TINDAK PIDANA
Resume ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Hukum Pidana”
Resume ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
“Hukum Pidana”
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya dalam menulis resume untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana.
Resume ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Pidana Bapak Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
Ponorogo, 03 Juni 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ 1
DAFTAR ISI.............................................................................................. .2
PEMBAHASAN
A. Waktu dan Tempat Tindak Pidana .........................................................3
B. Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana ...............................................6
C. Penyertaan Melakukan Tindak Pidana (Deeelneming) ....................... ......10
PEMBAHASAN
A. WAKTU DAN TEMPAT TINDAK PIDANA
Mengenai tempat dan waktu tindak pidana tidak disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana, walaupun pada kenyataannya ada juga disebagian kecil rumusan tindak pidana tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai unsur yang memeberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman (363 ayat 2 sub 3), atau sebagai unsur pokok, misal waktu perang (127), dimuka umum (281, 282, 532), di tempat lalu lintas umum (533).
Pada kenyataannya memang ada disebagian tindak pidana mengenai waktu atau tempat menjadi unsur yang dicantumkan dalam rumusan. Diluar hal itu, mengenai waktu dan tempat tindak pidana ini adalah menjadi hal sangat penting dalam hal praktik pidana sejak penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan, selain penting dalam hubungannya dengan beberapa ketentuan dalam KUHP.
1. Mengenai Waktu dan Tempat Pidana
Dalam hubungannya dengan berbagai ketentuan umum dalam KUHP, mengenai waktu tindak pidana ini penting dalam hal, yakni:
a. Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, yakni untuk menentukan apakah tindak pidana itu dilakukan sebelum atau sesudah ada perubahan perundang-undangan.
b. Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46, dan 47 KUHP.
c. Mengenai hal yang berhubungan dengan kadaluwarsa bagi hak negara untuk melakukan penuntutan pidana sebagai mana ditentukan dalam pasal 79, 79 KUHP.
d. Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan seperti pada kejahatan kesusilaan, dimana ketika tindak pidana dilakukan usia korban belum 15 tahun (287, 290 KUHP).
e. Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika melakukan tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 44 KUHP.
f. Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan beberapa kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasal 486, 487, dan 488 KUHP.
2. Mengenai Tempat Tindak Pidana
Mengenai tempat dilakukannya tindak pidan penting dalam beberapa hal, yaitu:
a. Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif. Pasal 84 (1) KUHAP yang memuat prinsip dasar tentang kompetensi relatif, yakni Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di dalam daerah hukumnya. Sebelum berlaku KUHAP, ketentuan ini dimuat dalam pasal 2529(1) HIR.
b. Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang memuat sas teritorialiter tentang berlakunya hukum pidana Indonesia, maka tempat tindak pidana penting pula dalam hal menentukan terhadap tindak pidana berlaku hukum pidana Indonesia atau tidak.
3. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini menjadi sangat penting dalam praktik hukum karena teori-teori itulah yang dapat menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang waktu dan tempat tindak pidana ini.
Dari sudut faktual atau kenyataannya, maka ada benarnya jika kita berpendapat bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Persoalannya dari sejak kapan, an mulainya dari tempat yang mana, bilamanakah berakhirnya dan di tempat yang mana berakhirnya? Dalam hal untuk menjawab persoalan yang demikian, ada beberapa teori, yakni:
a. Teori perbuatan jasmani (ker can het amteriele felt).
b. Teori alat (leer van het instrument).
c. Teori akibat (leer van het gevolg)
Menurut teori perbuatan jasmani atau perbuatan materiil, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana perbuatan jasmani yang menjadi unsur tindak pidana itu pada kenyataannya diwujudkan.
Menurut teori alat, waktu dan tempat tindak pidana ialah waktu dan tempat dimana alat digunakan dan bekerja efektif dalam hal terwujudnya tindak pidana.
Sedangkan menurut teori akibat, waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana akibat dari oerbuatan itu timbul.
Pada pembicaraan mengenai tingkah laku, telah disampaikan bahwa tingkah laku adalah merupakan unsur mutlak tindak pidana. Artinya setiap tngkah pudana pastilah mengandung unsur tingakah laku. Mengenai tingkah laku ada perbedaan dalam tindak pidana materiil dan tindak pidana formil, berhubung pada tindak pidana materiil diperlukan akibbat yang timbul dari tingkah laku yang dirumuskan. Teori perbuatan jasmani lebih sesuai pada tindak pidana formil, dimana waktu dan tempat tindak pidana adalah waktu dan tempat dimana perbuatan jasmani dilakukan. Misalnya, oencurian (362 KUHP) atau penggelapan (372 KUHP), waktu dan tempat pencurian adalah waktu dan tempat dimana petindak melakukan dan menyelesaikan perbuatan mengambil atau waktu dan tempat pada penggelapan adalah waktu dan tempat pada penggelapan adalah waktu dan tempat dimana perbuatan memiliki diwujudkan. Lain halnya dengan tindak pidana materiil, dimana waktu dan tempat perbuatan jasmani dilakukan dapat menjadi tidak sama dengan waktu dan tempat akibat terlarang yang disyaratkan timbul, misalnya pembunuhan (338 KUHP), A menikam bertubi-tubi pada badan B dengan pisau, oleh keluarganya dibawa kerumah sakit, keesokan harinya B mati karena luka-lukanya itu. Dalam contoh yang terakhir ini teori perbuatan jasmani tidak dapat digunakan, melainkan lebih sesuai dengan teori akibat.
Pada tindak pidana yang untuk selesainya secara sempurna digantungkan pada akibat, baik akibat itu sebagai unsur pokok pada tindak pidana materiil, maka teori akibat lebih sesuai, dan dalam praktik sering menggunakan teori akibat. Seperti pada kasus penipuan dengan menggunakan cek kosong, dimana pelaku melalaikan perbuatan menggerakkan (tingkah laku pasal 378 KUHP). Misalnya orang di Semarang melakukan transaksi dengancek kosong, kemudian cek kosong itu digunakan untuk membayar bahan-bahan bangunan di Pekalongan. Hasil keputusan kasasi dari Mahkamah Agung memutuskan (10-2-1983 No. 471 K/Kr/1981) bahwa Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadiln Negeri pekalongan. Dalam hal ini dengan diterimanya pembayaran dengan cek kosong oleh korban di Pekalongan, tindak pidana penipuan telah terjadi secara sempurna di Pekalongan. Teori akibat lebih sesuai dengan tindak pidana materiil.
Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa di persidangan pengadilan (522 KUHP) adalah waktu dan tempat dimana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum itu dilakukan. Contohnya, A tinggal di Pasuruan pada tanggal 4 Desember menerima panggilan/dipanggil oleh Pengadilan Negeri Malang tanggal 11 Desember 2000. Pada tanggal 11-12-2000 sengaja tidak datang menghadap tanpa lasan yang sah. Dalam contoh ini waktu dan tempat melalaikan kewajiban adalah pada tanggal 11-12-2000 di Malang, karena waktu dan tempat itu itulah A mempunyai kewajiban hukum untuk datang dan memberikan keterangannya.
Dalam hal perbarengan (concurcus atau samenloop), oleh karena terjadinya beberapa tindak pidana yang berlainan, maka perihal waktu dan tempat tindak pidana adalah pada waktu dan tempat masing-masing terwujudnya tindak pidana itu. Dalam hubungannya dengan kompetensi relatif pengadilan, artinya Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili, untuk menghindari konflik yuridiksi. Pasal 84 ayat 2 KUHP telah menegaskan bahwa semua Pengadilan Negeri berwenang mengadilinya.
B. SIFAT MELAWAN HUKUM PERBUATAN PIDANA
1. Sifat Melawan Hukum
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal.
Mengenai hal ini ada dua pendapat. Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian ini dinamakan pendirian yang formal.
Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, di samping undang-undang (hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian dinamakan pendirian yang materiel.
Kalau kita mengikutu pandangan yang material maka perbedaannya dengan pandangan yang formal adalah:
a. Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja. Misalnya pasal 49 KUHP pembelaan terpaksa (Noodweer).
b. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan-perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal. Sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana,ini tidak berarti bahwa karena itu harus dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata. Jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan, maka juga tidak perlu dibuktikan. Pada umumnya dalam perundang-undangan kita, lebih banyak delik yang tidak memuat unsur melawan hukum di dalam rumusannya.
Apakah konsekuensinya daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik? Konsekuensinya adalah jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik, maka unsur dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa sama halnya dengan unsur kemampuan bertanggung jawab.
Konsekuensi yang lain adalah: jika hakim ragu-ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkannya adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
2. Hal-Hal Yang Dikatagorikan Perbuatan Melawan Hukum
Ada tiga pendirian yang antara lain sebagai berikut:
a. Bertentangan dengan hukum
b. Bertentangan dengan hak orang lain
c. Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal itu tidak perlu bertentangan dengan hukum
Tetapi dalam hal unsur melawan hukum itu sendiri diwebutkan dalam rumusan delik, maka Pompe selalu berpendirian material, karena baginya makna dari pada melawan hukum itu adalah bertentangan dengan hukum.
Sifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, yang mana lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain daripada peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak tertulis.
Bagaimana unsur sifat melawan hukum dirumuskan dalam undang-undang.
KUHP memakai istilah macam-macam:
a) Tegas dipakai istilah “Melawan Hukum” (woderrechtelijk) dalam pasal-pasal 167, 168, 335 (1), 522, 526.
b) Dengan istilah lain misalnya: “Tanpa mempunyai hal untuk itu” (Pasal-pasal 303, 548, 549): “tanpa izin” (Zonder veriof) (Pasal 496, 510): “Dengan melampaui kewenangnannya” (Pasal 430): “Tanpa mengindahkan cara-cara ditentukan oleh peraturan umum.” (Pasal 429).
3. Sifat Melawan Hukum Yang Formil Dan Sifat Melawan Hukum Yang Materiil
Menurut Ajaran Sifat melawan hukum yang formil
Suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum apabila perbutan diancam pidana dan dirumuska sebagai suatu delik dalam undang-undang sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat haous, karena hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis).
Menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis saja), akan tetaoi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan humunya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (Uber gesetzlich).
Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya.
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, merupakan tanda/indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila alasan pembenar (rechtvaardigingagrond).
Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil. Alasan pembenar itu hanya boleh diambil dari hukum positif, yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dati luar hukum yang tertulis. Ajaran sifat melawan hukum yang formil pada umumnya sudah tidak dianut lagi, berdasarkan putusan seminar hukum nasional 1963.
4. Contoh Kasuistik Perbuatan Melawan Hukum
Pompe secara tidak langsung ada juga menyinggung soal ini. Dikataknnya bahwa sukar sekali untuk membuktikan bahwa si pembuat mengisyafi sifat melawan hukumnya perbuatan. Dalam praktek pada umumnya tidaklah menjadi perintang besar, jika dalam undang-undang tidak disyaratkan harus ada penginsyafan terhadap melawan hukumnya perbuatan, sebab pada umumnya jika telah menginsyafi akan unsur-unsurnya perbuatan menurut rumusan delik, biasanya memang menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan itu.
Dibawah ini disajikan suatu keputusan Mahkamah Agung tertanggal 27 Juni 1955 berkaitan dengan tangkisan terdakwa bahwa ia tidaklah mengetahui tentang adanya larangan.
“terdakwa Hadii Hjas dituntut karena telah mempunyai persediaan cengkeh, yaitu barang dalam pengawasan sebanyak -+ 460 kg atau melibihi daripada jumlah yang diizinkan. Ia tidak mempunyai surat izin atau tidak mengajukan surat izin.
“dengan menunjukkan undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1950, Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951, keputusan Menteri Perekonomian tentang “Peraturan Cengkeh 1952 No. 8430/M/Jakarta, dinayatakan telah melakukan pelanggaran dengan tiada izi,” dan oleh karenanya dijatuhi hukuman denda sebanyak Rp. 150,- dengan ketentuan kalau denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 15 hari.
Rupanya terdakwa naik banding dan mengajukan permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkatan kasasi, sehingga perkara diajukan dihadapan Mahkamah Agung.
Atas keberatan yang diajukan pemohon kasasi itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan itu tidak berdasarkan.
Catatan atas keputusan mahkamah ini adalah sebagai berikut:
Tidaklah disangkal bahwa pengundangan adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikatnya suatu peraturan undang-undang. Dan undang-undang Darurat Nomor 17 tahun 1951, maupun surat keputusan Menteri Perekonomian tanggal 30 Juni 1952 No. 8430/M telah diundangkan dengan semestinya, berturut-turut L.N. 1951-90 dan B.N.R.I 1952 No. 60. Tetapi pokok soal dalam perkara ini, dihubungkan dengan isi memori terdakwa. Pemohon kasasi mengajukan bahwa dia tidak tahu perbuatannya adalah perbuatan pidana. Terdakwa berpendapat bahwa tidaklah ada hubungan antara sikap batinnya dengan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa antara perbuatan pidana dan ornag yang melakukan perbuatan itu ada hubungan yang erat. Disamping adanya unsur-unsur tertentu dari perbuatan pidana, dan kesalahan, maka hubungan antara keduanya diadakan oleh hubungan antara bentuk kesalahan (sebagai salah satu unsur kesalahan) dengan sifat melawan hukumanya perbuatan.
C. PENYERTAAN MELAKUKAN HUKUM PIDANA (Deelneming)
• Pengertian
Kata”penyertaan”dalam judul bab ini, yang juga menjadi judul dari title V buku1 KUHP (Decleneing aan stracbare feiten), berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan sesuatu tindak pidana.
Hazewingkel Suriga menceritakan, bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan pada sipelaku saja, dan baru pada penghabisan aabad ke 18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan, sampai dimana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenakan hukuman.
Rumusan Perundang undangan
Rumusan ini terlihat pda pasal 55 dan pasall 56 KUHP yang berbunyi;
Pasal 55
(1) Sebagai pelaku suatu tindaka pidana akan dihukum:
Ke 1 mereka yang melakukan =,menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu,
Ke 2 mereka yang dengan pemberian,kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat ,dengan pakasaan, ancaman atau penipuan ,atau dengan memberikan kesempatan ,sarana atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu.
(2) Tentang orang orang tersebut belakangan (sub ke 2) hanya perbuatan-perbuatan yang okleh mereka dengan sengaja dilakukan ,serta akibat-akibatnya dapat diperhatikan,
Pasal 56
Sebagai pembantu melakukian kejahatan akan dihukum :
Ke-1 merka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatn itu dilakukan.
Ke-2 merka yang dengan sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana,yaitu:
a. Yang melakukan perbuatan (plegen dader)
b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen middelike dader)
c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen,mededader)
d. Yng membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitloken, uitloker)
e. Yang membantu perbuatan(medeplichtig,zijn,medeplichtige)
• Unsur-unsur Penyertaan Dalam Perbuatan Pidana
a. Menyuruh Melakukan Perbuatan (Doen Plegen)
Wujud penyertaan (deelneming) yang pertama-tama disebutkan oleh pasal 55 ialah: menyuruh melakukan perbuatan (Doen Plegen). Ini terjadi apabila orang lain menyuruh si pelaku melakukan perbuatan, yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal si pelaku tidak dapat dikenakan hukuman pidana. Jadi si pelaku (dader) itu seolah-olah menjadi alat belaka (instrumen) yang dikendalikan oleh si penyuruh. Si pelaku semacam ini dalam ilmu pengetahuan hukum dinamakan manus ministra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).
b. Turut Melakukan Perbuatan (Medeplegen)
Dalam KUHP tidak ada penegasan apa yang dimaksudkan dengan kata medeplegen ini, maka ada perbedaan pendapat tentang arti dari istilah ini. Seperti dalam hal percobaan atau poging, aa dua golongan pendapat yang satu bersifat subyektif dengan menitikberatkan pada maksud dan tabiat para pelaku (nededader), sedangkan para obyektivitas lebih melihat pada wujud perbuatan dan para turut pelaku, wujud tersebut harus cocok dengan perumusan tindak pidana dalam undang-undang (delictsomachirijving).
Menurut Hazeinkel Suringa ada dua syarat bagi adanya, turut melakukan tindak pidana yaitu kesatu kerja sama yang didasari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama diantara mereka. Kedua mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.
c. Syarat kesengajaan dalam “Turut Melakukan”
Dengan adanya kehendak bersama akan melakukan suatu tindak pidana secara kerja sama, sudah terang bahwa pada para “turut pelaku” (mededaders) ada unsur kesengajaan. Tetapi ini tidak berartiaa, bahwa mereka tidak dapat “turut melakukan” suatu tindakan pidana dengan unsur culpe atau kurang berhati-hati.
Keadaan pribadi seorang “turut pelaku”
Sperti dalam hal menyuruh melakukan juga dalam hal turut melakukan timbul persoalan apakah suatu keadaan pribadi sebagai unsur tindak pidana harus melekat pada tiap-tiap pelaku.
d. Membantu melakukan tindak pidana (Medephchtigneid)
Di atas sudah di bahas hal menyuruh melakukan dan turut melakukan keduanya disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 no. 1 KUHP kemudian oleh pasal 55 ayat 1 no. 2 disebutkan hal membujuk melakukan hal, dan baru pada pasal 56 dicantumkan hal membantu melakukan. Dalam KUHP hal membantu melakukan akan dibahas lebih dahulu dari hal membujuk melakukan oleh karena dalam wujudnya ada persamaan erat antara turut melakukan dan membantu melakukan
e. Membujuk melakukan tindak pidana (Uitlokking)
Tidak semua pembujuka untuk melakukan tindak pidana dikenakan hukuman, melainkan hanya pembujukan dengan cara-cara yang disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 No. 2 KUHP. Mula-mual yang disebutkan hanya pemberian kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, paksaan, ancaman atau penipuan. Kemuadian cara-cara ini ditambah dengan memberi kesempatan sarana atau keterangan.
Jadi yang ditambahkan ini adalah cara-cara disebutkan dalam hal pembantuan yang baru saja dibahas. Dengan demikian seorang peserta (deelnemer) tindak pidana yang memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dapat merupakan seorang pembujuk atau seorang pembantu ia adalah seorang pembujuk, sedangkan ia adalah seorang pembantu apabila inisiatif itu datang dari si pelaku utama
Persamaan antara kedua cara penyertaam tindak pidana ini ialah menurut pasal 55 ayat 2 KUHP perihal membujuk dan menurut pasal 57 ayat 4 KUHP perihal pembantu, hal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada keduanya ialah perbuatan-perbuatan yang dengan sengaja dibujuk atau dibantu.
Pada pasal 163 ditegaskan bahwa hukuman yang akan dijatuhkan tidak boleh lebih berat daripada hukuman yang dapat dijatuhkan pada percobaan melakukan kejahatan yang dibujuk itu, atau apabila percobaan ini tidak dikenakan hukuman, tidak boleh lebih berat daripada hukuman yang diancamkan pada kejahatan yang bersangkutan.
• Pasal-pasal Penyertaan dalam pembuatan Pidana
Pasal 57 ayat 1 KUHP mengurangi maksimum hukuman pokok dalam hal membantu melakukan tindak pidana dengan sepertiga. Apalagi maksimum hukuman ini adalah hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum dalam hal medeplichtigheld ini dijadikan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
Menurut ayat 3, hukuman tambahan dalam hal pembantuan ini sama seperti pelaku tunggal, si turut pelaku, si penyuruh, dan si pembujuk. Ayat 4 membatasi penentuan hukuman dalam hal pembantuan ini pada perbuatan-perbuatan yang oleh i pembantu dipermudah tidak dikenakan hukuman seorang yang membantu melakukan tindak pidana secara kurang hati-hati. Meskipun dalam pasal 56 hanya disebutkan bantuan pada kejahatan namun oleh pasal 60 ditegaskan lagi, bahwa membantu melakukan suatu pelanggaran tiodak dikenanakan hukuman.
0 comments:
Post a Comment