This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, March 30, 2016

KASUS KIMMI CHAN

KASUS KIMMI CHAN
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Hukum Perikatan
 

Dosen pengampu :
Rifah Roihanah, M.KN
Disusun Oleh :
Nama : MUHAMAD AMIN ATORI
NIM : 210113123
KELAS : SA.C


JURUSAN SYARIAH

PRODI AHWAL SYAKHSIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO

2015

KASUS KIMMI CHAN

Gugatan wanprestasi yang dilayangkan penyanyi Kimmi Chan terhadap PT Multi Artha Griya (MAG) di Pengadilan negeri Jakarta Barat membuahkan hasil. Pihak MAG selaku pengembang Centro City Residence diwajibkan mengembalikan dana yang telah dibayarkan Kimmi sesuai surat keputusan Perkara No 356/Pdt.G/2012/PN.JKT.BAR.

"Secara terang dan jelas melakukan suatu tindakan wanprestasi (ingkar janji) dan harus membayar ganti rugi atas tindakan mereka yang secara melawan hukum tidak memberikan unit apartemen yang telah dibeli, atau mengembalikan uang dari klien kami," ungkap kuasa hukum Kimmi, Agus Setiawan saat dihubungi Jumat (1/2).

Agus juga berharap dengan adanya kasus ini pembeli property agar berhati-hati dalam bertransaksi. Bagi mereka yang memiliki kasus dengan MAG siap membantu.

"Kami menghimbau agar berhati-hati dalam membeli property. Pastikan perusahaan tersebut sehat dan tidak bermasalah dan apabila ada konsumen yang merasa dirugikan oleh perusahaan Centro City Residence, mari sama-sama kita melakukan class action agar perusahaan tersebut dapat dipailitkan. Saya akan bersedia membantu gratis," katanya lagi.

Kimmi telah empat tahun membayar cicilan apartemen yang ditempati, namun hingga kini aplikasi kepemilikan tidak juga disetujui. Padahal uang muka yang dibayarkan sebanyak 10 kali dengan total pembayaran sebesar Rp 128.524.000, juga tidak dikembalikan oleh pihak apartemen.

Kimmi pun melayangkan somasi tapi tidak mendapat tanggapan dan akhirnya mengajukan gugatan wanprestasi dan tindak pidana penipuan dan penggelapan berdasarkan Pasal 372 dan 378 KUH Pidana ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.


ANALISIS

Detik lahirnya perjanjian adalah sejak adanya kata sepakat. Ada beberapa teori untuk menentukan telah terjadi kata sepakat. Yaitu:

1.      Teori kehendak

Teori ini menekankan kehendak seseorang. Jika kehendak seseorang telah diketahui, maka dikatakan telah terjadi kata sepakat

2.      Teori pernyataan

Kehendak seseorang harus dinyatakan secara tegas untuk tercapainya kata sepakat. Jadi teori ini berpegang pada apa yang dinyatakan.

3.      Teori kepercayaan

Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

Akibat persetujuan menurut Pasal 1338 (1) BW menentukan bahwa persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa persetujuan tersebut mengikat para pihak.

Batalnya perjanjian menurut Pasal 1266 BW menetukan 3 syarat, yaitu:

1.      Harus merupakan persetujuan timbal balik

2.      Harus ada ingkar janji

3.      Putusan hakim, pembatalan harus melalui putusan hakim

Dalam kasus ini PT Multi Artha Griya sudah melakukan persetujuan atau perjanjian bersama Kimmi Chan berdasarkan teori kehendak, pernyataan, dan kepercayaan. Akan tetapi perjanjian itu harus batal karena PT MultiArtha Griya telah melakukan ingkar janji dengan tidak memberikan apartemen yang sudah dibayar oleh Kimmi Chan dan menurut pasal 1266 BW pperjanjian itu bisa dibatalkan.

Ingkar janji atau wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya kewajiban debitur dan bukan karena keadaan yang memaksa.

Ada 3 bentuk ingkar janji yaitu:

1.      Tidak memenuhi prestasi sama sekali

2.      Terlambat memenuhi prestasi

3.      Memenuhi prestasi secara tidak baik

Kasus ini adalah kasus wanprestasi karena Debitur (PT Multi Artha Griya)  tidak melaksanakan kewajibannya dan bukan karena adanya keadaan memaksa.

 Dan ini termasuk dalam bentuk tidak memenuhi prestasi sama sekali, Karena Apartemen itu sudah di bayar dengan uang muka dan total pembayaran 10 kali sebesar Rp 128.524.000, Akan tetapi Apartemen tersebut tidak diberikan kepada Kimmi Chan dan uang yang telah dibayarkan kepada PT Multi Artha Griya (MAG) tidak dikembalikan.

Dalam hal PT Multi Artha Griya ingkar janji, Kimmi Chan dapat menuntut:

1.        Pemenuhan perikatan

2.        Pemenuhan oerikatan dan ganti rugi

3.        Ganti rugi

4.        Pembatalan persetujuan timbal balik

5.        Pembatalan dengan ganti rugi

Akan tetapi ganti rugi dalam ingkar janji tidak dijelaskan secar a luas dalam BW. Ganti rugi dapat berupa sebagai pengganti dari prestasi, dapat juga berdiri dendiri disamping prestasi. Secara umum biasanya berbentuk uang  sebab dalam BW hanya diatur mengenai kerugian yang bersifat materiil saja. Dalam pasal 1246 BW menentukan:

1.      Kerugian yang nyata-nyata diderita

2.      Keuntungan yang seharusnya diperoleh

SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI

                                      SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI SOSIOLOGI
                               Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
                                                                        “SOSIOLOGI”

                                                         


                                                                           Disusun oleh:

                                                                          Zikri Fadli AS
                                                                         Siti Mahmudah
                                                                        Aan Fakhruddin

                                                                       Dosen Pengampu:
                                                           Syamsul Wathoni, S.H.I, M.SI.


                                                                 JURUSAN SYARIAH
                                          PROGRAM STUDI AKHWALU SYAHSIYAH
                                        SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                (STAIN) PONOROGO
                                                                               2015


                                                                              BAB I
                                                                   PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Sebagai kita telah maklum bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu hasil penelitian yang sistematik atas fakta-fakta mengenai bidang-bidang tertentu.
Pada ahli sosiologi mempelajari struktur-struktur dan proses-proses kehidupan sebagai suatu keseluruhan, dan karenanya memerlukan suatu pendekatan yang berlainan dari pada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang dikaitkan dengan satu dan lain aspek kehidupan sosial yang terbatas.
Kita tahu sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan hidup.
Perkembangan sosiologipun menjadi hal yang perlu diteliti factor-faktornya,  dengan kemunculan berbagai macam teori dibelahan dunia terutama di amerika, jerman dan prancis sebagai Negara yang memiliki kekuasaan atau dijuluki Negara adikuasa dan begitu juga hal-hal yang perlu kita ketahui apa yang mendasari dan melopori perkembangan sosiologi di Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah perkembangan teori sosiologi dunia ?
2.    Bagaimanakah perkembangan teori sosiologi di Indonesia ?

                                                                              BAB II
                                                                     PEMBAHASAN


A.    Sejarah Perkembangan Sosiologi
Kata sosiologi pertama digunakan oleh Auguste Comte orang Prancis pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul “Positive Philosophy” hingga Comte umumnya dianggap bapak sosiologi.
Seorang warga negara Prancis bernama Herbert Spencer pada tahun 1978 mengembangkan teori yang diberi nama “Evolusi Sosial” dimana setelah teori tersebut diterima masyarakat kemudian di tolak, namun sekarang diterima kembali dalam bentuk yang berbeda, Spencer menggunakan teori Darwin dalam masyarakat manusia. 
Kemudian pada tahun 1883, seorang Amerika yang bernama Laster Word menerbitkan sebuah buku berjudul Dynamic Sociology didalam buku itu menganjurkan suatu kemajuan sosial melalui aksi sosial yang dibimbing oleh ahli sosiologi.
Pada tahun 1895 Emile Dukheim menerbitkan buku “Rules of Sociological Metodologi of Sociological method yang menguraikan metodologi tentang bunuh diri pada berbagai kelompok masyarakat atau penduduk, memang Dukheim adalah salah satu pelapor terkemuka dalam mengembangkan sosiologi.
Max Weber 1864-1920 percaya bahwa metode-metode yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam tidak bisa digunakan untuk menguji persoalan dalam ilmu sosial.
Pada tahun 1890-an mata pelajaran sosiologi mulai diberi diberbagai universitas. Pada tahun 1895 jurnal sosiologi Amerika mulai diterbitkan pada tahun 1909 didirikan American Sociological Industrialisasi.

B.     Studi Sosiologi
Pentingnya kita mempelajari sosiologi karena dengan sosiologi kita bisa memperoleh suatu pandangan mengenai lingkungan sosial dan sekaligus bisa meneliti golongan atau masyarakat disekitar kita yang jarang atau bahkan tidak pernah kita kenal. Sasaran utama sosiologi adalah untuk meramalkan dan mengendalikan tingkah laku. 
C. Perkembangan teori sosiologi dunia
Kita mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari filsafat sosial. llmu ini membahas tentang masyarakat.
Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang masyarakat meningkat pada cakupan yang Iebih mendalam yakni menyangkut susunan kehidupan yang diharapkan dan norma-norma yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Sejak itu. berkembanglah suatu kajian baru tentang masyarakat yang disebut sosiologi.
Menurut Berger dan Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar. L Laeyendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi,   :
•    terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis,
•    tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15,
•    peruhahan di bidang sosial dan politik,
•    perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther.
•    meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern.
•    berkembangnva kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut Laeyendecker, ancaman-ancaman tersebut menyebabkan perubahan-perubahan jangka panjang yang ketika itu sangat mengguncang masyarakat Eropa dan seakan membangunkannya setelah terlena beberapa abad.
Auguste Comte, seorang filsuf Prancis. melihat perubahan-perubahan tersebut tidak saja bersifat positif seperti berkembangnva demokratisasi dalam masyarakat. tetapi juga berdampak negatif. Salah satu dampak negatif tersebut adalah terjadinya konflik antarkelas dalam masyarakat. Menurut Comte, konflik-konflik tersebut terjadi karena hilangnva norma atau pegangan (normless) bagi masvarakat dalam bertindak. Comte berkaca dari apa yang terjadi dalam masyarakat Prancis ketika itu (abad ke-19). Setelah pecahnva Revolusi Prancis, masyarakat Prancis dilanda konflik antarkelas. Comte melihat hat itu terjadi karena masyarakat tidak lagi mengetahui bagaimana mengatasi perubahan akibat revolusi dan hukum-hukum apa saja yang dapat dipakai untuk mengatur tatanan sosial masyarakat.
Oleh karena itu, Comte menyarankan agar semua penelitian tentang masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri. Comte membayangkan suatu penemuan hukum-hukum yang dapat mengatur gejala-gejala sosial. Namun. Comte belum berhasil rnengembangkan hukum-hukum sosial tersebut menjadi sebuah ilmu. Ia hanya memberi istilah bagi ilmu yang akan lahir itu dengan istilah sosiologi. Sosiologi baru berkembang menjadi sebuah ilmu setelah Emile Durkheim mengembangkan metodologi sosiologi melalui bukunya Rules Of Sosiological Method. Meskipun demikian, atas jasanva terhadap lahirnya sosiologi, Auguste Comte tetap disebut sebagai Bapak Sosiologi. Meskipun Comte mendapatkan istilah Sosiologi, Herbert Spencer-lah yang mempopulerkan istilah tersebut melalui buku Principles of Sociology. Di dalam buku tersebut, Spencer mengembangkan sistem penelitian tentang masyarakat. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas di masyarakat. 
Menurut Comte, suatu organ akan lebih sempurna jika organ itu bertambah kompleks karena ada diferensiasi (proses pembedaan) di dalam bagian-bagiannya. Spencer melihat masyarakat sebagai sebuah system yang tersusun atas bagian-bagian yang saling bergantung sebagaimana pada organisme hidup. Evolusi dan perkembangan sosial pada dasarnya akan berarti jika ada peningkatan diferensiasi dan integrasi, peningkatan pembagian kerja, dan suatu transisi dan homogen ke heterogen dan kondisi yang sederhana ke yang kompleks. Setelah buku Spencer tersebut terbit, sosiologi kemudian berkembang dengan pesat ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu Negara yang mengalami perkembangan teori sosiologi seperti dinegara bagian Amerika, perancis, dan jerman. Namun terdapat perbedaan yang mendasari munculnya dan berkembangnya sosiologi di masing-masing wilayah seperti wilayah di Amerika, perkembangan sosiologi disebabkan oleh karena munculnya lembaga-lembaga pendidikan, seperti universitas-universitas, yang melahirkan banyak ilmuan sosiologi sehingga membuatnya berkembang pesat. 
Sedangkan dibelahan Eropa, Munculnya Ilmu Sosiologi diawali dengan perkembangan masyarakat di Eropa pada abad ke-18. Proses jangka panjang lah yang menjadi tonggak awal sejarah sosiologi yaitu ditandai dengan adanya tumbuhnya kapitalisme, perubahan sosial politik, perkembangan kegerejaan, individualisme yang meningkat, terbitnya ilmu pengetahuan modern, tumbuhnya kepercayaan kepada diri sendiri. Selain itu dua revolusi, revolusi Inggris dan Perancis, juga memengaruhi perkembangan sosiologi.                 
Pada revolusi industri di Inggris, dalam karya sosiologi pertamanya The Positive Phylosophy, Auguste Comte melihat fenomena gap antara yang kaya dan yang miskin karena ketidakmerataan perkembangan ekonomi dan kesejahetraan di daerah pusat industri dan. Maka terjadilah ketidakteraturan tatanan sosial yang ada di masyarakat sehingga beberapa orang mulai berfikir bagaimana caranya dampak industrialisasi tersebut dapat memperkecil tingkat kemiskinan dan mengarahkan perkembangan masyarakat ke arah yang kebih baik. Selain itu revolusi Perancis juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan sosiologi di Eropa. Sistem kekuasaan Teokrasi yang berkembang di Perancis dengan kediktatoran raja membuat rakyat sengsara karena kesewang-wenangan sehingga muncullah revolusi Perancis yang mengusahakan kesejahteraan masyarakat. Maka sosiologi di Eropa lebih mengarah kepada penyelesaian masalah-masalah sosial (social problems solving). Sejak saat itu sosiologi berkembang pesat di Eropa.
D. Sejarah Perkembangan Sosiologi di Indonesia
Sejarah ilmu Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka. Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnva, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh.                     Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak mempraktikkan konsep-konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Hal yang sama dapat juga kita selidiki dan berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.                                     Dari uraian di atas terlihat bahwa sejarah sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagal ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan Iainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.                                  Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi satu-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.                Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.                                  Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dan golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.

- Prof.Dr.Soerjono Soekanto membagi dua periode perkembangan sosiologi di Indonesia yaitu :
1. Sebelum Proklamasi :                                      Sri Paduka Mangkunegara IV dari Surakarta, Ki Hajar Dewantara ( alm ), Snouck   Hurgronye, Van Vollen Hoven, Ter Haar, Recht Hogeschool
 2. Setelah Proklamasi :                                  Berdirinya fakultas sosiologi dan politik UGM , Munculnya karangan buku yang berjudul sosiologi Indonesia oleh M.R. djody   Gondokusumo, Hassan Shadily mengarang buku yang berjudul sosiologi untuk masyarakat   Indonesia, Selo Soemardjan mengarang buku yang berjudul social change in Yogyakarta

                                                                             BAB III
                                                                           PENUTUP

KESIMPULAN

Sosiologi pertama digunakan oleh Auguste Comte orang Prancis pada tahun 1838 dalam bukunya yang berjudul “Positive Philosophy” hingga Comte umumnya dianggap bapak sosiologi. Ada enam bagian yang merupakan garis besar dalam sosiologi dan ada tiga tahapan studi sosiologi yakni:
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
-     Sifat dasar manusia dan perkembangannya
-      Interaksi manusia dan hubungannya
-      Penyesuaian bersama dalam lingkungan
Kita mungkin bertanya bagaimana perkembangan sosiologi hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Sosiologi awalnya menjadi bagian dari filsafat sosial. llmu ini membahas tentang masyarakat.
Namun saat itu, pembahasan tentang masyarakat hanya berkisar pada hal-hal yang menarik perhatian umum saja, seperti perang, ketegangan atau konflik sosial, dan kekuasaan dalam kelas-kelas penguasa.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gondokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan balk dan golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.
dibelahan Eropa, Munculnya Ilmu Sosiologi diawali dengan perkembangan masyarakat di Eropa pada abad ke-18, sedangkan di Amerika dikarnakan kemajuan dari munculnya lembaga-lembaga pendidikan.

                                                                    DAFTAR PUSTAKA

G. Kartasapoertra, Sosiologi Umum, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987

Soejana Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Bruce. J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Rineka Cipta tahun 1992
Maryati, Kun. 2001. Sosiologi untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Ritzer, George, Dogles j Goodman.teori Sosiologi Modern, Jakarta:PRENADA MEDIA,2004





KEKUASAAN, KEWEWENANGAN DAN KEPEMIMPINAN

KEKUASAAN, KEWEWENANGAN DAN KEPEMIMPINAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Sosiologi

 


Dosen pengampu :
Syamsul Wathoni, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
M. Bisri Mustofa
Fredi David
Binti Munawaroh

JURUSAN SYARIAH
PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam ilmu sosiologi, kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, dimana pemimpin selalu ada dalam berbagai kelompok baik kelompok besar seperti pemerintahan maupun kelompok kecil seperti kelompok RT sampai kelompok ibu-ibu arisan.
Dari sekelompok individu dipilih salah satu yang mempunyai kelebihan di antara individu yang lain, dari hasil kesepakatan bersama, maka munculah seorang yang memimpin dan di sebut sebagai pemimpin. Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
Dari kepemimpinan itu, maka munculah kekuasaan. kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
Seorang pemimpin mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengarahkan anggota-anggotanya. Selain itu, pemimpin juga mempunyai wewenang untuk memerintah anggotanya. Wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
Maka kepemimpinan tidak akan pernah lepas dari kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur anggota-anggotanya. Dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana hakikat kepemimpinan, kekeuasaan, dan kewenangan yang sebenarnya karena dilihat masih banyaknya orang yang menjadi pemimpin namun menyalah gunakan kekuasaannya dan kewenangannya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kepemimpinan, kekuasaan, dan kewenangan?
2.    Apa sumber kekuasaan, dan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan?
3.    Apa bentuk-bentuk wewenang?
4.    Bagaimana sifat dan tugas-tugas seorang pemimpin?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan

-    KEKUASAAN
Definisi kekuasaan, manurut para ahli sosiologi, yaitu :
a.    Max weber, kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
b.    Selo soemardjan dan soelainan soemardi, menjelaskan bahwa adanya kekuasaan tergantung dari yang berkuasa dan yang dikuasai.
c.    Ralf dahrendorf, kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu dari pada milik struktur social.
d.    Soerjono soekanto, kekuasaan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.
-    WEWENANG
Definisi wewenang, menurut para ahli sosiologi, yaitu :
1.    George R.Terry, menjelaskan bahwa wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
2.    Mac Iver R.M, wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan pada suatu pengaturan social, yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan, keputusan, dan permasalahan penting dalam masyarakat. 
3.     Soerjono Soekanto, bila orang-orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
4.    Max weber, wewenang adalah sebagai kekuasaan yang sah.
-    KEPEMIMPINAN
Definisi kepemimpinan, diantaranya:
a.     Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
b.    Kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan suatu struktur dalam harapan dan interaksi.
c.    Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.
B.    KEKUASAAN
1.    Sumber-sumber Kekuasaan
Sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki para penguasa atau pemimpin, dalam masyarakat informal maupun formal adalah :
a)    Seseorang yang mempunyai harta benda (kekayaan) yang lebih banyak, sehingga mempunyai keleluasan untuk bergerak dan mempengaruhi pihak lain.
b)    Dengan status tertentu, seseorang dapat memberikan pengaruhnya atau memaksa pihak lain supaya melakukan sesuatu sesuai kehendaknya.
c)    Wewenang legal atas dasar peraturan-peraturan formal (hukum) yang dimiliki seseorang, dapat memberikan kekuasaan pada seseorang untuk mempengaruhi pihak lain sesuai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketetapan dalam peraturan.
d)    Kekuasaan dalam pula tumbuh dari adanya kepercayaan khalayak, seperti tradisi, kesucian, dan adat istiadat.
e)    Kekuasaan yang tumbuh dari khrisma atau wibawa seseorang.
f)    Kekuasaan yang didasarkan pada pedelegasian wewenang.
g)    Kekuasaan yang tumbuh dari pendidikan, keahlian, serta kemampuan.
2.    Unsur-unsur Kekuasaan
Soerjono Soekanto mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang dapat dijumpai pada hubungan sosial antara manusia maupun antar kelompok, yaitu yang meliputi :
1.    Rasa Takut
Perasaan takut pada seseorang pada orang lain menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tidakan pada orang yang ditakuti tadi; rasa takut ini bernuansa negatif, karena orang tersebut tunduk pada orang lain dalam keadaan yang terpaksa. Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya, seseorang atau sekelompok orang akan patuh atau berbuat apa saja sesuai dengan keinginan fihak yang ditakutinya. Disamping kepatuhan, adakalanya secara disadari atau tidak orang atau sekelompok orang itu meniru tindakan orang-orang yang ditakuti (disebut sebagai matched dependend behavior) . Rasa takut merupakan gejala umum yang terdapat dimana-mana, dan bila dilekatkan pada suatu pola pemerintahan negara rasatakut ini biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat dengan pemerintahan otoriter.
2.    Rasa Cinta
Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang bernuansa positif, orang-orang dapat bertindak sesuai dengan keinginan yang berkuasa, masing-masing fihak tidak merasakan dirugikan satu sama lain. Reaksi kedua belah fihak, yaitu antara kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat positif, dari keadaan ini maka suatu sistem kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan teratur.
3.    Kepercayaan 
Suatu kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung dari dua orang atau lebih, satu fihak secara penuh percaya pada fihak lainnya, dalam hal ini pemegang kekuasaan, terhadap segenap tindakan sesuai dengan peranan yang dilakukannya; dengan kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Unsur kepercayaan ini penting ditumbuhkan untuk melanggengkan suatu bentuk kekuasaan.
4.    Pemujaan
Suatu perasaan cinta atau sistem kepercayaan mungkin pada suatu saat dapat disangkal oleh orang lain; akan tetapi dalam sistem pemujaan, maka seseorang, sekelompok orang, bahkan hampir seluruh warga masyarakat akan selalu menyatakan pembenaran atas segala tindakan dari penguasanya, ke dalam maupun ke luar masyarakat.
3.    Cara Mempertahankan Kekuasaan
Setiap penguasa yang telah memegang kekuasaan di dalam masyarakam, demi stabilnya masyrakat tersebut, akan berusaha untuk mempertahankannya. Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah antara lain :
1.    Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa, dimana peraturan-peraturan tersebut akan menguntungkan penguasa, keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada pennguasa lain (yang baru);
2.    Mengadakan sistem-sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi agama, ideologi dan seterusnya;
3.     Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik;
4.     Mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal. 

C.    KEWEWENANGAN
Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksa¬naan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan.
Dipandang dari sudut masyarakat, kekuasaan tanpa wewenang meru¬pakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Wewenang hanya mengalami perubahan dalam bentuk. Berdasarkan kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Wewenang ada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
1.    Wewenang Kharismatis, Tradisional, dan Rasional (Legal)
Perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional, dan rasional (legal) dikemukakan oleh Max Weber. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus tadi melekat orang tersebut karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun seke¬lompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok, yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang kharismatis, tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga clan bahkan menjiwai masyarakat.
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. sistem hukum ini dipahamkan sebagai kaidah yang telah diakui, ditaati masyarakat, dan telah diperkuat oleh Negara.

2.    Wewenang Resmi dan Tidak Resmi
Wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil disebut wewenang tidak resmi karena bersifat spontan, situasional, dan factor saling kenal. Contohnya pada cirri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga atau pada diri seorang yang sedang mengajar di kelas.
Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional. Biasanya wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap.

3.    Wewenang Pribadi dan Teritorial
Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota kelompok, dan unsur kebersamaannya sangat berperan penting. Para individu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang.
Wewenang territorial, yang berperan penting yaitu tempat tinggal. Pada kelompok teroterial unsure kebersamaan cendrung berkurang, karena desakan factor-faktor individualisme. Wewenang pribadi dan territorial sangat berbeda namun dalam kenyataan keduanya berdampingan.  
   
4.    Wewenang Terbatas dan Menyeluruh
Wewenang terbatas merupakan wewenang yang tidak mencangkup semua sector dalam bidang kehidupan, namun terbatas pada salah satu sector bidang. Contohnya, seorang mentri dalam negri tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan yang yang menjadi urusan wewenang mentri luar negri.
        Wewenang meenyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Contohnya, bahwa setiap Negara mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.

D.    KEPEMIMPINAN
Sifat-sifat Kepemimpinan :
1.    Kepemimpinan otokratis, merupakan bentuk kepemimpinan yang relatif ditentukan sendiri, merupakan hukum sendiri, dimana seorang pemimpin disini menguasai segala-galanya.
2.    Kepemimpinan paternalistis, merupakan bentuk kepemimpinan yang hampir sama dengan bentuk otokratis, namun disini seorang pemimpin masih memerlukan konsultasi dengan fihak-fihak yang dianggap dapat membantu permasalahan-permasalan yang dihadapinya; kebutuhan-kebutuhan dan keinginan orang lain masihdiperhatikan, namun keputusan terakhir ada pada tangan seorang pemimpin.
3.    Kepemimpinan demokratis, merupakan bentuk kepemimpinan yang paling dianggap populer pada masyarakat yang telah maju, karena pola kepemimpinannya dianggap lebih aspiratif dan lebih bisa dipertanggung jawabkan, karena orang banyak ikut berperan dalam kebijakan-kebijakan seorang pemimpin.
4.    Kepemimpinan eksekutif, merupakan bentuk kepemimpinan yang biasanya tampil di belakang layar, bentuk ini sering tampil sebagai kelompok kecil atau wakil yang mendukung seorang pempinan.
Tugas-tugas pemimpin:
Secara sosiologis, tugas-tugas pokok seorang pemimpin adalah :
a.    Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan pegangan bagi pengikut-pengikutnya. Dengan adanya kerangka pokok, maka dapat disusun suatu sekala prioritas mengenai keputusan yang perlu diambil untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi.
b.    Mengawasi, mengendalikan, serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya.
c.    Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia di luar kelompok yang dipimpin.

BAB III
KESIMPULAN

Kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting dalam kehidupan kelompok social di masyarakat.
kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.
Sumber kekuasaan terdiri dari harta benda, status, wewenang legal, charisma, dan pendidikan. Selain itu unsure kekuasaan juga berpengaruh yaitu meliputi: rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, dan pemujaan. Lapisan kekuasaan yaitu tipe kata, tipe oligarkis, dan tipe demokratis.
Bentuk wewenang terdiri dari:
1.      Wewenang karena charisma, tradisional, dan rasional.
2.      Wewenang resmi dan tidak resmi.
3.      Wewenang pribadi dan territorial.
4.      Wewenang terbatas dan menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani.2007.SOSIOLOGI “skematika, teori, dan terapan”.Bumi aksara : Jakarta.

Soekanto, Soerjono.2012. Sosiologi Suatu Pengantar.PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta.

PENGADAAN TANAH UNTUK PELAKSANA PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Pengadaan tanah untuk pelaksana pembangunan Untuk kepentingan umum 

                                                                                                                  BAB I
                     PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Pada tanggal 17 juni 1993 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksana Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kehadiran peraturan baru ini disambut oleh banyak pihak dengan aneka macam komentar. Paling tidak ada 3 hal yang menyebabkan kehadiran  peraturan ini menjadi menarik, yaitu:
a. Persoalan tentang tanah dalam pembangunan adalah persoalan yang menarik dan sekalugus unik mengingat pembangunan nasional sangat membutuhkan tanah, tetapi kebutuhan tersebut tidak terlalu mudah untuk dipenuhi. Hal yang demikian sudah disadari oleh semua pihak dan dalam konteks dengan peraturan baru ini tampak dengan jelas dari kesadaran.
b. Peraturan hukum tentang bangaimana seharusnya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebelum ditetapkan peraturan ini sangat beragam keadaannya. Walau undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Agraria yang lebih kita kenal UUPA sebagai induk dari segenap peraturan-peraturan di negara ini, sebenarnya sudah ada arahan mengenai hal ini yang secara eksplisit diatur dalam pasal 18 UUPA mengenai “Pencabutan Hak Atas Tanah untuk Kepentingan Umum” dengan peraturan pelaksanaannya didalam Undana-undang Nomor 20 Tahun 1991 (LN 1991 No. 288) tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya. Namun peraturannya dalam praktek hampir tidak pernah dilaksanakan sama sekali, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan praktek ditetapkan berbagai peraturan tentang kebebasan tanah antara lain diatur dalam:
a. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1975, Tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara Kembebasan Tanah.
b. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1976, tentang Penggunaan cara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah bagi pembebasan Tanah oleh pihak Swasta.
c. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 2 Tahun 1985, tentang Tata cara Menggadakan tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan wilayah Kecamatan.
c. Dalam praktek pelaksanaan Pembebasn Tanah, baik yang menyangkut Pengadaan tanah bagi  kepentingan pembangunan, untuk kepentingan umum maupun pembebasan tanah untuk kepentingan swasta slalu  menimbulkan keributan dan masalah. Sehingga banyak yang mempersoalkan apakah hal ini terjadi disebabkan kekurangberesan peraturan ataukah karena ketidaksiapan aparat atau hanya sebuah akses yang memang lumrah terjadi. Tetapi adapun alasannya yang diumumnya dirugikan oleh keadaan tersebut adalah rakyat, sehingga perlu diadakan usaha perbaikan yag sudah dimulai dengan pembenahan kelembagaan dan sekaligus dengan penertidan personel sekarang disusul dengan penyempurnaan perturan.

2. Keppres No. 55 Tahun 1993 sebagai Usaha Pembaruan Hukum
Sebagai suatu peraturan baru, yang baru dibuat guna menggantikan peraturan lama yang dianggap tidak sesuai maka Keppres No. 55 Tahun 1993 memang layak disebut usaha “Pembaruan hukum”, namun untuk dapat dimasukkan dalam kegiatan Law reform perlu juga dilihat seberapa jauh reformasi yang diciptakan dapat dilihat dari struktur dan substensi hukumnya.
Dalam UUPA sebagaimana sudah disinggung tadi hanya diatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum (Pasar 18). Pada pasar-pasar berikutnya tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai “Pembebasan Tanah”. 

Mengungat dengan semakin banyaknya kasus-kasus pertanahan yang timbul berkenaan dengan pembebasan tanah ini, maka orangpun mulai mempersoalkan keberadaan peraturan-peraturan yang mengatur masalah tersebut sebagai peraturan memberikan jalan keluar yang lebig adil dan pasti. Sehingga sejak tahun yang lalu telah muncul suara-suara untuk mengganti peraturan dimaksud dengan yang lebih baik dan dalam bentuk pruduk hukum yang tidak hanya berlevelkan peraturan menteri. Hal ini baru terwujud pada tanggal 17 juni 1993 dengan ditetapnya keputusan Presiden No. 5 Tahun 1993, tentang Penggadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang kita bahas sekarang ini.
Ada beberapa prinsip pembaharuan hukum yang dapat dicatat dalam kaitannya dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 ini. Antara lain:
a. Dalam pasal 24 Keppres No. 545 Tahun 1993, disebutkan, bahwa dengan berlakunya keputusan presiden ini, maka dinyatakan tidak berlaku lagi PMDN No. 2 Tahun 1985, sebagaimana yang telah diungkapkan tersebut. Dengan demikian maka semua prinsip-prinsip poko yang dulunya diatur dalam peraturan dimaksud ditinggalkan dan digantikan dengan prinsip-prinsip poko yang digariskan dalam keppres ini. Namun, prinsip pokok yang diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993, kelihatannya baru mengarah pada penggantian PMDN No. 15 Tahun 1975 saja, sedangkan untuk peraturan lainnya akan kita bicarakan selanjutnya hanya digariskan dalam penegasan tanpa penyabaran lebih jauh dan tentunya menuntut peraturan tersendiri.
b. Dengan dilakukannya pembaruan hukum oleh Keppres No. 55 Tahun 1993, telah dinyatakan tidak berlaku tiga perturan pokok yang diatur tentang peraturan tanah, sehingga secara formal pranata yang namanya pembebasan tanah menjadi hapus dari sistem hukum pertanahan kita.
c. Penatapan peraturan pelaksanaan dimaksud pada angka 2 terkadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk memerlukan peraturan peralihan, namun sayangnya dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tidak kita jumpai adanya ketentuan peralihan dimaksud. Namun pda dalam surat edaran menteri negara Agraria/Kepala badan Pertahanan Nasional tanggal 28 juni 1993 No. 045.2. 1983 tentang Pelaksanaan keputusan presiden No. 55 Tahun 1993 pada angka 3.
d. Keppres No.55 Tahun 1993, tidak hanya sekedar kedudukan sebagai ketentuan pelaksanaan dari UUPA saja, tetapi juga punya keterkaitan dengan peraturan lainnya yang juga tentu akan menimbulkan implikasi kusus.
e. Keppres No. 55 Tahun 1993 membatasi rung lingkupnya hanya pada pengadaan tanah bagi pelaksana pembangunan untuk kepentingan umum.
f. Dalam Bab VI Keppres No.55 Tahun 1993 diatur tentang pengadaan tanah Skala kecil, sebelumnya persoalan semacam ini dengan sedikit perbedaan diatur dalam PMDN No. 2 tahun 1985, tetapi peraturan ini termasuk peraturan yang dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 Keppres No 55v Tahun 1993 menentukan pelaksana pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang seluasnya tidak lebih dari 1 (satu) Ha dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
g. Dalam Keppres No. 55 tahun 1993 mengenai bentuk ganti rugi dimungkinkan adanya “Tanah Penggantian”. Sehingga dengan cara demikian, instansi yang berkepentingan dapat saja menyerahkan tanah yang selama ini dikuasai oleh instansinya kepada masyarakat untuk dipergunakan sebagai pengganti dari tanah masyarakat yang diambil untuk kepentingan “pengganti Tanah”, karenanya juga perlu untuk mendapatkan pengaruh lebih jauh, karena hal demikian belum diatur dalam hukum pertanahan kita.
h. Menurut pasal 14 Keppres No. 55 Tahun 1993 pergantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak rakyat yang diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermamfaat bagi masyarakat setempat.
i. Pengambilan tanah guna keperluan pembangunan untuk kepentingan umum tidak hanya terbatas pada tanah yang dikuasai dengan suatu hak tertentu, akan tetapi juga terhadap tanah-tanah berstatus sebagai tanah wakaf, kesimpulan yang demikian muncul bilamana kita membaca pasal 17 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993, kepada yang memegang hak atas tanah atau ahli warinya yang sah dan nazhir bagi tanah wakaf.

Demikian beberapa hal yang dapat kita anggap persoalan baru yang dimunculkan dalam keppres ini atau persoalan yang akan memerlukan pengaturan lebih jauh dalam rangka pelaksanaan pengaturan tersebut. Hal ini sengaja ditonjolkan terlebih dahulu agar dalam pelaksanaanya nanti tidak perlu banyak timbul “ganjalan” yang berpangkal dari segi aturan hukumnya.

3.      Kepentingan Umum
Pasal 2 Ayat (1) Keppres No. 55 tahun 1993 menegaskan, bahwa ketentuan tentang pengadaan tanah dalam keputusan presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksana pembangunan untuk kepentingan umum. Dengan demikian maka ketentuan ini hanya bisa diterapkan kalau ada tuntutan kepentingan umum menghendaki diadakannya suatu proyek atau kegiatan tertentu dari pembangunan yang menghendaki “Pengadaan Tanah”.

Mengenai pengertian pengadaan tanah telah dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Bangaimana prosedur yang harus ditempuh dalam pasal 2 Ayat (2) disebutkan, bahwa pengadaan tanah bagi pelaksana pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanahdimaksud, dirumuskan dalam pasal 1 angka 2 sebagai kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah yang dikuasainya dengan memberi ganti kerugian atas dasar musyawarah.

Mengenai pengertian kepentiangan umum dalam kaitannya dengan pencabutan hakl diatur dalam undang-undang No.20 tahun 1961.
Dalam Kappres No.55 pengertian kepentingan umum dirumuskan dalam pasal 1 angka 3 sebagai kepentingan seluruh laporan masyarakat.

Perumusan yang demikian sangat sederhana sekali sifatnya bilamana, dibandingkan dengan perumusan yang sama dalam undang-undang No.20 Tahun 1961 maupun intruksi Presiden NO.9 Tahun 1973. Dalam Pasal 1 Undang-undang NO. 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya disebutkan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat., demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengat Menteri Agraria, menteri Kehakiman, dan Menteri-menteri yang bersangkutan dapay mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Kemudian pasal 5 disebutkan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan keputusan presiden ini dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan dalam bidang-bidang  antara lain sebagai berikut.
a. Jalan umum, saluran pembuangan
b. Waduk bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi.
c. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat
d. Pelabuhan, bandar udara atau terminal
e. Peribadan
f.  Pendidikan atau sekolahan
g. Pasar umum atau pasar inpres
h. Fasilitas pemakaman umum
i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana
j. Pos dan telekomunikasi
k. Sarana olahraga
l.  Statium penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungannya
m. Kantort pemerintah
n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali untuk dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita lihat secara operasional. Akan tetapi, dalam rangka pengambilan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan menjadi dasar dan kriterianya perlu ditentukan secara tegas, sehingga pengambilan tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.

4.      Panitian Pengadaan Tanah
Timbul berbagai kasus dalam masyarakat adalah sisebabkan ketidakmampuan panitia memberikan penyelesaian yang sebaik-baiknya, disamping adanya berbagai penyelewengan atau manipulsi yang dilakukan oleh oknum panitia terutama yang berkaitan dengan ganti kerugian. Karena itu, seyogianya persoalan tentang kepanitiaan ini perlu diatur secara baik dalam pengaturan, pembentukan dan penugasannya di lapangan.
Mengenai komposisi kepanitiaan dapat dibandingkan dengan panitia pembebeasan tanah sebagaimana yang disebut dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 yang terdiri diatas :
a. Kepala Subdirektorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai ketua merangkap anggota
b. Seorang pejabat dari kantor pemerintahan Dairah TK.II yang ditunjuk Oleh Bupati/Walikotanya Kepala Daerah yang bersangkuta sebagai anggota.
c.  Kepala kantor Ipeda/Ireda atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota
d.  Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah sebagai anggota
e.  Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah TK.II atau pejabat yang ditunjuknya apabila menganai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas Pertanian Daerah TK.II atau pejabat yang ditunjuknya akan mengenai tanah pertanian sebagai anggota
f.  Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota
g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota
h. Seorang pejabat dari Kantor Subdirektorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Subdirektorat Agraria Kabupaten Kotamadya yang bersangkutan sebagai sekretaris bukan anggota.

Hal lain yang menunjukkan perbedaan antara panitia Pengadaan Tanah dan Panitia Pembebasan Tanah ialah tidak duduknya lagi pihak yang memerlukan tanah dalam kepanitian walaupun dalam perundingan nantinya mereka juga dilibatkan/keadaan, yang demikian lebih menjamin objektitasnya.
Uraian mengenai tugas-tugas dari panitia akan tamoak lebih jelas dalam hubunga dengan proses pengadaan tanah dalam proses pelaksanaannya sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

Selain dari panitia yang disebutkan tadi sebenarnya masih ada lagi satu panitia yang disebut dalam undang-undang No.20 Tahun 1961 yaitu yang disebut “Panitia Penkasir” yang susuna honorarium, dan tata kerjanya ditetapkan oeh materi Agraria. Panitia ini adalah dalam konteks dengan pencabutan hak tidak pernah dilaksanakan, maka kita pun tidak banyak tahu tentang panitia ini.

5.      Proses tata Cara Pengadaan Tanah
Bagaimana prosedur yang ditempuh bilamana satu instansi pemerintah memerlukan satu areal untuk keperluan tertentu dalam melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Ada beberapa cara yang dikemukakan sehubungan dengan hal ini.
1. Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan untuk mendapatkan tanah yang diperlukan.
2. Bilamana setelah dinilai permohonan adalah instansi yang benar-benar memerlukan tanah tersebut guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, maka pemerintah setempat dalam rangka pemenuhannya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 bilamana penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dan berdasar pada rencana untuk tata ruang telah ditetapkan terlebih dahulu, oleh karena wewenang untuk menilai ini tidak diserahkan pada panitia maka penilaiannya dilakuka oleh pemerintah daerah setempat.
3. Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi barulah panitia mulai berfungsi dengan melakukan penelitian dan inventarisasi
4. Bilamana berdasarkan inventarisasi tersebut takpak bahwa proyek yang bersangkutan mempunyai dampak potensial terhadap lingkungan perlu dibuat Penyajian Imformasi Lingkungan (PIL) atau Analisasi Dampak Lingkungan (Andal) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1986
5. Apabila tidak ada halangan yang disebutkan pada angka (4) tersebut berulah kegiatan selanjutnya diteruskan. Langkah berikutnya ialah sesuai dengan tugas panitia lalu mengadakan panelitian status hukum dari tanah yang akan dilepaskan. Berdasarkan penilaian ini akan dapat ditentukan bahwa tanah yang bersangkutam adalah :
a.Tanah negara bebas
b.Tanah adat/tanah rakyat
c.Tanah yang belum terdaftar
d.Tanah yang terdaftar
6. Melakukan penaksiran ganti kerugian dan mengusulkan ganti kerugian yang harus diberikan
7. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas tanah menganai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut. Berbagai kasus timbul disebutkan oleh ketidakjelasan rencana, karena itu dalam suasana demokrasi keterbukaan dalam hubungan ini perlu dijaga.
8. Dilaksanakan musyawarah antara panitia, pemegang hak, dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
9. Bagaimana setelah musyawarah dilakukan ada dua keuntungan yang terjadi, mereka hasil memperoleh kesepakatan tentang ganti kerugiannya atau mereka tidak berhasil menyepakati bentuk dan ganti kerugian berkenaan dengan pengadaan tanah yang bersangkutan.
10. Keppres NO. 55 Tahun 1993 tidak mengatur lebih jauh bagaimana langkah selanjutnya setelah musyawarah diperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Akan tetapi dari tugas panitia yang disebut dalam Pasal 8 dapat disimpulkan, instansi yang memerlukan tanah menyerahkan uang ganti kerugian kepada pemegang hak dengan disaksi oleh panitia.

11.  Bagaimana kalau masyarakat sudah berhasil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19, panitia mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditetapkan sepihak oleh panitia.
12.  Dalam Kappres No.55 Tahun 1993 ditetapkan satu jembatan perhubungan, yang tidak kita jumpai dalam peraturan pembebasan tanah, bilamana keputusan gebernur tetap tidak disetujui oleh pemegang hak, maka proses penyelesaian selanjutnya beralih pada proses pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1961.

6.      Ganti Kerugian
Salah satu kunci yang kelihatannya juga cukup menentukan dalam Kappres No. 55 tahun 1993 ini, adalah yang berkenaan dengan ganti kerugian. Istilah ini sudah mulai dipersoalkan karena dapat mengandung konotasi yang negatif yaitu satu penggantian yang mengakibatkan orang menjadi rugi, karena itu dalam undang-undang No. 24 Tahun 1992 diperkenalkan istilah baru pergantian yang layak yang kelihatannya lebih cepat.
Menurut pasal 12 ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk :
a. Hak atas tanah
b. Bangunan
c.  Tanaman
d.  Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah
Dalam pasal 13 ditentukan bahwa bentuk ganti kerugian dapat berupa :
a. Uang
b. Tanah penganti
c.  Pemukiman kembali
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian, sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c
e.  Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Ganti kerugian dengan uang adalah menyangkut besarnya ganti kerugian dikaitkan dengan harga tanah, bangunan, dan tanaman yang akan diganti.

Penentuan besarnya ganti kerugian sebagaimana tersebut jauh lebih maju bila dibandingkan dengan penetuan yang berlaku dalam peraturan pembebasan tanah tentang ganti kerugian yang layak.

Sehubungan dengan ganti kerugian ini memang banyak hal yang dapat dicatat. Masalahnya memang berkaitang dengan persoalan ekonomo dan mempunyai dampak terhadap kehidupan ekonomi, yang mendapat ganti kerugian pada dasarnya akan merasa rugi, karena pada tanah yang mereka kuasai tertanam nilah lebih yang kadang-kadang tidak diperhitungkan, sehingga ada satu nilai yang diharapkan masyarakat meminta harga yang tinggi dan dirasakan keterlaluan oleh kiteria pihak panitia atau penilai termasuk apa yang digariskan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah bertumpu pada harga rill.

7.      Penutup
Demikian beberapa catatan singkat yang dapat dikemukakan berkenaan dengan lembaga “Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan Pembangunan untuk kepentingan Umum” yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 yang dapat dipandang sebagai pengganti dari lembaga “Pembebasan Tanah” yang sudah kita kenal sejak tahun 1975.

Berdasarkan pengalaman sejak berlakunya peraturan mengenai pembebasan tanah yang pada saat itu sangat diperlukan untuk memenuhi tuntunan pembangunan, akan tetapi mengundang masalah yang tidak sedikit sehingga diharapkan dengan penggunaan lembaga baru yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda [ada satu pihak, kita akan mampu memenuhi kebutuhan tanah yang diperlukan untuk pembangunan dan pada pihak lain pelaksanaannya tidak terlalu meberatkan rakyat.

Apa yang diataur keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 memang dapat dipandang sebagai suatu langkah maju. Akan tetapi, sebagai suatu produk hukum buatan manusia di dalamnya juga terdapat beberapa kekuranga. Segala macam kekurangan ini akan dapat dilengkapi dan diperbaiki antara lain melalui peraturan pelaksanaan yang memang akan dibuat menyusul.

Ketentuan tersebut secara umum sudah cukup memadai hanya tinggal pelaksanaannya dalam masyarakat yang tidak hanya ditentukan oleh nilai yang terkandung dalam peraturan yang bersangkutan. Telaksana atau tidaknya peraturan ini akan ditentukan oleh aparatur pelaksana, sarana, dan prasarana serta budaya hukum dari warga masyarakat untuk siapa peraturan itu dibuat. Sehingga bukan mustahil tujuan yang luhur dan deal yang terkandung dalam ketentuan itu akan berbeda jauh ketika peraturannya diterapkan.

Namun, yang penting bagi kita sekarang betapapun jeleknya peraturan dimaksud ia adalah milik kita bersama dan karena sudah diberlakukan dan perlu untuk masyarakatnan agar warga masyarakat mengetahui, memahami, dan dapat mendayagunakan ketentuan dimaksud, bilamana ia kebutulan terkena pelaksanaan peraturan ini. Untuk itulah sebenarnya tujuan seingkt ini dibuat semoga ada mamfaatnya bagi kita semua.

PENCABUTAN HAK ATAS TANAH DAN BERUPA DENDA YANG ADA

PENCABUTAN HAK ATAS TANAH DAN BERUPA DENDA YANG ADA 
                                                                                                                                 BAB I
                                                                                                                      I. PENDAHULUAN 
 
A. Latar Belakang
Dari ketentuan UUD 1945 beserta penjelasannya, kita mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (recht stoot), sedang kekuasaan negara yang tertinggi adalah di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian Indonesia menolak adanya sistem pemusatan kekuasaan (macht stoot). Presiden yang di bantu oleh para menteri negara adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ia diangkat oleh MPR untuk menjalankan Hukum Negara sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan sebelumnya oleh MPR dengan keharusan mengindahkan ketentuan hukum dasar (konstutisi) yang berlaku. Dengan kata lain presiden adalah Mandataris MPR.

                                                                               BAB II
                                                                       PEMBAHASAN

B. Tujuan dan dasar hukum perbuatan pencabutan hak milik
Kalau kita telusuri ketentuan di dalam UUD 1945 yang mulai berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1956, tak satupun peraturan di dalam pasal-pasal yang memberikan landasan hukum untuk melakukan tindakan dan atau perbuatan pencabutan hak milik tersebut. Oleh karena itu, kita wajib mencarinya menurut ketentuan hukum yang tersebut dalam pasal II Aturan Peralihan, bahwa : “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Peraturan yang ada dan dianggap masih berlaku menurut Aturan Peralihan tersebut, khususnya yang menyangkut masalah pencabutan hak milik adalah tercantum dalam pasal 27 UUDS ’50 atau juga dalam pasal 26 Konstitusi RIS, sedang secara khusus diatur dalam Onteigenengsonnatie Stb. 1920-574, yakni Undang-Undang peninggalan zaman pemerintahan Belanda. pasal 27 ayat 1 UUDS’ 50 dan atau pasal 26 Kostitusi RIS mengatakan : “Pencabutan Hak Milik (Onteigeing) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak, tidak dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan undang-undang”.[1]
Dengan adanya peraturan ini berarti bahwa ketentuan dasar yang diperlukan untuk bisa dipakai sebagi landasan hukum bagi syahnya suatu perbuatan pencabutan hak milik, yakni yang dirumuskan di dalam suatu Undang-undang, secara juridis formil telah terpenuhi.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapatah kita temukan tiga unsur pokok, yaitu :
1. Ketentuan umum membutuhkan diadakannya pencabutan hak milik itu,
2. terhadap pendabutan hak milik ini harus disertai dengan pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.
3. tindakan tersebut harus didasarkan atas ketentuan Undang-undang yang mengaturnya.
Unsur pokok tersebut c. perihal keharusan adanya undang-undang yang mengaturnya, ternyata terdapat di dalam Onteigenings-Ordonantie Stb. 1920 – 574, yang dibuat dan diberlakukan setingkat dengan undang-undang tetai Ordonnantie ini, berhubung dengan diundangkannya undang-undang pencabutan hak yang baru sebagai produk perundang-undangan nasional, yaitu UU no. 20/1961, maka Ordonnantie peninggalan pemerintah Belanda itu sekaligus dinyatakan tidak berlaku lagi di seluruh wilayah Indonesia. di dalam siktum pertimbangan sub. (a) dikatakan bahwa peraturan baru ini adalah untuk memenuhi maksud yang terkandung di dalam pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (No. 5/1960) bahwa:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak, menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.[2]
Sebenarnyalah dapat dikatakan bahwa antara kedua undang-undang ini, UUPA dengan UU Pencabutan Hak Milik, sifatnya setali tida uang. Artinya ialah bahwa di samping keduanya mempunyai obyek yang sama yaitu tanah serta hak-hak yang melekat atasnya, juga di dalam tujuannya keduanya sebagai undang-undang yang dianggap revolusioner, masing-masing mengandung kehendak untuk membersihkan anasir-anasir yang bersumber dari sistem kolonialisme Belanda di dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia yang merdeka. Ciri yang fundamentil tentang kehendak untuk melenyapkan anasir-anasir yang dianggap tidak sesuai lagi dengan alam kemerdekaan tersebut, dapat kita temukan kriterianya di dalam UUPA tersebut dalam pasal 20, yaitu mengenai pengertianhak-milik. Menurut kriteria yang beru ini maka:
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6.
Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Konsekuensi pertama terhadap pengertian hak milik tersebut adalah bahwa peraturan-peraturan tertentu yang dinyatakan bertentangan dengan isi jiwa pasal 20 dan pasal 6 tersebut, dicabut kekuatan berlakunya misalnya:[3]
1. Agrarische Wet (Stb. 1870 – 55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 “Wet op de Staatsinrichting van Nederland Indie (S. 1925 – 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu.
2. a. Domein Verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit (Stb. 1970 – 118).
b. Aglemene Domeinverklaring Stb. 1875 – 94)
c. Domein Verklaring untuk keresidenan Manado tersebut dalam pasal 1 Stb. 1870 –55.
e. Domein Verklaring untuk residental Zuider en Osterafdeling van Borneo tersebut dalam pasal 1 Stb. 1888 – 58.
3. Koninklijk besluit tgl. 16 April 1872 no. 29 (S. 1872 –117) dan peraturan pelaksanaannya.
4. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku.
Konsekuensi kedua oleh karena hak milik itu mempunyai fungsi sosial, maka kepentinganumumlah yang harus didahulukan, sedang kepentingan perorangan selama tidak menghalangi kepentingan umum tetap diakui sebagai hak yang syah dan mutlak terhadap pihak ketiga.
Karena itu pasal 1 UU No. 20/1961 secara tegas mengatakan:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan, dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Bahkan menurut ketentuan pasal 6 dari undang-undang tersebut, dibuka suatu kemungkinan perbuatan:
1. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan atas tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran ganti kerugian panitia penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu pertimbangan Kepala Daerah.
2. dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenaan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.
3. jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan atau benda-benda yang bersangkutan dalam keadaan semula dan atau memberi ganti kerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.
Lebih lanjut berkenaan dengan pasal 6 tersebut, Instruksi Presiden No. 9/1973 tanggal 17 November 1973 perihal Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya, di dalam pasal 4 disebutkan bahwa:
a. Penyediaan tanah tersebut diperlukan dalam keadaan sangat mendesak, dimana penundaan pelaksanaannya dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum.
b. Penyediaan tanah tersebut sangat diperlukan dalam suatu kegiatan pembangunan yang oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah maupun masyarakat luas pelaksanaannya dianggap tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Jadi jelaslah kiranya bahwa dengan Undang-Undang Pencabutan Hak tersebut, Pemerintah secara ilegal dibenarkan untuk, sesuai dengan tujuan undang-undang itu, memaksakan kebijaksanaannya dalam menyelenggarakan pemerintahan. Adapun tujuan dari undang-undang Pencabutan Hak adalah untuk menyelenggarakan kepentingan umum, maka elemen kepentingan umum inilah yang harus dijadikan pedoman, yaitu sampai di manakah sesuatu perbuatan pemerintah itu memenuhi adanya persyaratan “kepentingan umum” yang dimaksud.
Untuk mengetahui batasan dari elemen kepentingan umum itu, Instruksi Presiden no. 9/1973 tersebut dalam pasal 1 lampiran tentang Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak menyebutkan:
1. Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a. Kepentingan Bangsa dan Negara dan atau
b. Kepentingan masyarakat luas dan atau
c. Kepentingan rakyat banyak/bersama dan atau
d. Kepentingan pembangunan
2. Bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang-bidang:
a. Pertahanan
b. Pekerjaan umum
c. Perlengkapan umum
d. Jasa umum
e. Keagamaan
f. Ilmu pengetahuan sosial dan seni budaya
g. Kesehatan
h. Olah raga
i. Keselamatan umum terhadap bencana alam
j. Kesejahteraan sosial
k. Makam/kuburan
l. Pariwisata dan rekreasi
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
3. Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, menurut pertimbangan perlu bagi kepentingan umum.

________________________________________
[1] Prof. Dr. R. Supomo, Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, hal. 44.
[2] Budi Harsono, S.H., Undang-undang Pokok Agraria, Penerbit Djambatan th. 1973, hal. 13.
[3] Budi Harsono, S.H., Op.cit, hal. 5. tersebut dalam diktum : Memutuskan.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari ketentuan UUD 1945 beserta penjelasannya, kita mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (recht stoot), sedang kekuasaan negara yang tertinggi adalah di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan demikian Indonesia menolak adanya sistem pemusatan kekuasaan (macht stoot). Presiden yang di bantu oleh para menteri negara adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ia diangkat oleh MPR untuk menjalankan Hukum Negara sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan sebelumnya oleh MPR dengan keharusan mengindahkan ketentuan hukum dasar (konstutisi) yang berlaku. Dengan kata lain presiden adalah Mandataris MPR.