This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, April 9, 2016

FIQH MUAMMALAH: HARTA DALAM ISLAM

HARTA DALAM ISLAM
 
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengandung aqidah dan mengandung aturan atau undang-undang. Unsur dari aqidah adalah mengesakan Tuhan dan menyembah kepada-Nya. Sedangkan dasar dari pada undang adalah untuk kebahagiaan masyarakat serta menjaga hak-hak seseorang agar tidak terjadi saling pertentangan satu sama lainny ataupun kemaslahatan umum. Yang kita ketahui dalam Islam, bahwa hokum Allah selamanya untuk membentuk kemaslahatan umum.
Harta dalam pandangan Islam adalah bukan satu-satunya tujuan, juga bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian, melainkan harta menjadi jalan untuk merealisir sebagian kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum tanpa berbuat dzalim dan berlebihan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Harta, Sifat-sifat dan Unsur-Unsurnya?
2. Bagaimana Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam dan Fungsinya?
3. Pembagian Harta?
4. Bagaimana pengalihan harta pada pihak lain?
5. Apa fungsi harta?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Sifat-sifat dan Unsur-unsur Harta
1. Pengertian Harta
Secara etimologi harta dalam bahasa Arab yaituالمال yang asal katanya مال- بميل- ميلا yang berarti condong, cenderung, atau berpaling dari tengah keslah satu sisi. Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat .
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi)
Disebutkan oleh ulama Hanafi lain, yaitu harta merupakan segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Berdasarkan definisi ulama Hanafiyah diatas tadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
a.    Harta mungkin dihimpun dan dipelihara. Dengan demikian ilmu, kesehatan, kepintaran dan kemuliaan tidak termasuk harta tetapi milik.
b.    Dapat dimanfaatkan menurut adat kebiasaan, jadi makan beracun ataupun rusak tidak termasuk harta.
Definisi lain menyebutkan harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak dan melenyapkannya (Jumhur ulama selain Hanafiyah).
Dari pengertian diatas tadi, terdapat perbedaan menegenai esensi harta. Jumhur ulama mengatakan bahwa harta tidak hanya bersifat materi tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda, karena yang dimaksud manfaat suatu benda bukan zatnya. Sedangkan ulama Hanafi berpendapat lain tentang harta yaitu hanya bersifat materi saja, sebab manfaat termasuk hak milik dan hak milik berbeda dengan harta.
Dengan demikian kiranya dapat kita pahami bahwa para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan definisi harta juga terjadi perselisihan dalam pembagian harta karena berbeda dalam pendefinisian harta tersebut.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan kepada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibbah atau pemberian. Jadi, apapun yang digunakan manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta .
2. Sifat-sifat Harta
a)    Harta adalah Perhiasan Dunia
Di dalam syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati keahagiaan dan kebaikan hidup di dunia yang sejahtera secara ekonopmi haruslah diupayakan atau berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan hal ini merupaka pendorong yang baik agar tercipta dan dapat meningkatkan hubungan dengan Allah. Dengan harta yang mencukupi ketika kebutuhan pokoknya tercukupi maka kesejahteraan ekonomis seseorang pada akhirnya akan tercapai. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah suatu hal yang hina, karena memang Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dunia.
المَالُ وَالبَنُوْنَ زِيْنَةُ الحَيَاةِ الدُنْيَا.
“Harta dan anak-anak itu merupakan perhiasan kehidupan dunia”. (QS. Al-Kahfi: 46)
Sebaliknya, manusia tidak perlu menghindari harta karena bukan selamanya harta itu bencana bagi pemiliknya. Miskin (kurang harta) bukanlah symbol manusia taqwa sebagaimana para pandangan sufisme . Harta dalam konteks al-Qur’an adalah suatu kebaikan (خيرٌ ).
وَإنَّه لُحُبِّ الخَيْرِ لَشَديد.
“Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada khoirun (kebaikan)”. (QS. al-Adiyat: 8)
Pencinta kebaikan disini maksudnya pecintan harta. Ayat ini menerangkan bawa cinta harta adalah tabi’at manusia.
Islam tidak memandang harta kekayaan sebagai pengahalang untuk mencari derajat yang tertinggi ataupun taqarraub ilallah. Pandangan ini adalah kebaikan dari apa yang kita temukan pada agama kristen . Sedangkan Allah memberi kekayaan kepada Rasul-Nya.
وَوَجَدَكَ عَا ئِلاً فَأَغْنَى
“Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”. (QS. ad-Dhuha:8)
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian”.
b)    Harta adalah Ujian
Menurut presefektif Islam, harta bukanlah sebagai alat untuk bersenang-senang semata. Namun, harta juga merupakan ujian kenikmtan dari Allah SWT.
Harta merupakan ujian kenikmatan yang diberikan oleh Allah untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau menjadi kufur.
وَاعْلَمُوْا أنَّما أموالكم وَألاَدُكُمْ فُتْنَةٌ

3. Unsur-unsur Harta
Menurut para Fuqaha harta bersendi pada dua unsur, yaitu unsur “aniyah dan unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk hak milik.
Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.

B. Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam dan Fungsinya
Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka disan kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.
Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya. Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karen itu pula Allah rela memberikan harta itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. telah memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT. menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab dalam perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan. 
Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah kebutuhan yang mendasar.

C. Pembagian Harta
Para ulama fiqh membagi harta dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagiannya sebagai berikut:
1. Mal Mutaqawwimin dan Ghoiru Mutaqawwimin
a.    Harta Mutaqawwimin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Harta ini ialah semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Misalnya kerbau halal dimakan umat Islam, tetapi disembelih dengan cara dipukul maka daging kerbau tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
b.    Harta ghoiru mutaqawwimin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Harta ini kebalikan dari hartamutaqawwimin yakni tidak boleh diambil manfaatnya.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi
a.    Harta Mitsli ialah benda-benda yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam artian dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.
b.    Harta Qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuanya karena tidak dapat berdiri sebagian tempat sebagian yang lainnya tanpa perbedaan.
c.    Dengan pekara lain, harta mitsli adalah harat yang jenisnya diperoleh dipasar (secara persis), dan Qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan dipasar, bias diperoleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi harta yang ada imbangannya disebut mitsli dan yang tidak ada imbangannya disebut qimi.
3. Harta Istihlak dan Harata Isti’mal
a.    Harta Istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi dua yaitu istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar maka habislah. Selanjutnya istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya tetap ada. Misalnya, uang yang dipake membayar utang.
b.    Harta Isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinnya tetap terpelihara. Harta isti’mal dihabis sekali digunakan melainkan dapat digunakan lagi. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian sepatu, laptop, hanphone dan lain sebagainya.
4. Harta Manqun dan Harta Ghoiru Manqul
a.    Harta manqul yaitu segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari suatu tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan dan lain sebagainya, termasuk harta yang dapat dipindahkan.
b.    Harta Ghoiru Manqul yaitu sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari tempat satu ketempat yang lain. Seperti kebun, pabrik, sawah, dan lain sebagainya. Karena tidak dapat dipindahkan. Dalam Hukum Perdata Positif digunakanlah istilah benda bergerak dan benda tetap.
5.    Mal al-‘ain dan mal an-nafi (manfaat)
a.    Harta ‘ain yaitu benda yang memiliki nilai dan berwujud, misalnya rumah, ternak, dll.
b.    Harta Nafi ialah a’radd yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-nafi’ tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
6.    Harta Mamluk, Mubah dan Manjur
a.    Harta Mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik badan hokum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu harta perorangan yang bukan berpautan dengan hak bukan pemilik, sperti rumah yang dikontrakan, selanjutnya harta pengkongsian atara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang berkongsi memiliki sebuah pabrik.
b.    Harta Mubah ialah sesuatu yang asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-poohon dihutan dan buah-buahannya.
c.    HartaMahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syariat, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid- masjid, kuburan dan lain-lain.
7. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras tepung dan lainnya.
Harta yang tidak dapat dibagi ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, mesin, dan lainnya.
8. Harta Pokok dan Harta Hasil
a.    Harta pokok adalah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain.
b.    Harta hasil ialah harta yang terjadi dari harta yang lain. Pokok harta itu disebut modal, misalnya uang, emas dan lainnya.
9. Harta Khos dan ‘am
a.    Harta khos ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.    Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaantnya.

D. Pengalihan (pemberian) Harta Kepada Pihak Lain
1. Hibah
Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara suakarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apapun.
Jumhur ulama mendefinisikan sebagai akad yang mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti rugi dilakukan selama keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela.Sedangkan menurut ulama Hanafi mendefinisikan sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang menerima hibah dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut.
Hibah dianggap syah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi bahwa rukun hibah adalah ijab, qobul dan qabdl (harta itu dapat dikuasai langsung). Sedangkan menurut jumhur ulama;
a.    Orang yang menghibahkan
b.    Harta yang dihibahkan
c.    Lafadz Hibah
d.    Orang yang menerima hibah
Syarat orang menghibahkan hartanya;
a.    Baligh
b.    Berakal
c.    Cerdas
2. Sedekah
Sedekah ialah pemberian dari seorang muslim secara sukarela tanpa tanpa dibatasi waktu dan jumlah tertentu atau suatu pemberian yang dilakukan seseorang sebagai kebijaksanaan unuk mengharap ridho Allah semata.
a. Bentuk Sedekah
1.    Memberikan sesuatu dalam bentuk materi/harta kepada fakir miskin
2.    Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan
3.    Berlaku adil dan mendamaikan orang yang sedang bersengketa
4.    Memberi senyum dan bermuka manis dan lain-lain
Dapat kita lihat bentuk sedekah lain dalam kehidupan sehari-hari kita.
b. Perbedaan sedekah dan zakat
1. Dilihat dari segi subjeknya bersedekah dianjurkan (disunatkan kepada setiap orang yang beriman dari semua lapisan, baik yang kaya maupun yang miskin. Sedangkan zakat diwajibkan kepada yang punya dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah diatur dalam bab zakat.
2. Dari segi yang disedekahkan, sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta semata tetapi dapat berupa bentuk kebaikan. Sedangkan zakat terbatas pada harta saja.
3. Dari segi penerima atau objeknya sedekah diberikan kepada kelompok asnaf yang disebutkan dalam al-Qur’an dan pihak lain. Sedangkan zakat diberikan kepada oranga-orang yang ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an surat at-Taubah:60.
c. Benda yang disedekahkan
Pada dasarnya sedekah itu hanya dibolehkan apabila benda tersebut itu milik sendiri. Tidak sah menyedekahkan milik bersama atau milik orang lain. Dengan demikian, seorang isteri tidak boleh menyedekahkan harta suaminya, tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu. Namun apabila berlaku kebiasaan dalam satu rumah tangga, bahwa isteri dapat menyedekahkan harta tertentu berupa makanan, boleh dilakukan tanpa meminta izin dari seorang suami.
3. Wasiat
Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan setelah yang berwasiat meninggal dunia, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat (jasa).
Mengenai hukum wasiat para ulama berbeda pendapat; Ibnu Hazm berpendapat bahwa wasiat hukumnya Fardhu ‘Ain berdasaran surat an-Nisa: 11 bahwa warisan baru dapat dibagikan setelah dilaksanakan wasiat dan bayar hutang orang yang meninggal itu. Menurut Abu Daud dan ulama-ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib diaksanakan kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan warisan, mereka berpegang kepada QS. al-Baqarah:180. Sedangkan merut jumhur fukaha bahwa wasiat orang tua atau karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain ataupun wajib, dengan alasan Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu beliau tidak pernah berwasiat harta peninggalan beliau, kebanyakan dari sahabat Nabi tidak menjalankan wasiat ternyata tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti).
Pelaksanaan wasiat bagi selain ahli waris tidak harus menunggu izin ahli waris, asal saja yang diwaisiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta warisan. Apabila melebihi dari 1/3 perlu mendapat persetujuan ahli waris. Sedangkan apabila wasiat diberikan kepada ahli waris, maka wasiat itu belum dapat dilaksanakan sebelum ada persetujuan dari ahli waris lainnya.

E. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangna semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta, antara lain untuk:
1.    Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2.    Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3.    Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’:9).
4.    Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
   
                 مَاأَكَلَ أَحَدٌطَعَامًاقَطٌّ خَيْرًامِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَاِنَّ نَبِيَّ اللهِ

( دَاوٗدَكَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى عن المقدام بن معد يكرب

Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)

Dalam hadist lain dinyatakan:

                                        لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ الدُنْيَالاِٰخِرَتِهِ وَلاَاٰخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ

              ( حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَاجَمِيْعًافَاِنَّ الدُّنْيَابَلاَغٌ إِلَى اْلاٰخِرَةِ ( رواه البخارى

Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
5.    Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6.    Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
7.    Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan
8.        Untuk menumbuhkan silaturrahim.


PENUTUP
 
A. Kesimpulan
Harta adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan kepada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibbah atau pemberian. Jadi, apapun yang digunakan manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT. menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah. Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya. Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karen itu pula Allah rela memberikan harta itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. telah memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Dalam Islam Pengalihan (pemberian) harta kepada pihak lain dapat dilakuan dengan cara hibah, sedekah dan wasiat. Berkenaan dengan masalah harta juaga, masih terdapat istilah lain yang perlu kita ketahui yaitu harta gono-gini. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama milik suami-isteri yang mereka peroleh selama perkawinan. Permasalahn harta gono gini ini merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi dimasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Bably, Muhammad Mahmud, Kedudukan Harta Dalam Kedudukan Islam. Jakarta: Radar Jaya Offset. 1989
Dawwabah, Muhammad, Menjadi Entrepreneur Muslim Tahan Banting. Surakarta: Al-Jadid. 2009
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000

PERDATA: UU PERKAWINAN

PERDATA: UU PERKAWINAN

A.    Perjanjian perkawinan
Tiap- tiap perjanjian kawin baik dalam bw maupun dalam uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 harus memenuhi syarat syarat material dan formal. Syarat syarat material maupun formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut bw adalah bukan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin, melainkan merupakan syarat kebatalan. Sedangkan syarat syarat material dan formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 adalah bukan syarat kebatalan, melainkan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin.
1. perjanjian kawin menurut BW
a.    Syarat syarat material
Yaitu syarat syarat yang behubungan dengan isi suatu perjanjian kawin. Yang tergolong syarat syarat material antara lain:
1)    Bahwa perjanjian kawin itu tidakboleh mlanggar ketertibn umum atau kesusilaan
2)    Bahwa alam perjanjian kawin itu tidak boleh dimasukkan perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebgai kepla di dalam perkawinan ( marital macht )
3)    Bahwa dalam perjanjian kawin itu tidak boleh di masukkan perjanjian yang akan menghilangkan hak hak seorang suami atau istri yang i tingal mati.
b.    Syarat syarat formal
Yaitu syarat syarat yang brhubungan dengan bentuk suatu perjanjian. Adapun syarat syarat formal ini tercntum dalam pasal 147 BW, yakni;
1)    Harus berbentuk akta notaris (akta otentik )
2)    Harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
c.    Macam macam perjanjian perkawinan menurut BW ada dua macam, yakni;
1)    Perjanjian kawin persatuan untung dan rugi.
Yakni perjanjian dalam bidang perkawinan yang menetapkan, bahwa masing masing suami dan istri akan memiliki benda bawaan yang di bawa sebelum kawin serta benda benda yang diperoleh selama perkawinan, karena pemberian atau warisan, sedang semua harta yang di dapat selama perkawinan akan menjadi harta bersama demikian pula dengan semua kerugian atau biaya biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul kedua belah pihak.
Yang termasuk dalam pengertian keuntungan ialah tiap tiap bertambahnya harta kekayaan selama perkawinan. 
2)    Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan.
Yaitu perjanjian kawin yan bukan merupakan perjanjian kawin pisah hrta sama sekali dan bukan perjanjian kawin persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan pejanjian kawin persatuan untung dan rugi. Hanya perbedaanya terletak pada tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dalam perkawinan. Jadi dalam perjanjian persatuan hasil dan pendapatan, kerugian, khususnya hutag hutang yang dibut oleh suami dipiku oleh suami itu sendiri sedangkan istri tidak bertanggung jawab atas hutang hutang suami tersebut.

B.    Perkawinan campuran
Sebelum uu no.1 tahun1974, perkawinan campuran diatur dalam peraturan tentang perkawinan campuran ( GHR ) Stb.1898 no.158. pasal 1 GHR.Stb.1898 no.158 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Rumusan ini berbeda dengan rumusan menurut uu no.1 tahun 1974. Pasal 57 uu no.1 tahun 1974 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.    Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.    Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.    Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.    Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
    Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya.

a.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974) . Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.

C.    Perkawinan beda agama
Secara umum hukum perkawinan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 , bagi yang beragama Muslim juga lebih rinci dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. KUH Perdata masih menganut konsepsi hukum Barat sehingga lebih disempurnakan dalam dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. UU Perkawinan berlaku bagi agama apapun yang ada di Indonesia. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam berlaku bagi ummat Muslim tentunya.
Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ditegaskan bahwa :Perkawinan adalah Sah apabila dilakukan menurut hukum Agama masing-masing dan kepercayaannya itu.
Penjelasan UU Perkawinan mengenai Pasal tersebut adalah: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 tersebut, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Menyimak ketentuan di atas beserta penjelasannya maka sahnya pernikahan apabila dilakukan menurut agama masing-masing. Pernikahan yang syarat-syarat dan ketentuannya dibolehkan oleh agamanya maka pernikahannya pun sah menurut hukum.
Bagaimana dengan perkawinan beda agama? Misalnya antara Muslim dengan Kristen ? Mengacu pada Pasal di atas , maka harus terlebih dahulu diketahui apakah ketentuan agama Islam membolehkan perkawinan beda agama? Begitu pun sebaliknya apakah agama Kristen membolehkan perkawinan beda agama? Setelah terjawab pertanyaan tersebut maka terjawab pula status hukum perkawinan beda agama.
Bagi seorang Muslim berlaku hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, tetapi secara positif masalah perkawinan, seorang Muslim terikat kepada Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1 Tahun 1991). Bila kita membuka ketentuan tersebut maka Pasal 40 menegaskan “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu ( salah satunya)  adalah seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pada pokoknya ketentuan tersebut melarang orang Islam untuk menikah dengan wanita yang bukan orang Islam. Apalagi menurut Majelis Ulama Indonesia Hal tersebut adalah haram. Fatwa haramnya menikah beda agama ini dikeluarkan berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Sehingga otomatis menurut hukum nasional maka perkawinan beda agama antara orang Muslim dengan yang bukan orang Muslim tidak sah.
Namun banyak pula yang berpendapat/ menafsirkan bahwa ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 maksudnya adalah perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan ketentuan agama dan kepercayaan hanya Tuhan Maha Kuasa yang mengetahui dan absolute penafsirannya, sehingga tiap individu bisa menafsirkan sesuai dengan keyakinannya dan tidak ada lembaga atau institusi manapun yang absolute penafsirannyContoh kasus, perkawinan pesulap Dedy Curbozer (Kristen) dan istrinya Calina (Islam). Dedy meminta penjelasan kepada Universitas Paramadina tentang hukum pernikahan beda agama dalam agama Islam. Universitas Paramadina memberikan penjelasan bahwa menurut hukum Islam perkawinan beda agama boleh untuk dilakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka keduanya melangsungkan perkawinan dan menganggap perkawinannya sah karena telah dilakukan menurut ketentuan masing-masing agamannya.
Saat ini banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk melakukan perkawinan beda agama terutama di kalangan selebritis Indonesia misalnya
1.    Dilakukan di luar negeri yang hukumnya membolehkan perkwaninan agama sehingga hukum perkawinannya tunduk pada hukum asing bukan hukum Indonesia.
2.    Meminta penetapan kepada pengadilan untuk diizinkan melangsungkan perkawinan.
Bagaimana perkawinan beda agama ditinjau dari Hak Asasi Manusia ? Dalam Konstitusi Negara kita disinggung masalah perkawinan dalam Pasal 28 B yang menegaskan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ketentuan ini juga dapat ditemukan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 10,  “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Yang paling penting inti dari konstitusi dan undang-undang diatas adalah bahwa perkawinan merupakan hak asasi manusia yang diakui dan harus dihormati oleh Negara Indonesia juga telah meratifikasi ICCPR ( Kovenan Hak Sipil dan Politik ) Melalui UU No 12 Tahun 2005. Sehingga ketentuan tersebut juga menjadi sumber hukum di Indonesia. Masalah perkawinan juga diatur dalam Kovenan tersebut diantara Pasalnya (Pasal 23) mengenai perkawinan adalah :
1.    Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara.
2.    Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.
3.    Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah
Sebelumnya perlu diketahui jenis hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-yang telah meratifikasi ICCPR ini (termasuk Indonesia). Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Maka 2 hak yang bersifat nonderogable memeluk agama kepercayaan sesuai dengan keinginannya. Dalam hak ini Negara tidak boleh ikut campur membuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan agama seseorang termasuk melarang seseorang beragama tertentu, mengatur masalah-masalah teknis keagamaan termasuk tidak boleh terlalu ikut campu dalam mengatur pelarangan perkawinan beda agama. Sekali lagi hak ini sifanya nonderogable yang pemenuhannya oleh Negara tidak boleh ditunda-tunda.
Hak yang kedua adalah untuk membentuk keluarga atau melakukan perkawinan . Hak ini juga merupakan hak asasi manusia yang bersifat nonderogable yaitu pemenuhannya harus dilakukan oleh Negara tidak boleh menunda-nunda Dalam ketentuan ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan berlaku sebagai sumber hukum di Indonesia, masalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus diakui tanpa persyaratan yang rumit, ketentuan perkawinan hanya dititik beratkan pada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah.
Berdasarkan hal di atas Kovenan HAM ICCPR yang telah berlaku di Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 meminta untuk mengakui perkawinan antara lelaki dan perempuan yang telah ada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak.
Atas nama Hak Asasi Manusia Pemerintah harus melakukan upaya regulasi yang mengakomodasi hak-hak dasar termasuk hak untuk menikah karena hak tersebut termasuk dalam kategori Non Derogable Right yang pemenuhannya tidak boleh ditunda-tunda. Atau masyarakat bisa melakukan judicial riview ke Mahkamah Kontitusi terhadap undang-undang yang menghambat hak-hak masyarakat tersebut.










HUKUM PERDATA: Hukum Perkawinan Menurut KUHP dan UUP 2

Hukum Perkawinan Menurut KUHP dan UUP 2

                                                                “HUKUM PERDATA”

                                                                         ABSTRAK


Dwi Astuti, Furi dkk. Hukum Perkawinan menurut KUHPerdata/BW dan UUP No 1 Tahun 1974. Program studi akhwal syakhsiyah. Jurusan syariah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo. Malakah. Dosen pengampu Lia Noviana M.HI
Kata Kunci: perkawinan, Beda Agama, Campuran, Poligami.
Perkawinan merupakan suatu hal yang mengakibatkan akibat-akibat hukum yang bersangkutan. Baik hubungan sebagai istri, maupun hubungan orang tua dan anak jika dalam perkawinan melahirkan anak. Oleh karena itu perkawinan diatur sedekimian rupa dalam UU perkawinan no 1 tahun 1974 maupun dalam KUHPerdata yang sekarang sudah tidak berlaku lagi.

                                                                             BAB I
                                                                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
    Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu perkawinan diatur sedekimian rupa dalam suatu undang-undang agar tidak terjadi kekacauan maupun dampak-dampak yang diakibatkan dalam suatu perkawinan. baik dalam KUHPerdata sebagai produk hukum dari Belanda maupun Undang-undang terbaru sebagai penghapus aturan-aturan yang telah ada dalam KUHPerdata/BW.
    Dalam Undang-undamg perkawinan no 1 tahun 1974 sebagai produk Indonesia, telah menggeser peraturan yang ada sebelumnya pada KUHPerdata. Dalam pembahasan kali ini akan mengulas tentang segala hal yang berhubungan dengan perkawinan, baik dalam KUHPerdata maupun UU No 1 tahun 1974 mengenai perkawinan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Perjanjian Perkawinan
2.    Perkawinan Campuran
3.    Perkawinan Beda Agama
4.    Poligami
5.    Perceraian Dan Akibat Hukumnya


                                                                           BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

A.    Perjanjian perkawinan
Tiap- tiap perjanjian kawin baik dalam bw maupun dalam uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 harus memenuhi syarat syarat material dan formal. Syarat syarat material maupun formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut bw adalah bukan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin, melainkan merupakan syarat kebatalan. Sedangkan syarat syarat material dan formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 adalah bukan syarat kebatalan, melainkan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin.
1. perjanjian kawin menurut BW
a.    Syarat syarat mterial
Yaitu syarat syarat yang behubungan dengan isi suatu perjanjian kawin. Yang tergolong syarat syarat material antara lain:
1)    Bahwa perjanjian kawin itu tidakboleh mlanggar ketertibn umum atau kesusilaan
2)    Bahwa alam perjanjian kawin itu tidak boleh dimasukkan perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebgai kepla di dalam perkawinan ( marital macht )
3)    Bahwa dalam perjanjian kawin itu tidak boleh di masukkan perjanjian yang akan menghilangkan hak hak seorang suami atau istri yang i tingal mati.
a.    Syarat syarat formal
Yaitu syarat syarat yang brhubungan dengan bentuk suatu perjanjian. Adapun syarat syarat formal ini tercntum dalam pasal 147 BW, yakni;
1)    Harus berbentuk akta notaris (akta otentik )
2)    Harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
b.    Macam macam perjanjian perkawinan menurut BW ada dua macam, yakni;
1)    Perjanjian kawin persatuan untung dan rugi.
Yakni perjanjian dalam bidang perkawinan yang menetapkan, bahwa masing masing suami dan istri akan memiliki benda bawaan yang di bawa sebelum kawin serta benda benda yang diperoleh selama perkawinan, karena pemberian atau warisan, sedang semua harta yang di dapatselamaperkawinan akan menjadi harta bersama demikian pula dengan semua kerugian atau biaya biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul kedua belah pihak.
Yang termasuk dalam pengertian keuntungan ialah tiap tiap bertambahnya harta kekayaan selama perkawinan.
2)    Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan.
Yaitu perjanjian kawin yan bukan merupakan perjanjian kawin pisah hrta sama sekali dan bukan perjanjian kawin persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan pejanjian kawin persatuan untung dan rugi. Hanya perbedaanya terletak pada tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dalam perkawinan. Jadi dalam perjanjian persatuan hasil dan pendapatan, kerugian, khususnya hutag hutang yang dibut oleh suami dipikul oleh suami itu sendiri sedangkan istri tidak bertanggung jawab atas hutang hutang suami tersebut.

B.    Perkawinan campuran
Sebelum uu no.1 tahun1974, perkawinan campuran diatur dalam peraturan tentang perkawinan campuran ( GHR ) Stb.1898 no.158. pasal 1 GHR.Stb.1898 no.158 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Rumusan ini berbeda dengan rumusan menurut uu no.1 tahun 1974. Pasal 57 uu no.1 tahun 1974 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.    Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.    Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.    Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.    Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
    Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya.
a.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974) . Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.
C.    Perkawinan beda agama
1.   Menurut UU N0. 1 tahun 197 4
Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila menurut hukum masing- hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.
Di samping itu lembaga pencatatan perkawinan di Indonesia hanya di Kantor Urusan Agama Kecamatan bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non Islam, pencatatannya di Catatan Sipil. Jika antara calon suami dengan calon isteri berlainan agama, maka tidak ada lembaga pencatatan perkawinannya. Oleh karena itu sebelum akad nikah kedua calon harus memilih untuk mengikuti agama dari salah satunya.
2.    Menurut Kompilasi Hukum Islam
 Perkawinan beda agama menurut kompilasi hukum Islam sama dengan prinsip yang ada pada fiqh munakahat yaitu perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dilarang, sedangkan dengan ahli kitab dibolehkan.

D.    Poligami
Polgami yaitu sebuah bentuk perkawinan dimana sorang lelaki mempunyai beberapa orang istri dalam waktu yang sama.
Syarat-syarat dan alasan beristri lebih dari satu orang.
a.    UU.No.1/1974
Pasal (3) ayat (2)
(2) pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 ayat (2)
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila :
a. isrti tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan;

Pasal 5
(1)    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Adanya perseujuan dari istri/istri-istri;
b.    Adanya jepastian bahwa suami mampu mejamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c.    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka;
(2)    Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pada pasal ini tudak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mebdapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

b.    PP.No.9/1975
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
(1)    Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seoramg suami kawin lagi, ialah:
a.    Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
b.    Bahwa istri mendapat cacat badan ata penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    Bahwa istri tidak dapat melahirkan seorang keturunan;
(2)    Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan siadng pengadilan;
(3)    Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a.    Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b.    Suarat keterangan pajak penghasilan; atau
c.    Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d.    Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Kompilasi Hukum Islam
Pasal 55 ayat (2),(3)
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaju adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(3) Apabila syarat-syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
b.    Bahwa istri mendapat cacat badan ata penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    Bahwa istri tidak dapat melahirkan seorang keturunan;
Pasal 58
(1)    Selaian syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh surat izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No.1 tahu 1974:
a.    Adanya persetujuan istri;
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)    Dengan tidak menguranggi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1974, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun sudah ada persetujuan tertulis persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.
(3)    Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi suami apabila  istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya yang sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. 

E.    Perceraian Dan akibat Hukumnya
Perceraian ialah pemutusan ( pemecahan) suatu perkawinan dengan putusan hakim atas permintaan salah satu pihak berdasarkan atas alasan alasan yang disebutkan dalam pasal 209 BW
UU Bw melarang perceraian atas persetujuan kedua belah pihak dengan adanya larangan ini, maka perceraian lebih diperketat dan dipersulit. Tidaklah heran, apabila kedua belah pihak secara akal akalan menyelundupi pasal 208 Bw. Dalam hal ini lalu timbul pertentangan antara kebutuhan masyarakat (hukum) dengn undang undang, yang laim disebut iuse contra legem. Dalam Bw ada empat alasan terjadinya perceraian
1.    Terjadinya zina.
2.    Meninggalakan tempat tinggal bersama dengan niat buruk.
3.    Penghukuman dengan hukuman penjara 5 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat lagi setelah dilangsungkan pernikahan.
4.    Pecederaan berat atau penganiyaan, yang dilakukan oleh slah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainya sedemikian rupa, sehinga membahayakankeselamatan jiwa, atau mendatangkan luka luka yang berbahaya.
Perceraian perkawinan sekali sekali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan pertama, bila salah seorang suami istri itu dengan keputusan hakim dikenakan hukuman karena telah berzina, maka untuk mendapatkan perceraian perkawinan cukuplah salinan surat putusan itu disampaikan kepada pengadilan negeri dengan surat keterangan, bahwa ptusan itu telah mempunyai kekutan hkum yang pasti. Ketentuan ini berlaku juga, bila perceraian perkwinan inidituntut karena, si suami atau si istri dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat hal ini sesuai dengan pasal 210 BW.
Sedangkan dalam UU No 1 tahun 1974 Jo pasal 19 PP No 9 tahun 1975 menambahkan 2 alasan yang diambil dari pasal 52 HOCI, stb. 1933 No.74 yaitu:
1.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
2.    antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selama proses perkara perceraian berlansung, si istri dapat meminta agar harta kekayaannya diamankan, supaya tidak dijual oleh si suami. Hal ini disebabkan, karena kedudukan suami lebih tinggi dari si istri, juga si suami yangmempunyai hal megurus harta kekayaan persatuan, termasuk harta kekayaan istri.
Gugatan perceraian menurut BW diajukan di pengadilan negeri ditepat dimana si suami bertempat tinggal atau dalam hal tempat tinggal yang demikian itu tidak ada, gugatan perceraian diajukan di pengadilan negeri ditempt kediaman yang sebenarny atau apabila si suami tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman yang sebenarnya di Indonesia maka gugatan perceraian di ajukn di engadilan negeri di tempat kkediaman si istri sebenarnya.
Menurut PP No.9 tahun 1975, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya di pengadilan tempat kediaman tergugat, kecuali apabila gugtan perceraian itu karena alasan tersebut dalam pasal 19 B, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman pengugat. Walaupun terjadi perceraian bagi mereka yang beragama islam tidak tergantung pada pencatatan, namun hal ini tidak berarti, bahwa putusan perceraian itu lalu tidak didaftarkan.salinan putusan tersebut harus tetap didaftarkan, yakni pada pegawai pencatatan ditempat perceraian itu terjadi, kecuali apabila perceraian dilakukan pada aerahhukum yang berbedadengan daerah hukum pegawai pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka pencatatan perceraian dilakukan ditempat dimana perkawinan dilangsungkan
Hal ini berbeda dengan pasal 221 ayat 2 Bw dimaa ketentuan, bahwa pencatatan perceraian harus dilakukan ditempat dimana perkawinn didaftarkan atau dicatatkan. Perbedaan ini membawa konsekuensi, bahwa menurut bw gugatan perceraian itu harus diajukan ditempat dimana perkawinan dilangsungkan dan dicatatkan, sedang menurut UU no 1 tahun 1974 jo pp no 9 tahun 1975 perceraian dapat diajukan ditempat yang bebeda dengan tempat, dimana perkawinan dilangsungkan dan dicatatkan. Sedang pencatatan perceraian terhadap perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri, antara bw dan UU no 1 tahn 1974 jo pp no 9 tahun1975 ada persamaan, yakni dicatatkan dikantor pegawai pencatat dijakarta. Akibat- akibat dari penceraian adalah:
1.    Perkawinan pecah (putus)
2.    Harta kekayaan bersama (harta persatuan) berakhir.
3.    Kekuasan orang tua berakhir, berubh menjadi perwalian.


                                                                            BAB III
                                                                      KESIMPULAN

NO    PERBEDAAN    KUHPerdata    UUP No. 1 Tahun 1974
1.    Perjanjian Kawin    1.    Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung
2.    Apabila perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu perkawinan itu dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan itu batal demi hukum
3.    Perjanjian perkawinan itu harus dibuat dengan akta notaries
4.    Dengan didaftarkan perjanjian perkawinan pada pegawai kantor catatan sipil maka perjanjian itu hanya berlaku dan mengikat kedua belah pihak saja, tidak mengikat pihak ketiga.
5.    Perjanjian perkawinan itu baru mengikat pihak ketiga apabila apabila dia telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri.
6.    Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah.    1.    Perjanjian perkawinan dibuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan.
2.    Apabila perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan itu tetap sah menurut hukum
3.    Perjanjian perkawinan itu tidak dibaut dengan akta otentik, tetapi dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, hanya saja perjanjian tersebut harus di sahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan.
4.    Dengan dicatatkan perjanjian tertulis sertaa di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka isinya berlaku terhadap pegaawai ketiga.
5.    Selama perkawinan berlangsung, dapat diubah apabila ada perjanjian dari kedua belah pihak untuk merubah, asalkan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
2.    Perkawinan beda agama    Dalam bw tidak diatur.    Tidak diperbolehkan karena berdasarkan pancasila ayat 1 ketuhanan yang maha esa.
3.    Perkawinan campuran    Dalam bw sudah tidak berlaku    1.    Dapat dilangsungkan perkawinan jika telah terbukti syarat syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum.
2.    Telah melampirkan surat ijin perkawinan ( berlaku 6 bulan )
3.    Jika melaksanakan tanpa keterangan maka kurungan 2 bulan penjara.
4.    Poligami


    Menganut asas monogami secara mutlak.    Dapat dilaksanakan poligami dengan memenuhi syarat alterntif dan kumulatif.
5.    Perceraian    1.    Perceraian dapat dijukan ke pengadilan negeri berdasarkan 4 alasan :
a.    Zina.
b.    Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja.
c.    Penghukuman dengan hukuman penjara 5 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat.
2.    Berakibat : perkawinan putus atau cerai.
3.    Berakibat : kekuasaan orang tua hapus dan berubah menjadi perwalian.    1.    Putusnya perkawinan disebabkan karena 3 alasan :
a.    Kematian
b.    Perceraian.
c.    Atas putusan hakim.
2.    Perceraian dapat dilakukan di depan sidang pengadilan karena tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.


                                                                 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, dkk. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang  Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Ibrahim, Masrudi. Hukum Perdata. Ponorogo:  STAIN Press, 2014

Subekti, R ,  R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradya Paramita, 2004.
http://id.scribd.com/doc/3144824/Perkawinan-Beda-Agama-Di-Indonesia

HADIST AHKAM: PUASA

                                                                             PUASA
                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang
Ibadah puasa terdapat hamper seluruh agama baik dalam agama samawi ataupun agama ardhi. Oleh karena itu ibadah puasa ini telah dikenal di kalangan orang-orang agama budaya dulu kala. Hal tesebut tercermin dalam firman Allah SWT.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Islam mengajarkan diri kita untuk saling menghargai dan saling menyayangi, islam juga mengajarkan diri untuk berbuat kebaikan dan menjahui segala keburukan yang dapat merusak. Puasa merupakan media pembelajaran bagi umat islam untuk menambah keimanan dan ketaqwaannya.

                                                                            BAB II
                                                                    PEMBAHASAN

A. Perintah puasa

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ صَامَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَاشُورَاءَ ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ . فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تُرِكَ .  .
“Diriwayatkan dari ibnu umar ra bahwasanya nabi saw berpuasa di bulan asyura dan memerintahkan berpuasa asyura. Ketika puasa ramadhan di wajibkan maka nabi meninggalkanya.”
Hadist di atas menerangkan tentang anjuran untuk melaksanakan puasa asyura dan juga hadist di atas memerintahkan kita untuk berpuasa ramadhan. Jadi inti hadist di atas adalah selain anjuran unuk melaksanakan puasa asyura di wajibkan pula untuk melaksanakan puasa ramadhan.
B. Penetapan awal ramadhan

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا ».
Diriwayatkan dari abi hurairah ra. Dia telah berkata: Rasulullah saw bersabda: “apabila kamu melihat awal bulan atau (bulan sabit) ramadhan hendaklah kamu berpuasa. Apabila kamu melihat awal bulan syawal hendaklah kamu berbuka. Jika bulan diliputi mendung dalam pandangan matamu maka berpuasalah selama 30 hari.
Hadist diatas menerangkan tentang penentuan awal bulan ramadhan dan awal bulan syawal sehingga denganya dapat diketahui kapan harus melaksanakan puasa ramadhan dan kapan pula harus mengakirinya. Hadist di atas juga menerangkan bahwa apabila bulan tertutup mendung maka puasa ramadhan harus disempurnakan 30 hari.

C. Kifarat bagi orang yang meembatalkan puasa

حدثنا يحيى بن يحيى وأبو بكر بن أبي شيبة وزهير بن حرب وابن نمير كلهم عن ابن عيينة قال يحيى أخبرنا سفيان ابن عيينة عن الزهري عن حميد بن عبدالرحمن عن أبي هريرة رضي الله نه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال هلكت يا رسول الله قال وما أهلكك ؟ قال وقعت على امرأتي في رمضان قال
 : هل تجد ما تعتق رقبة ؟ قال لا قال فهل تستطيع أن تصوم شهريين متتابعين ؟ قال لا قال فهل تجد ماتطعم ستين مسكينا ؟ قال لا قال ثم جلس فأتي النبي صلى الله عليه و سلم بعرق فيه تمر فقال تصدق بهذا قال أفقر منا ؟ فما بين لابتيها أهل بيت أحوج إليه منا فضحك النبي صلى الله عليه و سلم حتى بدت أنيابه ثم قال اذهب فأطعمه أهلك

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata:  "Ada seorang lelaki datang menghadap rasulullah SAW lalu berkata: "Ya Rasul Allah, binasalah aku."
"Kenapa kamu?" tanya beliau. Orang itu menjawab: "Aku telah menimpa isteriku pada siang hari di bulan ramadhan. Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apakah ada seorang budak yang dapat kamu merdekakan?" "Tidak'', jawabnya. Tanya Rasul pula: "Dapatkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? '
'Tidak'', jawabnya pula.
Rasul bertanya lagi: "Dapatkah kamu memberi makan enam puluh orang miskin?"
Dia jawab: "Tidak". Lelaki itu kemudian duduk, lalu rasulullah memberikan kepadanya suatu wadah yang berisi kurma. Kemudian beliau bersabda: “sedekahkanlah ini.” maka laki-laki itu bertanya: "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada ku, ya rasulullah? Demi Allah, tidak ada di antara dua perkampungan ini satu keluarga yang lebih fakir daripada keluargaku". Maka Nabi SAW tersenyum sehingga kelihatah sebagian giginya, kemudian beliau bersabda: "Berikanlah kepada keluargamu."

Namun, para ulama mengatakan, orang fakir yang tidak mampu memberi makan, tetap tidak boleh memberikan makanan kafarat puasa kepada keluarganya, seperti halnya kafarat-kafarat yang lain. Adapun yang tersebut dalam hadits di atas adalah khusus untuk laki-laki tersebut.

Dan patut pula diketahui, bahwa di samping kafarat, orang yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh di bulan Ramadhan itu wajib mengqadha'nya, dan bahwa kafarat itu berlipat kali hari-hari yang tidak dipuasainya karena bersetubuh. Maksudnya, kalau bersetubuh selama dua hari pada bulan Ramadhan itu, maka selain qadha' dia wajib melakukan dua kali kafarat. Kalau tiga hari, juga tiga kali, begitu seterusnya.

Hadist di atas menerangkan tentang kafarat yang wajib dilakukan karena merusak puasa dengan bersetubuh di siang hari pada bulan ramadhan yakni memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman, baik laki-laki atau perempuan. Kalau tidak ada atau tidak bisa, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau ini pun tidak bisa, maka memberi makan 60 orang miskin, setiap orang satu mud, berupa bahan makanan pokok yang umum di negeri itu. Kalau itu semua tidak bisa, maka kafarat tetap menjadi tanggungannya, sampai ada kemampuan melakukan salah satu di antaranya. 

D. Puasa bagi orang junub

 حدثنا أحمد بن عثمان النوفلي حدثنا أبو عاصم حدثنا ابن جريج أخبرني محمد بن يوسف عن سليمان بن يسار أنه سأل أم سلمة رضي الله عنها عن الرجل يصبح جنبا أيصوم ؟ قالت كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصبح جنبا من غير احتلام ثم يصوم
Diriwayatkan dari sulaiman bin yasar bahwa dia ditanya oleh umi salamah tentang puasa seorang laki-laki yang sedang berjunub. Aku berkata: “bahwa nabi saw bangkit dari tidur dalam keadaan berjunub bukan dari bermimpi, kemudian meneruskan puasa.”
Hadist diatas menerangkan tentang orang yang bangun dari tidur dalam keadan junub tidak batal puasanya baik junub karena mimpi atau bersetubuh, misalnya dimalam bulan ramadhan  bersetubuh kemudian sampai dengan waktu imsak belum juga mandi maka yang demikian  tidak membatalkan puasa atau mimpi keluar sperma pada bulan ramadhan maka hal itu juga tidak membatalkan puasa.


E. Puasa bagi orang musafir

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا أَبُو خَيْثَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسٌ - رضى الله عنه - عَنْ صَوْمِ رَمَضَانَ فِى السَّفَرِ فَقَالَ سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى رَمَضَانَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ.
Hadist tentang anas ra, diriwayatkan dari humaid ra dia telah berkata: “anas ra pernah ditanya tentang berpuasa sewaktu musafir di bulan ramadhan. Dia telah berkata: “kami pernah berpergian bersama rasul di bulan ramadhan. orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, dan sebaliknya orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa.”
Hadist diatas menerangkan tentang diberikanya kebebasan pada seorang musafir boleh meneruskan berpuasa dan boleh pula berbuka hanya saja pada hari hari di bulan ramadhan tetapi harus menqadanya dan di bolehkanya berbuka bagi musafir di jalan allah. Apabila perjalanan yang di tempuh sudah mencapai dua markhalah atau lebih dan berpergianya bukan untuk maksiat namun demikian menganjurkan berpuasa adalah lebih baik apabila tidak mendatangkan madharat bagi kesehatan.

F. Pohon Sanad

G. Takhrij Hadist
No    Perowi    Wafat    Jarh Wa Ta’dil
1.    أَبِى هُرَيْرَةَ    58 H    صحابى
2.    سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ    بـ اليمامة    صحابى
3.    عَنِ ابْنِ شِهَابٍ    95 H    ثقة
4.    أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ    بعد 100 هـ    ثقة
5.    حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى    133 هـ ( على الصحيح )    ثقة

H. Biografi Abu Hurairoh
Nama lengkap Abu Hurairah adalah Abu Hurairah al-Dusiy al-Yamani, Sahabat Rasulullah SAW. Para ulama hadits memperselisihkan nama Abu Hurairah, ada ulama yang mengatakan nama asli beliau adalah „Abdurrahman ibn Shakhr, ada yang mengatakan „Abdurrahman bin Ghanam, „Abdurrahman ibn „Amir, „Abdurrahman ibn „Amru, „Amir ibn Abd Syams, „Amir ibn „Umair, „Amru ibn Ghanmu dan ada pula yang menyebutnya dengan Burir bin „Asyraqah.
Menurut Hisyam bin Muhammad al-Kalbiy, nama lengkap beliau adalah Umair bin Amir bin Dzi asy-Syariy bin Tharib bin Ayyan bin Abi Shaib bin Hunayyah bin Sa‟ad bin Tsa‟labah bin Sulaim bin Fahm bin Ghonam bin Dhaus bin Udtsan bin Abdullah bin Zahran bin Ka‟ab bin Harits bin Ka‟ab bin Abdullah bin Malik bin Nashr bin al-Azd. Abu al-Qasim al-Thabrany mengatakan nama ibunya adalah Maimunah bint Shabh.7
Sebagai seorang sahabat senior, Abu Hurairah meriwayatkan Hadits dari beberapa orang, menurut al-Mazzi terdapat 10 orang dalam jajaran gurunya. Adapun guru-guru Abu Hurairah adalah Nabi Muhammad SAW, al-Katsir al-Thayyib, Abi ibn Ka‟ab, Usamah ibn Zaid ibn Harits, Bashrah ibn Abi Bashrah al-Ghifari, Umar ibn Khattab, Fadhl ibn „Abbas, Ka‟ab al-Ahbar, Abu Bakar al-Shiddiq, „Aisyah binti Abu Bakar, Istri Nabi SAW.8
Abu Hurairah juga meriwayatkan hadits ke banyak orang. Dalam jajaran disebutkan sejumlah nama beberapa di antaranya: Ibrahim ibn Isma‟il, Ibrahim ibn „Abdillah ibn Hunain, Ibrahim ibn Abdillah Qaridz, Ishaq ibn Abdillah, Anas ibn Malik, Jabir ibn „Abdillah, Ja‟far ibn Ghiyadh, Abu Hasan Khalid ibn Ghallaq, Sa‟id ibn Musayyib, Abu Salamah ibn Abd al-Rahman, Abu Shalih al-Asy‟ari.9
7 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma‟ al-Rijal, Juz 34 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2002), 366 8 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzib, Juz 34 , 367 9 Jamal al-Din Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzib, Juz 34, 367-3777
Kebersambungan sanad antara Abu Hurairah dan Rasulullah SAW tidak diragukan, begitu pula dengan kualitas pribadi dari Abu Hurairah. Penulis mengkuti pendapat jumhur muhaddits yang manyatakan bahwa seluruh shahabat adil (al-shahabah kulluhum „udul). Menurut Nuruddin „Itr, sifat adil para sahabat ditetapkan melalui bukti dan dalil yang kuat, baik melalui al-Kitab, Sunnah, Ijma‟, dan dalil „aqli.10
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam hal tahun wafat Abu Hurairah, Sufyan bin Uyainah dari Hisyam ibn „Urwah mengatakan bahwa Abu Hurairah dan „Aisyah wafat pada tahun 57 H. Pendapat serupa dikemukakan oleh Abu Hasan al-Mada‟iniy, „Aly ibn Madany, yahya ibn Bukair. Sedangkan menurut Dhamrah bin Rabiah dan Hisyam ibn „Ady, menyatakan bahwa Abu Hurairah wafat pada tahun 58 H. al-Waqidiy, Abu „Ubaid, Abu „Umar al-Dhariry, dan Ibnu Numair, mengatakan bahwa Abu Hurairah meninggal pada tahun 59 H. menurut hemat penulis, pendapat al-Waqidiy lebih layak untuk diterima mengingat adanya bukti yang beliau kemukakan. Menurut al-Waqidiy, pada tahun 58 H, Abu Hurairah masih sempat menshalati „Aisyah tepatnya pada bulan Ramadhan, kemudian juga sempat menshalati Ummu Salamah pada bulan Syawwal tahun 59 dan pada tahun ini pulalah Abu Hurairah meninggal dunia

                                                                  DAFTAR PUSTAKA
Al Bukhori, Shahih bukhari
Mahalli, KH. Ahmad Mudjib, hadist hadist muttafaq alaih. Jakarta: pranada media. 2003
Ash Shiddieqy , TM Hasbi, Mutiara Hadist. Semarang: Pustaka Rizki Putra.2003

PERADILAN ISLAM: PERDILAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYAH

BAB I
                                                                  PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Peradilan dalam istilah modern dikenal dengan istilah Yudikatif yang keberadaannya setara dengan eksekutif dan legislatif.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh perbuatan maâruf dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.

                                                                           BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

A.    Sejarah Singkat Bani Ummayyah
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem.

B.    Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1.    Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2.    Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3.    Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak. dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.

C.    Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai.
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.

Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1.    Pengadilan Al-Qadla
Kata Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
2.    Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami” (alhadits)
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3.    Pengadilan Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.

                                                                            BAB III
                                                                          PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.    Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan).
2.    Faktor keberhasilan muawiyah dalam mendirikan dinasti umayah antara lain adalah:
a.    Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
b.    Sebagai administrator.
c.    Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati.
3.    Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
a.    Pengadilan Al-Qadla
b.    Pengadilan Al-Hisbah
c.    Pengadilan Al-Madzalim













DAFTAR PUSTAKA


Djalil, Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah. 2012.

Ash Shiddieqy, Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang : Pustaka Riski Putra. 1997
.
Maskur, Muhammad Salam. Al qodho fi al islam. Surabaya: Bina Ilmu. 1992.

Syalabi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka al husna.1990.

Hasymi, Ahmad. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1995.