KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Peradilan Di Indonesia”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Peradilan Di Indonesia”
DisusunOleh:
Zikri Fadli
Wildan Arifiana
Binti Munawaroh
DosenPengampu:
Endrik Saifudin, MH
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari konstitusisebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24 B ayat (3) UUD 1945 dalam masatugasnya tela" banyak melakukan hal-hal yang positif terutama dalam melakukan seleksi Hakim Agung namun dalam tugasnya menjaga kehormatan para Hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-tindakan unprofessional conduct dari para Hakim belum maksimal masih banyak rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyangkut rekomendasi penindakan terradap seorang Hakim diabaikan oleh Mahkamah Agung.
B. Rumusan Masalah
- Apa Kekuasaan Kehakiman itu?
- BagaimanaPelaksana Kekuasaan Kehakiman?
- Apa Fungsi Kekuasaan Kehakiman?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Kehakiman
Badan kekuasaan kehakiman diatur dalam Bab 1X, terdiri dari dua pasal yakni Pasal 24 dan 25. Ditinjau dari segi tata negara, kekuasaan kehakiman identik dengan badan “yudikatif”. Menurut pasal 24 ayat (1), kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Kemudian dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 ditegaskan: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Dari gambaran singkat badan-badan kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan ditinjau melalui pendekatan ketatanegaraan yang diatur dalam UUD 1945, secara konstitusional, kekuasaan kehakiman termasuk salah satu badan kekuasaan negara. Porsi kekuasaan negara yang dilimpahkan UUD 1945 ialah melaksanakan “kekuasaan kehakiman”.
Makna kekuasaan kehakiman sama arti dan tujuannya dengan “kekuasaan peradilan” atau judical power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dalam negara Hukum Republik Indonesia. Pengertian kekuasaan kehakiman jangan dicampur aduk dengan Kementerian Kehakiman. Kementerian kehakiman adalah bagian dari kekuasaan pemerintah yang melaksanakan fungsi eksekutif. Kementerian kehakiman adalah salah satu “departemen” yang dipimpin oleh seorang menteri yang berkedudukan sebagai pembantu presiden. Sedang kekuasaan kehakiman adalah suatu badan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan badan eksekutif. Tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
B. Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Menurut Pasal 24 UUD 1945: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang:. Kalau begitu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam melakukan fungsi dan kewenangan peradilan, terdiri dari badan-badan kehakiman atau badan-badan peradilan menurut undang-undang. Salah satu diantara badan peradilanyang ditegaskan sendiri oleh oleh Pasal 24 UUD 1945 ialah Mahkamah Agung. Sedang badan-badan kekuasaan peradilan lain akan ditentukan lebih lanjut menurut undang-undang.
Guna memenuhi apa yang ditentukan dalam pasal 24 UUD 1945 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 sebagai undang-undang yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang lazim juga disebut UU Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Bab II yang berjudul Badan-Badan Peradilan dan Asas-Asasnya, ditentukan badan-badan kekuasaan kehakiman yang akan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dalam Negara RI. Pasal 10 menetapkan: “Kekuasaan kehakiman oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Dimana letak MA menurut UU No. 14 Tahun 1970? Letak kedudukan MA berdasar Pasal 10 ayat (2), ditempatkan sebagai “Peradilan Negara Tertinggi”, MA adalah Peengadilan Negara Tertinggi, dan sekaligus merupakan peradilan tingkat kasasi atau tingkat terakhir serta melaksanakan pengawasan tertinggi bagi semua lingkungan peradilan, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 3 dan 4.
Dapat dilihat, disamping MA sebagai puncak dan pemenang kekuasaan tertinggi badan-badan peradilan, Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 menetapkan dan membedakan empat jenis lingkungan peradilan. Dan menurut penjelasan Pasal 10 ayat 1, pebedaan antara empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Porsi pembagian bidang kewenangan masing-masing lingkungan peradilan, telah diatur lebih lanjut dalam unang-undang pelaksana dari ketentuan pasal 10 UU No.14 Tahun 1970. Dalam undang-undang pelaksana tersebut ditentukan batas bidang kewenangan mengadili (yurisdiksi) masing-masing peradilan.
Lingkungan peradilan umum menurut Bab III Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata. Peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang berkedudukan pada Kotamadya atau Kota Kabupaten. Peradilan tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang bertempat kedudukan di Ibukota Provinsi. Kewenangan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam Bab III, memutuskan dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Peradilan tingkat pertama lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertempat kedudukan di setiap kotamadya atau Ibukota kabupaten. Peradilan Tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara yang bertempat kedudukan di Ibukota Privinsi. Sedang lingkungan Peradilan Militer mempunyai kewenangan mengadili tidak pidana umum dan tindak pidana Militer yang dilakukan oleeh anggota ABRI (TNI dan Polri).
Sejajar dengan ketiga lingkungan peradlian diatas, didudukkan lingkungan peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman. Untuk memenuhi pelaksanaan ketentuan pasal 10 UU No. 14 1970 dilingkungan peradilan Agama, diundangkanlah UU No. 7 Tahun 1989. Dalam Bab 1 pasal 2jo. Bab III Pasal 49 ditetapkan tigas kewenangannya untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan islam.
c. Wakaf dan shadaqoh
Kewenangan Peradilan Agama memeriksa, memutus, dan menyelesaikan bidang perdata dimaksud sekaligus dikaitkan dengan asas personalita ke-Islaman yakni yang dapat ditundukkan ke dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang beragama islam. Yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh Pengadilan agama yang bertindak sebagai peradilan tingkat pertama, bertempat kedudukan di Kotamadya atau Ibukota Kabupaten. Peradilan tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama yang bertempat kedudukan di Ibukota Provinsi.
Keempat lingkungan peradilan tersebutlah yang bertindak dan berwenang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Diatas keempat lingkungan peradilan, berdiri Mahkamah Agung sebagai puncak dalam kedudukan sebagai badan Pengadilan Negara Tertinggi. Semua badan-badan pengadilan yang terdapat pada setiap lingkungan peradilan adalah Peradilan Negara. Hal ini ditegaskan pada pasal 3 UU No 14 Tahun 1970. Masing-masing lingkungan dengan badan-badan peradilan yang ada pada setiap lingkungan, sama-sama berdiri sendiri secara otonom dibawah pengawasan Mahkamah Agung. Sama-sama sederajat dalam mengemban fungsi kekuasaan kehakiman sesuai bats-batas ruang lingkup yurisdiksi yang ditentukan undang-undang. Memang penjelasan Pasal 10 UU No 14 Tahun 1970 secara sadar menempatkan lingkungan Peradilan Umum sebagai badan Peradilan bagi rakyat pada umumnya dengan jangkauan fungsi dan kewenangan yang meliputi bidang perkara pidana dan perkara perdata. Sedang pada pihak lain menempatkan kedudukan lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai atau merupakan Peradilan khusus dan hanya berfungsi dan berwenang mengadili perkara tertentu atau mngenai golongan rakyat tertentu. Namun hal itu tidak berarti lingkungan Peradilan Umum berada di atas lingkungan peradilan yang lain.
Suatu hal yang seragam dalam setiap lingkungan peradilan, dijumpai hierarki internasinal. Rupanya pembuat undang-undang telah mematok suatu asas yang menjadi pilar setiap lingkungan peradilan yakni asas hierarki internasional badan-badan peradilan, terutama yang diatur dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat bawah atau tingkat pertama. Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat banding. Kemudian semua berpuncak ke Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat kasasi atau tingkat peradilan terakhir untuk semua lingkungan peradilan.
Kebaikan dan keburukan asas hierarki peradilan, tentu ada. Segi kebaikannya, terutama ditinjau dari segi pendekatan koreksional. Dengan disusunnya hierarki pada setiap badan peradilan yang terdapat pada semua lingkungan, kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan peradilan tingkat pertama baik mengenai tata cara mengadili maupun penerapan hukum, dapat dikoreksi dan diluruskan oleh peradilan tingkat banding. Pembuat undang-undang sadar, hakim yang bertugas pada peradilan tingkat pertama adalah manusia biasa, tidak luput dari kesalahan.untuk mengatasi kenyataan tersebut, dibuka kesempatan Bgi para pencari keadilan mengajukan upaya banding ke tingkat peradilan banding. Dengan demikian kekeliruan yang dilakukan HakimPengadilan Negeri dapat diluruskan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. Begitu juga kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan Pengadilan Agama apat diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Agama dalam tingkat banding.
C. Fungsi Kekuasaan Kehakiman
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Menurut Logeman fungsi itu adalah suatu lingkungan kerja tertentu dalam hubungan keseluruhan.
Miriam Budiarjo menyatakan apabila memandang negara dari sudut kekuasaan dan menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan maka UUD dapat dianggap sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagiamana kekuasaan dibagi antara lembaga kenegaraan, misalnya kepada legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat kekuasaan bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama lain, serta merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Selanjutnya menurut beliau di negara-negara demokrasi konstitusional, UUD mempunyai fungsi dalam membatasi kekuasaan pemerintahh sehingga penyelenggaraan kekuasaan negara tidak bersifat sewenang-wenang.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehakiman menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna meegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahn hukum dengan menerapkan hukum yang tepat dan bertujuan untk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarannya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarangan orang, melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tatapi juga memerlukan suatu perlindungan dan penyelesaiannya melalui kekuasaannya menyerahkannya kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaitu hakim.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Pasal 24 dan 25: “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.”
Dalam melakukan peradilan, pengadilan mengadili berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Peradilan merupakan suatu proses persidangan yang diselenggarakan oleh badan-badan pengadilan dalam rangka menyelesaikan sengketa atau permasalahn hukum dengan menerapkan hukum yang tepat dan bertujuan untk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu bilamana terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa perkosaan hak seseorang maupun kepentingan umum, maka terhadap pelanggarannya tidak dibenarkan diambil suatu tindakan untuk menghakiminya oleh sembarangan orang, melainkan melalui suatu proses yang tidak hanya cukup dengan pencegahan, tatapi juga memerlukan suatu perlindungan dan penyelesaiannya melalui kekuasaannya menyerahkannya kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan pelaksananya yaitu hakim
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, Muhammad Yahya.2007.Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama.Jakarta : Sinar Grafika.
Saleh,K. Wentjuk.1976. Kehakiman dan Peradilan.Jakarta:Sumber Cahaya.
0 comments:
Post a Comment