiyuddin. Studi Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani.2011
Hadiwijono,harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,Yogyqakarta:Kanisius,1980
Rita Christina Maukar, Fenomenologi Agama PPT (http://www.google.com diakses 9 mei 2013
http://nelysasax.blogspot.com/2010/03/kajian-atas-karya-annimarie-schimmel.html
https://www.google.com/#hl=en&biw=1280&bih=567&sclient=psyab&q=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&oq=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&gs
________________________________________