Saturday, April 9, 2016

HUKUM PERDATA: Hukum Perkawinan Menurut KUHP dan UUP 2

Hukum Perkawinan Menurut KUHP dan UUP 2

                                                                “HUKUM PERDATA”

                                                                         ABSTRAK


Dwi Astuti, Furi dkk. Hukum Perkawinan menurut KUHPerdata/BW dan UUP No 1 Tahun 1974. Program studi akhwal syakhsiyah. Jurusan syariah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo. Malakah. Dosen pengampu Lia Noviana M.HI
Kata Kunci: perkawinan, Beda Agama, Campuran, Poligami.
Perkawinan merupakan suatu hal yang mengakibatkan akibat-akibat hukum yang bersangkutan. Baik hubungan sebagai istri, maupun hubungan orang tua dan anak jika dalam perkawinan melahirkan anak. Oleh karena itu perkawinan diatur sedekimian rupa dalam UU perkawinan no 1 tahun 1974 maupun dalam KUHPerdata yang sekarang sudah tidak berlaku lagi.

                                                                             BAB I
                                                                   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
    Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu perkawinan diatur sedekimian rupa dalam suatu undang-undang agar tidak terjadi kekacauan maupun dampak-dampak yang diakibatkan dalam suatu perkawinan. baik dalam KUHPerdata sebagai produk hukum dari Belanda maupun Undang-undang terbaru sebagai penghapus aturan-aturan yang telah ada dalam KUHPerdata/BW.
    Dalam Undang-undamg perkawinan no 1 tahun 1974 sebagai produk Indonesia, telah menggeser peraturan yang ada sebelumnya pada KUHPerdata. Dalam pembahasan kali ini akan mengulas tentang segala hal yang berhubungan dengan perkawinan, baik dalam KUHPerdata maupun UU No 1 tahun 1974 mengenai perkawinan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Perjanjian Perkawinan
2.    Perkawinan Campuran
3.    Perkawinan Beda Agama
4.    Poligami
5.    Perceraian Dan Akibat Hukumnya


                                                                           BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

A.    Perjanjian perkawinan
Tiap- tiap perjanjian kawin baik dalam bw maupun dalam uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 harus memenuhi syarat syarat material dan formal. Syarat syarat material maupun formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut bw adalah bukan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin, melainkan merupakan syarat kebatalan. Sedangkan syarat syarat material dan formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 adalah bukan syarat kebatalan, melainkan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin.
1. perjanjian kawin menurut BW
a.    Syarat syarat mterial
Yaitu syarat syarat yang behubungan dengan isi suatu perjanjian kawin. Yang tergolong syarat syarat material antara lain:
1)    Bahwa perjanjian kawin itu tidakboleh mlanggar ketertibn umum atau kesusilaan
2)    Bahwa alam perjanjian kawin itu tidak boleh dimasukkan perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebgai kepla di dalam perkawinan ( marital macht )
3)    Bahwa dalam perjanjian kawin itu tidak boleh di masukkan perjanjian yang akan menghilangkan hak hak seorang suami atau istri yang i tingal mati.
a.    Syarat syarat formal
Yaitu syarat syarat yang brhubungan dengan bentuk suatu perjanjian. Adapun syarat syarat formal ini tercntum dalam pasal 147 BW, yakni;
1)    Harus berbentuk akta notaris (akta otentik )
2)    Harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
b.    Macam macam perjanjian perkawinan menurut BW ada dua macam, yakni;
1)    Perjanjian kawin persatuan untung dan rugi.
Yakni perjanjian dalam bidang perkawinan yang menetapkan, bahwa masing masing suami dan istri akan memiliki benda bawaan yang di bawa sebelum kawin serta benda benda yang diperoleh selama perkawinan, karena pemberian atau warisan, sedang semua harta yang di dapatselamaperkawinan akan menjadi harta bersama demikian pula dengan semua kerugian atau biaya biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul kedua belah pihak.
Yang termasuk dalam pengertian keuntungan ialah tiap tiap bertambahnya harta kekayaan selama perkawinan.
2)    Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan.
Yaitu perjanjian kawin yan bukan merupakan perjanjian kawin pisah hrta sama sekali dan bukan perjanjian kawin persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan pejanjian kawin persatuan untung dan rugi. Hanya perbedaanya terletak pada tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dalam perkawinan. Jadi dalam perjanjian persatuan hasil dan pendapatan, kerugian, khususnya hutag hutang yang dibut oleh suami dipikul oleh suami itu sendiri sedangkan istri tidak bertanggung jawab atas hutang hutang suami tersebut.

B.    Perkawinan campuran
Sebelum uu no.1 tahun1974, perkawinan campuran diatur dalam peraturan tentang perkawinan campuran ( GHR ) Stb.1898 no.158. pasal 1 GHR.Stb.1898 no.158 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Rumusan ini berbeda dengan rumusan menurut uu no.1 tahun 1974. Pasal 57 uu no.1 tahun 1974 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.    Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.    Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.    Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.    Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
    Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya.
a.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974) . Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.
C.    Perkawinan beda agama
1.   Menurut UU N0. 1 tahun 197 4
Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila menurut hukum masing- hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.
Di samping itu lembaga pencatatan perkawinan di Indonesia hanya di Kantor Urusan Agama Kecamatan bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non Islam, pencatatannya di Catatan Sipil. Jika antara calon suami dengan calon isteri berlainan agama, maka tidak ada lembaga pencatatan perkawinannya. Oleh karena itu sebelum akad nikah kedua calon harus memilih untuk mengikuti agama dari salah satunya.
2.    Menurut Kompilasi Hukum Islam
 Perkawinan beda agama menurut kompilasi hukum Islam sama dengan prinsip yang ada pada fiqh munakahat yaitu perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dilarang, sedangkan dengan ahli kitab dibolehkan.

D.    Poligami
Polgami yaitu sebuah bentuk perkawinan dimana sorang lelaki mempunyai beberapa orang istri dalam waktu yang sama.
Syarat-syarat dan alasan beristri lebih dari satu orang.
a.    UU.No.1/1974
Pasal (3) ayat (2)
(2) pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 ayat (2)
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari satu orang apabila :
a. isrti tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan;

Pasal 5
(1)    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) UU ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    Adanya perseujuan dari istri/istri-istri;
b.    Adanya jepastian bahwa suami mampu mejamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
c.    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka;
(2)    Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pada pasal ini tudak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mebdapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

b.    PP.No.9/1975
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
(1)    Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seoramg suami kawin lagi, ialah:
a.    Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
b.    Bahwa istri mendapat cacat badan ata penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    Bahwa istri tidak dapat melahirkan seorang keturunan;
(2)    Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan siadng pengadilan;
(3)    Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a.    Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b.    Suarat keterangan pajak penghasilan; atau
c.    Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d.    Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Kompilasi Hukum Islam
Pasal 55 ayat (2),(3)
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaju adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya
(3) Apabila syarat-syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.    Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
b.    Bahwa istri mendapat cacat badan ata penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    Bahwa istri tidak dapat melahirkan seorang keturunan;
Pasal 58
(1)    Selaian syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh surat izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No.1 tahu 1974:
a.    Adanya persetujuan istri;
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)    Dengan tidak menguranggi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1974, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun sudah ada persetujuan tertulis persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada siding Pengadilan Agama.
(3)    Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi suami apabila  istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya yang sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. 

E.    Perceraian Dan akibat Hukumnya
Perceraian ialah pemutusan ( pemecahan) suatu perkawinan dengan putusan hakim atas permintaan salah satu pihak berdasarkan atas alasan alasan yang disebutkan dalam pasal 209 BW
UU Bw melarang perceraian atas persetujuan kedua belah pihak dengan adanya larangan ini, maka perceraian lebih diperketat dan dipersulit. Tidaklah heran, apabila kedua belah pihak secara akal akalan menyelundupi pasal 208 Bw. Dalam hal ini lalu timbul pertentangan antara kebutuhan masyarakat (hukum) dengn undang undang, yang laim disebut iuse contra legem. Dalam Bw ada empat alasan terjadinya perceraian
1.    Terjadinya zina.
2.    Meninggalakan tempat tinggal bersama dengan niat buruk.
3.    Penghukuman dengan hukuman penjara 5 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat lagi setelah dilangsungkan pernikahan.
4.    Pecederaan berat atau penganiyaan, yang dilakukan oleh slah seorang dan suami isteri itu terhadap yang lainya sedemikian rupa, sehinga membahayakankeselamatan jiwa, atau mendatangkan luka luka yang berbahaya.
Perceraian perkawinan sekali sekali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan pertama, bila salah seorang suami istri itu dengan keputusan hakim dikenakan hukuman karena telah berzina, maka untuk mendapatkan perceraian perkawinan cukuplah salinan surat putusan itu disampaikan kepada pengadilan negeri dengan surat keterangan, bahwa ptusan itu telah mempunyai kekutan hkum yang pasti. Ketentuan ini berlaku juga, bila perceraian perkwinan inidituntut karena, si suami atau si istri dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat hal ini sesuai dengan pasal 210 BW.
Sedangkan dalam UU No 1 tahun 1974 Jo pasal 19 PP No 9 tahun 1975 menambahkan 2 alasan yang diambil dari pasal 52 HOCI, stb. 1933 No.74 yaitu:
1.    salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
2.    antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selama proses perkara perceraian berlansung, si istri dapat meminta agar harta kekayaannya diamankan, supaya tidak dijual oleh si suami. Hal ini disebabkan, karena kedudukan suami lebih tinggi dari si istri, juga si suami yangmempunyai hal megurus harta kekayaan persatuan, termasuk harta kekayaan istri.
Gugatan perceraian menurut BW diajukan di pengadilan negeri ditepat dimana si suami bertempat tinggal atau dalam hal tempat tinggal yang demikian itu tidak ada, gugatan perceraian diajukan di pengadilan negeri ditempt kediaman yang sebenarny atau apabila si suami tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman yang sebenarnya di Indonesia maka gugatan perceraian di ajukn di engadilan negeri di tempat kkediaman si istri sebenarnya.
Menurut PP No.9 tahun 1975, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya di pengadilan tempat kediaman tergugat, kecuali apabila gugtan perceraian itu karena alasan tersebut dalam pasal 19 B, maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman pengugat. Walaupun terjadi perceraian bagi mereka yang beragama islam tidak tergantung pada pencatatan, namun hal ini tidak berarti, bahwa putusan perceraian itu lalu tidak didaftarkan.salinan putusan tersebut harus tetap didaftarkan, yakni pada pegawai pencatatan ditempat perceraian itu terjadi, kecuali apabila perceraian dilakukan pada aerahhukum yang berbedadengan daerah hukum pegawai pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka pencatatan perceraian dilakukan ditempat dimana perkawinan dilangsungkan
Hal ini berbeda dengan pasal 221 ayat 2 Bw dimaa ketentuan, bahwa pencatatan perceraian harus dilakukan ditempat dimana perkawinn didaftarkan atau dicatatkan. Perbedaan ini membawa konsekuensi, bahwa menurut bw gugatan perceraian itu harus diajukan ditempat dimana perkawinan dilangsungkan dan dicatatkan, sedang menurut UU no 1 tahun 1974 jo pp no 9 tahun 1975 perceraian dapat diajukan ditempat yang bebeda dengan tempat, dimana perkawinan dilangsungkan dan dicatatkan. Sedang pencatatan perceraian terhadap perkawinan yang dilangsungkan diluar negeri, antara bw dan UU no 1 tahn 1974 jo pp no 9 tahun1975 ada persamaan, yakni dicatatkan dikantor pegawai pencatat dijakarta. Akibat- akibat dari penceraian adalah:
1.    Perkawinan pecah (putus)
2.    Harta kekayaan bersama (harta persatuan) berakhir.
3.    Kekuasan orang tua berakhir, berubh menjadi perwalian.


                                                                            BAB III
                                                                      KESIMPULAN

NO    PERBEDAAN    KUHPerdata    UUP No. 1 Tahun 1974
1.    Perjanjian Kawin    1.    Perjanjian Perkawinan harus dibuat sebelum perkawinan berlangsung
2.    Apabila perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu perkawinan itu dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan itu batal demi hukum
3.    Perjanjian perkawinan itu harus dibuat dengan akta notaries
4.    Dengan didaftarkan perjanjian perkawinan pada pegawai kantor catatan sipil maka perjanjian itu hanya berlaku dan mengikat kedua belah pihak saja, tidak mengikat pihak ketiga.
5.    Perjanjian perkawinan itu baru mengikat pihak ketiga apabila apabila dia telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri.
6.    Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah.    1.    Perjanjian perkawinan dibuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan.
2.    Apabila perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan itu tetap sah menurut hukum
3.    Perjanjian perkawinan itu tidak dibaut dengan akta otentik, tetapi dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, hanya saja perjanjian tersebut harus di sahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan.
4.    Dengan dicatatkan perjanjian tertulis sertaa di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka isinya berlaku terhadap pegaawai ketiga.
5.    Selama perkawinan berlangsung, dapat diubah apabila ada perjanjian dari kedua belah pihak untuk merubah, asalkan perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.
2.    Perkawinan beda agama    Dalam bw tidak diatur.    Tidak diperbolehkan karena berdasarkan pancasila ayat 1 ketuhanan yang maha esa.
3.    Perkawinan campuran    Dalam bw sudah tidak berlaku    1.    Dapat dilangsungkan perkawinan jika telah terbukti syarat syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum.
2.    Telah melampirkan surat ijin perkawinan ( berlaku 6 bulan )
3.    Jika melaksanakan tanpa keterangan maka kurungan 2 bulan penjara.
4.    Poligami


    Menganut asas monogami secara mutlak.    Dapat dilaksanakan poligami dengan memenuhi syarat alterntif dan kumulatif.
5.    Perceraian    1.    Perceraian dapat dijukan ke pengadilan negeri berdasarkan 4 alasan :
a.    Zina.
b.    Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja.
c.    Penghukuman dengan hukuman penjara 5 tahun atau dengan hukuman yang lebih berat.
2.    Berakibat : perkawinan putus atau cerai.
3.    Berakibat : kekuasaan orang tua hapus dan berubah menjadi perwalian.    1.    Putusnya perkawinan disebabkan karena 3 alasan :
a.    Kematian
b.    Perceraian.
c.    Atas putusan hakim.
2.    Perceraian dapat dilakukan di depan sidang pengadilan karena tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.


                                                                 DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, dkk. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang  Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Ibrahim, Masrudi. Hukum Perdata. Ponorogo:  STAIN Press, 2014

Subekti, R ,  R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradya Paramita, 2004.
http://id.scribd.com/doc/3144824/Perkawinan-Beda-Agama-Di-Indonesia

0 comments:

Post a Comment