This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, June 11, 2016

Contoh kasus: MA TOLAK KASASI PERKARA GUGATAN KONTRAK BERBAHASA INGGRIS

          MA TOLAK KASASI PERKARA GUGATAN KONTRAK BERBAHASA INGGRIS

Setelah kandas di tingkat banding, upaya hukum Nine AM juga kandas di tingkat kasasi.
Jalan panjang ‘perseteruan’ antara Nine AM Ltd dengan PT Bangun Karya Pratama (BKP) akhirnya bermuara ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, informasi putusan menyebutkan bahwa majelis kasasi menolak permohonan kasasi Nine AM. Namun sayangnya, dalam laman tersebut belum terdapat dokumen putusan secara lengkap.
Majelis hakim yang terdiri dari Hamdi, Sudrajad Dimyati dan Ahmad Kamil itu memutus perkara pada tanggal 31 Agustus 2015 lalu. Putusan kasasi ini berarti memperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta Nomor: 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei 2014.
Untuk diketahui, dalam putusannya, Majelis Hakim PT DKI menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT tanggal 20 Juni 2013 silam. Dalam putusannya, PN Jakbar mengabulkan gugatan BKP.
Gugatan ini bermula dari sebuah perjanjian, Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Perjanjian tersebut mengatur BKP memperoleh pinjaman dana dari Nine AM sejumlah AS$4,422 juta. Perjanjian tersebut dibuat dan tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Sebagai jaminan utang, para pihak membuat akta perjanjian jaminan fidusia atas benda tertanggal 27 April 2010.
Benda yang dijaminkan adalah enam unit Truk Caterpillar Model 775F Off Highway. Mekanisme pelunasan pembayaran pinjaman tersebut adalah 48 kali angsuran bulanan sebesar AS$148,5 ribu per bulan dan bunga akhir AS1,8 juta yang wajib dibayar pada tanggal pembayaran akhir angsuran pinjaman.
Setelah berjalan selama dua tahun, BKP mengajukan gugatan karena menurutnya perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat formil. Perjanjian tersebut dinilai melanggar Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa). Pasalnya, kontrak tersebut dibuat hanya dalam bahasa Inggris, tanpa ada bahasa Indonesia.
Padahal, Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa tersebut telah mengatur dengan tegas bahwa bahasa yang wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta, atau perseorangan warga negara Indonesia adalah bahasa Indonesia.
Dalam gugatan, BKP meminta pengadilan untuk menyatakan kontrak tersebut batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat. Gugatan ini dikabulkan majelis hakim yang dalam putusannya menyatakan perjanjian tersebut memang bertentangan dengan Pasal 31 ayat (1) UU Bahasa. Beleid tersebut dengan tegas mengatur bahasa Indonesia adalah bahasa yang wajib digunakan dalam sebuah perjanjian.
Selain itu, majelis juga memerintahkan BKP untuk mengembalikan semua pinjaman yang telah diberikan Nine AM. Karena telah membayar AS$3.506.460 ditambah deposit AS$800 ribu, majelis meminta BKP mengembalikan sisa uang Nine AM sebanyak AS$115.540.
Atas putusan ini, Nine AM tidak puas dan bersikukuh berpandangan UU Bahasa tidak mengatur sanksi berupa pembatalan atas suatu perjanjian yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia. Pihak Nine AM pun terus melakukan upaya hukum banding dan kasasi.

DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP PENYESUAIAN DIRI REMAJA AWAL

DAMPAK PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP PENYESUAIAN DIRI REMAJA AWAL
 BAB  I
 PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang Masalah
Masa remaja dimulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat ia mencapai usia matang secara fisik dan psikis. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian yaitu  masa remaja awal dan  masa remaja akhir (Hurlock, 1980).
Selain itu masa remaja itu sendiri merupakan periode perkembangan antara masa kanak–kanak dan dewasa. Hal ini ditandai dengan pubertas dan timbulnya perubahan fisik, psikis dan sosial yang dialami oleh remaja, sehingga dapat dimaklumi jika pada remaja timbul tindakan–tindakan yang kurang pas seperti: ingin berbeda dengan tindakan orang tua, mulai menyukai lawan jenis, merasa dirinya lebih dari yang lain. Adanya kondisi seperti ini dapat membawa remaja pada keadaan emosi yang tidak stabil karena belum tercapainya kematangan kepribadian dan pemahaman nilai sosial remaja sebagai manusia yang sedang berkembang menuju tahap dewasa yang mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perkembangan pada masa remaja pada dasarnya meliputi aspek fisiologi, aspek psikologis dan aspek sosial (Walgito, 1988).
Perkembangan aspek fisiologi ditandai dengan berfungsinya hormon dan perubahan suara. Perkembangan psikologis meliputi keadaan emosi, kognisi dan pemahaman tentang diri pribadi sosial meliputi pemahaman nilai sosial dan melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya  (Santrock, 2002).
Tugas–tugas perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak–kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa remaja. Tugas perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan  pola perilaku anak, hanya sedikit anak laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas- tugas masa remaja awal, apalagi mereka yang terlambat untuk matang (Hurlock, 1980).
         Adapun tugas - tugas perkembangan remaja yaitu mencapai peran sosial pria dan wanita, mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, menerima keadaan fisiknya dan mengunakan tubuhnya secara efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan datang, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan berperilaku dan mengembangkan ideologi (Hurlock, 1999).
Penyesuaian diri adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar dengan lingkungan sehingga individu merasa puas terhadap diri dan lingkungannya. Penyesuaian diri itu dilakukan untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan dan ketidakenakan yang ditimbulkannya sehingga akan mendapatkan suatu keseimbangan psikis yang dalam hal ini tentu tidak menimbulkan konflik bagi dirinya sendiri dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat             (Willis, 198).
Penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah keadaan diri dan keinginannya agar sesuai dengan keadaan dan keinginan lingkungan (Berungan, 1991).
Penyesuaian diri adalah suatu faktor yang mencakup respon mental dan tingkah laku yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan didalam dirinya sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara dorongan dari diri dan tuntutan dari luar dirinya (Irawan, 2000).
                  Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, penulis mendapatkan beberapa informasi bahwa dampak perceraian terhadap perkembangan seorang anak, khususnya anak remaja awal adalah ketika  mereka bercerai, orang tua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga terdapat persiapan mental dan fisik dari mereka.
                  Tidak demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. sehingga keadaan rumah menjadi berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah sering bertengkar. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun  perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak anak mereka, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk.  Biasanya dilihat saja perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita  dan akan menimbulkan trauma, sehingga anak juga akan bingung untuk memihak ayah atau ibunya. Setelah perceraian hal akan membawa pengaruh langsung bagi anak–anak mereka terlihat pula dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak yang menginjak remaja, terlebih lagi pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya bercerai.
Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis.  Perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan Rahe, 2005).
 Anggapan mengenai perceraian sama dengan suatu kegagalan yang biasa karena semata–mata mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis, padahal pada semua sistem perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama dimana masing–masing memiliki keinginan, kebutuhan serta latar belakang sosial yang berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini biasanya memunculkan ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna, 1999)
Perceraian dan perpisahan orangtua menjadi faktor yang sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Banyak studi dilakukan untuk memahami akibat-akibat perceraian bagi anggota keluarga khususnya seorang anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992)
Dalam kasus perceraian, tidak hanya orang tua yang menanggung kepedihan, tapi yang lebih merasakan beratnya perceraian adalah anak. Severe (2000) mengemukakan bahwa anak bukannya tidak tahu tapi ia tidak mampu menjelaskan, mengapa ia tidak ingin ada orang tahu bahwa ia sedang pedih hatinya, dia juga tidak ingin mengatakan apapun yang dapat memperburuk keadaan di rumah. Sebenarnya anak
dapat melihat ketegangan yang dialami orang tuanya. Tetapi dia khawatir jika dia mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang. Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya nanti. Secara psikologis, anak terikat pada kedua orang tuanya, jika orang tuanya bercerai, seperti separuh kepribadiannya dirobek, hal ini akan berpengaruh terhadap rasa harga diri yang buruk, timbul rasa tidak aman dan kemurungan yang luar biasa dan dalam kondisi demikian maka sekolah bagi anak bukan merupakan sesuatu yang penting.
Menurut Handoko (2002) perceraian bagi anak adalah "tanda kematian" keutuhan keluarganya, rasanya separuh "diri" anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Perasaan kehilangan, penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan meningkat bila kedua orang tuanya saling menyerang atau menghina. Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal yang jelek mengenai pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa ciri-ciri yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Mereka akan berpikir, "Kalau ayah orang jahat, jangan-jangan nanti aku juga jadi orang jahat. Kata orang aku sangat mirip ayah. "Perasaan penolakan dan kehilangan akan sangat membekas, dia berkeyakinan, dirinya seorang anak yang tidak punya nilai, hilangnya hubungan dengan salah satu orang tua berarti ia tidak pantas mendapatkan waktu dan kasih sayang. Tiadanya harga diri itu akan mengganggu kehidupannya. Ia takut menjalin persahabatan. Ia takut berusaha keras di sekolah, bahkan ia juga takut untuk terlalu dekat dengan ibunya karena kalau ayahnya saja tidak peduli, orang lain pasti akan begitu. Ada ketakutan juga jangan-jangan orang tua yang sekarang bersamanya juga akan meninggalkannya. Amarah dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya. Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih aman.
Bisa dilihat kembali pada awal tahun 1960an dan tahun 1970an rata–rata tingkat perceraian semakin tinggi secara dramastis dengan adanya kasus yang menemukan bahwa anak–anak hasil perceraian mengalami trauma,  memperlihatkan gejala–gejala depresi ringan dan anti sosial. Dampak ini terlihat hampir seluruh kehidupan anak ketika orang tua mereka baru saja bercerai. Hal ini juga berdampak pada masa muda mereka dimana remaja yang menjadi korban perceraian dari orang tua mereka memiliki angka perceraian yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga yang tidak bercerai. Dalam penelitian terakhir hubungan anak remaja yang orang tuanya bercerai adalah remaja yang menjadi korban perceraian akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya. Penelitian tersebut menandai anak-anak hasil perceraian selalu memusatkan opininya tentang pernikahan pada sesuatu yang lain (Franklin, dkk, 1990)
Remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya akan kurang menpercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga yang utuh. Mereka menganggap hubungan mereka berpacaran terlalu beresiko (Johnston dan Thomas, 1996)
Remaja pada pernikahan pertamanya akan mengalami ketidakstabilan karena peneliti menemukan bahwa diantara mereka tidak begitu bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin hubungan dengan pasangannya. Mereka yang berasal dari keluarga tidak utuh memiliki tingkat perceraian yang tinggi dan merasa kalau pernikahannya dalam masalah (Weber, dkk, 1995)
Berdasarkan hasil survey nasional AS sebanyak 11 macam dari tahun 1973 hingga 1985 diperoleh bermacam-macam argumen tentang dampak perceraian yaitu dalam hal ini bentuk peran pasangan seperti pernikahan yang buruk akan menghasilkan tipe anak yang buruk juga. Kurang mempunyai kontrol sosial seperti kurangnya dukungan keluarga terhadap pernikahan hilangnya bentuk peran pasangan, pendidikan yang rendah, keinginan besar untuk bercerai, mereka lebih suka memilih bercerai untuk mengakhiri konflik, menikah pada usia muda  biasanya menikah pada usia muda cenderung akan lebih cepat bercerai (Glenn and Kramer, 1987)

B.           Perumusan masalah
Dengan adanya uraian yang penulis paparkan pada latar belakang diatas menunjukkan apakah ada dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal?

C.          Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal.

D.     Manfaat Penelitian
1.            Manfaat Secara Teoritis
         Dengan penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran ilmiah yang dapat menambah pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi perkembangan yang berkaitan dengan dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal
2.            Manfaat Secara Praktis
a.             Remaja
               Memberikan gambaran secara khusus mengenai penyesuaian diri remaja yang dihadapkan dari keluarga yang memiliki status perceraian, karena dapat menjadi acuan untuk mengatasi masalah-masalah remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya sendiri.
                     b.      Orang Tua
      Bagi orang tua hal ini merupakan salah satu cara untuk memberikan pengertian tentang dampak perceraian didalam keluarga dan dampak bagi anak– anak mereka.
                     c.      Masyarakat
Harapan peneliti dari hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi orang tua yang ingin bercerai dalam mengambil keputusan dan pertimbangan untuk bercerai dan diharapkan dapat membantu orang yang sudah bercerai untuk dapat meminimalkan efeknya terhadap anak-anak mereka.