This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, March 24, 2016

Persiapan Marathon dan Ramadhan


PERSIAPAN MARATHON DAN RAMADHAN


Teman sekalian,

Coba dibayangkan, seandainya anda adalah seorang pelari nasional yang akan diutus oleh KONI untuk mengikuti lomba lari marathon dunia di Ontario, Kanada. Event tahunan ini merupakan ajang pelari menunjukkan kebolehannya dengan hadiah yang luar biasa. Untuk menghadapi lomba ini, anda akan mempersiapkan fisik dan mental jauh hari sebelum lomba.

Diantara latihan fisik yang anda lakukan adalah lari dalam jarak tertentu seperti 5, 10, 20 atau 25 km. Bahkan anda perlu mencoba lari sampai sekitar 40 km, untuk menyamai jarak yang akan dilombakan. Bisa dibayangkan kalau anda tidak melakukan latihan sampai 40 km, bisa-bisa ketika hari lomba tidak sampai finish. Hal ini menunjukkan bahwa latihan harus diusakan sesuai dengan yang akan dilombakan.

Untuk kesiapan mental terhadap cuaca di Ontario dan penduduk sekitarnya, maka anda tentunya akan tinggal di kota tersebut beberapa minggu sebelum lomba. Anda harus menyesuaikan suhu yang lebih dingin di kota tersebut. Diharapkan pada saat lomba nantinya, tubuh kita sudah siap dan tidak bakal kedinginan atau sakit perut yang bisa menyebabkan kegagalan anda.

Perumpamaan diatas mirip dengan persiapan kita ketika menghadapi bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Ramadhan yang lamanya 29 atau 30 hari membutuhkan stamina dan kesiapan yang matang. Betapa banyak kita lihat shof sholat tarawih yang penuh pada minggu pertama akan menyusut pada minggu-minggu berikutnya. Dan tidak heran kalau nanti pada minggu terakhir, beberapa warung semakin dikunjungi orang yang tidak kuat menahan haus dan lapar. Atau ada orang yang terkena gangguan kesehatan atau flu ditengah atau akhir Ramadhan, hal ini berarti fisiknya belum siap.

Untuk menghadapi Ramadhan, Rasulullah SAW sering melakukan puasa sunnat di bulan Rajab dan Sya’ban. Hal ini seperti yang tercantum dalam hadits yang diriwayatnya al-Nasa’i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): Usamah berkata pada Nabi saw, ‘Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya’ban.’ Rasul menjawab: ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.’

Ibadah lain yang kita perlu persiapkan adalah qiyamu lail atau sholat malam. Dalam bulan Ramadhan, peluang untuk melakukan sholat tahajjud akan besar karena kita akan bangun untuk melakukan sahur. Gunakan waktu sebelum sahur untuk memohon maghfiroh dan keperluan kita kepada Allah SWT.

Bacaan atau tilawah Al Quran juga harus diperbanyak karena bulan Ramadhan adalah bulan turunnya Al Quran dan dimana pahala akan dilipatgandakan. Akan merugilah kita bila waktu yang tersedia dalam bulan tersebut disia-siakan tidak untuk berdzikir atau membaca Al Quran.

Jangan lupa, kita juga perlu membuat suasana ceria dalam keluarga kita dalam menyambut bulan penuh rahmah ini. Bersih dan rapikan rumah. Buatlah hiasan dirumah agar terasa suasana Ramadhan. Buat rencana untuk beribadah bersama keluarga seperti sholat berjamaah, buka puasa dan tadarus bersama. Bahagiakan istri/suami dan anak anda agar bulan Ramadhan M Top  (Memang Top).

Wallahu a’lam.

FILSAFAT


FILSAFAT KONTEMPORER



BAB I


PENDAHULUAN


        A.       Latar Belakang


Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.

Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.

Para penulis merasa kesulitan ketika hendak menulis filsafat kontemporer, hal ini dikarenakan mereka harus mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri sehingga mereka sangat berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.

Kali ini saya akan mencoba menguraikan filsafat fenomenologi tentang hakikat suatu benda sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran serta filsafat eksistensialisme tentang manusia konkret sebagai pokok renungan dari ajaran filsafat ini. Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai filsafat yang membawahinya yakni filsafat kontemporer agar diperoleh gambaran komperhensif tentang posisi semua aliran filsafat kontemporer dalam kontelasi sejarah pemikiran Barat.



BAB II

PEMBAHASAN


A.       FILSAFAT KONTEMPORER


“There is No Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.

Segi kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Disebabkan karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court. Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung filsafat dalam abad ke-17.

Penggeseran yang lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau membebaskan.

Namum dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.

Pada abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.

Mengenai beberapa aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke-19 dan 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.


B.       ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT KONTEMPORER


Beberapa aliran-aliran dalam filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:

1.      Eksistensialisme

Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema pokok.

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.

Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.

Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.

Tokoh-tokoh Eksistensialisme:

1)      Soren Aabye Kiekeegaard

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

2)      Friedrich Nietzsche

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

3)      Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.

4)      Martin Heidegger

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

5)      Jean Paul Sartre

Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.


2.      Fenomonologi

Edmun Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.

Fenomen atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.

Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.

Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.

Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:

a.         Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,

b.        Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta

c.         Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.

Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.

Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).


3.      Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”

William James (1842-1910 M), mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru.

John Dewey (1859-1952 M), menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.


4.      Sosialisme-Komunisme (Marxisme)

Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.

Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.


BAB III

SIMPULAN


Filsafat modern telah dianggap lebih sempurna dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih ada sisi kekurangannya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.

Ada dua kekurangan pemikiran filsafat moderen: pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokoh fenomenologi adalah Edmund Husser, Max Scheller, dan Maurice Merleau-Ponty.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme antara lain: Soren Aabye Kiekeegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, dan Jean Paul Sartre.

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”

Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.





DAFTAR PUSTAKA


Fausi, imron. 2008. Tokoh-tokoh Pragmatisme. Tersedia pada (http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/pragmatisme/)

Muntansyir, Riza dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Poeja, Wijatna. 2005. Pembimbin ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enan Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: PT Gremedia Pustaka Utama

Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia

Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html.

FIQIH MU'AMALAH PINJAMAN (‘Ariyah)

FILSAFAT KONTEMPORER

PINJAMAN (‘Ariyah)


Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah

“Fiqh Mu’amalah”




BAB I


PENDAHULUAN


        A.       Latar Belakang


Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.

Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.

Para penulis merasa kesulitan ketika hendak menulis filsafat kontemporer, hal ini dikarenakan mereka harus mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri sehingga mereka sangat berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.

Kali ini saya akan mencoba menguraikan filsafat fenomenologi tentang hakikat suatu benda sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran serta filsafat eksistensialisme tentang manusia konkret sebagai pokok renungan dari ajaran filsafat ini. Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai filsafat yang membawahinya yakni filsafat kontemporer agar diperoleh gambaran komperhensif tentang posisi semua aliran filsafat kontemporer dalam kontelasi sejarah pemikiran Barat.



BAB II

PEMBAHASAN


A.       FILSAFAT KONTEMPORER


“There is No Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.

Segi kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Disebabkan karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court. Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung filsafat dalam abad ke-17.

Penggeseran yang lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau membebaskan.

Namum dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.

Pada abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.

Mengenai beberapa aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad ke-19 dan 20 kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.


B.       ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT KONTEMPORER


Beberapa aliran-aliran dalam filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:

1.      Eksistensialisme

Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema pokok.

Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.

Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.

Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.

Tokoh-tokoh Eksistensialisme:

1)      Soren Aabye Kiekeegaard

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

2)      Friedrich Nietzsche

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

3)      Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.

4)      Martin Heidegger

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

5)      Jean Paul Sartre

Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.


2.      Fenomonologi

Edmun Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.

Fenomen atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.

Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.

Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.

Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:

a.         Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,

b.        Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta

c.         Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.

Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.

Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).


3.      Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”

William James (1842-1910 M), mengemukakan, bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kia berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Menurutnya, pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru.

John Dewey (1859-1952 M), menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.


4.      Sosialisme-Komunisme (Marxisme)

Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.

Pemikiran Marx tentang ide-ide sosialis, perjuangan masyarakat kelas bawah, terutama disebabkan karena ia lahir di tengah pertumbuhan industri yang berbasis kapitalis. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan buruh dengan jam kerja yang sangat panjang setiap hari , yang sifatnya paten dan dengan upah yang sangat minim. Upah yang sangat minim yang diperoleh para buruh, bahkan hanya cukup membiayai makan sehari. Marx melihat kelas sosial yang tercipta berdasarkan hubungan kerja yang terbangun antara para pemilik modal dan buruh sangat bertentangan dengan prinsip keadilan. Kelas sosial paling bawah yang terdiri atas kelompok buruh dan budak, sering diistilahkan dengan kaum ploretar. Adanya kelas sosial yang menciptakan hubungan yang tidak seimbang tersebut, membawanya pada pemikiran ekstrem, penghapusan kelas sosial.


BAB III

SIMPULAN


Filsafat modern telah dianggap lebih sempurna dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih ada sisi kekurangannya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.

Ada dua kekurangan pemikiran filsafat moderen: pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.

Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokoh fenomenologi adalah Edmund Husser, Max Scheller, dan Maurice Merleau-Ponty.

Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme antara lain: Soren Aabye Kiekeegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, dan Jean Paul Sartre.

Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”

Teori Marxist dikemukakan oleh Karl Marx (1818-1883). Idea dasar daripada teori ini adalah penentangan terhadap adanya sistem hirarki kelas, karena ianya adalah penyebab yang paling utama didalam sosial problem dan ianya mesti diakhiri oleh revolusi proletariat (buruh). Dengan lain perkataan, boleh dijelaskan bahawa Marx mencoba mencari kesamarataan, yaitu kesamarataan antara kaum borjuis (golongan ekonomi kelas atas) dengan kaum buruh / pekerja (golongan ekonomi kelas rendah). Marx menganggap selama ini golongan pekerja atau kaum buruh telah ditindas oleh kaum elit, sehingga perlu diadakan sebuah evolusi secara drastis.





DAFTAR PUSTAKA


Fausi, imron. 2008. Tokoh-tokoh Pragmatisme. Tersedia pada (http://imronfauzi.wordpress.com/2008/06/12/pragmatisme/)

Muntansyir, Riza dkk. 2004. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Poeja, Wijatna. 2005. Pembimbin ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enan Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. Jakarta: PT Gremedia Pustaka Utama

Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia

Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html.





HUKUM TATA NEGARA PENAFSIRAN DALAM HTN


PENAFSIRAN DALAM HTN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah

“Hukum Tata Negara”






DisusunOleh:

Bayyad Saiful Hamdan

Binti Munawaroh


DosenPengampu:

Muhammad Shohibul Itmam, M.H


JURUSAN SYARIAH

PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PONOROGO

2014



BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang


Penafsiran dalam hukum yang terjadi di Negara Indonesia sering sekali dugunakan oleh para hakim-hakim. Hal yang sangat menarik memang membicarakan mengenai penafsiran dalam dunia hukum dapat dilihat dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-Undang (UU) yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau UU-nya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.


Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).


B.     Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud penafsiran?

2.      Apa saja metode penafsiran?

3.      Bagaimana hermeneutika hukum?



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Penafsiran dan Anatomi Metode Penafsiran


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.

Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran judical interpretation (penafsiran oleh hakim), dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memberbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks undang-undang dasar.

Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode penafsiran, yang paling sering ditemui adalah metode-metode yang dikemukakan Utrecht, penafsiran undang-undang dapat dilakukan dengan 5 (lima) metode penafsiran, yang terdiri dari:


1.      . Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)

Penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Utrecht memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) ini, yaitu kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan. Penafsiran yang demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa.

2.      Penafsiran historis (historische interpretatie)

Metode penafsiran dengan sejarah hukum menurut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang dan (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam arti sempit, yaitu penafsiran sejarah undang-undang adalah penafsiran yang ditarik dari risalah-risalah sidang dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-undang, penafsiran juga harus merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan cara menafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechtisstorische interpretatie). Penafsiran historis demikian itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah berlaku, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.

3.      Penafsiran sistematis

Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.

4.      Penafsiran sosiologis/teleologis

Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. contohnya pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual.

5.       Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)

Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.


Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha Bhakti, mencatat sebelas macam metode penafsiran hukum, yaitu:

a.       Interpretasi Gramatikal, menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.

b.      Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah undang-undang dan sejarah hukum.

c.       Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang0undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.

d.      Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna undang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyarakatannya ssehingga penafsiran dapat mengurangi kesenjangan antara sifat positif hukum dengan kenyataan hukum.

e.       Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara membandingkan sebagai sistem hukum.

f.       Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam proses pembahasan.

g.      Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berdasarkan kata yang maknanya sudah tertentu.

h.      Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengan melebihi batas hasil penafsiran gramatikal.

i.        Interpretasi Autentik, penafsiran yang hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah  jelas dalam undang-undang.

j.        Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

k.      Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmu lain diluar ilmu hukum.


B.     Hermeneuutika Hukum

Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta. Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkam Ilmu Hukum ketika menghadapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masalah hukum itu sendiri.

            Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat perbedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan interpretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pandangan yang penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.

            Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manusiawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.

            Pandangan konvensional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuatan undang-undang. Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai diantara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar.

Metode serupajuga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undangh-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata sebab badan pembuat undang-undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadi anggota badan pembentuk undang-undang, tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling memengaruhi suatu undang-undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya dari legislasi.

            Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menurut Leinholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materiil. Putusan-putusan mahkamah konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya. Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, dimana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan diluar batas subtansi hukum asar, melainkan mengungkapkan makna esensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisial.

            Apa perlynya kita mempersoalkan mengenai penafsiran konstitusi dan hermeneutika hukum disini? Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ilmu hukum kontemporer sebenarnya telah membawa dalam dirinya sendiri kelemahan-kelemahan yang bersifat bawaan. Kegiatan interpretasi atau penafsiran, merupakan aktifitas yang yang inheren terdapat dalam keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga berusaha memberikan tempat yang khusus kepada kegiatan interpretasi itusebagai pusat perhatia yang utama. Bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan dengan soal kata-kata sehingga aktifitas tafsir menafsir menjadi sesuatu yang sangat sentral didalamnya.

            Jika belajar dari pengalaman tradisi sistem hukum islam, akan didapati bahwa dalam rangka perkembangan ilmu fiqh dalam pengertian ilmu hukum (islam), telah berkembang luas dengan adanya ilmu ushul fiqh (filsafat hukum islam). Namun, bersamaan dengan hal itu, berkembang pula kegiatan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membentuk suatu cabang ilmu pengetahuan yang tersendiri, disamping ilmu bahasa yang didukung oleh ilmu mantiq (ilmu logika), ma’ani dan bayan, dan sebagainya. Ilmu tafsir itu terkait erat dengan aktifitas penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagai ilmu poenunjang bagi kegiataan ilmiah dibidang penafsiran hukum. Bahkan, terkait dengan hal ini berkembang pula ilmu hadits yang khusus disertai oleh “ilmu mustholah al-hadits” yamg mempelajari latar belakang hadits-hadits Nabi SAW.

            Oleh para ahli hukum, hermeneutics sebagai salah satu cabang filafat yang memusatkan perhatian mengenai kegiatan penafsiran. Kegiatan interpretasi atau penafsiran hukum tentu dapat mengembangkan epistimologinya seniri untuk tumbuh sebagai cabag ilmu pengetahuan hukum yang tersendiri. Didalamnya, bahkan apat pula dikembangkan suatu ranting ilmu yang tersendiri, yaitu ilmu penafsiran konstitusi.

            Dengan berkembangnya ilmu tafsir hukum dan kontitusi yang tersendiri, para sarjana hukum dapat iandalkan dalam bidang penafsiran hukum dan konstitusi. Kegiatan penafsiran hukum dan interpretasi konstitusi mungkin saja beraneka ragam metode dan pola kerjanya, tergantung madzhab pemikiran yang menjadi paradigma konseptual yang melandasinya atau kasus-kasus kenkret yang dihadapinya. Namun, berbagai ragam metode penafsiran tersebut akan menyediakan banyak alternatif yang rasional dan objektif untuk dipilih dalam memecahkan ssuatu kasus konkret yang dihadapi sehingga perbedaan penafsiran tidak didasarkan hanya atas perbedaan kepentingan dari para penafsir yang terlibat.



BAB III

KESIMPULAN


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir.

Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.

Metode penafsiran:

1.      Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)

2.      Penafsiran historis (historische interpretatie)

3.      Penafsiran sistematis

4.      Penafsiran sosiologis/teleologis

5.      Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)

Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya

Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA


Asshiddqie, Jimly, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok :  PT. Rajagrafindo Persada.

Utrecht, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, Jakarta: Ichtiar Baru.

Hamidi , Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, cet. I, Yogyakarta : UII Press.



 Jimly Asshiddqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), 219

 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), 208-217

 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 53-57

Ibid, 39-45

FIQIH TENTANG PUASA



MAKALAH FIQIH TENTANG PUASA


BAB I
 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
       Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar.
Banyak orang-orang yang melakasanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya,pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Seperti yang dikatakan hadits: urung rampung
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas tentang apa itu puasa, manfaat puasa, dan hikmah puasa.
 B.Rumusan Masalah
1. Apa pengertian puasa?
2.Apa macam macam puasa sunah?
3.Apa hikmahnya?

  
BAB II
PEMBAHASAN

 1. Definisi Dan Makna puasa.
Kata puasa berasal dari bahasa Arab dari akar kata sha-wa-ma yang secara tat bahasa berarti menahan, berhenti atau diam, tidak melakukan aktifitas. Manusia yang berusaha menahan diri dari apapun kegiatannya disebut al-insan shaim (orang itu berpuasa).
Dalam Al-Quran, kata-kata al-ahiyam disebutkan sebanyak delapan kali yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 182, 187, 196, 196, Al-Nisa, ayat 92, Al-Maidah ayat 89 dan 95, serta surat Al-Mujadilah ayat  4. Kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian syariah. Satu kali al-Quran menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk  tidak berbicara. Yaitu ucapan Maryam ketika ada yang mempertanyakan perihal kelahiran anaknya (Isa as) ; “Sesungguhnya Aku telah bernazar berpuasa unuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Maryam : 26)
Al-Quran juga menggunakan dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Disebutkan dalam bentuk kata kerj yang menyatakan bahwa berpuasa adalahbaik bagi kamu dalam surat Al-Baqarah ayat 184; dan barangsiapa menyaksikan bulan itu (Ramadhan) hendaknya berpuasa dalam surat Al-Baqarah ayat 185. Al-Quran juga sekali menunjuk kepada para pelaku puasa laki-laki maupun perempuan dalam surat Al-ahzab ayat 35.
Makna al-shiyam dalam syariat Islam memiliki dua penertian : Pertama, menahan diri dari segala perbuatan yang mufthirat (membatalkan); Kedua, menahan diri dari segala perbuatan yang muhlikat (merusak).
Mufthirat ialah segala tuntutan jasmaniah seperti makan, minum, dan hubungan seksual suami istri. Menahan diri dari mufthirat berarti menghentikan segala kegiatan jasmaniah tadi sejak terbit fajar hingga terbenam matahari selama bulan ramadhan, dilandasi keimanan dan ketaatan terhadap Allah, serta mengharapkjan keridhaan-Nya semata-mata. Padahal pada hari-hari biasa (di luar Ramadhan), semua perbuatan itu dihalalkan.
Muhlikat ialah segala tuntutan nafsu dan syahwat yang menjurus kepada perbuatan dosa (munkar dan maksiat) seperti berdusta, menista, memfitnah, menghasut, menggunjing, mengadu domba, menipu, dan perbuatan keji tidak terpuji lainnya. Semua perbuatan muhlikat tadi diharamkan bagi manusia mukmin bukan pada bulan Ramadhan saja melainkan juga pada setiap saat.
Memahan diri dari perbuatan mufthirat dan muhlikat itulah yang dimaksut dengan ibadah puasa dalam syariat Islam. Nabi Muhammad saw bersabda : “Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum saja, melainkan juga menahan diri dari perbuatan jahat dan keji. Bila ada orang mencaci-maki atau hendak belaku jahat kepadamu, maka katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya aku berpuasa, sesungguhnya aku berpuasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim).
“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, dan beramal dengannya, maka tidak ada penilaian Allah atas jerih payahnya meninggalkan  makan dan minum itu”. (HR. Jamaah)[1].
 2. Keutamaan Puasa.
Di dalam kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw terdapat banyak nash yang mendorong orang uintuk melakukan puasa, menjelaskan keutamaannya dan pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang berpuasa. Berikut penjelasannya ;
1.      Dasar dari Al-Quran.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetep dalam dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (Al-Ahzab : 35)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”. (At-Taubah : 112)
As-Sa’ihun (orang-orang yang melawat) artinya orang-orang yang berpuasa.

2.      Dasar dari hadits Rasulullah saw.
Dari Abu Huraira ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Semua amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Puasa adalah perisai (dari perbuatan maksiat) dan apabila seorang darimu telah berpuasa, maka janganlah dia berkata kotor, brteriak dengan suara keras dan bila seorang mencelanya atau mengajaknya berkelahi, hendaknya ia mengatakan, “ Sesungguhnya aku sedang berpuasa. “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi allah dari minyak kasturi. Orang yang berpuasa meraih dua kesenangan; bila ia berbuka ia merasa senang dan ia berjumpa dengan Rabbnya ia senang dengan puasanya”. (HR. Bukhari dan Musim)
Dari Sahal bin Said ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, “sesungguhnya di dalam surga ada sebuah pintu yang disebut dengan ar-Rayyan yang kelak pada hari kiamat akan dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa dan tidak ada orang lain selain mereka yang memasukinya. Dikatakan, “Mana orang-orang yang berpuasa? “ Mereka lalu bangun dan tak seorangpun yang masuk selain mereka. Ketika mereka telah masuk, pintu dikunci sehingga tidak ada yang masuk kecuali mereka”. (HR. Bukhari dan Musliu)
Dari Abu Huraira ra, bahwasannya Rasulullah saw berabda “Barang siapa menafkahkan dua harta kekayaannya di jalan Allah, maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, “Wahai hamba Allah ini adalah kebaikan! “Barangsiapa termasuk orang-orang yang melakukan shalat, maka ia akan dipanggil dari pintu shalat, barangsiapa termasuk sebagai orang-orang berjihad, maka ia akan dipanggil dari pintu jihad, barang siapa termasuk orang-orang yang melakukan puasa, maka ia akan di panggil dari pinyu ar-Rayyan dan barangsiapa termasuk orang-orang yang bershadaqah, maka ia akan di panggil dari pintu shadaqah. Lalau Abu Bakar berkata, “Bapakku dan Ibuku sebagai tebusanmu wahai Rasulullah, tidak seorangpun yang butuh dipanggil dari pintu-pintu itu, namun adakah orang yang dipanggil dari semua pintu-ointu itu? “Beliau menjawab, “Ya, ada dan aku berharap engkau termasuk dari mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Said al-Khudri ra iaberkata bahwa rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, ia berkata bahwa umar ra berkata, “Siapakah yang menghafal hadits dari Rasulullah saw tentang fitnah? “Hudzaifah menjawab, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Fitnah (ujian) yang menimpa seorang pada istrinya, hartanya dan tetangganya akan di hapus oleh shalat, puasa dan shadaqah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Mas’ud ra ia berkata, “Aku bersama Rasulullah saw lalu beliau bersabda, “Barangsiapa mampu menikah, menikahlah, karena menikah lebih mampu menahan pandangan dan menjaga kemaluan dan barangsiapa tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa akan lebih mampu menahan nafsu syahwat”. (HR. Bukhari dan Musli)
Dari Abu Umamah al-bahili ra ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah saw, lalu aku berkata, “Perintahkanlah aku melakukan sesuatu yang aku terima darimu! “Beliau bersabda, “Berpuasalah, karena puasa tidak ada tandingannya”. (HR. An-Nasa’i, ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu hibban, al-Hakim dan Abu na’im). [2]
Oleh karena puasa bertujuan menjadikan manusia yang taqwa, maka ia tentu saja mamiliki hikmah, baik ditinjau dari segi kejiwaan (psikologi), jasmani (pisiologi), maupun kemasyarakatan (sosiologi). ditinjau dari segi kejiwaan (psikologi) hikmah puasa yang terpenting ialah membentuk watak untuk patuh dan disiplin terhadap suatu peraturan. Orang yang melakukan puasa berusaha untuk mengendalikan diri serta mematuhi peraturan, yaitu pepraturan yang melarang untuk makan, minum dan melakukan hubungan seks yang sah dalam jangka waktu tertentu. Ia mematuhi peraturan itu tanpa perasaan takut sedikit pun kepada sanksi hukuman. Tetapi betul-betul karena kepatuhan dan kecintaan. Singkatnya, hikmah puasa yang terutama ditinjau dari segi psikologi ialah mengendalikan diri (self-discipline). [3]
Karena puasa bertujuan membentuk manusia yang taqwa, maka ia tentu memiliki hikmah dan faedah yang besar bagi para remaja. Remaja yang masih dalam keadaan transisi yang penuh krisis dan gejolak itu sangat membutuhkan bimbingan dang pegangan yang mantap, sehingga ia akan mampu melewati masa itu dengan selamat dan sukses. Bimbingan dan pegangan yang ampuh untuk mengatasi segala gejolak itu tiada lain hanyalah puasa dan pendidikan agama. Dengan berpuasa yang betul dan seperti yang dikehendaki oleh Allah, segala nafsu-nafsu syetan, seperti onani, homoseks, akan terkendalikan.
Tentang keampuhan puasa dalam memberikan bimbingan kepada remaja dalam mengendalikan diri dari nafsu birahi telah dijelaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya:
     "Wahai para pemuda! barangsiapa di antara kamu telah sanggup (memilili biaya untuk kawin), maka hendaklah kawin, karena sesungguhnya kawin itu memelihara mata dan menjaga kesucian faraj. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa. sesungguhnya puasa itu baginya dapat mangurangi nafsu syahwat."
jadi dari hadits di atas, puasa akan bisa mengurangi intensitas nafsu syahwat. Dan inilah media yang paling baik untuk melumpuhkan dorongan syahwat pada diri remaja, yang memang kadang-kadang sulit untuk dikendalikan, sehingga membawa akibat bejatnya moral remaja. Demikian di antara hikmah puasa bagi remaja.[4]

 3. Macam-Macam Puasa Sunnah. 

1. Puasa Enam Hari Di Bulan Syawal.
            Disunnahkan mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan syawal dan itu sebanding dengan puasa selama setahun.
            Diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia mengiringnya dengan puasa enam hari di bulan syawal, maka ia seperti berpuasa selama setahun”. (HR. Muslim)
            Imam an-Nawawi berkata dalam syarh Muslim mengatakan, “Para ulama mengatakan bahwa itu sebandingdengan puasa setahun karenasatu kebaikan balasannyasepuluh kali lipat dan puasa sebulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan, sedang puasa enam hari sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab an-nasa’i.
            Apakah syarat enam hari harus dilakukan secara berurutan?
            “Tidak disyaratkan dilakukan secara berturut. Sehingga boleh saja dilakukan langsung setelah berbuka (pada hari raya), atau terpisah antara keduanya, atau dilakukan berurutan, atau secara acak. Sebab Nabi saw bersabda, “Dan iringilah puasa Ramadhan dengan puasa enam hari bulan syawal”.
            Rasulullah saw menjadikan bulan syawal semuanya waktu untuk berpuasa tanpa mengkhususkan sebagian dari sebagian yang lain. Seandainya beliau menentukan sebagian saja, tentu beliau mengatakan enam hari pada awal bulan atau enam hari pada akhir bulan. Mengiringi Ramadhan dengan puasa enam hari bisa dilakukan di awal syawal dan bisa pula di akhir. Sebab pasti antara puasa tersebut dan puasa Ramadhan terpisah dengan hari raya, padahal hari itu juga ternasuk bulan syawal.
            Dengan demikian dapat juga diketahuibahwa puasa syawal pasti tidak menyatu dengan puasa Ramadhan (karena di pisahkan dengan harti raya). Kemudian karena melakukannya di awal bulanitu kuat karena lebih dekat dengan Ramadhan dan lebih tersambung, dan melakukannya di akhir juga kuat karena menghindari menyatukan dengan puasa Ramadhan dengan puasa selainnya, atau menjadikan hari raya seperti yang dilakukan sebagian orang, maka keduanya adalah seimbang (di awal atau di akhir)”.

2. Puasa Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah.
            Disunnahkan puasa pada sepuluh hari pertama pada bulan dzulhijjah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada amal yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih baik daripada yang dilakukan pada sepuluh hari ini. “Para sahabat bertanya, “Tidak pula jihad? “Beliau menjawab, “Tidak pula jihad, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan membawa apapun”. 

3. Puasa Arafah.
Disunnahkan berpuasa pada hari Arafah bagi selain orang yang melakukan haji berdasarkan hadits riwayat Abu Qatadah bahwa Rasulullah saw bersabda; “Berpuasa pada hari Arafah aku mengharapkan Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang”. (HR. Muslim).
Imam an-Nawawi berkata dalam al-Majmu mengatakan sabda Nabi mengenai hari arafah bahwa, “Ia dapat menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”.
Dikemukakan olah al-Mawardi dalam al-Hawi bahwa hadits ini memiliki dua penafsiran :
Pertama, Allah menghapus dosa-dosa yang dilakukan seseorang selama dua tahun.
Kedua, Allah menjaga seseorang dari melakukan dosa selama dua tahun, sehingga selama itu ia tidak akan bermaksiat.
AS-Sarkhasi berkata, “Adapun pada tahun pertama, maka semua dosa yang dilakukan pada masa itu akan dihapus. “Selanjutnya ia mengatakan, “Sementara itu ulama berbeda pendapat dalam memahami makna penghapusan dosa pada tahun yang akan datang. Sebagian mengatakan “Jika seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, maka Allah akan menjadikan puasa hari arafah yang lalu sebagai penghapusnya, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa-dosa tahun sebelumnya. “Sebagian lagi mengatakan, Allah menjaganya melakukan dosa-dosa di tahun depan”.
Penulis al-Uddah mengatakan bahwa penghapusan dosa-dosa pada tahun depan memiliki dua makna :
Pertama, meksudnya adalah tahun yang lalu. Sehingga maknanya adalah bahwa puasa itu menghapus dosa-dosa yang dilakukan dua tahun yang lalu.
Kedua, maksudnya memang menghapus dosa-dosa di tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.
Dia juga berkata, “Tidak ada ibadah yang sama dengannya yang dapat menghapus dosa-dosa di masa yang akan datang. Ini hanya pada diri Rasulullah saw secara khusus, dimana Allah telah mengampuni kesalahannya yang lalu dan yang akan datang berdasarkan Al-Quran”.
Imam al-Haramain telah menyebutkan dua makna ini. Ia berkata, “Semua hadits-hadits yang menerangkan tentang penghapusan dosa, menurut saya berlaku pada dosa-dosa kecil bukan dosa besar”. Inilah pendapatnya yang didukung oleh hadits shahih diantaranya hadits Utsman ra yang mengatakan.
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “apabila telah tiba bagi seorang Muslim saatnya melakukan shalat wajib, lalu ia memperbaiki wudhunya, kekusyuannya dan rukuknya maka semua itu akan menghapuskan dosa-dosanya yang lalu selama ia tidak melakukan dosa besar dan itu berlaku  sepanjang masa”. (hr. Muslim)

4. Puasa Di Bulan Muharram.
            Rasulullah saw menganjurkan puasa pada bulan Muharram dan menjadikannya sebagai bulan yang mulia  setelah bulan Ramadhan.
            Abu Huraira berkata bahwa Rasululla saw bersabda, “Puasa yang paling utama setalah puasa Ramadhan adalah puasa bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam”. (HR. Muslim)
            Perkataan Ibnu Rajab dalam Lathaif al-Ma’arif : “Nabi saw menamakan bulan Muharram dengan bulan Allah dan penyandarannya kepada Allah menunjukkan kemuliaan bulan ini. Karena Allah tidak akan menyandarkan kepada-Nya kecuali makhluk pilihan-Nya. Seperti Dia menisbatkan Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya’kub dan Nabi-Nabi yang lain kepada penghambaan-Nya. Allah juga menisbatkan kepada-Nya rumah-Nya (Baitullah) dan unta-Nya (Naqatullah). Ketika bulan ini memiliki keistimewaan dengan disandarkannya kepada-Nya dan puasa adalah ibadah yang juga disandarkan kepada-Nya karena puasa adalah milikNya, maka pantaslah bulan yang disandarkan kepada Allah mendapatkan keistimewaan tersendiri dengan amal yang juga disandarkan kepadaNya yakni puasa”. 

5. Puasa Hari Asyura (Tanggal Sepuluh Bulan Muharram)
            Disunnahkan puasa pada hari Asyura dan Ibnu Abdil bar dan an-Nawawi telah mengutip ijma’ ulama tentang disunnahkan puasa pada hari ini.
            Abu Qatadah ra mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Puasa hari Asyura aku mengharapkan Allah akan menghapus dosa-dosa ditahun sebelumnya”. (HR. Muslim)
            Muawiyah bin Abu Sufyan berkata, “aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Ini adalah hari Asyura’ dan Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa, Tetapi saya akan puasa, maka barangsiapa yang ingin puasa, puasalah dan barangsiapa ingin berbuka, berbukalah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
            Namun demikian, alangkah lebih baiknya puasa hari Asyura diikuti dengan puasa pada tanggal sembilan bulan Muharram. Hal ini didasarkan pada hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Ketika Rasulullah saw berpuasa hari Asyura dan memerintahkannya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan kaum yahudi dan nasrani. “Lalu Rasulullah saw bersabda, “Pada tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa pada tanggal sembilan. “Ibnu Abbas berkata, “Sebelum tiba tahun depan Rasulullah saw telah wafat”.
            Diriwayatkan secara Shahih dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Berbedalah dengan kaum Yahudi dan berpuasalah pada tangga sembilan dan sepuluh”.
6. Puasa Sya’ban.
            Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban untuk mengikuti perbuatan Rasulullah saw, dimana beliau selalu berpuasa pada bulan tersebut kecuali beberapa hari saja beliau berbuka
            Aisyah berkata, “Rasulullah saw selalu berpuasa hingga kami mengatakan beliau pernah berbuka dan beliaupun berbuka hingga kami mengatakan beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa sebulah penuh kecuali pada bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa seperti yang dilakukannya pada bulan Sya’ban”.
            Sementara dalam riwayat Muslim dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Nabi saw berpuasa dalam satu bulan melebihi banyaknya puasa yang beliau lakukan pada bulan Sya’ban. Kadang beliau berpuasa pada bulan Sya’ban sebulan penuh dan kadang hanya beberapa hari saja beliau berbuka pada bulan itu.”

7. Puasa Senin Kamis
            Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis karena pada kedua hari itu amal-amal diangkat kepada Rabb alam semesta dan untuk mengikuti perbuatan Rasulullah saw dimana beliau selalu berupaya berpuasa pada kedua hari tersebut.
            Aisyah saw berkata, “Rasulullah saw selalu berupaya berpuasa pada hari senin dan kamis.”
            Abu Qatadah al-Anshari ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw ketika ditanya tentang bagaimana puasanya, beliau marah. Lalu Umar berkata, “Kami ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Rasulullah dan baiat kami sebagai baiat”. Lalu beliau ditanya tentang puasa seumur hidup? Beliau menjawab, “Berarti seseorang tidak berpuasa dan tidak pula berbuka? Lalu beliau ditanya tentang puasa dua hari dan berbuka sehari? Beliau menjawab, “Siapa yang mampu melakukan itu? “Lalu beliau ditanya tentang berpuasa sehari dan berbuka dua hari. Jawab beliau, “Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk melakukan itu. “Lalu beliau ditanya tentang berpuasa sehari dan berbuka sehari. Beliau menjawab, “Itu adalah puasa saudaraku Nabi Daus as.”Lalu beliau ditanya tentang puasa hari senin. Beliau menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku dan diutusnya aku atau diturunkan wahyu kepadaku”. Abu Qatadah mengatakan Rasulullah saw bersabda, “Berpuasa tiga hari setiap bulan dan berpuasa pada bulan Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya adalah berpuasa seumur hidup. “Lalu beliau ditanya tentang berpuasa pada hari Arafah. Beliau menjawab, “Itu dapat menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”. Lalu beliau ditanya tentang berpuasa pada hari Asyura. Beliau menjawab, “Itu dapat menghapus dosa-dosa pada tahun lalu”. (HR. Muslim).

8. Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan.
            Berpuasa tiga hari setiap bulan adalah Sunnah dan sebanding dengan berpuasa sepanjang masa. Abu huraira ra berkata, Kekasihku (Rasulullah saw) mewasiatkan kepadaku tiga hal; berpuasa tiga hari setiap bulan, melakukan dua rakaat shalat dhuha dan melakukan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
            Abu Darda’ ra berkata, “Kekasihkku Rasulullah saw mewasiatkan kepadaku tiga hal aku tidak meninggalkannya selama aku masih hidup; berpuasa tiga hari setiap bulan, melakukan shalat dhuha dan tidak tidur sebelum melakukan shalat witir”. (HR. Muslim)
            Disunnahkan melakukan puasa tiga hari pada hari-hari putih (tanggal 13, 14, 15) sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu al-Hutakiyah. Ia berkata, “Siapa yang hadir bersama kami pada hari yang susah? “Abu dzar menjawab, “Aku”. Rasulullah saw diberi kelinci lalu laki-laki yang memberinya berkata, “Aku melihat kelinci itu terluka hingga mengeluarkan darah. “Rasulullah saw tidak makan lalu beliau bersabda, “Makanlah!” Seorang laki-laki berkata, “Sesungguhnya saya sedang berpuasa. “Nabi bertanya, “Puasa apa yang sedang kamu lakukan? “Dia menjawab, “Puasa tiga hari setiap bulan”. Beliau bertanya lagi, “Lalu apa yang kamu lakukan pada hari-hari yang putih terang; 13, 14, 15?“ (HR. An-Nasa’i, Ahmad, al-Humaidi, Abdurrazzaq, dan Ibnu Khuzaimah).

9. Berpuasa Sehari Dan Berbuka Sehari.
            Berpuasa sehari dan bebuka sehari adalah puasa Nabi Daud as dan itu adalah puasa yang paling utama, paling adil dan paling dicintai Allah.
            Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw berkata kepadanya, “Shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Nabi Daud as dan puasa yang disukai Allah juga puasa Nabi Daud as. Tidur separuh malam, shalat sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari”. (HR. Bukhari dan Muslim)[5] .
  
BAB III
KESIMPULAN

·         Kata puasa berasal dari bahasa Arab dari akar kata sha-wa-ma yang secara tat bahasa berarti menahan, berhenti atau diam, tidak melakukan aktifitas. Manusia yang berusaha menahan diri dari apapun kegiatannya disebut al-insan shaim (orang itu berpuasa).
·         Macam macam puasa adalah:
1.Puasa 6 hari di bulan syawal
2.Puasa 10 hari pertama bulan dzulhijah
3.Puasa arafah
4.Puasa di bulan ramadhan
5.Puasa hari asyura
6.Puasa sya’ban
7.Puasa senin kamis
8.Puasa 3 hari setiap bulan
9.Puasa sehari dan berbuka sehari
·         Hikmah Puasa:
1.      Ditinjau dari segi kejiwaan (psikologi), jasmani (pisiologi), maupun kemasyarakatan (sosiologi). ditinjau dari segi kejiwaan (psikologi) hikmah puasa yang terpenting ialah membentuk watak untuk patuh dan disiplin terhadap suatu peraturan. Orang yang melakukan puasa berusaha untuk mengendalikan diri serta mematuhi peraturan, yaitu pepraturan yang melarang untuk makan, minum dan melakukan hubungan seks yang sah dalam jangka waktu tertentu. Ia mematuhi peraturan itu tanpa perasaan takut sedikit pun kepada sanksi hukuman. Tetapi betul-betul karena kepatuhan dan kecintaan. Singkatnya, hikmah puasa yang terutama ditinjau dari segi psikologi ialah mengendalikan diri (self-discipline).
2.       Dengan berpuasa yang betul dan seperti yang dikehendaki oleh Allah, segala nafsu nafsu syetan akan terkendalikan.


DAFTAR PUSTAKA

Alif, Habibi, Risalah Puasa, (Jombang; Darul Hikmah, 2009)
Mabukhin, Imam, Rahasia Puasa bagi Kesehatan Fisik da Psikis, (Yogyakarta; Mitra Pustaka, 2004)


[1][1] .Habibi Alif, Risalah Puasa, (Jombang ; Darul Hikmah, 2009), 7-8
[2] .Ibid,
[3] .Imam Mabukhin, Rahasia Puasa Bagi Kesahatan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta;Mitra Pustaka), 207
[4] . Ibid,
[5] . Alif, Risalah Puasa, . . . . . . . . , 10-14