This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, March 26, 2016

PENDEKATAN FENEMOLOGI

PENDEKATAN FENEMOLOGI





                                                                               BAB I
                                                                     PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Sebagai agama samawi yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.
Di antara tokoh orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi. Dechipering The Signs of God yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan.

B.    Rumusan Masalah

1.             Pengertian Pendekatan fenomenologi
2.                 Tujuan dan tugas pendekatan fenomenologi
3.             Objek pendekatan fenomenologi
4.             Karakteristik pendekatan fenomenologi   
5.             Langkah-langkah Metodis Fenomenologi
6.             Contoh pendekatan fenomenologi
7.             Kelemahan dan kelebihan pendekatan fenomenologi   

C.    Tujuan
 
1.             Memahami  pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
2.             Mengetahui tujuan dan tugas fenomenologi dalam studi Islam
3.             Mengetahui sasaran pendekatan fenomenologi dalam studi islam
4.             Mamahami ciri khas pendekatan fenomenologi studi Islam
5.             Mengetahui dan memahami langkah-langkah pendekatan fenomenologi dalam studi Islam
6.             Memahami studi kasus yang diselesaikan menggunakan pendekatan fenomenologi
7.             Mengetahui keterbatasan dan keunggulan pendekatan fenomenologi dalam studi Islam   


                                                                              BAB II
                                                                     PEMBAHASAN


A.    Pengertian Pendekatan fenomenologi
Dalam mempelajari agama diperlukan berbagai macam pendekatan agar agama itu mudah dipahami. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama 1
Fenomen (phenom) berarti obyek atau apa yang diamati, Fenomena (phenomena) merupakan hal-hal (fakta atau peristiwa) yang dapat diamati oleh pancaindera. Sedangkan fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang mempelajari fenomen. Dalam falsafah , pengamatan teliti atas suatu gejala, tanpa mempermasalahkan asal gejala
Fenomenologi agama adalah Ilmu yang mempelajari agama sebagai suatu fakta atau peristiwa yang dapat diamati secara obyektif dengan menggunakan analisa deskriftif. 2jadi Pendekatan fenomenologi adalah  pendekatan agama dengan cara membandingkan berbagai macam gejala dari bidang yang sama antara berbagai macam agama.

B.    Tujuan dan tugas pendekatan fenomenologi   

Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan3
Tujuan dari fenomologi adalah :
a.    Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.4
b.    Memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.

C.    Objek pendekatan fenomenologi

Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ,yang terdiri dari empat lapisan.

1.    Lapisan terluar, yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 
    
        a. objek yang suci, ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang dengannya diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan yang suci
.         b. kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan.
        c. manusia yang suci dan masyarakat yang suci.    
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa dilihat, didengarkan. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak nyata tapi merupakan sebuah komuni fisik dengan sang Tuhan.

2.    lapisan dalam yang pertama.        

Schimmel menyebutnya sebagai the world of religious imagination yang terdiri dari konsep ketuhanan, konsep penciptaan , konsep wahyu, konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan konsep tentang hari akhir .

3. lapisan dalam kedua 
   
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan dari manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.

4. Lapisan yang paling dalam (pusat)    

merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh  pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian.    
Pertama, Tuhan sebagai wajah yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata “KAU”.
Kedua, sebagai Tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai “DIA” sebagai kesatuan  yang absolute. [5]

Dari pandangan Schimmel tentang aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam , ruang dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat, serta Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurut William C. Chittick, dalam http://fundonesia.com/islamic-thought/tinjauan-kritis-atas-pemikiran-annemarie-schimmel-tentang-pendekatan-fenomenologis-dalam-studi-islam/#ixzz2TS0aLOc9, karya Schimmel memberikan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berpikir, memungkinkan apresiasi oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia menyimpulkan dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan sumber orisinil, baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya. [2]6

D.    Karakteristik pendekatan fenomenologi   

Pendekatan fenomenologi dalam penilitian bidang kajian islam dipahami sebagai sikap seorang peneliti untuk menempatkan sikap empati terhadap islam dan umatnya. Subjektivitas menjadi tantangan bagi peneliti dengan pendekatan fenomenologis. Karena seorang peneliti harus menempatkan islam berdasarkan apa yang dipahami oleh umatnya, bukan berdasarkan prasangka apalagi berdasarkan pemahaman peneliti yang bersumber dari ajaran agama non islam. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit.
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam tiga arus besar yaitu:
(1)   fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan peristiwa agama yang bisa diamati;
(2)   fenomenologi diartikan sebagai sebuah kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan
(3)   fenomenologi agama diartikan sebagai metode khusus dalam kajian-kajian agama.7

E.    Langkah-langkah Metodis Fenomenologi

1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.                    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.8

F.    Contoh pendekatan fenomenologi

Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, berziarah, sekatenan, dan grebeg mulud.

1.      Tahlilan   

Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.

2.      Ziarah

Dalam agama Islam dikenal tradisi ziarah, yakni berkunjung ke makam atau kuburan untuk mendoakan almarhum/almarhumah agar iman Islamnya diterima oleh Sang Pencipta dan dihapuskan segala dosa yang pernah dilakuan selama hidupnya. Namun, pada perkembangannya di Indonesia, tradisi ziarah ini disisipi oleh kehendak-kehendak lain yang tak ada hubunganya dalam konteks keislaman.
Tradisi berziarah Islam bercampur padu dengan tradisi pemujaan terhadap roh nenek-moyang atau dewa-dewa Hindu-Buddha, dan hasilnya adalah sang penziarah bukannya mendoakaan arwah yang meninggal akan tetapi memiliki tujuan lain, di antaranya meminta kekuatan gaib kepada roh nenekmoyang atau arwah tokoh-tokoh penting dan keramat. Tak jarang, makam para wali di Jawa banyak dikunjungi oleh mereka yang memintai ”petunjuknya” kepada roh sang wali yang telah meninggal. Padahal dalam pandangan Islam, orang yang sudah meninggal itu tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk memberikan bantuan kepada orang yang masih hidup, seperti memberikan kekayaan, jabatan, pangkat, kekebalan tubuh, atau yang lainnya. Maka dari itu, ada orang yang menyebut ziarah sebagai nyadran atau nyekar. Tradisi nyekar ini merupakan peninggalan prasejarah yang paling kental dalam tradisi Islam sekarang.
Alkisah, pada tahun 1284 Saka atau 1362 M, Raja Majapahit, Hayam Wuruk melakukan acara srada untuk memperingati wafatnya Rajapatni. Tradisi penghormatan terhadap roh nenek moyang terasa masih sangat kental, walaupun sudah masuk agama Hindu-Buddha. Di saat masuknya agama Islam, upacara seperti ini tidak hilang malah dibumbui dengan unsur-unsur Islam. Acara srada dalam bahasa Jawa sekarang adalah nyadran dilakukan pada bulan arwah (Ruwah) atau disebut pula Syaban untuk menjemput datangnya bulan Ramadhan serta pada hari raya Idul-Fitri dan Idul Adha (Lebaran Haji). Para penziarah mulanya membacakan doa-doa dan Surat Yaasin dari Al-Quran. Setelah itu mereka menaburkan bebungaan berwarna-warni dan mengucurkan air tawar yang telah diberi bacaan/doa di atas tanah makam yang dimaksud.

3.      Sekatenan dan Grebeg Maulid

Upacara sekatenan diciptakan Sunan Bonang dalam rangka menyambut hari Maulud Nabi Muhammad Saw. yang jatuh pada bulan Rabiul Awal tahun Hijriah. Jadi, sekatenan merupakan bagian dari acara grebeg Maulud. Sunan Bonang, seperti Sunan Kalijaga, menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Lagu gamelan wayang berisikan pesan-pesan ajaran agama Islam. Setiap bait diselingi ucapan syahadatain yang kemudian dikenal dengan istilah sekaten. Dalam tradisi sekatenan, semua pihak diharapkan keikutsertaannya, dari raja, abdi dalem istana, pasukan kerajaan, hingga rakyat kecil. Mereka berada di jalan guna berebutan berkah yang berupa nasi dan laukpauk berikut sayur mayurnya untuk dinikmati.

G.    Kelemahan dan kelebihan pendekatan fenomenologi

Fenomenologi sebagai metode berpikir merupakan suatu yang progresif karena usahanya untuk mengembalikan hal-hal yang hakiki yang bersangkutan dengan kehidupan manusia. Pemikiran Husserl telah memberi dorongan yang sangat penting. Fenomenologi telah dibangun atas rasa tanggungjawab, bahkan pemahaman.
Kelebihan fenomenologi agama memahami dan mencari hakikat keberagamaan. Pencarian hakikat yang merupakan unsur universal agama-agama, akan dapat memahami kesamaan hakikat agama-agama. Pada fakta yang terjadi sekarang, dimana dunia sudah masuk era pluralisme dan multikulturalisme, kelebihan-kelebihan fenomenologi agama dapat membantu menciptakan sikap-sikap terbuka, toleran dan menghargai para penganut agama yang berbeda-beda serta diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Namun fenomenologi khususnya Husserl fenomenologi masih terperangkap dalam konsep paradigma. Husserl ketika membicarakan tentang "sumber terakhir dari segala pemahaman," ia berkata : sumber itu bernama moi-meme (saya sendiri). Ini berarti ia melupakan pekerjaan kolektif  dari pembentukan alam objek dan sejarah. Pada konsepnya "Aku transcendental" membuat Husserl terlampau larut ke dalam masalah kesadaran, sehingga melupakan eksistensi yang kongkret sehingga yang diperolehnya hanya gambaran yang ideal dan abstrak tentang manusia.
Fenomenologi menganggap kesadaran sebagai pusat kenyataan, dan menjadikan totalitas muatan yang berasal dari imajinasi sebagai muatan realisme. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.


                                                                            BAB III
                                                                          PENUTUP

 
A. Kesimpulan
Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.
Fenomenologi agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen) agama.


                                                                  DAFTAR PUSTAKA


Bertens,K. Filsafat Barat dalam Abad XX, Jakarta: PT. Gramedia, 1981

Ngainun,naim. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.
Connolly,peter. Aneke Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta:Lkis Yogyakarta.2009

Abdul halim mahmud,ali. Tradisi Baru Penelitian Agama. Bandung:Nuansa.2001

Hanafi,hasan. Islamplogi 2. Yogyakarta: Lkis.2004

Baidhawy,Zakiyuddin. Studi Islam Pendekatan dan Metodologi. Yogyakarta: Insan Madani.2011

Hadiwijono,harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,Yogyqakarta:Kanisius,1980

Rita Christina Maukar, Fenomenologi Agama PPT (http://www.google.com diakses 9 mei 2013

http://nelysasax.blogspot.com/2010/03/kajian-atas-karya-annimarie-schimmel.html

https://www.google.com/#hl=en&biw=1280&bih=567&sclient=psyab&q=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&oq=tinjauan+kritis+atas+pemikiran+schemmel&gs




________________________________________

ASAS PARADIGMA BARU WAKAF

                                                     ASAS PARADIGMA BARU WAKAF
                             Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                             “Fiqh Wakaf dan Hukum Perwakafan di Indonesia”

 

                                                                          DisusunOleh:
                                                                            Ali Khafiz
                                                                    Novinda Asmarita A
                                                                       Binti Munawaroh

                                                                       DosenPengampu:
                                                                  Nihayaturrohmah, MHI

                                                                 JURUSAN SYARIAH
                                                  PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                           SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                 (STAIN) PONOROGO
                                                                                 2015

                                                                                BAB I
                                                                      PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan).
Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa peerintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan silaturahmi, dan berakhlak yangbaik. Sementara Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan manusia untuk mengerjakannya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Asas Keabadian Manfaat ?
2.    Bagaimana Asas Pertanggungjawaban ?
3.    Bagaimana Profesionalitas Manajemen ?
4.    Bagaimana Asas Keadilan Sosial ?


                                                                                BAB II
                                                                        PEMBAHASAN


A.    Asas Keabadian Manfaat
Ajaran wakaf yang di ajarkan oleh Nabi di dasarkan oleh salah satu riwayat yang memerintahkan kepada Umar Bin Khatab agar tanah di khaibar yang di miliki nya di sedekah kan. Perintah Nabi itu menekankan bahwa keberadaan tersebut tidak boleh di perjual-belikan, di hibahkan, atau di wariskan, dan hasilnya di sedekahkan untuk kepentingan umat.
Wakaf yang dilakukan Umar tersebut di ikuti oleh Abu Talhah yang mewakafkan kebun kesayangannya “kebun Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah yang di peruntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekah.
Praktek pelaksanan wakaf yang di anjurkan oleh Nabi yang di anjurkan oleh beberapa  sahabat sangat menekankan pentingnya menahann eksistensi benda wakaf, yang di perintahkan untuk menyedekahkan  hasil dari pemgelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk di cerna dari maksut Nabi adalah bahwa isi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya, tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari nilai benda tersebut untuk kepentingan kebajikan umum. Di lingkungan masyarakat Islam di indonesia, sering memahami secara kurang proporsional tentang ajaran wakaf itu sendiri .pemahaman masyarakat tersebut memang lebih di pengaruhi oleh beberapa pandangan 5 madzhab, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i yang menekankan pentingnya keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak sekalipun pendapat-pendapat tersebut seperti : golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf  yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian berpendapat “boleh” asal diganti dengan benda tak bergerak lainya jika dirasakan bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak golongan Malikiyah membolehkan, sebab dengan adanya penukaran maka benda wakaf itu tidak akan sia-sia.
Asas kemanfaaatan benda wakaf menjadi landasan paling relevan dengan keberadaan benda itu sendiri. Lebih lebih ibadah wakaf oleh para ulama dikategorikan sebagai amal ibadah Shadaqah Jariyah yang memiliki nilai pahala yang terus mengalir walaupun yang melakukannya telah meninggal dunia. Tentu saja, dalam pandangan yang sederhana sekalipun bahwa kontinyuitas pahala yang dimaksud itu karena terkait dengan aspek kemanfaatan yang bisa di ambil secara berkisenambungan oleh pihak kebajikan (kepentingan masyarakat banyak).
Bagaimana suatu benda wakaf itu bisa dikategorikan memiliki nilai keabadian wakaf? Paling tidak ada empat hal dimana benda wakaf akan mendapatkan nilai pahala yang terus mengalir karena kemanfaatannya, yaitu:
1.    Benda tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Misalkan seseorang mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah.
2.    Benda wakaf memberikan nilai yang lebih nyata kepada para wakif itu sendiri. Secara material  para wakif boleh memanfaatkan benda wakaf tersebut sebagaimana juga berlaku bagi para penerima wakaf lainnya. Secara immaterial para wakif sudah pasti akan mendapatkan nilai pahala yang bertumpuk-tumpuk dan berkesinambungan karena benda yang diserahkan kepada kebajikan umum bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat banyak dan terus menerus.
3.    Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat materialnya. Karena titik tekan wakaf itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang banyak dari pada benda itu sendiri. Contoh, tanah wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya dibangun sebuah masjid yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi seharusnya bisa dibangun dengan mempertimbangkan letak tanah tersebut. Masjid tetap didirikan bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian nilai tanah tersebut lebih kecil dibandingkan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah, pusat perniagaan islam, pusat koordinasi pemberdayaan ekonomi lemah, dsb.
4.    Benda wakaf itu sendiri tidak menjadikan atau mengarahkan kepada bahaya bagi orang lain dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf  jiak ada seseorang yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian misalnya.

B.    Asas Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban merupakan asas paradigma baru wakaf. Sebagai sebuah ajaran yang dimiliki dimensi ilahiyyah dan insaniyah, wakaf harus dipertanggungjawabkan, baik dunia maupun diakhirat kelak. Bentuk dari pertanggungjawaban tersebut adalah pengelolaan secar sungguh-sungguh dan semangat yang didasarkan kepada:
(a)    Tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, apakah perilakunya itu sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturanNya. Segala tindakan yang terkait dengan wakaf harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
(b)    Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada  pihak yang memberikan wewenang, yaitu lembaga yang lebih tinggi sesuai dengan jenjang organisasi ke nadzhiran.
(c)    Tanggung jawab hukum yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Seorang nazhir atau orang yang diberi wewenang dalam pengelolaan wakaf selaku pemegang amanah harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya, bahwa  apa yang dilakukannya itu benar-benar sesuai hukum yang berlaku.
(d)    Tanggung jawab sosial yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat. Seseorang Nadzhir wakaf dalam melakukan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan pula kepada masyarakat secara moral bahwa perbuatannya itu bisa aman secara sosial, yaitu tidak mencederai norma-norma sosial yang ada di masyarakat.

C.    Asas Profesionalitas Manajemen
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola seada-adanya dengan menggunakan manajemen kepercayaan dan sentralisme kepemimpinan yang mengesampingkan aspek pengawasan, maka dalam pengelolaan wakaf secara modern harus menonjolkan sistem manajemen yang labih profesional. Asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan benda wakaf dalam rangka mengambil kemanfaatan yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak.
Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu, termasuk masalah yang terkait dengan manajemen jika dilakukan dengan mengikuti 4 sifat minimal yang dimiliki oleh Nabi dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang profesional. Yaitu:
(a)    Amanah (dapat dipercaya). Secara garis umum, pola menejemen dianggap profesional jika seluruh sistem yang di gunakan dapat di percaya, baik input atau output nya.  Input dalam sebuah pengelolaan bias di lihat dari sumber daya manusianya,dalam hal wakaf adalah pihak nadzhir yaitu;
•    Memiliki standar pendidikan yangtinggi (terdidik) dan standar moralitas yang unggul .
•    Memiliki ktrampilan lebih.
•    Adanya pembagian kerja atau (job diskripsen ) yang jelas, sehingga tidak akan tumpang tiindih wewenang peran dan tanggungjawab
•    Adanya hak dan kwajiban
•    Adanya standar operasional yang jelas dan terarah.
(b)    Sidiq (jujur). Di samping amanah , sidiq adalah sifat mendasar baik yang terkait dengan kepribadian SDM nya maupun bentuk program yang ditawarkan sehingga konsumen atau masyarakat merasa tidak di manfaatkan secara sepihak.
(c)    Fathanah (cerdas). Hal ini ini sangat diperlukan dalam masyarakat untuk menciptakan program yang bisa di terima oleh pasar (masyarakat) dengan menawarkan harapan yang baik dan maju.
(d)    Tablig (menyampaikan informasi yang baik). Sebenarnya konsep ini lebih kepada kemauan dan kemampuan menyampaikan segala informasi yang baik dan benar . Dalam manajemen, dalam penyebarluasan informasi yang baik dan jujur sangat terkait dengan pola pemasaran dan pelaporan keuangan.

D.    Asas Keadilan Sosial
        Penegakkan keadilan sosial dalam islam merupakan kemurnian dan realitas ajaran agama. Isi yang terkandung dalam ajaran wakaf sangat tampak adanya semangat menegakakan keadilan sosial melalui pendermawan harta untuk kebajikan umum sebagai salah satu aspek ajaran islam yang berdimensi. Wakaf menepati posisi penting dalam upaya agama ini membangun suatu sistem sosial yang berkeadilan berkesejahteraan.
    Yang terpenting dari ajaran wakaf adalah ia bukan suatu perbuatan sosial yang hanya nampak kepada sifat kedermawaan yang nampak pada seseorang tanpa adanya sebuah bangunan prinsip untuk kesejahteran masyarakat banyak. Untuk itulah, keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan yang bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi. Tanpa adanya rasa keadilan social yang dapatlah dipahami betapa beratnya hati untuk mengeluarkan harta benda dalam bentuk wakaf untuk orang lain.
    Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung pada masyarakat. Dalam ajaran pendidikan pemilikan terhadap harta benda tercantum didalamnya benda lain dengan kata lain, bahwa seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut, seperti dalam firman Allah surat Adz-Dzariyat ayat 19 yang artinya “Dan didalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar”.
Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan yang salah. Dengan menunaikan ibadah wakaf akan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis penuh rasa tanggung jawab sosial, terhindar dari pengaruh paham negatif seperti kapitalisme yang membawa pada sikap individualistis, egoistis, dan komunisme yang menghasut golongan rakyat kecil dengan orang-orang kaya dan pemerintah.
Keadilan sosial ekonomi yang islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi yang lai, yaitu :
1.    Keadilan sosial dilandasi prinsip keamanan
2.    Menggalakkan sistem pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya yang lebih diefektifkan lagi dengan mengaitkannya pada ridho Allah
3.    Keadilan sosial dalam islam berakar pada moral
 

                                                                            BAB III
                                                                          PENUTUP 
 
A.    Kesimpulan
Paradigma baru wakaf akan dapat diimplementasikan dalam masyarakat apabila, masyarakat menyadari bahwa harta wakaf perlu dikelola secara optimal, tersedianya sumberdaya manusia pengelola wakaf secara produktif, adanya kesadaran umat Islam terhadap penerapan system ekonomi syariah, dukungan politik pemerintah dalam pemberdayaan wakaf, banyak perbankan Syariah yang siap mengelola wakaf produktif.
Poin penting dalam pengeloaan adalah harus membuat harta-harta wakaf produktif saling menunjang dalam kegiatan ekonominya, sehingga merupakan satu jaringan ekonomi yang betul-betul efektif dan produktif, seolah-olah satu grup perusahaan yang saling menunjang. Hal ini seperti ini hanya bisa dilakukan jika ada kerjasama yang terprogram bagi semua harta wakaf tersebut.


                                                                  DAFTAR PUSTAKA
 
Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2007. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta Kementerian Agama RI.

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

                                         KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
                           Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                               “Peradilan Di Indonesia”


                                                                        DisusunOleh:
                                                                          Zikri Fadli
                                                                     Wildan Arifiana
                                                                    Binti Munawaroh
                                                                    DosenPengampu:
                                                                  Endrik Saifudin, MH

                                                               JURUSAN SYARIAH
                                               PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                        SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                              (STAIN) PONOROGO
                                                                              2015



                                                                             BAB I
                                                                   PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
 Pembentukan Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari konstitusisebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24 B ayat (3) UUD 1945 dalam masatugasnya tela" banyak melakukan hal-hal yang positif terutama dalam melakukan seleksi Hakim Agung namun dalam tugasnya menjaga kehormatan para Hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-tindakan unprofessional conduct dari para Hakim belum maksimal masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyangkut rekomendasi penindakan terradap seorang Hakim diabaikan oleh Mahkamah Agung.

B.    Rumusan Masalah
  1.  Apa Kekuasaan Kehakiman itu?
  2.  BagaimanaPelaksana Kekuasaan Kehakiman?
  3.  Apa Fungsi Kekuasaan Kehakiman?


                                                                             BAB II
                                                                     PEMBAHASAN

A.    Kekuasaan Kehakiman
Badan kekuasaan kehakiman diatur dalam Bab 1X, terdiri dari dua pasal yakni Pasal 24 dan 25. Ditinjau dari segi tata negara, kekuasaan kehakiman identik dengan badan “yudikatif”. Menurut pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Kemudian dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 ditegaskan: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Dari gambaran singkat badan-badan kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan ditinjau melalui pendekatan ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945, secara konstitusional, kekuasaan kehakiman termasuk salah satu badan kekuasaan negara. Porsi kekuasaan negara yang dilimpahkan UUD 1945 ialah melaksanakan “kekuasaan kehakiman”.
Makna kekuasaan kehakiman sama arti dan tujuannya dengan “kekuasaan peradilan” atau judical power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara Hukum Republik Indonesia. Pengertian kekuasaan kehakiman jangan dicampur aduk dengan Kementerian Kehakiman. Kementerian kehakiman adalah bagian dari kekuasaan pemerintah yang melaksanakan fungsi eksekutif. Kementerian kehakiman adalah salah satu “departemen” yang dipimpin oleh seorang menteri yang berkedudukan sebagai pembantu presiden. Sedang kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan badan eksekutif. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
B.    Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Menurut Pasal 24 UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang:. Kalau begitu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam melakukan fungsi dan kewenangan peradilan, terdiri dari badan-badan kehakiman atau badan-badan peradilan menurut undang-undang. Salah satu diantara badan peradilanyang ditegaskan sendiri oleh oleh Pasal 24 UUD 1945 ialah Mahkamah Agung. Sedang badan-badan kekuasaan peradilan lain akan ditentukan lebih lanjut menurut undang-undang.
Guna memenuhi apa yang ditentukan dalam pasal 24 UUD 1945 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lazim juga disebut UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Bab II yang berjudul Badan-Badan Peradilan dan Asas-Asasnya, ditentukan badan-badan kekuasaan kehakiman yang akan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dalam Negara RI. Pasal 10 menetapkan: “Kekuasaan kehakiman oleh pengadilan dalam lingkungan:
a.    Peradilan Umum
b.    Peradilan Agama
c.    Peradilan Militer
d.    Peradilan Tata Usaha Negara
Dimana letak MA menurut UU No. 14 Tahun 1970? Letak kedudukan MA berdasar  Pasal 10 ayat (2), ditempatkan sebagai “Peradilan Negara Tertinggi”, MA adalah Peengadilan Negara Tertinggi, dan sekaligus merupakan peradilan tingkat kasasi atau tingkat terakhir serta melaksanakan pengawasan tertinggi bagi semua  lingkungan peradilan, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 3 dan 4.
Dapat dilihat, disamping MA sebagai puncak dan pemenang kekuasaan tertinggi badan-badan peradilan, Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan dan membedakan empat jenis lingkungan peradilan. Dan menurut penjelasan Pasal 10 ayat 1, pebedaan antara empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Porsi pembagian bidang kewenangan masing-masing lingkungan peradilan, telah diatur lebih lanjut dalam unang-undang pelaksana dari ketentuan pasal 10 UU No.14 Tahun 1970. Dalam undang-undang pelaksana tersebut ditentukan batas bidang kewenangan mengadili (yurisdiksi) masing-masing peradilan.
Lingkungan peradilan umum menurut Bab III Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata. Peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang berkedudukan pada Kotamadya atau Kota Kabupaten. Peradilan tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang bertempat kedudukan di Ibukota Provinsi. Kewenangan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam Bab III, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan tingkat pertama lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertempat kedudukan di setiap kotamadya atau Ibukota kabupaten. Peradilan Tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertempat kedudukan di Ibukota Privinsi. Sedang lingkungan Peradilan Militer mempunyai kewenangan mengadili tidak pidana umum dan tindak pidana Militer yang dilakukan oleeh anggota ABRI (TNI dan Polri).
Sejajar dengan ketiga lingkungan peradlian diatas, didudukkan lingkungan peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan pasal 10 UU No. 14 1970 dilingkungan peradilan Agama, diundangkanlah UU No. 7 Tahun 1989. Dalam Bab 1 pasal 2jo. Bab III Pasal 49 ditetapkan tigas kewenangannya untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:
a.    Perkawinan
b.    Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan islam.
c.    Wakaf dan shadaqoh
Kewenangan Peradilan Agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang perdata dimaksud  sekaligus dikaitkan dengan asas personalita ke-Islaman yakni yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama islam. Yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh Pengadilan agama yang bertindak sebagai peradilan tingkat pertama, bertempat kedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Peradilan tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama yang bertempat kedudukan di Ibukota Provinsi.
Keempat lingkungan peradilan tersebutlah yang bertindak dan berwenang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Diatas keempat lingkungan peradilan, berdiri Mahkamah Agung sebagai puncak dalam kedudukan sebagai badan Pengadilan Negara Tertinggi. Semua badan-badan pengadilan yang terdapat pada setiap lingkungan peradilan adalah Peradilan Negara. Hal ini ditegaskan pada pasal 3 UU No 14 Tahun 1970. Masing-masing lingkungan dengan badan-badan peradilan yang ada pada setiap lingkungan, sama-sama berdiri sendiri secara otonom dibawah pengawasan Mahkamah Agung. Sama-sama sederajat dalam mengemban fungsi kekuasaan kehakiman sesuai bats-batas ruang lingkup yurisdiksi yang ditentukan undang-undang. Memang penjelasan Pasal 10 UU No 14 Tahun 1970 secara sadar menempatkan lingkungan Peradilan Umum sebagai badan Peradilan bagi rakyat pada umumnya dengan jangkauan fungsi dan kewenangan yang meliputi bidang perkara pidana dan perkara perdata. Sedang pada pihak lain menempatkan kedudukan lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai atau merupakan Peradilan khusus dan hanya berfungsi dan berwenang mengadili perkara tertentu atau mngenai golongan rakyat tertentu. Namun hal itu tidak berarti lingkungan Peradilan Umum berada di atas lingkungan peradilan yang lain.
Suatu hal yang seragam dalam setiap lingkungan peradilan, dijumpai hierarki internasinal. Rupanya pembuat undang-undang telah mematok suatu asas yang menjadi pilar setiap lingkungan peradilan yakni asas hierarki internasional badan-badan peradilan, terutama yang diatur dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat bawah atau tingkat pertama. Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat banding. Kemudian semua berpuncak ke Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi atau tingkat peradilan terakhir untuk semua lingkungan peradilan.
Kebaikan dan keburukan asas hierarki peradilan, tentu ada. Segi kebaikannya, terutama ditinjau dari segi pendekatan koreksional. Dengan disusunnya hierarki pada setiap badan peradilan yang terdapat pada semua lingkungan, kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan peradilan tingkat pertama baik mengenai tata cara mengadili maupun penerapan hukum, dapat dikoreksi dan diluruskan oleh peradilan tingkat banding. Pembuat undang-undang sadar, hakim yang bertugas pada peradilan tingkat pertama adalah manusia biasa, tidak luput dari kesalahan.untuk mengatasi kenyataan tersebut, dibuka kesempatan Bgi para pencari keadilan mengajukan upaya banding ke tingkat peradilan banding. Dengan demikian kekeliruan yang dilakukan HakimPengadilan Negeri dapat diluruskan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. Begitu juga kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan Pengadilan Agama apat diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Agama dalam tingkat banding.

C.    Fungsi Kekuasaan Kehakiman
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Menurut Logeman fungsi itu adalah suatu lingkungan kerja tertentu dalam hubungan keseluruhan.
Miriam Budiarjo menyatakan apabila memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan maka UUD dapat dianggap sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagiamana kekuasaan dibagi antara lembaga kenegaraan, misalnya kepada legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Selanjutnya menurut beliau di negara-negara demokrasi konstitusional, UUD mempunyai fungsi dalam membatasi kekuasaan pemerintahh sehingga penyelenggaraan kekuasaan negara tidak bersifat sewenang-wenang.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahn hukum dengan menerapkan hukum yang tepat dan bertujuan untk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarannya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarangan orang, melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tatapi juga memerlukan suatu perlindungan dan penyelesaiannya melalui kekuasaannya menyerahkannya kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaitu hakim.


                                                                          BAB III
                                                                   KESIMPULAN

Dalam Pasal 24 dan 25: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahn hukum dengan menerapkan hukum yang tepat dan bertujuan untk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarannya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarangan orang, melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tatapi juga memerlukan suatu perlindungan dan penyelesaiannya melalui kekuasaannya menyerahkannya kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaitu hakim



                                                             DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Muhammad Yahya.2007.Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.Jakarta : Sinar Grafika.

Saleh,K. Wentjuk.1976. Kehakiman dan Peradilan.Jakarta:Sumber Cahaya.

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM

                                 PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM
                             Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                 “Metodologi Studi Islam”
                                                                                    


                                                                           DisusunOleh:
                                                                   Masjudin Fatkhu Nizar
                                                                       Binti Munawaroh
                                                                       DosenPengampu:
                                                                  Annis Hidayatul I, MHI

                                                                   JURUSAN SYARIAH
                                                   PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                            SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                 (STAIN) PONOROGO
                                                                                 2015
                                                                                BAB I
                                                                      PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
    Sebagai agama yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
    Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
    Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian fenomenologi?
2.    Apa tujuan pendekatan fenomenologi?
3.    Bagaimana langkah-langkah pendekatan feomenologi?


                                                                              BAB II
                                                                     PEMBAHASAN

1.    Pengertian Fenomenologi
            Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.
            Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.
            Pertama kali pada tahun 1764 ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Akan tetapi mayoritas fenomenolog lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat rencana fenomenologi. Karyanya yang lain adalah Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals Logic (1929). Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan fenomenologi harus secara sangat cermat. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulis banyak diterjemahkan orang, dan tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.
            Lebih lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolp Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van der Leeuw, dan Mircea Eliade, juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami. 

2.    Tujuan  Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi memahami makna atau hakikat yang sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu sendiri. Dalam arti bahwa pendekatan fenomenologi yang dikembangkan dari pendekatan fenomenologis, membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-upaya luar dari sang peniliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah positivistik, pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusiaan, dll. 
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.
 Pendekatan Fenomenologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal. Pertama deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tat-upacara, simbolik, atau mistik, disamping deskripsi tentang ajaran-ajaran agam. Kedua deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dalam bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologis, deskripsi psikologis dan deskripsi dialektik.
3.    Langkah-langkah Metode Fenomenologi
1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
4.    Contoh pendekatan fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan.
1.      Tahlilan   
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.

BAB III
KESIMPULAN
Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.
            Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.
Langkah-langkah Fenomonologi:

1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal. Pertama deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tat-upacara, simbolik, atau mistik, disamping deskripsi tentang ajaran-ajaran agam. Kedua deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dalam bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologis, deskripsi psikologis dan deskripsi dialektik.



                                                                DAFTAR PUSTAKA

http://molimaulidaa.blogspot.com/

Ngainun, Naim.2009. Pendekatan Studi Islam.Yogyakarta: Teras.

Nurhakim, Mohammad.2004.Metodologi Studi Islam.Malang: UMM press.

HARTA WARISAN MENURUT ADAT ISLAM BW


                                           HARTA WARISAN MENURUT ADAT ISLAM  BW

                               Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                 “Hukum Waris Di Indonesia”


                                                        

                                                                            DisusunOleh:
                                                                           M Amin Atori
                                                                         Binti Munawaroh

                                                                        DosenPengampu:
                                                                         Suchamdi, M.SI


                                                                   JURUSAN SYARIAH
                                                  PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                           SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                  (STAIN) PONOROGO
                                                                                 2015


                                                                            BAB I
                                                                  PENDAHULUAN

 
A.    Latar Belakang
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.
B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana  harta warisan menurut adat?
2.    Bagaimana harta warisan menurut islam?
3.    Bagiamana harta warisan menurut  hukum perdata (BW)?


                                                                               BAB II
                                                                       PEMBAHASAN

A.    Harta Warisan Menurut Adat
Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:
a.    Harta bawaan atau harta asal
b.    Harta perkawinan
c.    Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah
d.    Harta yang menunggu

a.    Harta Bawaan atau Harta Asal
Harta bawaan atau harta asal adalah harta yang dimiliki seseorang sebelum kawin dan harta itu akan kembali kepada keluarganya bila ia meninggal tanpa anak. Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala yang menetapkan harta bawaan atau harta asal kembali kepada keluarga si pewaris bila ia meninnggal tidak mempunyai anak, yaitu:
1.    Maryam versus Husen cs, Putusan penetapan harta bawaan Nomor 79/Pdt.G/1993/PA. Palu, 28 Juli 1993
2.    Marcopolo cs versus Erna Djempa,Putusan Nomor 46/Pdt.G/1992/PN. Palu, 29 Maret 1993

b.    Harta Bersama Dalam Perkawinan
Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh dari hasil usaha suami istri selama dalam ikatan perkawinan.

c.    Harta Pusaka
Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya dinikmati/dimanfaatkan  bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya. Sebagai contoh, harta pusaka tinggi di Minang, pakaian adat perkawinan suku Kaili, alat rumah tangga, alat dapur, dan  semacamnya.

d.    Harta Yang Menunggu
Harta yang menunggu adalah harta yang akan diterima oleh ahli waris, tetapi karena satu-satunya ahli waris yang akan menerima harta itu tidak diketahui dimana ia berada.

e.    Penetapan Harta Warisan
Penetapan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia sebagai harta warisan terlebih dahulu memenuhi ketentuan sebagaimana berlaku dalam ungkapan hukum adat sossora, yaitu apabila seseorang telah meninggal dunia dan mempunyai utang, maka didahulukan pembayaran utangnya kemudian diselesaikan penyelenggaraan pemakaman jenazahnya. Sesudah jenazah pewaris dikuburkan, maka ditunaikan wasiat pewaris. Ungkapan hukum adat sossora di atas, menunjukkan bahwa dalam harta peninggal seseorang masih terkait dengan hak-hak orang lain sehingga sebelum harta peninggalan seseorang dibagi oleh ahli warisnya, terlebih dahulu diselesaikan secara berurut hal-hal sebagai berikut:

(1)    Melunasi Utang Pewaris
Apabila pewaris mempunyai utang, utang peninggalannya tersebut dibayar lunas melalui harta peninggalannya. Namun, bila harta pewaris tidak mencukupi, para ahli warisnya yang membayar utang itu sesudah mereka memusyawarahkan yang biasa  disebut sintuwu utang tomate.
 Kenyataan dalam lingkungan adat masyarakat yang mendiami negara RI, ahli waris berusaha untuk menyelesaikan seluruh utang-utang pewaris walaupun hata yang ditinggalkan itu tidak mencukupi bila dinilai dengan harta peninggalannya. Namun, utang itu tetap dibayar oleh ahli waris karena mereka beranggapan bahwa utang pewaris dapat mengakibatkan penyiksaan terhadap pewaris. Sebagai contoh, si Ahmad berutang kepada Hamid senilai 5juta yang kemudian dua bulansesudah uang itu dipinjam ia meninggal dunia yang meninggalkan harta warisan senilai 4juta dan meninggalkan ahli waris yaitu terdiri atas 5 orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak pewaris sebagai ahli waris melunasi utang ayahnya sesudah mereka musyawarah mengenai cara pembayaraannya.

(2)    Mengeluarkan Biaya Pegurusan Jenazah
Apabila salah seorang di antara masyarakat yang mendiami Kabupaten Donggala meninggal dunia yang meninggalkan harta warisan dan ahli warisan, maka para keluarga pewaris, baik keluarga sebagai ahli waris maupun keluarga yang bukan ahli waris mengurus dan memakamkan jenazah pewaris. Semua biaya pengurusan jenazah tersebut, termasuk selametan yang dilakukan sesudah pemakaman dibayar oleh ahli waris melalui harta peninggalan pewaris. Contoh H. Mohammad Beta meninggal dunia tahun 1993 yang meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki dan 3 orang perempuan. Para ahli waris itu mengeluarkan biaya pengurusan jenazah, pemakaman, dan selamatan dari harta peninggalan pewariss.

(3)    Menunaikan Wasiat Pewaris
Menunaikan wasiat pewaris dalam hukum adat masyarakat muslim yang mendiami Kabupaten Donggala sudah menjadi hukumadat yang berlaku bahwa sebelum ahli waris melaksanakan pembagian harta warisannya, mereka mendahulukan menunaikan wasiat pewaris. Contoh Pandan meninggal tahun 1992 yang meninggalkan ahli waris yang terdiri atas dua orang saudara laki-laki bersama 3 orang saudara perempuan dan sejumlah harta warisan. Para ahli waris tersebut, menunaikan wasiat pewaris berupa sebuah rumah kepada anak angkatnya sebelum mereka membagi harta warisannya.

B.    Harta Warisan Menurut Islam
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.
Harta warisan atau harta peninggalan disebut oleh al-Qur’an An-Nisa’ ayat 7 dengan istilah tarakah atau harta yang akan ditinggalkan, Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 180 beralih kepada orang yang berhak menerimanya (ahli waris). Tarakah yang disebut oleh al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat  11 an 12, yang kemudian diterjemahkan sebagai harta peninggalan terdiri atas benda dan hak-hak yang pembagiannya dilakukan menurut bagian yang ditentukan sesudah ditunaikan pembayaran utang dan wasiat pewaris. Sisa harta sesudah ditunaikannya berbagia kewajuban tersebut, itulah yang harus dibagi-bagi oleh para ahli waris sebagai harta warisan. Namun bila harta yang ditinggalkankan oleh oleh pewaris jumlahnya hanya sedikit, ulama menetakan urutan kewajiban yang harus ditunaikan oleh para ahli waris terhadap harta peninggalan pewaris.
Sehubungan dengan hak ahli waris yang disebutkan diatas, jumhur ulama golongan Sunni menetapkan tiga kewajiban yang haris dilakukan ahli waris sebelum melakukan pembagian harta peninggalan pewaris, yaitu biaya pengurusan jenazah, pelunasan utang pewaris, menunaikan wasiat pewaris.
Uraian diatas menunjukkan bahwa tidak semua harta peninggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua harta warisan baik berupa benda maupun berupa hak-hak harus bersih dari segala sangkut ppaut dengan orang lain. Dalam hukum kewarisan islam terdapat ketentuan mengeneai beberapa hal yang perlu diselesaikan sebelum dilakukann pembagian harta warisan,seperti penyelesaian urusan jenazah, pembayaran utang, dan wasiat pewaris. Selain itu, perlu diketahui bahwa warisan yang berupa hak-hak tidak berarti bendanya  dapat diwarisi. Sebagai contoh hak manfaat penggunaan sebuah rumah kontrak dapat diwariskan kepada ahli waris, tetapi rumahnya tetap menjadi hak bagi pemiliknya.

C.    Harta Warisan menurut BW
Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum diatas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris alam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Oleh karena itu harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem hukum islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka yang bebas dari tuntutan  kreditur pewaris. Sedangkan harta warisan dalam sistem hukum perdata yang bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum serta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Namun ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, yaitu hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
1.    Hak untuk memungut hasil
2.    Perjanjian pemburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi.
3.    Perjanjian pengkongsian dagang, baik yang berbentuk maarcschap menurut BW maupun firma menurut Wvk, sebab prkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota atau persero.

Pengecualian lain, yaitu ada beberapa hak yang terletak dalam lapangan hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu hukum keluarga, tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak, yaitu:
a.    Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak.
b.    Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari ayah atau ibunya.

Diatas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 833 ayat 1 BW, yaitu “Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut saisine. Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu  tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.
    Sistem waris BW tidak mengenal istilah harta asal maupun harta gono gini atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris keahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya.” Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan macam dan asal barang yang ditinggalkan pewaris. Dalam hukum adat jika seseorang meninngal dengan meninggalkan sejumlah harta, harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu, mana yang termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah dan mana yang termasuk harta gono gini, yaitu harta yang diperoleh bersama suami istri selama dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan sebaliknya yaitu harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.   


                                                                           BAB III
                                                                     KESIMPULAN

Harta warisan menurut hukum adat, hukum islam, dan hukum perdata itu berbeda. Harta warisan menurut adat adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:
a.    Harta bawaan atau harta asal
b.    Harta perkawinan
c.    Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah
d.    Harta yang menunggu
Harta warisan menurut islam adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris.
Sedangkan harta warisan menurut hukum perdata atau BW adalah seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris dalam lapangan hukum serta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.


                                                               DAFTAR PUSTAKA

Suparaman, Eman. 2007. Hukum Waris Inonesia. Bandung: PT Refika Aditama

Zainuddin.2010.Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia.Jakarta:Sinar Grafika