Saturday, April 9, 2016

PERDATA: UU PERKAWINAN

PERDATA: UU PERKAWINAN

A.    Perjanjian perkawinan
Tiap- tiap perjanjian kawin baik dalam bw maupun dalam uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 harus memenuhi syarat syarat material dan formal. Syarat syarat material maupun formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut bw adalah bukan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin, melainkan merupakan syarat kebatalan. Sedangkan syarat syarat material dan formal yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian kawin menurut uu no.1 tahun 1974 jo pp no.9 tahun 1975 adalah bukan syarat kebatalan, melainkan merupakan syarat sahnya suatu perjanjian kawin.
1. perjanjian kawin menurut BW
a.    Syarat syarat material
Yaitu syarat syarat yang behubungan dengan isi suatu perjanjian kawin. Yang tergolong syarat syarat material antara lain:
1)    Bahwa perjanjian kawin itu tidakboleh mlanggar ketertibn umum atau kesusilaan
2)    Bahwa alam perjanjian kawin itu tidak boleh dimasukkan perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebgai kepla di dalam perkawinan ( marital macht )
3)    Bahwa dalam perjanjian kawin itu tidak boleh di masukkan perjanjian yang akan menghilangkan hak hak seorang suami atau istri yang i tingal mati.
b.    Syarat syarat formal
Yaitu syarat syarat yang brhubungan dengan bentuk suatu perjanjian. Adapun syarat syarat formal ini tercntum dalam pasal 147 BW, yakni;
1)    Harus berbentuk akta notaris (akta otentik )
2)    Harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan
c.    Macam macam perjanjian perkawinan menurut BW ada dua macam, yakni;
1)    Perjanjian kawin persatuan untung dan rugi.
Yakni perjanjian dalam bidang perkawinan yang menetapkan, bahwa masing masing suami dan istri akan memiliki benda bawaan yang di bawa sebelum kawin serta benda benda yang diperoleh selama perkawinan, karena pemberian atau warisan, sedang semua harta yang di dapat selama perkawinan akan menjadi harta bersama demikian pula dengan semua kerugian atau biaya biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul kedua belah pihak.
Yang termasuk dalam pengertian keuntungan ialah tiap tiap bertambahnya harta kekayaan selama perkawinan. 
2)    Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan.
Yaitu perjanjian kawin yan bukan merupakan perjanjian kawin pisah hrta sama sekali dan bukan perjanjian kawin persatuan untung dan rugi. Perjanjian kawin persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya sama dengan pejanjian kawin persatuan untung dan rugi. Hanya perbedaanya terletak pada tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dalam perkawinan. Jadi dalam perjanjian persatuan hasil dan pendapatan, kerugian, khususnya hutag hutang yang dibut oleh suami dipiku oleh suami itu sendiri sedangkan istri tidak bertanggung jawab atas hutang hutang suami tersebut.

B.    Perkawinan campuran
Sebelum uu no.1 tahun1974, perkawinan campuran diatur dalam peraturan tentang perkawinan campuran ( GHR ) Stb.1898 no.158. pasal 1 GHR.Stb.1898 no.158 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Rumusan ini berbeda dengan rumusan menurut uu no.1 tahun 1974. Pasal 57 uu no.1 tahun 1974 : perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan indonesia.
Apabila melihat isi pasal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan campuran yang sekarang berlaku di Indonesia unsurnya adalah sebagai berikut:
1.    Perkawinan itu dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita
2.    Dilakukan di Indonesia yang tunduk pada hokum yang berlainan
3.    Di antara keduanya berbeda kewarganegaraan
4.    Salah satu pihaknya berkewarganegaraan Indonesia.
    Contoh: seorang wanita warga Negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga Negara asing atau sebaliknya.

a.    Syarat-syarat Perkawinan Campuran
Sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat yang berlaku menurut hokum masing-masing pihak (pasal 60 ayat 1 UU No. 1/1974) . Sahnya perkawinan harus berdasarkan Pasal 2 UU No. I/1974 yang menyebutkan:
1.    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
2.    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan campuran yang dilakukan oleh para pihak yang kedua-duanya beragama islam dicatat di Kantor Urusan Agama sedangkan yang berbeda di kantor Catatan sipil.

C.    Perkawinan beda agama
Secara umum hukum perkawinan terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 , bagi yang beragama Muslim juga lebih rinci dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. KUH Perdata masih menganut konsepsi hukum Barat sehingga lebih disempurnakan dalam dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. UU Perkawinan berlaku bagi agama apapun yang ada di Indonesia. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam berlaku bagi ummat Muslim tentunya.
Berdasarkan ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ditegaskan bahwa :Perkawinan adalah Sah apabila dilakukan menurut hukum Agama masing-masing dan kepercayaannya itu.
Penjelasan UU Perkawinan mengenai Pasal tersebut adalah: dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 tersebut, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Menyimak ketentuan di atas beserta penjelasannya maka sahnya pernikahan apabila dilakukan menurut agama masing-masing. Pernikahan yang syarat-syarat dan ketentuannya dibolehkan oleh agamanya maka pernikahannya pun sah menurut hukum.
Bagaimana dengan perkawinan beda agama? Misalnya antara Muslim dengan Kristen ? Mengacu pada Pasal di atas , maka harus terlebih dahulu diketahui apakah ketentuan agama Islam membolehkan perkawinan beda agama? Begitu pun sebaliknya apakah agama Kristen membolehkan perkawinan beda agama? Setelah terjawab pertanyaan tersebut maka terjawab pula status hukum perkawinan beda agama.
Bagi seorang Muslim berlaku hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, tetapi secara positif masalah perkawinan, seorang Muslim terikat kepada Kompilasi Hukum Islam (Inpres No 1 Tahun 1991). Bila kita membuka ketentuan tersebut maka Pasal 40 menegaskan “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu ( salah satunya)  adalah seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pada pokoknya ketentuan tersebut melarang orang Islam untuk menikah dengan wanita yang bukan orang Islam. Apalagi menurut Majelis Ulama Indonesia Hal tersebut adalah haram. Fatwa haramnya menikah beda agama ini dikeluarkan berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Sehingga otomatis menurut hukum nasional maka perkawinan beda agama antara orang Muslim dengan yang bukan orang Muslim tidak sah.
Namun banyak pula yang berpendapat/ menafsirkan bahwa ketentuan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 2 maksudnya adalah perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan ketentuan agama dan kepercayaan hanya Tuhan Maha Kuasa yang mengetahui dan absolute penafsirannya, sehingga tiap individu bisa menafsirkan sesuai dengan keyakinannya dan tidak ada lembaga atau institusi manapun yang absolute penafsirannyContoh kasus, perkawinan pesulap Dedy Curbozer (Kristen) dan istrinya Calina (Islam). Dedy meminta penjelasan kepada Universitas Paramadina tentang hukum pernikahan beda agama dalam agama Islam. Universitas Paramadina memberikan penjelasan bahwa menurut hukum Islam perkawinan beda agama boleh untuk dilakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka keduanya melangsungkan perkawinan dan menganggap perkawinannya sah karena telah dilakukan menurut ketentuan masing-masing agamannya.
Saat ini banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk melakukan perkawinan beda agama terutama di kalangan selebritis Indonesia misalnya
1.    Dilakukan di luar negeri yang hukumnya membolehkan perkwaninan agama sehingga hukum perkawinannya tunduk pada hukum asing bukan hukum Indonesia.
2.    Meminta penetapan kepada pengadilan untuk diizinkan melangsungkan perkawinan.
Bagaimana perkawinan beda agama ditinjau dari Hak Asasi Manusia ? Dalam Konstitusi Negara kita disinggung masalah perkawinan dalam Pasal 28 B yang menegaskan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ketentuan ini juga dapat ditemukan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal 10,  “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Yang paling penting inti dari konstitusi dan undang-undang diatas adalah bahwa perkawinan merupakan hak asasi manusia yang diakui dan harus dihormati oleh Negara Indonesia juga telah meratifikasi ICCPR ( Kovenan Hak Sipil dan Politik ) Melalui UU No 12 Tahun 2005. Sehingga ketentuan tersebut juga menjadi sumber hukum di Indonesia. Masalah perkawinan juga diatur dalam Kovenan tersebut diantara Pasalnya (Pasal 23) mengenai perkawinan adalah :
1.    Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara.
2.    Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.
3.    Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah
Sebelumnya perlu diketahui jenis hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR itu. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-yang telah meratifikasi ICCPR ini (termasuk Indonesia). Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Maka 2 hak yang bersifat nonderogable memeluk agama kepercayaan sesuai dengan keinginannya. Dalam hak ini Negara tidak boleh ikut campur membuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan agama seseorang termasuk melarang seseorang beragama tertentu, mengatur masalah-masalah teknis keagamaan termasuk tidak boleh terlalu ikut campu dalam mengatur pelarangan perkawinan beda agama. Sekali lagi hak ini sifanya nonderogable yang pemenuhannya oleh Negara tidak boleh ditunda-tunda.
Hak yang kedua adalah untuk membentuk keluarga atau melakukan perkawinan . Hak ini juga merupakan hak asasi manusia yang bersifat nonderogable yaitu pemenuhannya harus dilakukan oleh Negara tidak boleh menunda-nunda Dalam ketentuan ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia dan berlaku sebagai sumber hukum di Indonesia, masalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan harus diakui tanpa persyaratan yang rumit, ketentuan perkawinan hanya dititik beratkan pada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah.
Berdasarkan hal di atas Kovenan HAM ICCPR yang telah berlaku di Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 meminta untuk mengakui perkawinan antara lelaki dan perempuan yang telah ada persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak.
Atas nama Hak Asasi Manusia Pemerintah harus melakukan upaya regulasi yang mengakomodasi hak-hak dasar termasuk hak untuk menikah karena hak tersebut termasuk dalam kategori Non Derogable Right yang pemenuhannya tidak boleh ditunda-tunda. Atau masyarakat bisa melakukan judicial riview ke Mahkamah Kontitusi terhadap undang-undang yang menghambat hak-hak masyarakat tersebut.










0 comments:

Post a Comment