Friday, March 25, 2016

HAJI Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah “Tafsir Ahkam”

                                                                                  HAJI
                              Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                         “Tafsir Ahkam”



 

Disusun Oleh:
Aulya Murfiatul Khoiryah
Ainur Rofiqoh
Ali Khafidz
Azka Arrozi
Bayyad Saifullah
Binti Munawaroh

Dosen Pengampu:

Udin Safala, M.H.I

JURUSAN SYARIAH
PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2015

                                                                                 BAB I
                                                                       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
   
Secara lughawi, haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara', haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan temat-tempat tertentu dalam definisi diatas, selain Ka'bah dan Mas'a(tempat sa'i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa'i, wukuf, mazbit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud Haji?
2.    Bagaimana dalil wajib haji?
3.    Apa syarat-syarat ibadah haji?




                                                                               BAB II
                                                                      PEMBAHASAN


1.    Pengertian haji / definisi haji
Pengertian haji banyak ditulis di buku-buku fiqh. Ada beberapa perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian haji ini, namun perbedaan-perbedaan tersebut bukan suatu yang prinsip, melainkan sebatas pada tataran redaksional saja.
Pengertian haji, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Haji adalah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan-amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzulhijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.
Haji diwajibkan atas kaum muslimin-muslimat yang sudah mampu satu kali seumur hidup.

2.    Hukum dan Dalil Haji
Haji hukumnya fardhu bagi laki-laki dan perempuan sekali seumur hidup.
Dalil dari al-Qur’an :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ ) آل عمران: 97(
Artinya : "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam". QS. Ali Imran: 97.
Dalil dari Hadits:
عن أبي هريرة قال : خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم الناس فقال إن الله عز و جل قد فرض عليكم الحج فقال رجل في كل عام فسكت عنه حتى أعاده ثلاثا فقال لو قلت نعم لوجبت ولو وجبت ما قمتم بها ذروني ما تركتكم فإنما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم فإذا أمرتكم بالشيء فخذوا به ما استطعتم وإذا نهيتكم عن شيء فاجتنبوه
Artinya:
Abi Huroiroh berkata : ketika Rosululloh menyampaikan khutbah kepada sahabatnya ”sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla telah mewajibkan haji kepadamu” kemudian ada seorang laki-laki bertanya”apakah kewajiban haji berlaku setiap tahun?,namun Rosul tidak menjawab sepatah katapun,kemudian orang laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan Rosul menjawab:”seandainya aku mengatakan ya (wajib setiap tahun) pasti hukum tersebut berlaku untuk kalian,dan seandainya di wajibkan haji setiap tahun,pasti tak seorang pun dari kalian yang mampu melaksanakannya,maka tinggalkan apa-apa yang tidak kujelaskan kepadamu (jangan dipermasalahkan), sesungguhnya  hancurnya umat sebelum kalian di sebabkan sering mempermasalahkan dan menyelisihi nabi-nabinya,ketika telah kuperintahkan sesuatu untukmu maka kerjakanlah semampunya,dan ketika aku melarang sesuatu hal kepadamu maka jauhilah.(HR.An-Nasai)“.

3.    Macam-macam Haji
a.    Haji Ifrad, yaitu Melaksanakan secara terpisah antara haji dan umrah, dimana masing-masing dikerjakan tersendiri, dalam waktu berbeda tetapi tetap dilakukan dalam satu musim haji. Pelaksanaan ibadah Haji dilakukan terlebih dahulu selanjutnya melakukan Umrah dalam satu musim haji atau waktu haji.
b.    Haji Qiran, yaitu Melaksanakan Ibadah  Haji dan Umrah secara bersamaan, dengan demikian prosesi tawaf, Sa’i dan tahallul untuk Haji dan Umrah dilakukan satu kali atau sekaligus. Karena kemudahan itulah Jema’ah dikenakan “Dam” atau denda. yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa 10 hari. Bagi yang melaksanakan Haji Qiran disunnatkan melakukan tawaf Qudum saat baru tiba di Mekah.
c.    Haji Tammatu’, yaitu bersenang-senang adalah  melaksanakan Ibadah  Umrah terlebih dahulu dan setelah itu baru melakukan Ibadah Haji. setelah selesai melaksanakan Ibadah Umran yaitu : Ihram, tawaf, Sa’i jamaah boleh langsung tahallul, sehingga jama’ah sudah bisa melepas ihramnya. selanjutnya jama’ah tinggal menunggu tanggal 8 Zulhijah untuk memakai pakaian Ihram kembali dan berpantangan lagi untuk melaksanakan Ibadah Haji. Karena kemudahan itulah Jema’ah dikenakan “Dam” atau denda. yaitu menyembelih seekor kambing atau bila tidak mampu dapat berpuasa 10 hari. 3 hari di Tanah Suci, 7 hari di Tanah Air.
4.    Syarat-syarat Haji
a. Menurut madzhab Hanafi
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Sehat jasmani
6. Memiliki bekal dan sarana perjalanan
7. Perjalanan aman
Tambahan Bagi Wanita:
1.    Harus didampingi suami atau mahramnya
2.    Tidak dalam masa iaddah, baik karena cerai maupun kematian suami
b. Menurut madzhab Maliki
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Kemampuan
Tambahan Bagi Wanita:
Tidak disyaratkan adanya suami atau mahram tapi boleh melaksanakan haji bila ada teman yang dianggap aman, baik bagi wanita mudda atau tua.
c.    Menurut madzhab Syafi’i
1.    Islam
2.    Merdeka, tidak wajib bagi budak
3.    Taklif (sudah mukalaf, yaitu berkewajiban melaksanakan syari’at)
4.    Kemampuan dengan syarat sebagai berikut:
•    Ada perbekalan, makanan dan lain lain untuk pergi dan pulang
•    Ada kendaraan
•    Perbekalan yang dibawa harus kelebihan dari pembayaran hutang dan biaya keluarga yang ditinggalkan keluarga dirumah
•    Dengan kendaraan yang sudah jelas bahwa tidak akan mengalami kesulitan
•    Perjalanan aman
Tambahan bagi wanita:
Ada pendamping yang aman dengan seorang wanita muslinah yang merdeka dan terpercaya.
d.    Menurut madzhab Hambali
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Kemampuan
Tambahan bagi wanita:
Harus diikuti mahramnya atau orang yang haram menikahinya selamanya.
Empat madzhab sepakat mensahkan wali bagi si anak yang belum mummayiz mewakili ihramnya, menghadirkan di Arafah, meluntar jumrah baginya serta membawanya thawaf dan sa’i.

5.    Hukum Haji Orang miskin dan Hamba Sahaya
Orang miskin tidak diwajibkan haji, karena memang dia tidak mampu (biaya), tetapi apabila ia dapat menunaikannya, maka kewajiban hajinya itu pun telah menjadi gugur (kalau sewaktu-waktu menjadi kaya). Demikian menurut ijma’ ulama. Adapun hamba sahaya, apabila ia menunaikan haji apakah kewajiban hajinya itu dapat gugur?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.    Abu Hanifah berkata : hajunya itu jatuh sunnat, dan ia wajib haji lagi apabila sudah dimerdekakan. Sebab statusnya itu tak ubahnya seorang anak kecil yang belum baligh. Sedang anak yang belum baligh itu apabila naik haji, kelak apabila ia sudah baligh ia wajib haji lagi. Begitu jugalah halnya hamba sahaya ini, apabila sudah naik haji, kemudian ia dimerdekakan maka ia pun wajib haji lagi.
b.    Syafi’i berkata : hajinya itu sudah cukup memadahi, dikiaskan dengan orang miskin tadi. Alasannya, haji itu sama dengan jum’ah, yang justru tidak wajib bagi seorang hamba sahaya, tetapi kalau hamba ini menunaikan shalat jum’ah, maka kewajiban zuhur menjadi gugur. Begitulah halnya soal haji ini,apabila dia telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban hajinya.
Tetapi pendapat ini sangat lemah, sebab sebagaimana diriwayatkan oleh nawawi sebagai seorang pentolan madzhab Syafi’i tidak sama dengan apa yang tersebut itu yaitu ia berkata : Sesungguhnya madzhab Syafi’i berpendapat, bahwa seorang hamba sahaya apabila ihram haji kemudian dimerdekakan sebelum wukuf di Arafah, maka hajinya itu sudah memenuhi sebagai haji islam. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan Malik. Adapun apabila dimerdekakannya itu sesuai haji, maka tidaklah cukup.
Baranngkali inilah yang betul dalam madzhab Syafi’i. Disini hanya ada perbedaan bentuk, bukan inti. Sebab kedua pendapat terakhir tersebut sepakat, bahwa apabila kemerdekaannya itu terjadi seusai menunaikan rukun haji yaitu wukuf di Arafah, hajinya itu tidak dipandang cukup sebagai haji wajib, karena itu dia wajib haji diaktu lain. Karena yang pertama tadi jatuhnya sunnat belaka.

6.    Mahram Bagi Seorang perempuan
a.    Sebagian fuqoha’ berpendapat, bahwa adanya mahram itu sebagai syarat mutlak bagi wajibnya haji seorang perempuan. Demikian pendapat hanfiyah. Alasannya ialah:

روى عن النّبىّ صلي الله عليه وسلم انّه قال : لا يحلّ لإمرأة تؤمن بالله واليوم الاخر ان تسافر فوق ثلاث الاّ مع ذى رحم محرم او زوج

“Diriwayatkan dari Nabi SAW, ia bersabda : Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berpergian lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya atau suaminya.”

Hadits itu umum, meliputi semua bepergian, baik bepergian biasa ataupun pergi haji.
Juga :

ماروى عن ابن عبّاس رض انّه قال : خطب النّبيّ ص م فقال : لا تسافر امرأة إلاّ و معها ذو محرم فقال رجل : يارسول الله إنّى قداكتنبت فى غزوة كذا وقد أرادت امرأتى ان تحجّ ؟ فقال رسول الله : احجج مع امرأتك

” Apa yang diriwayatkan dari ibnu Abbas r.a : sesungguhnya ia berkata : Nabi SAW pernah berkhutbah itu ia bersabda : seorang perempuan tidak boleh berpergian sendirian tanpa mahram. Lalu ada seorang laki-laki bertanya : Ya Rasulullah sesungguhnya aku mendapat panggilan perang anu, padahal istriku hendak pergi haji? Maka jawab Nabi : pergilah haji bersama istrimu.”

Hadits ini pun menunjukkan bahwa perempuan yang hendak pergi haji harus disertai suaminya atau mahramnya.
b.    Syafi’iyah dan Hanabilan berpendapat : Haji wajib tidak diharuskan ditemani mahram, asal dijamin adanya keamanan bagi diri seorang perempuan itu, misalnya haji massal bersama beberapa orang perempuan. Adapun haji sunnat harus ditemani mahramnya.

Namun pendapatnya ini dibantah dengan dalil yang disebutkan diatas yang menegaskan bahwa perempuan tidak wajib haji kecuali harus ditemani mahramnya atau suaminya, karena adanya mahram itu dipandang sebagai syarat wajibnya haji bagi perempuan. Dan kiranya pendapat inilah yang paling betul.















BAB III
KESIMPULAN

Haji adalah berkunjung ke Baitullah untuk melakukan Thawaf, Sa’i, Wukuf di Arafah dan melakukan amalan-amalan yang lain dalam waktu tertentu (antara 1 syawal sampai 13 Dzulhijjah) untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Macam-macam Haji : Haji Ifrad, Haji Qiran, Haji Tamattu’.
Syarat-syarat ibadah haji :
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh, tidak wajib bagi bayi, tetapi bila sudah mummayiz hajinya diterima. Namun  demikian setelah dewasa yang bersangkutan belum bebas dari fardhu haji.
4. Merdeka, tidak wajib haji bagi budak
5. Sehat jasmani
6. Memiliki bekal dan sarana perjalanan
7. Perjalanan aman
Perbedaan pendapat tentang mahram untuk wanita ketika pergi haji :
a.    Sebagian fuqoha’ berpendapat, bahwa adanya mahram itu sebagai syarat mutlak bagi  wajibnya haji seorang perempuan
b.    Syafi’iyah dan Hanabilan berpendapat : Haji wajib tidak diharuskan ditemani mahram, asal dijamin adanya keamanan bagi diri seorang perempuan itu, misalnya haji massal bersama beberapa orang perempuan. Adapun haji sunnat harus ditemani mahramnya.
Perbedaan pendapat tentang haji seorang hamba sahaya :
a.    Abu Hanifah berkata : hajunya itu jatuh sunnat, dan ia wajib haji lagi apabila sudah dimerdekakan. Sebab statusnya itu tak ubahnya seorang anak kecil yang belum baligh. Sedang anak yang belum baligh itu apabila naik haji, kelak apabila ia sudah baligh ia wajib haji lagi. Begitu jugalah halnya hamba sahaya ini, apabila sudah naik haji, kemudian ia dimerdekakan maka ia pun wajib haji lagi.
b.    Syafi’i berkata : hajinya itu sudah cukup memadahi, dikiaskan dengan orang miskin tadi. Alasannya, haji itu sama dengan jum’ah, yang justru tidak wajib bagi seorang hamba sahaya, tetapi kalau hamba ini menunaikan shalat jum’ah, maka kewajiban zuhur menjadi gugur. Begitulah halnya soal haji ini,apabila dia telah menunaikannya maka gugurlah kewajiban hajinya.

                                                                   DAFTAR PUSTAKA

Al fauzan, Saleh. 2006. Fiqh Sehari-hari.Jakarta: Gema Insan.

http://kangudo.wordpress.com/2013/09/16/penjelasan-lengkap-tentang-haji-ifrad-haji-qiran-dan-haji-tamattu/

Hamaddi,  Mu’ammal.1985.Tafsir Ayat Ahkam As Shobuni 1.Surabaya : PT Bina Ilmu.




0 comments:

Post a Comment