MA TOLAK KASASI PERKARA GUGATAN KONTRAK BERBAHASA INGGRIS
Setelah kandas di tingkat banding, upaya hukum Nine AM juga kandas di tingkat kasasi.
Jalan panjang ‘perseteruan’ antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, informasi putusan menyebutkan bahwa majelis kasasi menolak permohonan kasasi Nine AM. Namun sayangnya, dalam laman tersebut belum terdapat dokumen putusan secara lengkap.
Majelis hakim yang terdiri dari Hamdi, Sudrajad Dimyati dan Ahmad Kamil itu memutus perkara pada tanggal 31 Agustus 2015 lalu. Putusan kasasi ini berarti memperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Untuk diketahui, dalam putusannya, Majelis Hakim PT DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Dalam putusannya, PN Jakbar mengabulkan gugatan BKP.
Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.
Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Dalam gugatan, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.
Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800 ribu, majelis meminta BKP mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.
Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan UU Bahasa tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pihak Nine AM pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi.
Setelah kandas di tingkat banding, upaya hukum Nine AM juga kandas di tingkat kasasi.
Jalan panjang ‘perseteruan’ antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, informasi putusan menyebutkan bahwa majelis kasasi menolak permohonan kasasi Nine AM. Namun sayangnya, dalam laman tersebut belum terdapat dokumen putusan secara lengkap.
Majelis hakim yang terdiri dari Hamdi, Sudrajad Dimyati dan Ahmad Kamil itu memutus perkara pada tanggal 31 Agustus 2015 lalu. Putusan kasasi ini berarti memperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Untuk diketahui, dalam putusannya, Majelis Hakim PT DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Dalam putusannya, PN Jakbar mengabulkan gugatan BKP.
Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.
Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Dalam gugatan, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.
Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800 ribu, majelis meminta BKP mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.
Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan UU Bahasa tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pihak Nine AM pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi.