PENAFSIRAN DALAM HTN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Hukum Tata Negara”
DisusunOleh:
Bayyad Saiful Hamdan
Binti Munawaroh
DosenPengampu:
Muhammad Shohibul Itmam, M.H
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2014
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Hukum Tata Negara”
DisusunOleh:
Bayyad Saiful Hamdan
Binti Munawaroh
DosenPengampu:
Muhammad Shohibul Itmam, M.H
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penafsiran dalam hukum yang terjadi di Negara Indonesia sering sekali dugunakan oleh para hakim-hakim. Hal yang sangat menarik memang membicarakan mengenai penafsiran dalam dunia hukum dapat dilihat dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai suatu permasalahan yang belum diatur dalam perundang-undangan ataupun kalau sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap. Bahkan seperti dikemukakan Sudikno Mertokusumo, bahwa tidak ada hukum atau Undang-Undang (UU) yang lengkap selengkap-lengkapnyanya atau jelas dengan sejelas-jelasnya. Karena fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan mengatur seluruh kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia itu tidak terhitung jumlah dan jenisnya, dan terus menerus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu kalau UU-nya tidak jelas atau tidak lengkap harus dijelaskan atau dilengkapi dengan menemukan hukumnya.
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penafsiran?
2. Apa saja metode penafsiran?
3. Bagaimana hermeneutika hukum?
A. Penafsiran dan Anatomi Metode Penafsiran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran judical interpretation (penafsiran oleh hakim), dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memberbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks undang-undang dasar.
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode penafsiran, yang paling sering ditemui adalah metode-metode yang dikemukakan Utrecht, penafsiran undang-undang dapat dilakukan dengan 5 (lima) metode penafsiran, yang terdiri dari:
1. . Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Utrecht memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) ini, yaitu kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan. Penafsiran yang demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa.
2. Penafsiran historis (historische interpretatie)
Metode penafsiran dengan sejarah hukum menurut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang dan (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam arti sempit, yaitu penafsiran sejarah undang-undang adalah penafsiran yang ditarik dari risalah-risalah sidang dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-undang, penafsiran juga harus merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan cara menafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechtisstorische interpretatie). Penafsiran historis demikian itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah berlaku, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.
3. Penafsiran sistematis
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
4. Penafsiran sosiologis/teleologis
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. contohnya pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual.
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha Bhakti, mencatat sebelas macam metode penafsiran hukum, yaitu:
a. Interpretasi Gramatikal, menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
b. Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah undang-undang dan sejarah hukum.
c. Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang0undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
d. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna undang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyarakatannya ssehingga penafsiran dapat mengurangi kesenjangan antara sifat positif hukum dengan kenyataan hukum.
e. Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara membandingkan sebagai sistem hukum.
f. Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam proses pembahasan.
g. Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berdasarkan kata yang maknanya sudah tertentu.
h. Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengan melebihi batas hasil penafsiran gramatikal.
i. Interpretasi Autentik, penafsiran yang hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
j. Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
k. Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmu lain diluar ilmu hukum.
B. Hermeneuutika Hukum
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta. Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkam Ilmu Hukum ketika menghadapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masalah hukum itu sendiri.
Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat perbedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan interpretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pandangan yang penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.
Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manusiawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
Pandangan konvensional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuatan undang-undang. Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai diantara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar.
Metode serupajuga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undangh-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata sebab badan pembuat undang-undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadi anggota badan pembentuk undang-undang, tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling memengaruhi suatu undang-undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya dari legislasi.
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menurut Leinholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materiil. Putusan-putusan mahkamah konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya. Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, dimana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan diluar batas subtansi hukum asar, melainkan mengungkapkan makna esensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisial.
Apa perlynya kita mempersoalkan mengenai penafsiran konstitusi dan hermeneutika hukum disini? Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ilmu hukum kontemporer sebenarnya telah membawa dalam dirinya sendiri kelemahan-kelemahan yang bersifat bawaan. Kegiatan interpretasi atau penafsiran, merupakan aktifitas yang yang inheren terdapat dalam keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga berusaha memberikan tempat yang khusus kepada kegiatan interpretasi itusebagai pusat perhatia yang utama. Bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan dengan soal kata-kata sehingga aktifitas tafsir menafsir menjadi sesuatu yang sangat sentral didalamnya.
Jika belajar dari pengalaman tradisi sistem hukum islam, akan didapati bahwa dalam rangka perkembangan ilmu fiqh dalam pengertian ilmu hukum (islam), telah berkembang luas dengan adanya ilmu ushul fiqh (filsafat hukum islam). Namun, bersamaan dengan hal itu, berkembang pula kegiatan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membentuk suatu cabang ilmu pengetahuan yang tersendiri, disamping ilmu bahasa yang didukung oleh ilmu mantiq (ilmu logika), ma’ani dan bayan, dan sebagainya. Ilmu tafsir itu terkait erat dengan aktifitas penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagai ilmu poenunjang bagi kegiataan ilmiah dibidang penafsiran hukum. Bahkan, terkait dengan hal ini berkembang pula ilmu hadits yang khusus disertai oleh “ilmu mustholah al-hadits” yamg mempelajari latar belakang hadits-hadits Nabi SAW.
Oleh para ahli hukum, hermeneutics sebagai salah satu cabang filafat yang memusatkan perhatian mengenai kegiatan penafsiran. Kegiatan interpretasi atau penafsiran hukum tentu dapat mengembangkan epistimologinya seniri untuk tumbuh sebagai cabag ilmu pengetahuan hukum yang tersendiri. Didalamnya, bahkan apat pula dikembangkan suatu ranting ilmu yang tersendiri, yaitu ilmu penafsiran konstitusi.
Dengan berkembangnya ilmu tafsir hukum dan kontitusi yang tersendiri, para sarjana hukum dapat iandalkan dalam bidang penafsiran hukum dan konstitusi. Kegiatan penafsiran hukum dan interpretasi konstitusi mungkin saja beraneka ragam metode dan pola kerjanya, tergantung madzhab pemikiran yang menjadi paradigma konseptual yang melandasinya atau kasus-kasus kenkret yang dihadapinya. Namun, berbagai ragam metode penafsiran tersebut akan menyediakan banyak alternatif yang rasional dan objektif untuk dipilih dalam memecahkan ssuatu kasus konkret yang dihadapi sehingga perbedaan penafsiran tidak didasarkan hanya atas perbedaan kepentingan dari para penafsir yang terlibat.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir.
Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
Metode penafsiran:
1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
2. Penafsiran historis (historische interpretatie)
3. Penafsiran sistematis
4. Penafsiran sosiologis/teleologis
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya
Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
Asshiddqie, Jimly, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok : PT. Rajagrafindo Persada.
Utrecht, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, Jakarta: Ichtiar Baru.
Hamidi , Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, cet. I, Yogyakarta : UII Press.
Jimly Asshiddqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), 219
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), 208-217
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 53-57
Ibid, 39-45
Interpretasi atau penafsiran hukum ini hanyalah merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Selain itu masih ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh Hakim. Manakala hukumnya tidak jelas, maka digunakan metode interpretasi (penafsiran), sedangkan apabila aturan hukumnya tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi (argumentum per analogian, argumentum a contrario, rechtvervijning, fiksi hukum) dan metode eksposisi (konstruksi hukum) untuk membentuk pengertian-pengertian hukum baru. Masing-masing metode ini masih dapat diuraikan dan dirinci lebih lanjut. Adapun sumber utama penemuan hukum secara hierarkhi dimulai dari peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional dan baru kemudian doctrine (pendapat ahli hukum).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud penafsiran?
2. Apa saja metode penafsiran?
3. Bagaimana hermeneutika hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Penafsiran dan Anatomi Metode Penafsiran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir. Pandangan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Disamping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran judical interpretation (penafsiran oleh hakim), dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memberbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks undang-undang dasar.
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan, dikenal beberapa macam metode penafsiran, yang paling sering ditemui adalah metode-metode yang dikemukakan Utrecht, penafsiran undang-undang dapat dilakukan dengan 5 (lima) metode penafsiran, yang terdiri dari:
1. . Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
Penafsiran yang menekankan kepada arti atau makna kata-kata yang tertulis (word). Utrecht memberikan penjelasan tentang penafsiran menurut kata atau istilah (taalkundige interpretasi) ini, yaitu kewajiban dari hakim untuk mencari arti kata dalam undang-undang dengan cara membuka kamus bahasa atau meminta keterangan ahli bahasa. Kalaupun belum cukup, hakim harus mempelajari kata tersebut dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lainnya. Cara penafsiran ini, menurut Utrecht, merupakan penafsiran pertama yang ditempuh atau usaha permulaan untuk menafsirkan. Penafsiran yang demikian ini sama dengan penafsiran gramatikal yang melakukan penafsiran berdasarkan bahasa.
2. Penafsiran historis (historische interpretatie)
Metode penafsiran dengan sejarah hukum menurut pendapat Utrecht, mencakup dua pengertian, yaitu (i) penafsiran sejarah perumusan undang-undang dan (ii) penafsiran sejarah hukum itu sendiri, yaitu melalui penafsiran sejarah hukum yang bertujuan mencari makna yang dikaitkan dengan konteks kemasyarakatan masa lampau. Dalam arti sempit, yaitu penafsiran sejarah undang-undang adalah penafsiran yang ditarik dari risalah-risalah sidang dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pembahasan suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada bagian ini diuraikan mengenai metode penafsiran historis dalam arti luas. Dalam hal ini, untuk mencari dan menemukan makna historis suatu pengertian normatif dalam undang-undang, penafsiran juga harus merujuk pendapat-pendapat pakar dari masa lampau. Termasuk pula merujuk kepada hukum-hukum masa lalu yang relevan. Menurut Utrecht, penafsiran dengan cara demikian dilakukan dengan cara menafsirkan suatu naskah menurut sejarah hukum (rechtisstorische interpretatie). Penafsiran historis demikian itu dilakukan pula dengan menyelidiki asal usul naskah dari sistem hukum yang pernah berlaku, termasuk pula meneliti asal naskah dari sistem hukum lain yang masih diberlakukan di negara lain.
3. Penafsiran sistematis
Metode ini menafsirkan menurut sistem yang ada dalam hukum (systematische interpretatie, dogmatische interpretatie) itu sendiri. Artinya menafsirkan dengan memperhatikan naskah-naskah hukum lain. Jika yang ditafsirkan adalah pasal dari suatu undang-undang, maka ketentuan-ketentuan yang sama apalagi satu asas dalam peraturan lainnya juga harus dijadikan acuan. Dalam penafsiran ini, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, makna formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan lebih jauh dengan mengacu pada hukum sebagai sistem.
4. Penafsiran sosiologis/teleologis
Konteks sosial ketika suatu naskah dirumuskan dapat dijadikan perhatian untuk menafsirkan naskah yang bersangkutan. Peristiwa yang terjadi dalam masyarakat acapkali mempengaruhi legislator ketika naskah hukum itu dirumuskan. contohnya pada kalimat “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Metode penafsiran teleologis memusatkan perhatian pada persoalan, apa tujuan yang hendak dicapai oleh norma hukum yang ditentukan dalam teks (what does the articles would like to achieve). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah hhukum menurut tujuan atau jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran yang demikian ini juga diperhitungkan konteks kenyataan kemasyarakatan aktual.
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie) menurut Utrecht, merupakan penafsiran sesuai dengan tafsiran yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang (legislator) dalam undang-undang itu sendiri. Misalnya, arti kata yang dijelaskan dalam pasal atau dalam penjelasannya. Menurut Sudikno dan Pitlo, penafsiran yang demikian hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
Jazim Hamidi, dengan mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo, A. Pitlo, Achmad Ali, dan Yudha Bhakti, mencatat sebelas macam metode penafsiran hukum, yaitu:
a. Interpretasi Gramatikal, menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
b. Interpretasi Historis, yaitu penafsiran sejarah undang-undang dan sejarah hukum.
c. Interpretasi Sistematis, menafsirkan undang0undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.
d. Interpretasi Sosiologis atau Teleologis, makna undang-undang dilihat berdasarkan tujuan kemasyarakatannya ssehingga penafsiran dapat mengurangi kesenjangan antara sifat positif hukum dengan kenyataan hukum.
e. Interpretasi Komparatif, menafsirkan dengan cara membandingkan sebagai sistem hukum.
f. Interpretasi Futuristik, menafsirkan undang-undang dengan cara melihat pula RUU yang sedang dalam proses pembahasan.
g. Interpretasi Restriktif, membatasi penafsiran berdasarkan kata yang maknanya sudah tertentu.
h. Interpretasi Ekstensif, menafsirkan dengan melebihi batas hasil penafsiran gramatikal.
i. Interpretasi Autentik, penafsiran yang hanya boleh dilakukan berdasarkan makna yang sudah jelas dalam undang-undang.
j. Interpretasi Interdisipliner, menggunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
k. Interpretasi Multidisipliner, menafsirkan dengan menggunakan tafsir ilmu lain diluar ilmu hukum.
B. Hermeneuutika Hukum
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya. Dalam hubungan ini Gadamer mengatakan, seperti dikutip oleh Arief Sidharta. Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma, yang diaplikasikan pada aspek kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam menerapkam Ilmu Hukum ketika menghadapi kasus hukum, maka kegiatan interpretasi tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, tetapi juga terhadap kenyataan yang menyebabkan munculnya masalah hukum itu sendiri.
Dalam melakukan interpretasi tentu saja antara penafsir dan teks yang hendak ditafsirkan terdapat perbedaan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan atau ratusan tahun. Oleh karena itu, ketika melakukan interpretasi acapkali muncul dua sudut pandang yang berbeda antara teks yang hendak ditafsirkan dengan pandangan yang penafsir sendiri. Kedua pandangan itu kemudian diramu dengan berbagai aspek yang dipedomani oleh penafsir, yaitu keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.
Titik tolak hermeneutika adalah kehidupan manusiawi dan produk budayanya, termasuk teks-teks hukum yang dihasilkan olehnya. Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
Pandangan konvensional dalam penafsiran undang-undang menganggap bahwa pengadilan harus berupaya menemukan tujuan atau maksud dari pembuatan undang-undang. Penafsiran demikian sejalan dengan pandangan bahwa proses pembentukan undang-undang didominasi oleh kesepakatan nilai-nilai diantara berbagai kelompok kepentingan. Bagi pembentuk undang-undang, kesepakatan adalah produk tawar menawar.
Metode serupajuga digunakan dalam penafsiran perjanjian-perjanjian perdata. Proses penemuan maksud pembentuk undangh-undang, bagaimanapun, lebih sulit ketimbang menemukan maksud yang melatarbelakangi kontrak-kontrak perdata sebab badan pembuat undang-undang memiliki ciri kemajemukan. Pernyataan-pernyataan pribadi anggota badan pembentuk undang-undang, tidak bisa otomatis dianggap pengungkapan pandangan mayoritas yang paling memengaruhi suatu undang-undang. Pendukung kelompok-kelompok kepentingan boleh jadi menyembunyikan tujuan yang sebenarnya dari legislasi.
Penafsiran konstitusi, di Jerman misalnya, menurut Leinholz, Mahkamah Konstitusi Jerman adalah mahkamah yang bebas, membantu dengan memberikan jaminan kebebasan bagi pengadilan dan menjalankan fungsi administrasi hukum dalam pengertian materiil. Putusan-putusan mahkamah konstitusi Jerman disebut hukum yang sesungguhnya. Keputusan-keputusannya merupakan putusan yang murni bersifat hukum, dimana hakim-hakim tidak melakukan penemuan-penemuan diluar batas subtansi hukum asar, melainkan mengungkapkan makna esensi hukum sebagai suatu pendirian atau sikap. Hukum konstitusi tertulis juga tunduk pada perubahan, dan Mahkamah Konstitusi disebut pada tahap tertentu berperan dalam perubahan-perubahan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi yudisial.
Apa perlynya kita mempersoalkan mengenai penafsiran konstitusi dan hermeneutika hukum disini? Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ilmu hukum kontemporer sebenarnya telah membawa dalam dirinya sendiri kelemahan-kelemahan yang bersifat bawaan. Kegiatan interpretasi atau penafsiran, merupakan aktifitas yang yang inheren terdapat dalam keseluruhan sistem bekerjanya hukum dan ilmu hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam perkembangannya sejak zaman dahulu sampai sekarang, ilmu hukum belum juga berusaha memberikan tempat yang khusus kepada kegiatan interpretasi itusebagai pusat perhatia yang utama. Bagaimanapun juga, ilmu hukum itu berkaitan dengan soal kata-kata sehingga aktifitas tafsir menafsir menjadi sesuatu yang sangat sentral didalamnya.
Jika belajar dari pengalaman tradisi sistem hukum islam, akan didapati bahwa dalam rangka perkembangan ilmu fiqh dalam pengertian ilmu hukum (islam), telah berkembang luas dengan adanya ilmu ushul fiqh (filsafat hukum islam). Namun, bersamaan dengan hal itu, berkembang pula kegiatan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membentuk suatu cabang ilmu pengetahuan yang tersendiri, disamping ilmu bahasa yang didukung oleh ilmu mantiq (ilmu logika), ma’ani dan bayan, dan sebagainya. Ilmu tafsir itu terkait erat dengan aktifitas penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagai ilmu poenunjang bagi kegiataan ilmiah dibidang penafsiran hukum. Bahkan, terkait dengan hal ini berkembang pula ilmu hadits yang khusus disertai oleh “ilmu mustholah al-hadits” yamg mempelajari latar belakang hadits-hadits Nabi SAW.
Oleh para ahli hukum, hermeneutics sebagai salah satu cabang filafat yang memusatkan perhatian mengenai kegiatan penafsiran. Kegiatan interpretasi atau penafsiran hukum tentu dapat mengembangkan epistimologinya seniri untuk tumbuh sebagai cabag ilmu pengetahuan hukum yang tersendiri. Didalamnya, bahkan apat pula dikembangkan suatu ranting ilmu yang tersendiri, yaitu ilmu penafsiran konstitusi.
Dengan berkembangnya ilmu tafsir hukum dan kontitusi yang tersendiri, para sarjana hukum dapat iandalkan dalam bidang penafsiran hukum dan konstitusi. Kegiatan penafsiran hukum dan interpretasi konstitusi mungkin saja beraneka ragam metode dan pola kerjanya, tergantung madzhab pemikiran yang menjadi paradigma konseptual yang melandasinya atau kasus-kasus kenkret yang dihadapinya. Namun, berbagai ragam metode penafsiran tersebut akan menyediakan banyak alternatif yang rasional dan objektif untuk dipilih dalam memecahkan ssuatu kasus konkret yang dihadapi sehingga perbedaan penafsiran tidak didasarkan hanya atas perbedaan kepentingan dari para penafsir yang terlibat.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “penafsiran” diartikan sebagai: pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsir.
Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.
Metode penafsiran:
1. Penafsiran menurut arti kata atau istilah (taalkundige interpretasi)
2. Penafsiran historis (historische interpretatie)
3. Penafsiran sistematis
4. Penafsiran sosiologis/teleologis
5. Penafsiran otentik atau resmi (authentieke atau officiele interpretatie)
Menafsirkan atau menginterpretasi, menurut Arief Sidharta, intinya adalah kegiatan mengerti atau memahami. Hakikat memahami sesuatu adalah yang disebut filsafat hermeneutik. Hermeneutika atau metode memahami atau metode interpretasi dilakukan terhadap teks secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Memahami sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu agar memahaminya
Gregory Leyh mengatakan, hermeneutika hukum adalah merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora. Tujuan hermeneutika hukum itu adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang penafsiran atau interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddqie, Jimly, 2013, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok : PT. Rajagrafindo Persada.
Utrecht, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, Jakarta: Ichtiar Baru.
Hamidi , Jazim, 2005, Hermeneutika Hukum, cet. I, Yogyakarta : UII Press.
Jimly Asshiddqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Depok: PT. Rajagrafindo Persada, 2013), 219
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi oleh Moh. Saleh Djindang, cet.XI, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1983), 208-217
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2005), 53-57
Ibid, 39-45
0 comments:
Post a Comment