This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, March 27, 2016

KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA


KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Oleh: Muhamad Amin Atori

Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan eksekutif.

Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah departemen.

Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.
A. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut.

– Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

– Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

– Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
– Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
– Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 )dan pasal 24A ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan, susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

Kewenangan Mahkamah Agung adalah:
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
– permohonan kasasi;
– sengketa tentang kewenangan mengadili;
– permohonan peninjauan kembali.
b. Menguji peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
c. kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan kasasi, perkara tersebut adalah:
– putusan praperadilan;
– perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
– perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Mahkamah Agung berwenang juga:
– melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
– melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada di bawahnya;
– meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya;
– memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan yang berada di bawahnya;
– memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi;
– dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

2. Peradilan Umum
Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Negeri;
– Pengadilan Tinggi.

Pengadilan Negeri berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya kecuali undang-undang menentukan lain.

Pada lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada lingkungan Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.

3. Peradilan Agama
Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang .

Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Agama;
– Pengadilan Tinggi Agama.

Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infak;
h. sodaqoh;
i. ekonomi syari’ah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.

Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 3A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.

Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH Pasal 128 – Pasal 137. 
Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:
– Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama);
– Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding);
– Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara:
– ahwal syahsiyah (hukum keluarga);
– muamalah (hukum perdata);
– jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan diatur dalam Qonun Aceh.

4. Peradilan Militer
Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha Militer, dan ketentuan-ketentuan lain.

Peradilan Militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prajurit adalah warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum militer.

Pengadilan di lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi.
Kewenangan Peradilan Militer adalah memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Peradilan Militer adalah sebagai berikut.
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.

Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.

Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah:
a. prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” Kapten ke bawah; dan
c. mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.

Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah sebagai berikut.
Pada tingkat pertama:
a. memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1) Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
Pada tingkat banding:
memeriksa dan memutus perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding;
Pada tingkat pertama dan terakhir:
memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.

Kekuasaan Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan;
b. antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir perbedaan perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu perkara di luar Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau di Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.

Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a. penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing;
b. tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan tugasnya.

Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung.

Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.

3. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. 
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
– Pengadilan Tata Usaha Negara;
– Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dilaksanakan secara bertahap dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat teknis maupun non teknis.

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.

Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang-orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.

Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut.
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama terhadap perkara yang telah digunakan upaya administratif.
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Wacana pembentukan Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu anggota BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-undang, namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof. R. Soepomo berdasarkan dua alasan, yaitu Undang-Undang Dasasr yang disusun pada waktu itu tidak menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal itu.

Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 muncul lagi pendapat pentingnya Mahkamah Konstitusi karena adanya perubahan mendasar dengan beralihnya supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi hukum maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang mempunyai derajat yang sama serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).
 Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya sebatas pada peraturan di bawah Undang-Undang melainkan juga atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan Undang-Undang Dasar, akhirnya pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan:
Pasal 24 ayat (2)
Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Kounstitusi.

Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.
(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Pasal III Aturan Peralihan
Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah Agung.

Atas perintah Undang-Undang Dasar ini kemudian Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membahas pembentukan undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan disahkannya undang-undang ini maka kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman harus disesuaikan yang pada akhirnya disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur tentang kedudukan dan susunan, sekretariat jenderal dan kepaniteraan, kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim, hukum acara di Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:

a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik; dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengertian pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang, tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden. Tidak lagi memenuhi syarat presiden dan/atau wakil presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi. Hakim konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden yang akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang mempunyai masa jabatan 3 (tiga) tahun. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang angota hakim konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.

TINDAK PIDANA

                                                                    TINDAK PIDANA
                                Resume ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                       “Hukum Pidana”





KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya  dalam  menulis resume  untuk  memenuhi tugas  mata kuliah Hukum Pidana.
Resume  ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai  sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
 Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Pidana  Bapak  Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.


Ponorogo, 03 Juni 2015


    Penyusun



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
................................................................................   1
DAFTAR ISI.............................................................................................. .2

PEMBAHASAN

A.    Waktu dan Tempat Tindak Pidana .........................................................3

B.    Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana ...............................................6

C. Penyertaan Melakukan Tindak Pidana (Deeelneming) ....................... ......10



PEMBAHASAN
A.    WAKTU DAN TEMPAT TINDAK PIDANA

Mengenai tempat dan waktu tindak pidana tidak disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana, walaupun pada kenyataannya ada juga disebagian kecil rumusan tindak pidana tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai unsur yang memeberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman (363 ayat 2 sub 3), atau sebagai unsur pokok, misal waktu perang (127), dimuka umum (281, 282, 532), di tempat lalu lintas umum (533).
Pada kenyataannya memang ada disebagian tindak pidana mengenai waktu atau tempat menjadi unsur yang dicantumkan dalam rumusan. Diluar hal itu, mengenai waktu dan tempat tindak pidana ini adalah menjadi hal sangat penting dalam hal praktik pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, selain penting dalam hubungannya dengan beberapa ketentuan dalam KUHP.
1.    Mengenai Waktu dan Tempat Pidana
Dalam hubungannya dengan berbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal, yakni:
a.    Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-undangan.
b.    Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
c.    Mengenai hal yang berhubungan dengan kadaluwarsa  bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagai mana ditentukan dalam pasal 79, 79 KUHP.
d.    Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290 KUHP).
e.    Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 KUHP.
f.    Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
2.    Mengenai Tempat Tindak Pidana
Mengenai tempat dilakukannya tindak pidan penting  dalam beberapa hal, yaitu:
a.    Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal 84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yakni Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah hukumnya. Sebelum berlaku KUHAP, ketentuan ini dimuat dalam pasal 2529(1) HIR.
b.    Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang memuat sas teritorialiter tentang berlakunya hukum pidana Indonesia, maka tempat tindak pidana penting pula dalam hal menentukan terhadap tindak pidana berlaku hukum pidana Indonesia atau tidak.

3.    Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak pidana ini.
Dari sudut faktual atau kenyataannya, maka ada benarnya jika kita berpendapat bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Persoalannya dari sejak kapan, an mulainya dari tempat yang mana, bilamanakah berakhirnya dan di tempat yang mana berakhirnya? Dalam hal untuk menjawab persoalan yang demikian, ada beberapa teori, yakni:
a.    Teori perbuatan jasmani (ker can het amteriele felt).
b.    Teori alat (leer van het instrument).
c.    Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.
Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana.
Sedangkan menurut teori akibat, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana akibat dari oerbuatan itu timbul.
Pada pembicaraan mengenai tingkah laku, telah disampaikan bahwa tingkah laku adalah merupakan unsur mutlak tindak pidana. Artinya setiap tngkah pudana pastilah mengandung unsur tingakah laku. Mengenai tingkah laku ada perbedaan dalam tindak pidana materiil dan tindak pidana formil, berhubung pada tindak pidana materiil diperlukan akibbat  yang timbul dari tingkah laku yang dirumuskan. Teori perbuatan jasmani lebih sesuai pada tindak pidana formil, dimana waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana perbuatan jasmani dilakukan. Misalnya, oencurian (362 KUHP) atau penggelapan (372 KUHP), waktu dan tempat pencurian adalah waktu dan tempat dimana petindak melakukan dan menyelesaikan perbuatan mengambil atau waktu dan tempat pada penggelapan adalah waktu dan tempat pada penggelapan adalah waktu dan tempat dimana perbuatan memiliki diwujudkan. Lain halnya dengan tindak pidana materiil, dimana waktu dan tempat perbuatan jasmani dilakukan dapat menjadi tidak sama dengan waktu dan tempat akibat terlarang yang disyaratkan timbul, misalnya pembunuhan (338 KUHP), A menikam bertubi-tubi pada badan B dengan pisau, oleh keluarganya dibawa kerumah sakit, keesokan harinya B mati karena luka-lukanya itu. Dalam contoh yang terakhir ini teori perbuatan jasmani tidak dapat digunakan, melainkan lebih sesuai dengan teori akibat.
Pada tindak pidana yang untuk selesainya secara sempurna digantungkan pada akibat, baik akibat itu sebagai unsur pokok pada tindak pidana materiil, maka teori akibat lebih sesuai, dan dalam praktik sering menggunakan teori akibat. Seperti pada kasus penipuan dengan menggunakan cek kosong, dimana pelaku melalaikan perbuatan menggerakkan (tingkah laku pasal 378 KUHP). Misalnya orang di Semarang melakukan transaksi dengancek kosong, kemudian cek kosong itu digunakan untuk membayar bahan-bahan bangunan di Pekalongan. Hasil keputusan kasasi dari Mahkamah Agung memutuskan (10-2-1983 No. 471 K/Kr/1981) bahwa Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadiln Negeri pekalongan. Dalam hal ini dengan diterimanya pembayaran dengan cek kosong oleh korban di Pekalongan, tindak pidana penipuan telah terjadi secara sempurna di Pekalongan. Teori akibat lebih sesuai dengan tindak pidana materiil.
Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa di persidangan pengadilan (522 KUHP) adalah waktu dan tempat dimana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum itu dilakukan. Contohnya, A tinggal di Pasuruan pada tanggal 4 Desember menerima panggilan/dipanggil oleh Pengadilan Negeri Malang tanggal 11 Desember 2000. Pada tanggal 11-12-2000 sengaja tidak  datang menghadap tanpa lasan yang sah. Dalam contoh ini waktu dan tempat melalaikan kewajiban adalah pada tanggal 11-12-2000 di Malang, karena waktu dan tempat itu itulah A mempunyai kewajiban hukum untuk datang dan memberikan keterangannya.
Dalam hal perbarengan (concurcus atau samenloop), oleh karena terjadinya beberapa tindak pidana yang berlainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Dalam hubungannya dengan kompetensi relatif pengadilan, artinya Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili, untuk menghindari konflik yuridiksi. Pasal 84 ayat 2 KUHP telah menegaskan bahwa semua Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya.

B.    SIFAT MELAWAN HUKUM PERBUATAN PIDANA

1.    Sifat Melawan Hukum
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal.
Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian ini dinamakan pendirian yang formal.
 Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiel.
Kalau kita mengikutu pandangan yang material maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah:
a.    Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49 KUHP pembelaan terpaksa (Noodweer).
b.    Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal. Sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana,ini tidak berarti bahwa karena itu harus dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal  apakah harus dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.
Apakah konsekuensinya daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik? Konsekuensinya adalah jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa sama halnya dengan unsur kemampuan bertanggung jawab.
Konsekuensi yang lain adalah: jika hakim ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkannya adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
2.    Hal-Hal Yang Dikatagorikan Perbuatan Melawan Hukum
Ada tiga pendirian yang antara lain sebagai berikut:
a.    Bertentangan dengan hukum
b.    Bertentangan dengan hak orang lain
c.    Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal itu tidak perlu bertentangan dengan hukum
Tetapi dalam hal unsur melawan hukum itu sendiri diwebutkan dalam rumusan delik, maka Pompe selalu berpendirian material, karena baginya makna dari pada melawan hukum itu adalah bertentangan dengan hukum.
Sifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, yang mana lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain daripada peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak tertulis.
Bagaimana unsur sifat melawan hukum dirumuskan dalam undang-undang.
KUHP memakai istilah macam-macam:
a)    Tegas dipakai istilah “Melawan Hukum” (woderrechtelijk) dalam pasal-pasal 167, 168, 335 (1), 522, 526.
b)    Dengan istilah lain misalnya: “Tanpa mempunyai hal untuk itu” (Pasal-pasal 303, 548, 549): “tanpa izin” (Zonder veriof) (Pasal 496, 510): “Dengan melampaui kewenangnannya” (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan cara-cara ditentukan oleh peraturan umum.” (Pasal 429).

3.    Sifat Melawan Hukum Yang Formil Dan Sifat Melawan Hukum Yang Materiil
    Menurut Ajaran Sifat melawan hukum yang formil
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbutan diancam pidana dan dirumuska sebagai suatu delik dalam undang-undang sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat haous, karena hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
    Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis saja), akan tetaoi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan humunya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (Uber gesetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya.

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, merupakan tanda/indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila alasan pembenar (rechtvaardigingagrond).
Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil. Alasan pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif, yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dati luar hukum yang tertulis. Ajaran sifat melawan hukum yang formil pada umumnya sudah tidak dianut lagi, berdasarkan putusan seminar hukum nasional 1963.

4.    Contoh Kasuistik Perbuatan Melawan Hukum
Pompe secara tidak langsung ada juga menyinggung soal ini. Dikataknnya bahwa sukar sekali untuk membuktikan bahwa si pembuat mengisyafi sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam praktek pada umumnya tidaklah menjadi perintang besar, jika dalam undang-undang tidak disyaratkan harus ada penginsyafan terhadap melawan hukumnya perbuatan, sebab pada umumnya jika telah menginsyafi akan unsur-unsurnya perbuatan menurut rumusan delik, biasanya memang menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan itu.
Dibawah ini disajikan suatu keputusan Mahkamah Agung tertanggal 27 Juni 1955 berkaitan dengan tangkisan terdakwa bahwa ia tidaklah mengetahui tentang adanya larangan.
“terdakwa Hadii Hjas dituntut karena telah mempunyai persediaan cengkeh, yaitu barang dalam pengawasan sebanyak -+ 460 kg atau melibihi daripada jumlah yang diizinkan. Ia tidak mempunyai surat izin atau tidak mengajukan surat izin.
“dengan menunjukkan undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1950, Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951, keputusan Menteri Perekonomian tentang “Peraturan Cengkeh 1952 No. 8430/M/Jakarta, dinayatakan telah melakukan pelanggaran dengan tiada izi,” dan oleh karenanya dijatuhi hukuman denda sebanyak Rp. 150,- dengan ketentuan kalau denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 15 hari.
Rupanya terdakwa naik banding dan mengajukan permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkatan kasasi, sehingga perkara diajukan dihadapan Mahkamah Agung.
Atas keberatan yang diajukan pemohon kasasi itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan itu tidak berdasarkan.
Catatan atas keputusan mahkamah ini adalah sebagai berikut:
Tidaklah disangkal bahwa pengundangan adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikatnya suatu peraturan undang-undang. Dan undang-undang Darurat Nomor 17 tahun 1951, maupun surat keputusan Menteri Perekonomian tanggal 30 Juni 1952 No. 8430/M telah diundangkan dengan semestinya, berturut-turut L.N. 1951-90 dan B.N.R.I 1952 No. 60. Tetapi pokok soal dalam perkara ini, dihubungkan dengan isi memori terdakwa. Pemohon kasasi mengajukan bahwa dia tidak tahu perbuatannya adalah perbuatan pidana. Terdakwa berpendapat bahwa tidaklah ada hubungan antara sikap batinnya dengan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa antara perbuatan pidana dan ornag yang melakukan perbuatan itu ada hubungan yang erat. Disamping adanya unsur-unsur tertentu dari  perbuatan pidana, dan kesalahan, maka hubungan antara keduanya diadakan oleh hubungan antara bentuk kesalahan (sebagai salah satu unsur kesalahan) dengan sifat melawan hukumanya perbuatan.

C.    PENYERTAAN MELAKUKAN HUKUM PIDANA (Deelneming)

•    Pengertian
Kata”penyertaan”dalam judul bab ini, yang juga menjadi judul dari title V buku1 KUHP (Decleneing aan stracbare feiten), berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan sesuatu tindak pidana.
Hazewingkel Suriga menceritakan, bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan pada sipelaku saja, dan baru pada penghabisan aabad ke 18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan, sampai dimana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenakan hukuman.
Rumusan Perundang undangan
Rumusan ini terlihat pda pasal 55 dan pasall 56 KUHP yang berbunyi;
Pasal 55
(1)    Sebagai pelaku suatu tindaka pidana akan dihukum:
Ke 1 mereka yang melakukan =,menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu,
Ke 2 mereka yang dengan pemberian,kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat ,dengan pakasaan, ancaman atau penipuan ,atau dengan memberikan kesempatan ,sarana atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
(2)    Tentang orang orang tersebut belakangan (sub ke 2) hanya perbuatan-perbuatan yang okleh mereka dengan sengaja dilakukan ,serta akibat-akibatnya dapat diperhatikan,
Pasal 56
Sebagai pembantu melakukian kejahatan akan dihukum :
Ke-1 merka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatn itu dilakukan.
Ke-2 merka yang dengan sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana,yaitu:
a.    Yang melakukan perbuatan (plegen dader)
b.    Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen middelike dader)
c.    Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen,mededader)
d.    Yng membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitloken, uitloker)
e.    Yang membantu perbuatan(medeplichtig,zijn,medeplichtige)

•    Unsur-unsur Penyertaan Dalam Perbuatan Pidana
a.    Menyuruh Melakukan Perbuatan (Doen Plegen)
Wujud penyertaan (deelneming) yang pertama-tama disebutkan oleh pasal 55 ialah: menyuruh melakukan perbuatan (Doen Plegen). Ini terjadi apabila orang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan, yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenakan hukuman pidana. Jadi si pelaku (dader) itu seolah-olah menjadi alat belaka (instrumen) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus ministra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).


b.    Turut Melakukan Perbuatan (Medeplegen)
Dalam KUHP tidak ada penegasan apa yang dimaksudkan dengan kata medeplegen ini, maka ada perbedaan pendapat tentang arti dari istilah ini. Seperti dalam hal percobaan atau poging, aa dua golongan pendapat yang satu bersifat subyektif dengan menitikberatkan pada maksud dan tabiat para pelaku (nededader), sedangkan para obyektivitas lebih melihat pada wujud perbuatan dan para turut pelaku, wujud tersebut harus cocok dengan perumusan tindak pidana dalam undang-undang (delictsomachirijving).
Menurut Hazeinkel Suringa ada dua syarat bagi adanya, turut melakukan tindak pidana yaitu kesatu kerja sama yang didasari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama diantara mereka. Kedua mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.

c.    Syarat kesengajaan dalam “Turut Melakukan”
Dengan adanya kehendak bersama akan melakukan suatu tindak pidana secara kerja sama, sudah terang bahwa pada para “turut pelaku” (mededaders) ada unsur kesengajaan. Tetapi ini tidak berartiaa, bahwa mereka tidak dapat “turut melakukan” suatu tindakan pidana dengan unsur culpe atau kurang berhati-hati.
Keadaan pribadi seorang “turut pelaku”
Sperti dalam hal menyuruh melakukan juga dalam hal turut melakukan timbul persoalan apakah suatu keadaan pribadi sebagai unsur tindak pidana harus melekat pada tiap-tiap pelaku.

d.    Membantu melakukan tindak pidana (Medephchtigneid)
Di atas sudah di bahas hal menyuruh melakukan dan turut melakukan keduanya disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 no. 1 KUHP kemudian oleh pasal 55 ayat 1 no. 2 disebutkan hal membujuk melakukan hal, dan baru pada pasal 56 dicantumkan hal membantu melakukan. Dalam KUHP hal membantu melakukan akan dibahas lebih dahulu dari hal membujuk melakukan oleh karena dalam wujudnya ada persamaan erat antara turut melakukan dan membantu melakukan

e.    Membujuk melakukan tindak pidana (Uitlokking)
Tidak semua pembujuka untuk melakukan tindak pidana dikenakan hukuman, melainkan hanya pembujukan dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 No. 2 KUHP. Mula-mual yang disebutkan hanya pemberian kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan, ancaman atau penipuan. Kemuadian cara-cara ini ditambah dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan.
Jadi yang ditambahkan ini adalah cara-cara disebutkan dalam hal pembantuan yang baru saja dibahas. Dengan demikian seorang peserta (deelnemer) tindak pidana yang memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dapat merupakan seorang pembujuk atau seorang pembantu ia adalah seorang pembujuk, sedangkan ia adalah seorang pembantu apabila inisiatif itu datang dari si pelaku utama
Persamaan antara kedua cara penyertaam tindak pidana ini ialah menurut pasal 55 ayat 2 KUHP perihal membujuk dan menurut pasal 57 ayat 4 KUHP perihal pembantu, hal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada keduanya ialah perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dibujuk atau dibantu.
Pada pasal 163 ditegaskan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan tidak boleh lebih berat daripada hukuman yang dapat dijatuhkan pada percobaan melakukan kejahatan yang dibujuk itu, atau apabila percobaan ini tidak dikenakan hukuman, tidak boleh lebih berat daripada hukuman yang diancamkan pada kejahatan yang bersangkutan.

•    Pasal-pasal Penyertaan dalam pembuatan Pidana
Pasal 57 ayat 1 KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal membantu melakukan tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimum hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtigheld ini dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
Menurut ayat 3, hukuman tambahan dalam hal pembantuan ini sama seperti pelaku tunggal, si turut pelaku, si penyuruh, dan si pembujuk. Ayat 4 membatasi penentuan hukuman dalam hal pembantuan ini pada perbuatan-perbuatan yang oleh i pembantu dipermudah tidak dikenakan hukuman seorang yang membantu melakukan tindak pidana secara kurang hati-hati. Meskipun dalam pasal 56 hanya disebutkan bantuan pada kejahatan namun oleh pasal 60 ditegaskan lagi, bahwa membantu melakukan suatu pelanggaran tiodak dikenanakan hukuman.

Pengertian dan Dasar Hukum Sedekah

Pengertian dan Dasar Hukum Sedekah


 
Sedekah adalah memberikan sesuatu dari seseorang kepada orang lain dengan mengharap ridha Allah SWT. Melaksanakan sedekah hukumnya sunah. Hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT sebagai berikut :
“ …Dan bersedakahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah “ (Q.S. Yusuf : 88)
            Memberikan sedekah hukumnya sunnah muakkad. Bagi orang yang mempunyai harta, hendaklah ia bersedekahlah dengan hartanya. Seseorang yang mempunyai harta banyak, hendaknya lebih banyak dari orang yang hartanya sedikit. Oleh karena itu dalam bersedekah diperlukan kesadaran yang tinggi. Kesadaran yang tinggi itu hanya tumbuh pada diri seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT serta mempunyai perasaan perikemanusiaan yang tinggi pula.
Bersedekah dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, bahkan menahan diri dari berbuat buruk kepada orang lain termasuk sedekah. Bentuk paling sederhana adalah tersenyum kepada sesama manusia untuk menghormatinya. Rasulullah SAW bersabda :
“ Memberikan senyuman kepada saudarama termasuk sedekah “ (H.R. Bukhari)
            Allah SWT banyak memberikan tabsyir (kabar gembira) bagi orang yang gemar bersedekah. Di antara kabar gembira itu adalah sedekah dapat menghapus dosa. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW berikut :
“ Sedekah itu menghapuskan dosa sebagaimana air memadamka api “ (H.R. Ibnu Majah)
            Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau anak saudara terdekat sebelim diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang-orang yang betul-betul mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para Fuqaha berpendapat, barang yang disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
“ Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan harta yang kamu cintai… “ ( Q.S. Ali Imran : 92)
Namun pahala sedekah akan lenyap apabila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 264 :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima “ (Q.S Al-Baqarah : 264)
Rukun Sedekah
1.    Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk mentasarrufkan (membelanjakannya)
2.    Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak sah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya karena tidak berhak memiliki sesuatu
3.    Ijab dan Qabul. Ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi, sedangkan Qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian
4.    Barang yang diberikan
Tata Cara Bersedakah
Tata cara bersedekah adalah dengan memberikan harta yang dimiliki, baik berupa uang, makanan, pakaian, rumah, kendaraan dan lain-lainnya kepada orang lain atau pihak lain dengan tujuan untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Sedekah dapat dilakukan kapan saja, terutama kepada orang-orang yang memerlukan bantuan seperti golongan fakir dan miskin.
Manfaat Orang Yang Bersedekah
Ibadah sedekah memiliki banyak manfaat. Manfaat itu tidak hanya kepada orang yang menerima sedekah, tetapi juga pemberi sedekah. Hal itu merupakan refleksi dari kehidupan sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa manfaat orang yang bersedekah, antara lain :
•    Dapat membantu meringankan beban orang lain
•    Dapat menumbuhkan rasa kasih sayang antara sesama
•    Dapat merasakan penderitaan orang lain
•    Mempererat silaturahim
•    Dilapangkan rezekinya dan dimudahkan segala urusannya

Sumber : Buku Fiqih MTs 2

WAKAF PONDOK PESANTREN DARUL ISTIQOMAH

                                  WAKAF PONDOK PESANTREN DARUL ISTIQOMAH
                     Laporan penelitian ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                           “Fiqh Wakaf dan Hukum Perwakafan di Indonesia”




                                                                            BAB I
                                                                  PENDAHULUAN
 
Wakaf merupakan hal yang tak asing lagi bagi kalangan umat Islam. Wakaf sudah ada sejak masa kenabian Muhammad SAW. Perkembangan wakaf di Indonesia hingga saat ini sangat menguat, dengan munculnya lembaga-lembaga wakaf. Walaupun sudah mulai berkembang namun beberapa nazhir atau lembaga pengelola wakaf yang ada, tetapi perkembangan wakaf saat ini tidak sebanding dengan harapan dan misi utama wakaf. Harapan itu adalah berkontribusi untuk pengembangan dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan wakaf tersebut disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain adalah tentang pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf, pengelolaan dan manajemen wakaf, serta keberadaan benda yang diwakafkan dan kelembagaan nazhir.
Peniliti memilih Darul Istiqomah Ngumpul Balong Ponorogo sebagai tempat penelitian karena Darul Istiqomah merupakan Pondok pesantren yang berkembang didaerah tersebut, dimana daerahnya jauh dari keramaian kota tapi bisa berkembang dengan baik.
 Oleh karena itu kami tertarik untuk meneliti, dengan munculnya beberapa pertanyaan, yaitu:
    Bagaimana sistem wakaf tersebut?
    Apakah sudah sesuai dengan UU atau pun fiqh?
    Bagaimana cera pengelolaannya?

                                                                           BAB II
                                                                     PENELITIAN

Gambaran Umum Wilayah Penilitian
Pondok pesantren Darul Istiqomah adalah lembaga Islam yang ddirikan oleh Drs.K. Imama Zainuddin pada tanggal 17 Ramadhan 1410 H oleh yayasan Darul Istiqomah. Pondok pesantren Darul Istiqomah terletak didaerah yang kondusif tepatnya di Jalan Serut sewu No. 2 Wotan desa Ngumpul Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Lembaga ini berdiri diatas dan untuk semua golongan.
Pendidikan dan pengajaran yang ada di Pondok Pesantren Darul Istiqomah memadukan kurikulum Pondok Modern Darussalam Gontor dan Kurikulum Kementerian Agama Republik Indonesia dan kurikulum salafiyah. Dimana kurikulum ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu juga diberikan pembelajaran tentang keterampilan hidup sehingga harapannya setelah menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Darul Istiqomah ini minimal bisa bermasyarakat dengan menegakkan akhalkul karimah serta mampu mengemban misi Rasulullah SAW untuk dakwah Li-i‘laai kalimatillah. Untuk mewujudkan harapan tersebut Lembaga ini dikelola oleh tenaga S1, S2 dan kariyawan lain sesuai bidangnya yang profesional dan sudah tersertifikasi sesuai dengan bidangnya massing-masing dari berbagai universitas favorit.
Kegiatan ekstra dilembaga ini mengacu pada pengembangan bakat dan minat santri yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Ternyata kegiatan ini telah dibuktikan dan dirasakan oleh masyarakat. Pondok Pesantren Darul Istiqomah telah meluluskan santri yang mempunyai potensi yang berkualitas bagi dirinya maupun masyarakat sehingga banyak alumni yang diterima di Perguruan Tinggi ternama seperti UI jakarta, Universitas Malang,  dan perguruan tinggi lainnya.

                                                                         BAB III
                                    PEMBAHASAN (TEMUAN HASIL WAWANCARA)

Wakaf di Pondok Pesantren Darul Istiqomah pertama kali yaitu pada tahun 1990 melalui wasiat dari Bapak Muslim dan Ibu Sholihah. Wasiat tersebut disampaikan kepada Bapak Imam Zainudin, berupa tanah seluas 1.400m^2. Dalam ikrarnya, tanah tersebut diamanahkan sepenuhnya untuk kepentingan pendidikan.
Setelah ikrar itu diucapkan, Bapak Imam Zainudin selaku penerima amanah beliau kemudian mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Al-Basyariyah dan masjid Ash-sholihah diatas tanah tersebut. Dinamakan masjid Ash-sholihah diambil dari nama Ibu Sholihah selaku wakif.
Pada saat ikrar  wakaf itu disampaikan, beliau Bapak Muslim menaruh kepercayaan penuh kepada Bapak Imam Zainudin untuk mengelola tanah tersebut. Karena kepercayaan kepada Bapak Imam Zainudin sangat tinggi sehingga ikrar tersebut hanya berupa ikrar secara lisan atau tidak disertifikatkan. Setelah Bapak Imam Zainudin mendirikan madrasah ibtidaiyah al-basyariyah, beliau melihat ternyata MI tersebut dapat berkembang sehingga beliau ingin lebih mengembangkan lagi dengan mendirikan Mts dan MA tetapi beliau kesulitan dalam hal dana. Kemudian beliau ingin mengajukan dana kepada pemerintah setempat, dengan cara beliau mensertifikatkan tanah wakaf yang dulu diikrarkan oleh Bapak Muslim dan Ibu sholihah secara lisan saja. Setelah tanah disertifikatkan dan beliau mengajukan dana, lembaga tersebut mendapatkan  dana dari APBD. Dana tersebut digunakan untuk membeli tanah yang mana tanah tersebut didirikan Mts dan MA. Dari berdirinya MI, Mts, dan MA maka lembaga tersebut juga mendirikan asrama yang kemudian dinamakan Pondok Pesantren Darul Istiqomah. Selain dari dana APBD, pengembangan lembaga tersebut diperoleh dari shodaqoh wali santri dan dari masyarakat sekitar.
Kepengurusan pengelolaan tanah wakaf yang penulis teliti ini merupakan pengelolaan di bawah naungan Pondok Pesantren Darul Istiqomah. Adapun pengelola wakaf di Pondok Pesantren Darul Istiqomah saat ini hanya dikelola oleh 2 orang yaitu Bapak Imam Zainudin sebagai pimpinan Pondok Pesantren dan Ibu Mariatul Qiftiyah sebagai sub bagian pengelolaan wakaf.
Dari narasumber penelitian kami yaitu Bapak Sokarno, wakaf tersebut dalam pengelolaannya selama ini tidak memiliki kendala. Karena pengelola wakaf diambil dari keluarga wakif atau lembaga sendiri. Jadi ketika terdapat permasalahan dalam hal wakaf bisa mudah dimusyawarahkan secara kekeluargaan. Perwakafan yang ada pada pondok tersebut selama ini masih berupa wakaf tanah, belum terdapat wakaf tunai. Tetapi dari pihak pengelola wakaf menerima wakaf tunai jika ada yang ingin berwakaf.

                                                                              BAB IV
                                                                           ANALISIS

Dari hasil analisis kami, wakaf di pondok pesantren darul istiqomah dulu masih menggunakan asas paradigma lama yaitu asas saling percaya. Yang mana perwakafan tidak disertifikatkan. Akan tetapi semakin berkembangnya zaman, dan untuk kepentingan pengembangan pondok, maka pihak pengelola menggunakan paradigma baru yaitu mengikuti peraturan perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004  BAB II pasal 17 yakni ayat (1) ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan pleh 2 orang saksi, dan ayat (2) ikrar wakaf sebagaimana dimaksud opada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Wakaf dari sistem pemanfaatannya dibagi dua; yakni wakaf langsung dan wakaf produktif. Wakaf langsung adalah wakaf yang dilakukan untuk memberi pelayanan langsung kepada yang berhak, seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Wakaf produktif adalah wakaf yang pokoknya digunakan untuk kegiatan produktif atau dikelola sedemikian rupa agar mendatangkan hasil dan hasilnya itu yang akan diberikan kepada yang berhak sesuai tujuan wakaf.
Pondok Pesantren Darul Istiqomah hanya menerapkan Wakaf langsung saja misalnya: wakaf tanah diperuntukkan pada pembangunan madrasah, masjid, dan pondok pesantren. Sebagaimana dijelaskan oleh Bpk. Sukarno.
Sebagaimana data yang penulis dapatkan diatas, sungguh disayangkan bahwa harta wakaf produktifkan tersebut tidak ada. Sehingga  terkait dana masih bergantung kepada pemerintah, belum bisa mengembangkan pondok secara mandiri. Oleh karena itu, disinilah letak pentingnya pemilihan seorang nazdir. Nadzir dituntut untuk mempunyai kemampuan managemen yang baik dan mampu membaca peluang bisnis untuk mengembangkan aset wakaf yang dikelolanya.
Wakaf tersebut manggunakan asas keabadian manfaat. Yakni mengganti barang yang sudah tidak layak pakai dengan barang yang baru. Namun selama ini dalam pondok tersebut,belum sama sekali mengganti barang hasil wakaf dikarenakan semua masih layak digunakan.


                                                                              BAB V
                                                                           PENUTUP
 
                                                          KESIMPULAN DAN SARAN
 
  A.  Kesimpulan
    Dalam menghimpun dana, Pondok Pesantren Darul Istiqomah melakukan berbagai upaya, diantaranya melalui pendekatan dengan cara:
    Mengenalkan Lembaga kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui media online.
    Mengajukan bantuan kepada pemerintah
    Dalam pengelolaan wakafnya, Pondok Pesantren Darul Istiqomah menerapkan wakaf langsung. Wakaf langsung: wakaf tanah diperuntukkan pada pembangunan madrasah, dan masjid.

 B.    Saran
    Dalam hal pengelolaan harta wakaf sebaiknya diserahkan kepada nadzir yang benar-benar berkompeten dibidangnya dan secara khusus menangani hal tersebut. Sehingga amanah yang disematkan kepadanya untuk mengelola harta itu dapat berkembang dan optimal.
    Mengenai pengembangan pondok seharusnya ada wakaf produktif yang bisa menghasilkan dana untuk bisa lebih sempurna mengembangkan pondok tersebut, sehingga lebih maju lagi.

MANAJEMEN WAKAF DI YAYASAN HIDAYATUL HASANAH DESA SENDANG KEC. JAMBON KAB. PONOROGO

MANAJEMEN WAKAF DI YAYASAN HIDAYATUL HASANAH DESA SENDANG KEC. JAMBON KAB. PONOROGO

 


A.    PENDAHULUAN
 
Wakaf merupakan hal yang tak asing lagi bagi kalangan umat Islam. Wakaf sudah ada sejak masa kenabian Muhammad SAW. Perkembangan wakaf di Indonesia hingga saat ini sangat menguat, dengan munculnya lembaga-lembaga wakaf. Walaupun sudah mulai berkembang namun beberapa nazhir atau lembaga pengelola wakaf yang ada, tetapi perkembangan wakaf saat ini tidak sebanding dengan harapan dan misi utama wakaf. Harapan itu adalah berkontribusi untuk pengembangan dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat. Pengembangan wakaf tersebut disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain adalah tentang pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf, pengelolaan dan manajemen wakaf, serta keberadaan benda yang diwakafkan dan kelembagaan nazhir.

Dalam makalah ini akan membahas tentang pengelolaan wakaf, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana cara nazhir dalam menghimpun wakaf?
2.    Bagaimana nazhir mengelola aset wakaf?
3.    Bagaimana pemberdayaan hasil wakaf?
4.    Bagaimana bentuk pelaporan hasil wakaf?

B.    TEORI TATA KELOLA WAKAF

1.    Menghimpun Harta Wakaf
Mekanisme tatakelola yang paling utama dan awal adalah menghimpun harta benda wakaf dari para wakif. Mekanisme ini dikenal dengan aktivitas fundraising. Fundraising diartikan sebagai kerangka konsep tentang suatu kegiatan dalam rangka menggalang dana dan lainnya dari masyarakat yang akan digunakan untuk membiayai program dan kegiatan operasional lembaga sehingga mencapai tujuan.
Aktivitas fundraising adalah serangkaian kegiatan menggalang dana/daya, baik dari individu, organisasi, maupun badan hukum. Fundraising juga merupakan proses mempengaruhi masyarakat atau calon donatur agar mau melakukan amal kebajikan dalam bentuk penyerahan sebagian hartanya. Agar target bisa terpenuhi dan program bisa terwujud, diperlukan langkah-langkah strategis dalam menghimpun aset, yang selanjutnya akan dikelola dan dikembangkan.
Dalam melakukan penghimpunan (fundraising), menggunakan tiga strategi, yaitu:
a.    Retail (Perseorangan)
b.    Corporate ( Perusahaan)
c.    Kerjasama dengan pemerintah
Menurut Holloway dan Saidi dkk, konsep fundraising ada tiga kategori. Pertama, mengakses sumber dana/daya baik harta bergerak maupun tidak bergerak dari masyarakat. Kedua, menciptakan sumber dana baru dari aset yang ada melalui produktivitas aset tersebut. Ketiga, mendapatkan keuntungan dari sumber daya non moneter, seperti kerelawanan/volunter, barang peralatan/in kind, brand image lembaga dan sebagainya.
Substansi fundraising menurut Suparman ada tiga hal, yaitu:
a.    Motivasi, sebagai serangkaian pengetahuan, nilai-nilai, dan alasan-alasan yang mendorong calon donatur untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Dalam hal ini lembaga harus melakukan edukasi, sosialisasi, promosidan transfer informasi kepada calon donatur.
b.    Program yaitu kegiata dari implementasi visi dan misi lembaga yang jelas sehingga masyarakat mampu tergerak untuk melakukan perbuatan filantropinya. Program tersebut berupa siklus manajemen, yaitu: membuat kasus program, melakukan riset calon donatur, menentukan teknik untuk menggalang dana, dan melakukan pemantauan secara menyeluruh, baik proses maupun hasilnya.
c.    Metode merupakan suatu pola, bentuk, atau cara yang dilakukan oleh suatu lembaga dalam rangka menggalang dana/daya dari masyarakat.
2.    Mengelola Aset Wakaf.
Ketika harta wakaf sudah diwakafkan oleh para wakif, maka suatu keharusan bagi nadzir untuk mengelola dan mengembangkannya agar harta tersebut tidak habis. Sebagaimana hadis ‘Umar yang menerima sebidang tanah di Khaibar, yang harus tetap menahan pokok harta wakaf. Dalam menahan pokok harta wakaf tentu dengan memakai pola dan strategi yang berbasis ekonomi syariah yang jauh dari transaksi yang bersifat ribawi.
Beberapa pola dan strategi dalam menahan pokok dalam konteks pengembangan aset wakaf, yaitu:
a.    Dengan meminjamkan atau menyewakan harta wakaf (produktivitas harta wakaf). Orang yang berhak atau berwenang untuk meminjamkan atau menyewakan harta wakaf adalah nazhir. Penyewaan wakaf sama seperti penyewaan harta milik lainnya, sah tidaknya akad tergantung pada pelaksanaannya.
b.    Dengan menukar harta wakaf (tukar guling harta wakaf). Dalam tukar-menukar harta wakaf ada dua hal penting yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu ibdal dan istibdal. Ibdal adalah menjual harta wakaf untuk membeli harta lain sebagai gantinya. Sedangkan istibdal yaitu menjadikan barang lain sebagai pengganti harta wakaf yang asli yang telah dijual. Dengan syarat, harta pengganti harta wakaf minimal bernilai sama dan tidak diperkenankan untuk merugi.
c.    Dengan investasi harta wakaf. Ada dua macam investasi dana/barang wakaf, yaitu:
1)    Investasi internal, yaitu berupa berbagai macam akad atau pengelolan proyek investasi wakaf yang dibiayai dari dana wakaf sendiri.
2)    Investasi eksternal, yaitu investasi dana/barang wakaf yang menyertakan modal pihak luar/atau bekerjasama dengan pihak luar.
3.    Menyalurkan Hasil Wakaf
Selain aspek motivasi berderma dan memproduktifkan aset wakaf, aspek yang tidak kalah penting adalah penyaluran atau pemberdayaan hasil wakaf untuk masyarakat yang memerlukan, atau memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kemaslahatan masyarakat. Asa kemanfaatan benda wakafmenjadi landasan yang paling relevan dengan keberadaan benda wkaf itu sendiri.
Penyaluran hasil wakaf dalam bentuk pemberdayaan hasil-hasil wakaf secara umum ditujukan kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf), yang terkadang sudah ditunjuk oleh wakif untuk apa dan kepada siapa. Meskipun demikian, ada beberapa wakif yang tidak menunjuk hasil wakaf kepada orang yang spesifik. Tetapi untuk kemaslahatan umum dan sebagainya.
Bentuk penyaluran wakaf ada beberapa cara, yaitu:
a.    Kewiraswastaan sosial
b.    Pemberdayaan masyarakat kecil
c.    Sosial
Suatu aset atau benda wakaf dikatakan memiliki nilai keabadian manfaat paling tidak ada empat hal, yaitu:
a.    Benda tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak.
b.    Benda wakaf memberikan nilai yang lebih nyata kepada para wakif itu sendiri.
c.    Manfaat immaterial aset wakaf lebih besar dibandingkan dengan manfaat materialnya.
d.    Benda wakaf itu sendiri tidak menjadikan atau mengarahkan kepada kemudaratan bagi orang lain dan bagi wakif.
4.    Pelaporan Harta Wakaf
Bentuk pelaporan wakaf yang akuntabel dan transparan, yaitu:
a.    Pertemuan ruti
b.    Laporan rutin, berkala, baik yang wajib maupun tidak
c.    Laporan dalam bentuk media yang tepat dan bisa diakses
d.    Laporan sebagai bukti rasa tanggung jawab dan amanah
e.    Laporan sebagai upaya memperkenalkan wakaf masyarakat
C.    SKETSA SEJARAH NAZHIR WAKAF
1.    Sejarah Berdirinya Yayasan Hidayatul Hasanah
Sejarah berdirinya yayasan Hidayatul Hasanah di desa Sendang kec. Jambon kab. Ponorogo berdiri atas inisiatif dari pimpinan yayasan tersebut. Hal ini, timbul karena adanya keprihatinan kyai terhadap lingkungan masyarakat setempat. Keprihatinan tersebut timbul dari beberapa faktor, yaitu:
a.    Minimnya masyarakat yang memahami masalah agama
b.    Kurangnya kegotong royongan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan ummat
c.    Keinginan kyainya untuk menyalurkan ilmu agama yang diperolehnya dari beberapa pondok pesantren.
Pendirian yayasan Hidayatul Hasanah diawali dengan datangnya beberapa orang yang meminta bantuan kyai untuk menyembuhkan suatu penyakit yang diderita orang itu. Setelah terjadinya penyembuhan penyakit yang diderita beberapa orang tersebut, mereka berkeingian untuk belajar agama kepada kyai tersebut (Bapak Moh. Sidiq Kromo Wijoyo) yang sebelumnya dikenal sebagai santri lulusan pondok pesantren Lirboyo, Kediri. Dan akhirnya, selang beberapa waktu semakin lama santri yang berguru kepadanya semakin banyak. Kemudian kyai (Bapak Sidik) berinisiatif untuk mendirikan sebuah yayasan yang dikelola dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak dan tingkah laku masyarakat yang masih minim dengan bekal agama.
Pada tanggal 5 juni 2007 di dirikanlah yayasan yang bernama “YAYASAN HIDAYATUL HASANAH”. Kemudian diikuti oleh perkembangan dan kemajuaan yayasan tersebut dengan didirikan beberapa lembaga (TK, MTs, MA, panti asuhan, dan TPQ). Pendirian dari beberapa lembaga tersebut tidak lain karena adanya dukungan dari keluarga besar pimpinan yayasan yang mewakafkan sebagaian harta untuk diwakafkan guna kemajuaan yayasan tersebut.
2.    Struktur Organisasi
Kepengurusan pengelolaan tanah wakaf yang penulis teliti ini merupakan pengelolaan di bawah naungan Yayasan Hidayatul Hasanah. Adapun struktur kepengurusan di Yayasan Hidayatul Hasanah saat ini adalah sebagai berikut:
Ketua        : Moh. Sidik Kromowijoyo
Sekretaris    : Marji Nurcahyono, S.H.I.
Bendahara    : Imro’atul Makmunah, S.Pd.I.
Bidang-Bidang
Bidang Pendidikan    : Marwiyah
Bidang Perekonomian    : Wini Rahayu
Bidang Humas        : Habib Umar
3.    Aset Wakaf

Nomor    Wakif    Luas Tanah    Keterangan
1    Bpk. Panut    653 m2    Komplek pondok, pekarangan, asrama, panti asuhan,  sawah dan pertenakan
2    H. Mirah    1157 m2   
3    Bpk. Jasmun    276 m2   
  

D. DESKRIPSI TATA KELOLA WAKAF YAYASAN HIDAYATUL HASANAH (DATA LAPANGAN)
 
1.    Inovasi Menghimpun Harta Wakaf
Dalam menghimpun dana wakaf, Yayasan Hidayatul Hasanah melakukan berbagai upaya, diantaranya melalui pendekatan dengan cara:
a.    Mengenalkan Lembaga kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui media online.
b.    Diadakannya pengajian rutin bersama santri baik dengan walinya maupun masyarakat sekitar pondok pesantren.
c.    Memberikan surat penawaran wakaf kepada setiap wali santri.
d.    Penyebaran brosur.
Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan dari Yayasan tersebut untuk menghimpun harta wakaf. Walaupun upaya telah dilakukan tapi data yang penulis dapatkan dari sumber yang terpercaya bahwa tanah wakaf yang ada saat ini di Yayasan Hidayatul Hasanah masih berasal dari sebagian tanah keluarga ketua yayasan yang diwakafkan. Kemungkinan dari kurang optimalnya upaya-upaya dalam menggali harta wakaf tersebut maka sampai saat ini pun belum ada sama sekali harta wakaf yang berasal dari masyarakat luar Yayasan baik perseorangan maupun organisasi.
Kemudian juga muncul masalah terkait sertifikat tanah wakaf tersebut. Dari semua tanah wakaf yang dimiliki Yayasan Hidayatul Hasanah masih belum ada satu pun yang disertifikatkan. Dari hasil wawancara dengan ketua yayasan (Bapak  Moh. Sidiq Kromo Wijoyo), diketahui ada beberapa faktor yang menjadi penyebab semua tanah wakaf belum didaftarkan atau diproses untuk mendapatkan sertifikat tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a.    Masih banyak pengurus yang belum memahami secara menyeluruh tentang berbagai perangkat peraturan mengenai pendaftaran tanah dan prosedur pengurusaannya sampai menjadi sertifikat dan balik namanya.
b.    Tidak adanya tenaga khusus yang fokus dan mempunyai waktu luang yang banyak untuk mengurusi masalah-masalah pendaftaran tanah wakaf.
c.    Belum adanya anggaran dana dalam proses administrasi pembuatan sertifikat tanah wakaf.
2.    Memproduktifkan Aset Wakaf
Wakaf dari sistem pemanfaatannya dibagi dua; yakni wakaf langsung dan wakaf produktif. Wakaf langsung adalah wakaf yang dilakukan untuk memberi pelayanan langsung kepada yang berhak, seperti masjid, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. Wakaf produktif adalah wakaf yang pokoknya digunakan untuk kegiatan produktif atau dikelola sedemikian rupa agar mendatangkan hasil dan hasilnya itu yang akan diberikan kepada yang berhak sesuai tujuan wakaf.
Yayasan Hidayatul Hasanah menerapkan kedua-duanya. Wakaf langsung misalnya: wakaf tanah diperuntukkan pada pembangunan madrasah, masjid, dan pondok pesantren; sebagaimana dijelaskan oleh Bpk. Muhammad Siddik sebagai pimpinan yayasan. Wakaf produktif juga dikembangkan, misalnya: peternakan bebek pedaging dan peternakan sapi; demikian juga pengembangan wakaf digunakan untuk sawah yang semuanya mengarah kepada “usaha ekonomi”.
Sebagaimana data yang penulis dapatkan diatas, sungguh disayangkan bahwa harta wakaf yang diproduktifkan tersebut masih belum dapat atau masih kurang dalam menutupi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan. Selain dari masih minimnya harta yang diproduktifkan juga belum adanya unit usaha baru yang dikembangkan oleh yayasan hingga saat ini. Oleh karena itu, disinilah letak pentingnya pemilihan seorang nazdir. Nadzir dituntut untuk mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan mampu membaca peluang bisnis untuk mengembangkan aset wakaf yang dikelolanya.
3.    Pemberdayaan Distribusi Hasil Wakaf
Berbicara bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi harta wakaf Yayasan Hidayatul Hasanah, maka berdasarkan hasil penelitian yang dikumpulkan dalam bentuk sejumlah data dan hasil wawancara dengan berbagai pihak yang berkompeten diperoleh keterangan sebagai berikut: Pemberdayaan harta wakaf Yayasan Hidayatul Hasanah berupa peternakan dan pertanian yang dikelola oleh Yayasan tersebut bersama masyarakat sekitar. Harta tersebut telah dianggap sebagai bentuk pemberdayaan harta benda wakaf. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah hasil dari peternakan dan pertanian itu telah diberdayakan untuk:
•    Pengembangan usaha itu sendiri,
•    Pengembangan Pondok Pesantren Sendang Drajat,
•    Memberdayakan ekonomi masyarakat yang ikut mengelola harta wakaf dengan cara nisbah bagi hasil yang disepakati bersama.
•    Pengembangan Panti Asuhan yang dikelola oleh Yayasan tersebut.
Dalam perhitungannya mulai dari pembiayaan termasuk di dalamnya pengeluaran dan pemasukan, ternyata belum banyak dihasilkan dari usaha tersebut. Keterangan ini menjadi indikasi bahwa pergerakan bisnis peternakan dan pertanian belum bisa diandalkan, masih kurang dan belum mampu membantu banyak perekonomian Yayasan tersebut.
Bentuk pemberdayaan harta wakaf Yayasan Hisdayatul Hasanah bervariasi meliputi setidaknya program-program yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis:
a.    bangunan fisik;
b.    peningkatan keilmuan, termasuk laboratorium dan perpustakaan;
c.    pendidikan dari TK, MTs, dan MA;
d.    pemberdayaan perekonomian baik masyarakat maupun santriwan dan santriwati serta panti asuhan.
e.    pembinaan anak jalanan dan lain-lain.
Dari kesemuanya itu telah dibuat skala prioritas dari pemanfaatan semua harta wakaf tadi.
4.    Transparansi Pelaporan Hasil Wakaf
Pelaporan tentang hasil wakaf di yayasan Hidayatul Hasanah dilakukan secara rutin (setiap waktu panen). Untuk peternakan bebek pedaging hasil laporannya diserahkan setiap 35 hari sekali dan untuk pertanian 3 bulan sekali. Sedangkan untuk pelaporan keuangan dari sarana pendidikan seperti TK, MTs, MA dan TPQ pelaporannya setiap akhir tahun pelajaran. Kemudian hasil draf  laporan tersebut oleh Bagian Administrasi Keuangan (BAK) yang kemudian akan diserahkan/dilaporkan kepada wakif dan pengelola yayasan. Apabila yayasan membutuhkan dana untuk sarana dan prasarana yang diperlukan, yayasan dapat menggunakan dana dari hasil wakaf tersebut dengan syarat mendapat persetujuan dari pimpinan melalui Bagian Administrasi Keuangan (BAK). 

E.    KESIMPULAN DAN SARAN
 
1.    Kesimpulan
a.    Dalam menghimpun dana wakaf, Yayasan Hidayatul Hasanah melakukan berbagai upaya, diantaranya melalui pendekatan dengan cara:
•    Mengenalkan Lembaga kepada masyarakat baik secara langsung maupun melalui media online.
•    Diadakannya pengajian rutin bersama santri baik dengan walinya maupun masyarakat sekitar pondok pesantren.
•    Memberikan surat penawaran wakaf kepada setiap wali santri.
•    Penyebaran brosur.
b.    Dalam pengelolaan wakafnya, Yayasan Hidayatul Hasanah menerapkan wakaf langsung dan produktif. Wakaf langsung  misalnya: wakaf tanah diperuntukkan pada pembangunan madrasah, masjid, dan pondok pesantren. Sedangkan Wakaf produktif misalnya: untuk peternakan bebek pedaging dan sapi.
c.    Hasil dari harta wakaf produktif Yayasan Hidayatul Hasanah telah diberdayakan untuk:
•    Pengembangan usaha itu sendiri,
•    Pengembangan Pondok Pesantren Sendang Drajat,
•    Memberdayakan ekonomi masyarakat yang ikut mengelola harta wakaf dengan cara nisbah bagi hasil yang disepakati bersama.
d.    Dalam pelaporan hasil wakaf, yayasan tersebut melaporkan secara rutin kepada wakif dan pengelola setiap kali panen.
2.    Saran
a.    Dalam hal pengelolaan harta wakaf sebaiknya diserahkan kepada nadzir yang benar-benar berkompeten dibidangnya dan secara khusus menangani hal tersebut. Sehingga amanah yang disematkan kepadanya untuk mengelola harta itu dapat berkembang dan optimal.
b.    Mengenai sertifikat tanah wakaf, alangkah baiknya setelah diadakanya ikrar tanah wakaf tersebut segera untuk dilakukan pensertifikatan dan balik nama. Guna untuk memperjelas bahwa telah terjadi peralihan hak atas tanah dan untuk menghindari adanya perselisihan diantara pihak-pihak yang bersangkutan.