This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, March 25, 2016

PERIHAL PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN HAKIM

                                     “PERIHAL PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN HAKIM”
                            Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Perdata

                                                                        Dosen pengampu :
                                                                Farida sekti fahlevi M.Hum

                                                                         Disusun Oleh :
                                                                            Zikri fadli
                                                                           Masjudin F
                                                                         Franky Rifa’i
                                                                     Binti munawwaroh
                                                                         Abdul toyyibi
                                                                        Wildan arifiana

                                                                  JURUSAN SYARIAH
                                                         PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
                     SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                                2015
                                                                              BAB 1
                                                                     PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Di dalam persidangan hakim yang menentukan/memutuskan segala keputusan berdasarkan bukti-bukti yang empiris dan akurat, agar tidak terjadi kekeliruan atau menyalahi aturan undang-undang maupun kode etik profesi hakim.
Namun setelah diadakan nya pemutusan suatu perkara, biasanya terjadi hal-hal seperti terpidana melakukan tingkat banding, kakasi, bahkan melakukan ketingkat luar biasa yang khususnya disebut dengan peninjauan kembali (PK) ketika tidak puas dengan vonis yang diputuskan.
Dan pada makalah ini akan dibahas tentang perihal peninjaun kembali putusan hakim, guna untuk memahami term-term yang terdapat di dalam referensi yang penulis ambil, maka penulis ,melakukan pemilihan suatu term atau istilah yang mudah dicerna dan dipahami oleh semuanya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 66 UU no.14 tahun 1985 yang akan dibahas di bab berikut.

B.    RUMUSAN MASALAH

1.    Apa yang dimaksud dengan peninjauan kembali ?
2.    Apa dasar hukum UU yang mengatur tentang peninjaun kembali ?
3.    Bagaimana tata cara permohonan, prosedur, proses penyelesaian perkara dalam (PK) ?


                                                                           BAB II
                                                                   PEMBAHASAN

1.    Pengertian Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali (pk) berarti upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan terpidana atau pengacaranya. 
Dalam perundang-undangan nasional, istilah peninjauan kembali disebut dalam pasal 15 UU No. 19 tahun 1964, tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang mengatakan: “terhadap keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,  dapat dimintakan peninjauan kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaaan yang ditentukan dengan undang-undang”.
Sebelum melakukan upaya hukum luar biasa, sebenarnya terpidana mempunyai atau memperoleh hak melakukan upaya hukum biasa yang disebut tingkat banding atau kasasi. Secara garis besar banding adalah upaya hukum biasa terpidana dipengadilan tinggi, sedangkan kasasi adalah upaya hukum atas ketidakpuasan dari vonis pengadilan  sebelumnya dan melakukan upaya hukum kasasi di mahkamah agung.
Dari penjelasan di atas seandainya terpidana juga tidak puas dengan keputusan hakim ditingkat kasasi, maka jalan terakhir satu-satunya adalah melakukan upaya hukum luar biasa yang disebut peninjauan kembali. Pemohon (pk) biasanya beralasan ada bukti baru (novum) yang ditemukan atau pemohon PK menilai ada kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan hakim ditingkat kasasi.
Sekalipun terpidana melakukan PK namun ia tidak dapat menghentikan sebuah eksekusi apabila vonis sudahditentukan pada siding sebelumnya. Upaya hukum luar biasa pk hanya dimiliki oleh terpidana,  tidak boleh jaksa penuntut umum (jpu). Jaksa hanya berhak mengajukan upaya hukum banding dan kasasi itu dalam perkara pidana.  
Upaya hukum banding, kasasi, dan PK tidak hanya di perkara pidana saja, di perkara perdata juga memiliki hak tersebut, baik itu tergugat maupun penggugat dalam suatu perkara. Itu artinyabaik tergugat maupun penggugat dapat mengajukan ketika upaya hukum tersebut.

2.    Undang-Undang Yang Mengatur Tentang Peninjauan Kembali (PK)
Peninjauan kembali PK diatur dalam pasal 66 UU No. 14 tahun 1986, yang berbunyi :
a.    Permohonan peninjauan kembali PK hanya dilakukan satu kali.
b.    Permohonan peninjauan kembali PK tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
c.    Permohonan peninjauan kembali PK dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali PK itu tidak dapat diajukan lagi.

3.    Tata Cara Permohonan Peninjauan Kembali (PK)
a.    Pihak yang beperkara, ahli warisnya atau kuasanya mengajukan permohonan peninjauan kembali ke pengadilan agama dengan tenggang waktu paling lama 180  hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti-bukti baru.  Permohonan peninjauan kembali harus memuat alasan-alasanya sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 UU No. 14 tahun 1985, sebagai berikut:
-    Apabila putusan didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau pada suatu keterangan saksi atau surat-surat bukti yang kemudian oleh hakim dinyatakan palsu.
-    Apabila setelah diputus ditemukan surat surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
-    Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
-    Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan dengan satu yang lain.
-    Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Dari pembagian diatas ternyata alasan-alasan tersebut sama dalam PerMA 1/1982. MA dengan keputusannya tanggal 12 oktober 1984 telah mengabulkan permohonan peninjauan kembali berdasarkan adanya novom dan membatalkan putusan MA yang dimohonkan peninjauan kembali. 
b.    Membayar biaya perkara kepada panitera pengadilan agama. Setelah permohonan peninjauan kembali diterima dan biaya perkara dibayar, panitera membuat anta peninjauan kembali dan mendaftarkannya pada buku induk register.
c.    Pemberitahuan permohonan PK
Selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah permohonan PK diterima. Panitera memberitahukan permohonan PK tersebut kepada pihak lawan dengan mengirimkan salinan permohonan PK serta alasan-alasannya. Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK tersebut. setelah jawaban PK diterima oleh pengadilan agama, berkas perkara PK dan buku pembayarann biayanya oleh panitera dikirim kemahkamah agung dalam waktu 30 hari. Berkas perkara itu disusun dalam bentuk bundle (jilid).

4.    Prosedur Peninjauan Kembali (PK)
Langkah-langkah yang harus dilakukan pemohon peninjauan kembali (pk) :
a.    Mengajukan permohonan PK kepada mahkamah agung secara tertulis atau lisan melalui pengadilan agama/mahkamah syari’iyah.
b.    Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan/ putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti adanya kebohongan/bukti baru, dan bila alasan pemohon PK berdasarkan bukti baru, maka bukti baru tersebut dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
c.    Membayar biaya perkara PK.
d.    Panitera pengadilan tingkat pertama memberitahukan dan menyampaikan salinan memori PK kepada pihak lawan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 hari.
e.    Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori PK dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan PK.
f.    Panitera pengadilan tingkat pertama mengirimkan berkas PK ke MA selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 hari.
g.    Panitera MA menyampaikan salinan putusan PK kepada pengadilan agama/mahkamah syari’iyah.
h.    pengadilan agama/mahkamah syari’iyah menyampaikan salinan putusan PK kepada para pihak selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 30 hari.



5.    Proses Penyelesaian Perkara
a.    Permohonan PK diteliti kelengkapan berkasnya oleh Mahkamah agung, kemudian dicatat dan diberi nomor register perkara PK.
b.    Mahkamah Agung memberitahukan kepada pemohon dan termohon PK bahwa perkaranya telah diregistrasi.
c.    Ketua mahkamah agung menetapkan tim dan selanjutnya ketua tim menetapkan majelis hakim agung yang akan memeriksa perkara PK.
d.    Penyerahan berkas perkara oleh asisten coordinator kepada panitera pengganti yang menangani perkara PK tersebut.
e.    Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke majelis hakim agung masing-masing(pembaca 1,2 dan 3) untuk diberi pendapat.
f.    Majelis Hakim agung memutuskan perkara.
g.    Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan kepada para pihak melalui pengadilan tingkat pertama yang menerima permohonan PK.


                                                                              BAB III
                                                                       KESIMPULAN


Peninjauan kembali (PK) berarti upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan terpidana atau pengacaranya.
Sebelum melakukan upaya hukum luar biasa, sebenarnya terpidana mempunyai atau memperoleh hak melakukan upaya hukum biasa yang disebut tingkat banding atau kasasi. Secara garis besar banding adalah upaya hukum biasa terpidana dipengadilan tinggi, sedangkan kasasi adalah upaya hukum atas ketidakpuasan dari vonis pengadilan  sebelumnya dan melakukan upaya hukum kasasi di mahkamah agung.
Walaupun terpidana melakukan PK itu semua tidak bisa menghentikan vonis hukum yang telah ditetapkan pada pengadilan sebelumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 66 UU No. 14 tahun 1986, yang berbunyi :
a.    Permohonan peninjauan kembali PK hanya dilakukan satu kali.
b.    Permohonan peninjauan kembali PK tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
c.    Permohonan peninjauan kembali PK dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali PK itu tidak dapat diajukan lagi.
                                                              DAFTAR PUSTAKA
Mardani, 2009, hukum acara perdata Peradilan agama & mahkamah syari’yah, penerbit Sinar Grafika
Iriawan, Wawan, 2003, hukum untuk pemula(law for beginners), penerbit MedCom Press
Mertokusumo, sudikno, 2010, hukum acara perdata Indonesia, Penerbit UAJY
Sutantio, Retnowulan. Dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum acara perdata dalam teoridan praktek, Penerbit Mandar Maju
Y.I.MA 1984-II

MUNAKAHAT

                                                                      MUNAKAHAT
                               Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                       “Hadits Ahkam”
 
                                                               
                                                                          DisusunOleh:
                                                                        Abdul Thoyibbi
                                                                       Binti Munawaroh
                                                                        Siti Mahmudah

                                                                       DosenPengampu:
                                                 Irma Rumtianing Uswatul Hanifa, S.Ag, M.SI

                                                                  JURUSAN SYARIAH
                                                 PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                           SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                (STAIN) PONOROGO
                                                                                  2015


                                                                                  BAB I
                                                                        PENDAHULUAN
 
1.    Latar Belakang
Nikah merupakan syariat yang tidak boleh diabaikan oleh setiap muslim yang beriman yang telah mampu baik secara lahiriah maupun batiniah. Nikah adalah sunah nabi Muhammad SAW yang harus dikerjakan dan kita ikuti. Namun tidak sedikit umat muslim yang secara matri ataupun jiwa tidak mau segera menikah dan memilih berlama-lama hidup membujang, dengan berbagai resiko terjerumus kepada kemaksiatan.
Nikah  itu adalah ibadah, demikian hadis nabi SAW,banoyak pemuda tak mau menikah dengan alas an belum siap bertanggung jawab padahal ia telah mampu dari berbagai segi. Allah telah memuliakan bani Adam dan menjadikan nikah itu sebagai cara memiliiki keturunan diantara mereka.
Nabi SAW bersabda “ nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak menyukai sunahku maka dia bukan termasuk umatku.

2.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian nikah sebagai sunnah Nabi?
2.    Bagaimana pernikahan yang dilarang?
3.    Apakah syarat pernikahan?
4.    Bagaimanakah perihal wali?


                                                                               BAB II
                                                                       PEMBAHASAN


1.    Nikah sebagai Sunnah Nabi
ابن ماجه
حدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Al azhari, telah mengkhabarkan kepada kami Adam, telah mengkhabarkan kepada kami Isa bin Maimun, dari Qosim dari Aisyah berkata” bahwa  Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallama  Bersabda: Menikah adalah sunnah-Ku, barang siapa tidak mengamalkan sunnah-Ku berarti bukan dari golongan-Ku. Hendaklah kalian menikah sungguh dengan jumlah kalian aku berbanyak-banyakan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak memiliki hendaknya puasa, karena puasa itu merupakan perisai”
Penjelasan:
      Dalam aspek agama pernikahan merupakan perkara yang suci dengan demikian pernikahan menurut Islam merupakan ibadah, yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah SWT atas petunjuk Rasul Nya yakni terpenuhinya rukun dan syarat nikah
Suatu saat manusia berkhayal untuk hidup membujang dan menjauhkan diri dari masalah duniawi, hidup hanya untuk shalat malam, berpuasa dan tidak mau menikah selamanya sebagai hidupnya seorang pendeta yang menyalahi tabiat (naluri) manusia sehat. Islam memperingatkan bahwa hidup semacam ini berlawanan dengan fitrah dan menyalahi ajaran agama. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai seorang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah SWT masih tetap berpuasa dan berbuka, shalat malam, tidur dan menikah pula.  Dan orang yang mau menyalahi tuntutan ini tidak patut digolongkan sebagai umat beliau.
Sebagaimana kita ketahui  bahwa nikah itu penting dan perlu sekali, dan tidaklah ada orang yang tidak mau, kecuali mereka jiwanya yang lemah dan durhaka saja sebagaimana dikatakan oleh khalifah Umar bin Khaththab dan karena hidup kependetaan memang tidak dibenarkan oleh Islam, juga karena tidak mau menikah  hanya akan menyebabkan seseorang kehilangan banyak keuntungan dan kebaikannya.
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’ dalam bukunya  Kado Pernikahan mengatakan bahwa menikah juga termasuk mencari cinta Rasulullah SAW dengan cara memperbanyak keturunan, karena Rasulullah SAW akan membanggakan kita pada umat-umat lain pada Hari Kiamat kelak.
Dengan menikah maka akan dimasukkan oleh Rasulullah SAW kedalam kelompok orang yang telah menyempurnakan separuh dari agama Islam. Jika masing-masing ridha terhadap pasangannya dan mereka menyempurnakan segala tata aturan keagamaan maka dia mendapat jaminan  masuk surga bersama dengan orang-orang yang mendahuluinya. Dengan menikah yang dibalut dengan ketaatan bersama dalam agama, maka pasangan tersebut juga akan kembali berkumpul di akhirat. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika ada seorang perempuan yang meninggal sedang suaminya ridha kepadanya maka dia akan pasti masuk surga. Selama dia menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan dalam Islam.
2.    Pernikahan yang dilarang
البخاري
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
سنن ابن ماجه
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ أَوْ أُخْتَكَ عَلَى أَنْ أُزَوِّجَكَ ابْنَتِى أَوْ أُخْتِى. وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
Artinya:
 Telah mengkhabarkan kepada kami suwaid bin sa’id, telah mengkhabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibn Umar  “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar”
Penjelasan :
Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, atau saudara atau yang berada di bawah perwaliannya si B, namun dengan syarat si B harus menikahi pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya si A. Bentuk dan sifat “nikah syighor” ini adalah relatif, mau ada mahar ataukah tidak [tidak ada masalah].
Larangan nikah syighor. Suatu larangan menuntut kerusakan, sehinnga yang seperti ini tidak dibenarkan. Alasan haram dan rusaknya niakh shighor adalah tidak adanya mahar muamma (yang disebutkan) atau mahar mitsl (menurut kebiasan lingkungan). Hal ini ditnjukan dalam kalimat “ sementara diantara keduanya tidak ada mahar”.
Para ulama sepakat menyatakan keharaman nikah shighar, tapi mereka berbeda pendapat mengenai kebatalannya sbb:
a.    Abu hanifah berpendapat bahwa nikah shighar sah dan mesti ada mahar standar.
b.    Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikah shighar tidak sah, karena larangan menuntut rusak atau batalnya akad.
Syaih Taqiyyuddin berkata, “Allah SWT mengharamkan nikah shighar karena wali mesti menikahkan budaknya mana kala calonnya setara. Hal ini dinyatakan oleh Ahmad berdasarkan pandangan maslahat. Dengan demikian, jika mahar yang dissebut diberikan dala rangka tipu daya saja atau dalam rangka shighar, maka nikah yang dilakukan tidak sah.
3.    Syarat Pernikahan

ابن ماجه
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Amru bin Abdillah dan Muhammad bin Ismail mengatakan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usamah dari Abdil khamdi bin Ja’far dari yazid bin Abi khabib dari Marsad bin Abdillah dari Uqbah Bin Amir Dari Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk dipenuhi adalah persyaratan (Nikah) yang bisa menghalalkan bercampur dengan (seorang wanita)”
Penjelasan:
Setiap salah satu diantara suami istri mempunyai syarat sebelum melangsungkan akad nikah, maka masing-masing mempunyai syarat yang dengannya sebagai pelaksanan dari nikah itu sendiri. Palaksanan sayarat disini adalah sebagai syarat yang harus dilaksanakan dalam akad nikah.
Yang mana syarat dalam nikah merupakan suatu perkara yang besar sebagai pelindungan yang kuat yang menjadikan bolehnya berhubuangan dengan lawan jenis (nikah). Dan hukum syariat telah adil dalam  menetapkan masalah ini, sebagaimana perkataan: sesungguhnya yang paling berhak dipenuhi syaratnya adalah penghalalan kemaluan. Dengan  cara bersetubuh
      Wajibnya memenuhi sebuah syarat yang mana syarat tesebut diajukan oleh salah satu dari suami istri, seperti syarat penambahan mahar dan tempat tinggal bagi suami, dan seperti syarat keperawanan dan nasab yang di ajukan suami bagi istri
Pemenuhan kewajiban sebagai pelengkap syarat yang termasuk pamenuhan akad sebagai bentuk kebaikan bagi suami istri. Sesungguhnya pemenuhan sebuah syarat dalam nikah sangat ditekankan dari hal yang lainnya karena ia sebagai ganti dari penghalalan sebuah kemaluan.
4.    Perihal wali
ابن ماجه
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِىُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakri Ibn Syaibah, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’ad Ibn Mu’ad, telah mengkhabarkan dari kami Ibn Zuraiz dari Sulaiman Ibn Musa dari Azuhriyyi dari ‘Urwah dari  Aisyah  ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Jika ia dinikahkan, maka wajib baginya mahar sebagai jaminan menghalalkan kemaluannya. Tapi jika para walinya berselisih, maka hakim menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
Penjelasan:
Wali dalam nikah merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, nikah tidak dianggap sah kecuali dengan wali yang memimpin akad nikah. Akad nikah termasuk akad yang mengandung banyak resiko, maksudnya membutuhkan banyak pengetahuan mengenai kemaslahatan dan kemuddhorotan dalam nikah serta membutuhkan perenungan dan musyawarah. Selain itu, wanita memiliki pemikiran dan pandangan yang kurang tajam sehingga ia membutuhkan seorang wali yang bisa memecahkan permasalahan akad ini dilihat dari sudut kemaslahatannya. Karenanya, wali dianggap sebagai salah satu syarat akad berdasarkan nash yang shahih dan pemndapat jumhur ulama.
Seorang wali disyaratkan mukallaf, laki-laki, cerdas dalam mengetahui kemaslahatan nikah, dan seagama dengan wanita diwalikan. Sekiranya wali tersebut tidak memiliki sifat-sifat ini, ia tidak berhak menjadi wali dalam akad nikah lantaran tidak memenuhi syarat menjadi wali. Seorang wali diharuskan laki-laki yang kedudukannya paling dekat dengan wanita yang diwalikan. Seorang wali yang memiliki garis hubungan yang jauh tidak bisa mewalikan selama masih ada wali yang lebih dekat dengan wanita yang akan diwalikannya. Jika seorang wali yang bergaris hubungan jauh menikahkan seorang wanita sementara masih ada wali yang bergaris dekat, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini: ada yang berpendapat nikahnya batal, ada yang berpendapat boleh, dan ada yang berpendapat bahwa wali yang dekat bisa menyrtujuinya atau membatalkannya. Jika seorang wanita tidak menemukan seorang wali baginya, maka yang menjadi walinya adalah imam atau wakilnya sebagai imam menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali.


TAKHRIJ HADIST
Untuk mempermudah penelitian kebersambungan sanad dan lambang periwayatan yang digunakan oleh para perawi, maka disusun bagan seperti dibawah ini:




POHON SANAD

ابْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا



    أَنَّ


    عَنْ

    عَنْ


    أَخْبَرَنَا   


    حَدَّثَنَا




BIOGRAFI PERAWI

NO    NAMA PERAWI    TL/TW/UMUR    GURU    MURID    JARH WA TA’DIL

1.        Abdullah Ibnu Umr    Wafat: 73/74 H    1.    Rasulullah SAW
2.    Rafi’ bin Khadij
3.    Bilal Muadzin Rasulullah    1.    Nafi’ Maulah
2.    Nasir bin Da’aluq
3.    Na’im al Mujamar     رجل صالح
2.        Nafi’ Maulah
    Wafat: 117 H    1.    Abdullah Ibn Umar
2.    Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shidiq
3.    Abdullah bin Abdullah Bin Umar    1.    Malik bin Annas
2.    Malik  bin Mughal Kaufi
3.    Mubarak bin Hasan    ثقة
3.        Malik bin Annas
    Lahir: 93 H
Wafat: 179 H    1.    Nafi’ Maulah
2.    Na’im al Mujamar
3.    Hasyim bin Hasyim bin ‘Atibah bin Abi Waqos
    1.    Abdullah bin Yusuf
2.    Abdullah A’la bin Hamad Narasi
3.    Abu mashur abdul ‘ala bin mashur ghosani
   
4.        Abdullah bin Yusuf
    Wafat: 218 H    1.    Malik bin Annas
2.    Muhammad bin Muahajir
3.    Abi Muti’ Muawiyah     1.    Bukhoti
2.    Ibrahim bin Hana’i Niyasaburi
3.    Ibrahim bin Ya’qub    ثقة
الحافظ

1.    ‘Abdullah ibn Umar
Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn Umar ibn khottob al-Qurasy al-‘Adwi, Abu ‘Abdurrahman al-Maki al-Madani. Beliau meriwayatkan hadits ini dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Nabi SAW, Umar bin Khattab, Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin affan, Ali bin Abi Thalib, sa’ad bin Abi Waqas, Zaid bin Khattab dan Shohib bin Sanan. Sedangkan jajaran murid-muridnya adalah : Basyar bin Sa’ad al Madani, Basyar bin ‘Aid, Bilal bin ‘Abdullah bin Umar, Jami’ bin ‘Amir At-Taimi, ‘Abdullah bin ‘Abid bin ‘Amir, ‘Abdullah bin ‘Abidullah bin Umar, Katsir bin Maroh, dan Nafi’ Maulah.
Adapun penilaian kualitas pribadinya adalah sebagai berikut: Kebersambungan sanad antara Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah SAW tidak di ragukan, begitu pula dengan kualitas pribadi dari Ali bin Abi Thalib. Penulis mengikuti pendapat jumhur muhaddits yang menyatakan bahwa seluruh shahabat adil (al-Shahabah kulluhum’udul). Menurut Nuruddin ‘Itr, sifat adil para sahabat di tetapkan melalui bukti dan dalil yang kuat, baik melalui al-kitab, Sunnah, Ijma’, dan dalil ‘aqli. Abdullah ibn Umar wafat pada tahun 73 H. Namun ada pula yang mengatakan wafat pada tahun 74 H.

2.    Nafi’
Nama lengkapnya adalah Nafi’ Abu Abdullah al-Madani. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Aslam muwalli Umar ibn Khattab, Ibrahim ibn Abdullah ibn Hanin, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Sa’id ibn Abi Hanadi. Sedangkan jajaran murid-muridnya adalah: Ibrahim ibn Sa’id al-Madani, Asamah ibn Zaid ibn Aslam, Malik ibn Annas, Aban ibn Toriq, Hasan ibn Athoyah ibn as-Syami, Abdullah ibn al-Dhinnar, Abdurrahman ibn Abdullah al-Saroji, Umar ibn Nafi’, Musa ibn ‘Aqabah.
Adapun penilaian kualitas pribadinya adalah sebagai berikut: Muhammad ibn Sa‟id menyebutkannya dalam thabaqat ketiga ahl madinah, dia mengatakan: Tsiqah katsir al-hadits, dan Nasa’i : Tsiqah. Ibnu Khurasy juga mengatakan : Tsiqah, Nabil. Jika di lihat dari lafadz yang di gunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi, perawi yang di nilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat di kategorikan Hujjah.
Menarik untuk di cermati bahwa Nafi’ meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah ibn Umar menggunakan kata عن. Menurut para ulama hadits, suatu riwayat yang menggunakan sighat ini dalam transmisinya, mengindikasikan adanya tadlis atau penyembunyian dari perawi. Sebab ia tidak secara eksplisit menyebutkan metode yang digunakan untuk menerima atau meriwayatkan hadits dari gurunya. Namun tuduhan ini tidak terbukti dengan adanya relasi guru murid antara Abdullah ibn Umar dengan Nafi’ . dengan kata lain tercatatnya Abdullah ubn Umar sebagai guru Nafi’ dan Nafi’ merupakan murid dari Abdullah ibn Umar, seperti yang dikemukakan oleh al-Mazzi dalam al-Maktabah al-Syamilah sudah cukup menjadi bukti adanya kebersambungan sanad. Beliau wafat pada tahun 117 H.

3.    Malik ibn Annas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Annas bin Malik bin Abi Umar bin Amru ibn al-Ashbahi al-Humairy. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Ibrahim bin ‘Aqabah, Ayyub bin habibi azzahri, Nafi’ Muwalli bin Umar, Ja’far bin Muhammad as-Shadiq, Zaid bin Robahan, Shufwan bin Salim, Abdullah. Sedangkan dalam jajaran muridnya, disebutkan beberapa nama antara lain adalah: Ibrahim ibn Thohaman, Ahmad ibn Abdullah ibn Yunus, ‘Abdullah ibn Yusuf, Kholid bin ‘Abdurrahman al-Khurasani, ‘Abdullah bin Iddris, ‘Abdullah bin al-Mubarok.
Adapun penilaian kualitas pribadinya sebagai berikut : Muhammad bin Sa’id menyebutnya Malik Tsiqah, ma’mun, tsabit waro’a, faqih, hujjah. Yang dikatakan tsiqah ma’mun disini berarti orang yang dapat memegang amanah. Jika di lihat dari lafadz yang di gunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi perawi yang dinilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat dijadikan hujjah. Malik bin Annas lahir pada tahun 93 H. Dan beliau wafat pada tahun 179 H.
4.    ‘Abdullah bin Yusuf
Nama lengkap beliau adalah ‘Abdullah bin Yusuf al-Tanyis, Abu Muhammad al-Kula’i al-Mashory. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Ismail ibn Alaih, Sa’id ibn Basir, Malik ibn Anas, Bakri bin Madhor, al-Hakim bin Hisyam al-Tsaqofy, Sa’id bin Abdul ‘Aziz, ‘Abdullah bin Wahab, Isa bin Yunus dan Muhammad bin Muhajir. Sedangkan dalam jajaran muridnya disebutkan beberapa nama antara lain adalah Ishak ibn Sayari an Nashibi, Ali ibn Utsman al-Nafili, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzijani, Ali bin Utsman al-Nafili, Abu Hatim Muhammad bin Iddris al-Razi, Yahya bin Mu’in dan Bukhari.
Tidak terlalu banyak penilaian yang di kemukakan para kritikus hadits terhadap ‘Abdullah bin Yusuf. Menurut Abu Bakar ibn Khozimah mendengar dari nashar bin marzuq, mengatakan ia mendengar dari yahya bin mu’in dari malik berkata : tsabit annas, Abu Rahman bin Abi hatim : tsiqah, Ahmad bin Abdullah: tsiqah. Jika di lihat dari lafadz yang digunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi, perawi yang di nilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat di katakan hujjah.
‘Abdullah bin Yusuf meriwayatkan hadits dari Malik bin Annas dengan menggunakan lambang حَدَّثَنَا. Menurut Subhi Shahih, shighat termasuk dalam kategori yang paling tinggi dan paling kuat. Sebab perawi yang bersangkutan mendengar sendiri suatu hadits dari gurunya, atau dalam ilmu hadits disebut metode. Berbeda dengan lafadz haddatsani, lafadz haddatsana menunjukan bahwa riwayat tersebut di sampaikan oleh seorang guru kepada banyak orang., seperti yang di kemukakan oleh Abdullah bin Wahab. Dengan demikian pertautan guru-murid antara Malik bin Annas dengan Abdullah bin Yusuf tidak di ragukan lagi. Dalam jajaran murid-murid ‘Abdullah bin Yusuf di sebutkan nama al-Muslim, seperti yang di kemukakan al-Asqalani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib. ‘Abdullah bin Yusuf wafat pada tahun 218 H.


                                                                        BAB III
                                                                  KESIMPULAN

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu membahas 4 poin yaitu:
1.    Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’ dalam bukunya  Kado Pernikahan mengatakan bahwa menikah juga termasuk mencari cinta Rasulullah SAW dengan cara memperbanyak keturunan, karena Rasulullah SAW akan membanggakan kita pada umat-umat lain pada Hari Kiamat kelak.
2.    Larangan nikah syighor. Suatu larangan menuntut kerusakan, sehinnga yang seperti ini tidak dibenarkan. Alasan haram dan rusaknya niakh shighor adalah tidak adanya mahar muamma (yang disebutkan) atau mahar mitsl (menurut kebiasan lingkungan). Hal ini ditnjukan dalam kalimat “ sementara diantara keduanya tidak ada mahar”.
3.    Syarat dalam nikah merupakan suatu perkara yang besar sebagai pelindungan yang kuat yang menjadikan bolehnya berhubuangan dengan lawan jenis (nikah). Dan hukum syariat telah adil dalam  menetapkan masalah ini, sebagaimana perkataan: sesungguhnya yang paling berhak dipenuhi syaratnya adalah penghalalan kemaluan. Dengan  cara bersetubuh. Wajibnya memenuhi sebuah syarat yang mana syarat tesebut diajukan oleh salah satu dari suami istri, seperti syarat penambahan mahar dan tempat tinggal bagi suami, dan seperti syarat keperawanan dan nasab yang di ajukan suami bagi istri.
4.    Wali dalam nikah merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, nikah tidak dianggap sah kecuali dengan wali yang memimpin akad nikah. Akad nikah termasuk akad yang mengandung banyak resiko, maksudnya membutuhkan banyak pengetahuan mengenai kemaslahatan dan kemuddhorotan dalam nikah serta membutuhkan perenungan dan musyawarah. Selain itu, wanita memiliki pemikiran dan pandangan yang kurang tajam sehingga ia membutuhkan seorang wali yang bisa memecahkan permasalahan akad ini dilihat dari sudut kemaslahatannya. Karenanya, wali dianggap sebagai salah satu syarat akad berdasarkan nash yang shahih dan pemndapat jumhur ulama.

                                                                DAFTAR PUSTAKA

Al Bassam, Abdullah bin Abdurahman al Bassam.2006. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pusaka Azzam.
https://googlemuslim.wordpress.com/2013/07/31 diakses tanggal 09-03-2015
Nuruddin „Itr, Manhaj al-Naqd fi.Ulum al-Hadits, terjemah Mujiyo. 1994.Ulum al-Hadits 1.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Sumbulah, Umi. 2008.Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologi.Malang: UIN-Malang Press.
Syihab al-Din Ahmad ibn „Ali ibn Hajar al-„Asqalani. 1995.Tahdzib al-Tahdzib. Juz 2.Beirut: Dar Fikr.

DEFINISI, TEORI, DAN KAIDAH HUKUM

                                               DEFINISI, TEORI, DAN KAIDAH HUKUM
                                         Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
                                                                      Filsafat Hukum

                                                         

                                                                    Dosen pengampu :
                                                      Muhammad Shohibul Itmam, M.H

                                                                       Disusun Oleh :
                                                                   Muhammad Irsyad
                                                                        Azka Arrozi
                                                                     Binti Munawaroh

                                                                JURUSAN SYARIAH
                                                      PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
                    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                             2015


                                                                           BAB 1
                                                                 PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Hukum merupakan sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah laku manusia dapat terkontrol. Hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan, hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Hukum juga rangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan untuk manusia dalam menjalani roda kehidupan ini agar hal tersebut sesuai dengan peraturan manusiawi secara dasar.
Oleh karena itu setiap masyarakat berhak mendapatkan pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan konsekuensi sanksi bagi yang melanggarnya. Berikut akan diterangkan mengenai Makalah Pengertian Hukum Teori hukum an Kaidah Hukum.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud hukum itu?
2.    Apa saja teori hukum?
3.    Apakah  kaidah hukum itu?


                                                                                   BAB II
                                                                           PEMBAHASAN
 
1.    Definisi Hukum
Pengertian hukum yang sederhana dan klasik menurut O. Notohamidjojo adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antarnegara yang berorientasi pada sekurang-kurangnya dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan dami dalam masyarakat.
Maka hukum kemudian dibahasakan sedemikian rupa oleh filsuf atau ilmuwan hukum dengan maksud seekuat tenaga memberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan hukum itu, yaitu bahwa ia adalah norma pengatur perilaku, dibuat oleh penguasa, atau juga kebiasaan-kebiasaan menjamin kepastian hak dan kewajiban, alat yang dipakai hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sebagainya. Hukum itu juga kemudian dikatakan sebagai mempunyai faktisitas atau keberadaan yang berlaku. Ketika didunia modern terdapat kekosongan hukum, maka hukum itu dapat dibuat atau ditemukan (dalam proses penemuan hukum oleh hakim).
Menurut Anton F. Susanto hukum sebagai produk pemahaman. Benar tanpa pemahaman hukum tidak dapat dimengerti. Namun ketika semua pemahaman itu suatu ketika dibongkar atau harus dipahami ulang misalnya, maka akan ada pemahaman baru yang diperoleh setelah melewati kekacauan-kekacauan pemahaman. Jadi hukum adalah pemahaman, pemahaman tentang yang dipahami dan berasal dari pemahamn an sich.
C.    Teori Hukum
Bruggink menyatakan bahwa teori hukum adalah sustu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hakim, dan sistem tersebut untuk sebagian yang terpenting dipositifkan. Menurutnya pula bahwa teori hukum itu bisa dilihat sebagai produk (hasil kegiatan teoritik dibidang hukum) dan sebagai proses (perhatian diarahkan pada kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum, tidak pada hasil -hasil kegiatan itu).


Menurut Meuwissen ada lima jenis teori hukum, yaitu:
1.    Teori hukum fungsional
Teori ini berbicara tentang berfungsinya hukum yang dipahami sebagai pengartikulasian suatu hubungan yang ajeg diantara sejumlah variabel, yaitu yuris, hakim, pembentuk UU, dan warga masyarakat berada dalam suatu hubungan yang ajeg dengan bebagai kaidah hukum di satu pihak dan dengan lingkungan-lingkungan kongkret dilain pihak. Dikatakan, bahwa cara ini diperoleh suatu pemahamn tentang berfungsinya hukum sebagai suatu data dalam suatu konteks kemasyarakatan yang didalamnya tidak hanya keadaan-keadaan lingkungan yang faktual, melainkan juga kaidah-kaidah, harapan-harapan, dan asas-asas.
2.    Teori sistem
Menurut teori ini hukum harus dipahami dengan latar belakang masyarakat dengan arti yang seluas-luasnya. Manusia-manusia hidup dalam berbagai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya dan mempunyai harapan-harapan tentang perilaku masing-masing dan tentang reaksi-reaksi masing-masing terhadapnya.
3.    Teori hukum politik
Teori ini bertujuan mau membebaskan hukum dari keabstrakannya dan menojolkan implikasi-implikasi politis dari hukum. Dalam teori ini hukum dipandang sebagai katagori politik, sebagai suatu sarana untuk mewujudkan suatu pergaulan hidup yang baik dan adil. Selanjutnya dikatakan juga bahwa hukum bukanlah gejala bebas nilai yang netral, melainkan didalamnya dinyatakan perkaitan dengan politik.
4.    Teori hukum empirik
Teori hukum empirik adalah teori hukum yang membedakan secara tajam antara fakta-fakta dan norma-norma, antara keputusan-keputusan yang memaparkan dan yang normatif. Gejala-gejala hukum dipandang sebagai gejala-gejala empiris yang murni, yaitu misalnya fakta-fakta kemasyarakatan yang dapat diamati secara inderawi. Gejala-gejala itu harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode empirikal. Sebagaimana dengan sistem didepan, teori hukum empiris ini juga mendapat kritik dari teori kritis.
5.    Teori hukum marxistik
Teori ini dipandang hukum sebagai bagian dari hubungan kemasyarakatan, yaitu alat pelayanan kepentingan kelas atas.
D.    Kaidah Hukum
Secara sederhana kaidah atau Norma dapat digambarkan sebagai aturan  tingkah laku. Sesuatu yang seharusnya atau sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam keadaan tertentu. Ada juga yang menyebut kaidah sebagai petunjuk yang mengikat.
Kaidah berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dalam masyarakat. Ada kepentingan yang saling bersesuaian antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jika bentrokan kepentingan terjadi, maka kaidah memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan bentrokan itu.Sebagai jenis kaidah, yang mengatur masyarakat, maka hukum hanya salah satu diantara berbagai jenis kaidah lainnya.
Selain kaidah keagamaan atau kepercayaan, kaidah kesusilaan dan kaidah  sopan santun masih diperlukan kaidah hukum. Kaidah hukum adalah kaidah yang melindungi kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tadi.
Kaidah hukum ditujukan kepada pelaku yang konkret, yaitu si pelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyartkat agar menjadi tertib dan tidak terjadi kejahatan. Isi kaidah hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia.
Kaidah hukum mengutamakan perbuatan lahir, sehingga apa yang ada dalam batin manusia, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal yang tampak dalam kenyataan tidak melanggar kaidah hukum.
Kaidah hukum berasal  dari luar diri manusia yang memaksakan kepada kita. Masyarakat secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini pengadilan sebagai lembaga yang mewakili masyarakat untuk menjatuhkan hukuman.
Selain kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya, mungkin tidak ada salahnya bila diungkapkan juga bahwa masih ada yang disebut kaidah yuridis normatif (hukum) dan empiris. Kaidah yuridis normatif (hukum) yang merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa apa yang seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tingkah laku. Sebagai pedoman, kaidah hukum bersifat umum dan pasif.
Kaidah hukum yang berisi kenyataan normatif biasa disebut apa yang seharusnya dilakukan atau das sollen. Sebagai contoh dapat disebut “siapa yang mencuri harus dihukum”, barang siapa membeli sesuatu harus membayar”. Das sollen merupakan suatu kenyataan normatif dan bukan menyatakan sesuatu yang terjadi secara nyata, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Sebaliknya, kaidah yuridis empiris adalah kaidah hukum yang berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkret yang biasa disebut das sein. Sebagai contoh, seseorang telah nyata-nyat mencuri tetapi tidak dihukum, seseorang telah nyata-nyata membeli tetapi tidak membayar. Kejadian seperti contoh tersebut, merupakan kenyataan yang alamiah, sehingga terjadi suatu peristiwa yang kengkret disebut das sein. Dalam hal ini, yang penting bagi hukum adalah bukan apa yang terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Karena didalam undang-undang tidak dapat dibaca bahwa siapa yang mencuri sunggug-sungguh dihukum, tetapi siapa yang mencuri harus dihukum. Ketentuan yang berbunyi ”barang siapa yang mencuri harus dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi pencurian dan pencurinya dihukum, melainkan barang siapa mencuri harus dihukum. Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedangkan keimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Sebagai syarat harus terjadi peristiwa konkret terlebih dahulu. Karena telah terjadi peristiwa konkret maka sesuai kaidahnya harus ada akibatnya. Dihukumnya pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum karena (sebagai akibat) mencuri, melainkan pencuri harus dihukum berdasarkan  undang-undang  yang melarangnya. Disini tidak berlaku hukum sebab akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif.
Kaidah hukum mempunyai sifat yang pasif. Agar kaidah hukum tidak berfungsi pasif, diperlukan rangsangan dari peristiwa yang konkret (das sein) tertentu, sehingga kaidah hukum dapat aktif, yang kemudian diterapkan pada peristiwa konkret tersebut. Oleh karena itu selama tidak terjadi peristiwa konkret tertentu maka kaidah hukum itu hanya merupakan pedoman pasif belaka. Jadi, kaidah hukum memerlukan terjadinya peristiwa konkret. Peristiwa konkret merupakan aktivator yang diperlukan untuk dapat membuat aktif  kaidah hukum.
Apabila suatu peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum, maka peristiwa konkret adalah peristiwa yang relevan untuk hukum, peristiwa yang oleh hukum dihubungan dengan akibat hukum. Oleh karena itu, suatu peristiwa konkret tidak mungkin dengan sendirinya menjadi peristiwa hukum. Suatu peristiwa hukum tidak mungkin terjadi tanpa  adanya kaidah hukum. Peristiwa hukum diciptakan oleh kaidah hukum. Sebaliknya kaidah hukum dalam proses terjadinya dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa konkret.
Apakah suatu peristiwa itu peristiwa hukum yang tergantung dari adanya kaidah hukum? Kaidah hukum itu mengkualifikasikan suatu aspek dari suatu peristiwa menjadi peristiwa hukum. Apakah suatu aspek dari kenyataan itu dapat berlaku sebagai peristiwa hukum? Hal ini tergantung pada kaidah hukum yang bersangkutan, yaitu dapat diterapkan dalam situasi yang konkret. Sebagai contoh “peristiwa tidur”. Tidur sebagai peristiwa fisik bukan langsung peristiwa hukum. Namun, tidur merupakan peristiwa hukum bila terjadi pada seseorang penjaga malam yang seharusnya keliling mengadakan patroli untuk menghindari adanya pencurian, tetapi pada saat ia tidur terjadi pencurian. Peristiwa tidur alam hal ini dapat mengakibatkan dipecatnya penjaga malam.
Dari uraian diatas, mengungkapkan bahwa sollen memerlukan sein maka sein memerlukan sollen. Selain itu juga lazim disebut bahwa perbedaan yang menonjol antara kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya adalah sanksinya. Sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum dapat dipaksakan, dapat dilaksanakan diluar kemauan yang bersangkutan, dan bersifat memaksa.
Pelaksanaan atau penegakan kaidah hukum dapat dipaksakan melalui alat-alat ekstern. Kaidah hukum “siapa yang berutang harus melunasi utangnya” dapat dipaksakan karena yang mengutangkan dapat menggugat yang berutang dan setelah dijatuhkan putusan kepada tergugat, maka dapat diminta untuk dilaksanakan putusan itu dengan mengadakan penyitaan terhadap harta kekayaan yang berutang dan kemudian dijual. Penjualan dan penyitaan ini di luar kemauan yang bersangkutan. Kalau ada seseorang mencuri kemudian ia dijatuhi hukum penjara, maka ia dapat dipaksakan (diluar kemauannya) untuk dimasukkan dalam penjara.



BAB III
KESIMPULAN
Pengertian hukum yang sederhana dan klasik menurut O. Notohamidjojo adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antarnegara yang berorientasi pada sekurang-kurangnya dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan dami dalam masyarakat.

Teori hukum menurut Meuwissen ada lima jenis yaitu:
1.    Teori hukum fungsional
2.    Teori sistem
3.    Teori hukum politik
4.    Teori hukum empirik
5.    Teori hukum marxistik

Kaidah hukum adalah kaidah yang melindungi kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaidah lainnya dan melindungi kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaidah tadi.


                                                              DAFTAR PUSTAKA

Rhiti, Hyronimus.2011.Filsafat Hukum.Yogyakarta:Universitas Atma Jaya.

Ali, Zainudin.2009.Filsafat Hukum.Jakarta: Sinar Grafika.

HAJI Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah “Tafsir Ahkam”

                                                                                  HAJI
                              Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                         “Tafsir Ahkam”



 

Disusun Oleh:
Aulya Murfiatul Khoiryah
Ainur Rofiqoh
Ali Khafidz
Azka Arrozi
Bayyad Saifullah
Binti Munawaroh

Dosen Pengampu:

Udin Safala, M.H.I

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015

                                                                                 BAB I
                                                                       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
   
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud Haji?
2.    Bagaimana dalil wajib haji?
3.    Apa syarat-syarat ibadah haji?




                                                                               BAB II
                                                                      PEMBAHASAN


1.    Pengertian haji / definisi haji
Pengertian haji banyak ditulis di buku-buku fiqh. Ada beberapa perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian haji ini, namun perbedaan-perbedaan tersebut bukan suatu yang prinsip, melainkan sebatas pada tataran redaksional saja.
Pengertian haji, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Haji adalah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan-amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzulhijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.
Haji diwajibkan atas kaum muslimin-muslimat yang sudah mampu satu kali seumur hidup.

2.    Hukum dan Dalil Haji
Haji hukumnya fardhu bagi laki-laki dan perempuan sekali seumur hidup.
Dalil dari al-Qur’an :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ) آل عمران: 97(
Artinya : "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". QS. Ali Imran: 97.
Dalil dari Hadits:
عن أبي هريرة قال : خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم الناس فقال إن الله عز و جل قد فرض عليكم الحج فقال رجل في كل عام فسكت عنه حتى أعاده ثلاثا فقال لو قلت نعم لوجبت ولو وجبت ما قمتم بها ذروني ما تركتكم فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا أمرتكم بالشيء فخذوا به ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه
Artinya:
Abi Huroiroh berkata : ketika Rosululloh menyampaikan khutbah kepada sahabatnya ”sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla telah mewajibkan haji kepadamu” kemudian ada seorang laki-laki bertanya”apakah kewajiban haji berlaku setiap tahun?,namun Rosul tidak menjawab sepatah katapun,kemudian orang laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan Rosul menjawab:”seandainya aku mengatakan ya (wajib setiap tahun) pasti hukum tersebut berlaku untuk kalian,dan seandainya di wajibkan haji setiap tahun,pasti tak seorang pun dari kalian yang mampu melaksanakannya,maka tinggalkan apa-apa yang tidak kujelaskan kepadamu (jangan dipermasalahkan), sesungguhnya  hancurnya umat sebelum kalian di sebabkan sering mempermasalahkan dan menyelisihi nabi-nabinya,ketika telah kuperintahkan sesuatu untukmu maka kerjakanlah semampunya,dan ketika aku melarang sesuatu hal kepadamu maka jauhilah.(HR.An-Nasai)“.

3.    Macam-macam Haji
a.    Haji Ifrad, yaitu Melaksanakan secara terpisah antara haji dan umrah, dimana masing-masing dikerjakan tersendiri, dalam waktu berbeda tetapi tetap dilakukan dalam satu musim haji. Pelaksanaan ibadah Haji dilakukan terlebih dahulu selanjutnya melakukan Umrah dalam satu musim haji atau waktu haji.
b.    Haji Qiran, yaitu Melaksanakan Ibadah  Haji dan Umrah secara bersamaan, dengan demikian prosesi tawaf, Sa’i dan tahallul untuk Haji dan Umrah dilakukan satu kali atau sekaligus. Karena kemudahan itulah Jema’ah dikenakan “Dam” atau denda. yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa 10 hari. Bagi yang melaksanakan Haji Qiran disunnatkan melakukan tawaf Qudum saat baru tiba di Mekah.
c.    Haji Tammatu’, yaitu bersenang-senang adalah  melaksanakan Ibadah  Umrah terlebih dahulu dan setelah itu baru melakukan Ibadah Haji. setelah selesai melaksanakan Ibadah Umran yaitu : Ihram, tawaf, Sa’i jamaah boleh langsung tahallul, sehingga jama’ah sudah bisa melepas ihramnya. selanjutnya jama’ah tinggal menunggu tanggal 8 Zulhijah untuk memakai pakaian Ihram kembali dan berpantangan lagi untuk melaksanakan Ibadah Haji. Karena kemudahan itulah Jema’ah dikenakan “Dam” atau denda. yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa 10 hari. 3 hari di Tanah Suci, 7 hari di Tanah Air.
4.    Syarat-syarat Haji
a. Menurut madzhab Hanafi
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Sehat jasmani
6. Memiliki bekal dan sarana perjalanan
7. Perjalanan aman
Tambahan Bagi Wanita:
1.    Harus didampingi suami atau mahramnya
2.    Tidak dalam masa iaddah, baik karena cerai maupun kematian suami
b. Menurut madzhab Maliki
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Kemampuan
Tambahan Bagi Wanita:
Tidak disyaratkan adanya suami atau mahram tapi boleh melaksanakan haji bila ada teman yang dianggap aman, baik bagi wanita mudda atau tua.
c.    Menurut madzhab Syafi’i
1.    Islam
2.    Merdeka, tidak wajib bagi budak
3.    Taklif (sudah mukalaf, yaitu berkewajiban melaksanakan syari’at)
4.    Kemampuan dengan syarat sebagai berikut:
•    Ada perbekalan, makanan dan lain lain untuk pergi dan pulang
•    Ada kendaraan
•    Perbekalan yang dibawa harus kelebihan dari pembayaran hutang dan biaya keluarga yang ditinggalkan keluarga dirumah
•    Dengan kendaraan yang sudah jelas bahwa tidak akan mengalami kesulitan
•    Perjalanan aman
Tambahan bagi wanita:
Ada pendamping yang aman dengan seorang wanita muslinah yang merdeka dan terpercaya.
d.    Menurut madzhab Hambali
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Kemampuan
Tambahan bagi wanita:
Harus diikuti mahramnya atau orang yang haram menikahinya selamanya.
Empat madzhab sepakat mensahkan wali bagi si anak yang belum mummayiz mewakili ihramnya, menghadirkan di Arafah, meluntar jumrah baginya serta membawanya thawaf dan sa’i.

5.    Hukum Haji Orang miskin dan Hamba Sahaya
Orang miskin tidak diwajibkan haji, karena memang dia tidak mampu (biaya), tetapi apabila ia dapat menunaikannya, maka kewajiban hajinya itu pun telah menjadi gugur (kalau sewaktu-waktu menjadi kaya). Demikian menurut ijma’ ulama. Adapun hamba sahaya, apabila ia menunaikan haji apakah kewajiban hajinya itu dapat gugur?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.    Abu Hanifah berkata : hajunya itu jatuh sunnat, dan ia wajib haji lagi apabila sudah dimerdekakan. Sebab statusnya itu tak ubahnya seorang anak kecil yang belum baligh. Sedang anak yang belum baligh itu apabila naik haji, kelak apabila ia sudah baligh ia wajib haji lagi. Begitu jugalah halnya hamba sahaya ini, apabila sudah naik haji, kemudian ia dimerdekakan maka ia pun wajib haji lagi.
b.    Syafi’i berkata : hajinya itu sudah cukup memadahi, dikiaskan dengan orang miskin tadi. Alasannya, haji itu sama dengan jum’ah, yang justru tidak wajib bagi seorang hamba sahaya, tetapi kalau hamba ini menunaikan shalat jum’ah, maka kewajiban zuhur menjadi gugur. Begitulah halnya soal haji ini,apabila dia telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban hajinya.
Tetapi pendapat ini sangat lemah, sebab sebagaimana diriwayatkan oleh nawawi sebagai seorang pentolan madzhab Syafi’i tidak sama dengan apa yang tersebut itu yaitu ia berkata : Sesungguhnya madzhab Syafi’i berpendapat, bahwa seorang hamba sahaya apabila ihram haji kemudian dimerdekakan sebelum wukuf di Arafah, maka hajinya itu sudah memenuhi sebagai haji islam. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Adapun apabila dimerdekakannya itu sesuai haji, maka tidaklah cukup.
Baranngkali inilah yang betul dalam madzhab Syafi’i. Disini hanya ada perbedaan bentuk, bukan inti. Sebab kedua pendapat terakhir tersebut sepakat, bahwa apabila kemerdekaannya itu terjadi seusai menunaikan rukun haji yaitu wukuf di Arafah, hajinya itu tidak dipandang cukup sebagai haji wajib, karena itu dia wajib haji diaktu lain. Karena yang pertama tadi jatuhnya sunnat belaka.

6.    Mahram Bagi Seorang perempuan
a.    Sebagian fuqoha’ berpendapat, bahwa adanya mahram itu sebagai syarat mutlak bagi wajibnya haji seorang perempuan. Demikian pendapat hanfiyah. Alasannya ialah:

روى عن النّبىّ صلي الله عليه وسلم انّه قال : لا يحلّ لإمرأة تؤمن بالله واليوم الاخر ان تسافر فوق ثلاث الاّ مع ذى رحم محرم او زوج

“Diriwayatkan dari Nabi SAW, ia bersabda : Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berpergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya.”

Hadits itu umum, meliputi semua bepergian, baik bepergian biasa ataupun pergi haji.
Juga :

ماروى عن ابن عبّاس رض انّه قال : خطب النّبيّ ص م فقال : لا تسافر امرأة إلاّ و معها ذو محرم فقال رجل : يارسول الله إنّى قداكتنبت فى غزوة كذا وقد أرادت امرأتى ان تحجّ ؟ فقال رسول الله : احجج مع امرأتك

” Apa yang diriwayatkan dari ibnu Abbas r.a : sesungguhnya ia berkata : Nabi SAW pernah berkhutbah itu ia bersabda : seorang perempuan tidak boleh berpergian sendirian tanpa mahram. Lalu ada seorang laki-laki bertanya : Ya Rasulullah sesungguhnya aku mendapat panggilan perang anu, padahal istriku hendak pergi haji? Maka jawab Nabi : pergilah haji bersama istrimu.”

Hadits ini pun menunjukkan bahwa perempuan yang hendak pergi haji harus disertai suaminya atau mahramnya.
b.    Syafi’iyah dan Hanabilan berpendapat : Haji wajib tidak diharuskan ditemani mahram, asal dijamin adanya keamanan bagi diri seorang perempuan itu, misalnya haji massal bersama beberapa orang perempuan. Adapun haji sunnat harus ditemani mahramnya.

Namun pendapatnya ini dibantah dengan dalil yang disebutkan diatas yang menegaskan bahwa perempuan tidak wajib haji kecuali harus ditemani mahramnya atau suaminya, karena adanya mahram itu dipandang sebagai syarat wajibnya haji bagi perempuan. Dan kiranya pendapat inilah yang paling betul.















BAB III
KESIMPULAN

Haji adalah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan-amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzulhijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Macam-macam Haji : Haji Ifrad, Haji Qiran, Haji Tamattu’.
Syarat-syarat ibadah haji :
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun  demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Sehat jasmani
6. Memiliki bekal dan sarana perjalanan
7. Perjalanan aman
Perbedaan pendapat tentang mahram untuk wanita ketika pergi haji :
a.    Sebagian fuqoha’ berpendapat, bahwa adanya mahram itu sebagai syarat mutlak bagi  wajibnya haji seorang perempuan
b.    Syafi’iyah dan Hanabilan berpendapat : Haji wajib tidak diharuskan ditemani mahram, asal dijamin adanya keamanan bagi diri seorang perempuan itu, misalnya haji massal bersama beberapa orang perempuan. Adapun haji sunnat harus ditemani mahramnya.
Perbedaan pendapat tentang haji seorang hamba sahaya :
a.    Abu Hanifah berkata : hajunya itu jatuh sunnat, dan ia wajib haji lagi apabila sudah dimerdekakan. Sebab statusnya itu tak ubahnya seorang anak kecil yang belum baligh. Sedang anak yang belum baligh itu apabila naik haji, kelak apabila ia sudah baligh ia wajib haji lagi. Begitu jugalah halnya hamba sahaya ini, apabila sudah naik haji, kemudian ia dimerdekakan maka ia pun wajib haji lagi.
b.    Syafi’i berkata : hajinya itu sudah cukup memadahi, dikiaskan dengan orang miskin tadi. Alasannya, haji itu sama dengan jum’ah, yang justru tidak wajib bagi seorang hamba sahaya, tetapi kalau hamba ini menunaikan shalat jum’ah, maka kewajiban zuhur menjadi gugur. Begitulah halnya soal haji ini,apabila dia telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban hajinya.

                                                                   DAFTAR PUSTAKA

Al fauzan, Saleh. 2006. Fiqh Sehari-hari.Jakarta: Gema Insan.

http://kangudo.wordpress.com/2013/09/16/penjelasan-lengkap-tentang-haji-ifrad-haji-qiran-dan-haji-tamattu/

Hamaddi,  Mu’ammal.1985.Tafsir Ayat Ahkam As Shobuni 1.Surabaya : PT Bina Ilmu.




KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN

    KEMU’JIZATAN AL-QUR’AN


A.Pengertian Mukjizat Dan Perbedaan Dengan Karomah, Ma’unah, Istidroj
1.    Pengertian Mu’zijat
    Menurut bahasa, mu’jizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah). I’jaz dapat di artikan sebagai kemu’jizatan, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. Pada dasarnya Al Mu’jiz (yang melemahkan) itu adalah Allah SWT, yang menyebabkan selainnya lemah sabagai bentuk penegasan kebenaran berita mengenai betapa lemahnya orang-orang yang di datangi rasul untuk menentang mu’jiz tersebut. Huruf ta’ marbuthah di tambahkan pada kata mu’jiz sehingga menjadi mu’jizat.
Secara etimologi, yang dimaksud dengan I’jaz adalah tanda-tanda kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul dengan menampakkan kelemahan orang-orang untuk menghadapi mu’jizatnya.
I’jazul Qur’an, kemukjizatan Al Qur’an ialah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang di miliki Al Qur’an yang mentapan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun kelompok, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya. Yang  dimaksud dengan kemu’jizatan Al Qur’an bukan berarti melemahkan manusia dengan pengertian melemahkan yang sebenarnya. Artinya memberi pengertian kepada mereka tentang kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan Al Quran’
Al qur’an adalah mu’jizat dan allah menunjukkan kelemahan orang arab untuk menandingi al qur’an padahal mereka memiliki faktor-faktor dan potensi untuk itu. Ini merupakan bukti tersendiri bagi kelemahan bahasa arab di masa bahasa ini berada pada puncak kejayaannya.
2.    Pengertian Karomah
Karomah adalah perkara (sesuatu yang luar biasa itu) tampak pada tangan selain nabi dan rasul, jikalau ia seorang wali (kekasih Alloh).
Seperti keistimewaan yang terjadi pada siti maryam. Beliau berada di dalam pemeliharaan nabi zakariya as, dan tidak seorang pun selain nabi zakaria dapat masuk ke tempat siti maryam berada. Nabi zakaria, jika keluar dari sisi siti maryam beliau pasti menutup/mengunci tujuh pintu untuk menjaganya. Ketika nabi zakaria masuk ke mihrob siti maryam berada, beliau mendapati buah-buah musim dingin pada saat musim panas, dan mendapati buah-buahan musim panas pada saat musim dingin, maka beliau terkagum-kagum. Karena itu, lalu beliau bertanya kepada siti maryam mengenai jalan/cara sampainya rejeki tersebut kepadanya, bukan pada musimnya, padahal pintu-pintu tersebut terkunci dan penjaga selalu berkeliling di seputar kamar (ruangan beribadah) nya.
Siti maryam menjawab pertanyaan nabi zakaria, bahwasanya rezeki tersebut dari Alloh dan sesungguhnya Alloh akan memberikan rezeki kepada orang yang dihendakiNya, dengan tanpa perhitungan, sebagai bentuk pemberian Fadhol (kemurahan), dengan tanpa mengurang-ngurangi (Qs ali imron:37)
Dan seperti keistimewaan yang terjadi pada Fatimah ru, ketika suatu ketika beliau menghadiahkan kepada ayahhandanya nabi saw dua potong roti dan sepotong daging yang diletakkan di dalam piring/mangkok yang ditutup. Lalu nabi saw mengirimkan kembali pembawa piring mangkok itu dan sesuatu yang bersamanya yaitu piring dan mangkok tersebut ke rumah fatimah. Ketika nabi saw duduk dan berdiam diri pada tempat duduknya, di rumah fatimah, maka beliau bersabda: Bawalah kemari piring tersebut wahai putriku.” Lalu fatimah membuka piring tersebut tiba-tiba saja piring tersebut dipenuhi roti dan daging. Kemudian nabi saw bertanya kepada fatimah, “bagaimana kamu mendapatkan semua ini?”
Siti fatimah menjawab:” Semua ini berasal dari Alloh. Sungguh Alloh akan memberi rezeki kepada orang yang dikehendakiNya dengan tanpa perhitungan.”
Kemudian Nabi saw bersabda, “Segala puji bagi Alloh swt, yang telah menjadikanmu seeorang perempuan yang menyerupai pemimpin kaum perempuan bani isroil”
Kemudian nabi saw mengumpulkan ali rhu, hasan rhu, dan husain rhu serta seluruh penghuni rumah ali, untuk makan bersama makanan yang ada didalam piring itu, Lalu mereka semua makan hingga kenyang, namun makanan tersebut masih tetap tersisa. Maka fatimah mengirimkannya kepada para tetangganya.
3.    Pengertian Ma’unah
    Jikalau kekampuan luar biasa itu terjadi dari orang-orang awam diantara orang-orang islam dalam bentuk sebagai penyelamatan dari segala bencana dan dari segala hal yang tidak disukainya maka kemapuan luar baisa itu disebut Ma’unah (pertolongan Alloh)
4.    Pengertian Istijrod
Jika kempauan luar biasa itu terjadi pada seorang fasik, maka jika hal itu terjadi sesuai dengan tujuannya maka kemampuan luar biasa itu disebut Istidroj (tipu daya Alloh kepada orang tersebut dan untuk menguji keimanan orang-orang islam yang menghadapinya).
B.Aspek-Aspek I’jaz Al Quran
Pendapat dan pandangan ulama kalam tentang aspeng kemu’jizatan al-quran berbeda-beda. Satu golongan ulama berpendapat, al qur’an itu mu’jizat dan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan al quran itu ialah kandungan badi’ yang sanyat unik dan berbeda dengan apa yang telah di kenal dalam perkataan orang arab.
     Muhammad ali ash sabuni dalam kitab at tibyan menyebutkan segi-segi kemu’jizatan al-qur’an sbb:
1.    Susunannya yang indah, berbeda dengan susunan yang ada dalam bahasa orang-orang arab.
2.    Terdapat uslub yang unik yang berbeda dengan semua uslub bahasa arab.
3.    Ia mengandung sifat mungkin dan membuka peluang bagi seorang mahkluk untuk mendatangkan yang sejenisnya.
4.    Bentuk undang-undang yang detail lagi sempurna melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5.    Menggambarkan hal-hal yang ghaib yang tidak bias di ketahuai kecuali dengan wahyu.
6.    Tidak bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang di pastikan kebenarannya.
7.    Menepati janji yang di kabarkan dalam al-quran.
8.    Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan di dalamnya
9.    Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya.
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa pada garis besarnya al-quran itu tampak dalam tiga hal pokok.
•    Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa arab.
•    Kandungan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang di isyaratkannya.
•    Ramalan-ramalan yang di ungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Al-quran itu mu’jizat dengan segala makna yang dibawa dan di kandung oleh lafal-lafalnya. Al-quran mu’jizat dalam lafal-lafalnya dan uslubnya. Satu huruf darinya merupakan bagian mu’jizat yang di perlukan lainnya dalam ikatan kata, suatu kata yang berada di tempatnya juga merupakan bagian mu’jizat dalam ikatan kalimat, dan satu kalimat yang ada di tempat merupakan mu’jizat dalam jalinan surat.
Al-quran membawa ajaran yang penting bagi manusia sepanjang jaman di segala kehidupan. Al qur’an tidak bias ditiru, bukan hanya dalam kefasihan dan gaya bahasanya yang mengagumkan melainkan juga dalam hal isinya.
Al-qur’an menawarkan ajaran-ajaran operatif mengenai alam ghoib, kebenaran-kebenaran sepiritual dan masalah-masalah lain umat manusia pada umumnya. Karena alasan-alasan ini tak seorangpun akan berhasil menciptakan sesuatu yang serupa dengan al-qur’an.
Fungsi al-quran adalah untuk memberikan jawaban bagi berbagai persoalan dan memberi jalan keluar bagi setiap permasalahan yang terjadi dan di hadapi oleh umat manusia.
C. Pendapat Para Ulama tentang I’jaz Al-Qur’an
    Setelah para ulama sepakat bahwa kemu’jizatan al-quran itu karena zatnya, serta tidak seorang pun yang sanggup mendatangkan sesuatu yang sebanding dengannya, maka pandangan ulama berbeda-beda dalam meninjau segi kemu’jizatannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemu’jizatan al-quran adalah sesuatu yang terkandung dalam al-quran itu sendiri, yaitu susunan asing yang berbeda dengan susunan orang arab pada umumnya.
    Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemu’jizatan itu terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bersastra dan susunannya yang indah, karena sastra al-quran termasuk yang tidak ada bandingannya.
Ulama lain berpendapat bahwa kemu’jizatan itu karena al-alquran terhindar dari adanya pertentangan, serta mengandung arti yang lembut dan hal-hal yang ghoib di luar kemampuan manusia dan di luar kekuasaan mereka untuk mengetahuinya, seperti halnya al-quran bersih dan selamat dari pertentangan dan perselisihan pendapat.
Ada lagi ulama yang berpendapat bahwa segi kemu’jizatan al-quran adalah keistimewa-keistimewaan yang tampak dan keindah-indahan yang terkandung dalam al-qu’an, baik dalam permulaan, tujuan maupun dalam menutup setiap surat.
D. KESIMPULAN
I’jazul Qur’an, kemukjizatan Al Qur’an ialah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang di miliki Al Qur’an yang mentapan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisah maupun kelompok, untuk mendatangkan sesuatu yang serupa atau menyamainya. Yang  dimaksud dengan kemu’jizatan Al Qur’an bukan berarti melemahkan manusia dengan pengertian melemahkan yang sebenarnya. Artinya memberi pengertian kepada mereka tentang kelemahan mereka untuk mendatangkan sesuatu yang sejenis dengan Al Quran’
Al-quran itu mu’jizat dengan segala makna yang dibawa dan di kandung oleh lafal-lafalnya. Al-quran mu’jizat dalam lafal-lafalnya dan uslubnya. Satu huruf darinya merupakan bagian mu’jizat yang di perlukan lainnya dalam ikatan kata, suatu kata yang berada di tempatnya juga merupakan bagian mu’jizat dalam ikatan kalimat, dan satu kalimat yang ada di tempat merupakan mu’jizat dalam jalinan surat.
Al-quran membawa ajaran yang penting bagi manusia sepanjang jaman di segala kehidupan. Al qur’an tidak bias ditiru, bukan hanya dalam kefasihan dan gaya bahasanya yang mengagumkan melainkan juga dalam hal isinya.



DAFTAR PUSTAKA
Chirzin, Muhammad, Permata Al-Qur’an, (Yogyakarta:QIRTAS, 2003)
wordpress.com/2008/12/22/perbedaan-mukjizat-karomah-ma’unah-istidroj-serta-ihanah
Prof.DR.Muhammad Ali Ash-Shabuunny,study ilmu al-qur’an (bandung:pustaka sejati,1998)