This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, April 2, 2016

Masa'il Fiqhyah: RADHA’AH DAN PROBLEMANYA DI DUNIA MODERN

                                 RADHA’AH DAN PROBLEMANYA DI DUNIA MODERN
                               Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah
                                                                  “MASA’IL FIQHYAH”



                                                                          Disusun oleh:
                                                                    Yazid Hamdan Ilfani
                                                                         Zikri Fadli AS

                                                                      Dosen Pengampu:
                                                                  Ridho Rokamah, M.S.I

                                                                 JURUSAN SYARIAH
                                        PROGRAM STUDI AKHWAL AS- SYAHSIYAH
                                         SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                               (STAIN) PONOROGO
                                                                               2016


                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Salah satu fenomena menarik yang muncul pada dasawarsa terakhir di Indonesia hingga saat ini ialah penggalakaan penggunaan air susu ibu (asi). Pemerintah, dalam hal ini Departenmen Kesehatan RI, sangat gigih mempromosikan penggunaan ASI. Promosi yang dilakukan dengan berbagai cara dan menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik itu, bertujuan untuk memotivasi para ibu agar memberikan ASI kepada bayi-bayi mereka. Pemberian ASI tersebut dimaksudkan agar bayi tumbuh lebih baik dan sehat, dan hubungan serta kasih sayang antara ibu dan anak lebih terbina.
Gencarnya promosi penggunaan ASI yang disertai dengan penjelasan manfaat dan kegunaannya menjadi polemik yang terkadang mengganggu aktifitas bagi seorang wanita yang berkarir, yang mana memang mereka menyadari akan manfaatnya tapi terkadang demi menjaga keindahan tubuh karena pekerjaan menjadi alasan yang tersendiri bagi para wanita karir, sehingga hal ini memungkinkan saja hadirlah yayasan atau lembaga yang menyediakan jasa ASI baik itu bank ASI ataupun ASI yang telah diolah secara mekanis. Sehingga apabila itu terjadi sungguh ini menjadi permasalahan hukum yang rumit untuk dipecahkan, karena hal itu akan mengakibatkan hubungan mahram antara pendonor ASI dengan yang menerima ASI tersebut (bayi) yang mengakibatkan haramnya menikahi sebagaimana mahram terhadap nasab.
B.    Rumusan Masalah
1.    Pengertian radha’ah dalam syari’at Islam
2.    Menjelaskan masalah kontemporer yang berkaitan dengan rada’ah

                                                                              BAB II
                                                                      PEMBAHASAN


A.    Radha’ah Dalam Syari’at Islam
Radha’ah secara lughawi berasal dari kata Radha'ah, radha', irdha' penyusuan/menyusui (رضاعة) yaitu adalah sampainya (masuknya) air susu manusia (perempuan) selain ibu kandung ke dalam perut seorang anak (bayi) yang belum berusia dua tahun, atau 24 bulan. Secara istilah radha'ah adalah sampainya air susu manusia kedalam kerongkongan anak-anak baik isapan susu manusia maupun susu binatang. Penyusuan memiliki konsekuensi hukum mahram sebagaimana mahramnya Nasab dan mahramnya  antara anak dan perempuan yang menyusui dan anak-anaknya di mana antara saudara sesusuan tidak boleh menikah begitu juga dengan Ibu susuannya sebagaimana dalil nash telah menerangkan dalam QS An-Nisâ’ 4:23,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهٰتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِىٓ أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوٰتُكُم مِّنَ الرَّضٰعَةِ 

Artinya:  Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.
Apabila terjadi radha'ah (persusuan) yang memenuhi syarat, maka terjadilah hukum mahram (haram dinikah) antara bayi dan ibu yang menyusui (murdhi'ah) dan keluarga dekat murdhi'ah sebagaimana mahram sebab nasab (kekerabatan). Ibu yang menyusui (murdhi'ah) tidak ada hubungan mahram dengan keluarga bayi yang disusui. Hanya si bayi (radhi') yang ada hubungan mahram dengan seluruh keluarga dekat ibu susuan (murdhi'ah).
Rinciannya sebagai berikut:

1. Perempuan yang menyusui (murdhi'ah)
2. Suami ibu susuan
3. Ibu bapa dari murdhi'ah/ibu susuan
4. Ibu bapa dari suami ibu susuan
5. Adik beradik dari ibu susuan
6. Adik beradik dari bapa susuan
7. Anak-anak dari ibu dan bapa susuan
8. Anak-anak dari ibu susuan
10. Anak-anak dari bapa susuan.
Jumhur ulama fiqh (Malik, Syafi’I dan Ahmad) Berpendapat bahwa penyusuan yang berkaitan dengan haram di kawini, dan yang padanya di lakukan hukum yang sama dengan hukum mahram karena keturunan, sebagaimana sabda Nabi saw :

يحرم من ا لرضاع ما يحرم من ا لنسب
“Haram dari susuan apa yang haram dari keturunan,” adalah penyusuan yang dilakukan dalam masa dua tahun. Mereka berhujjah dengan firman Allah :

والوالدات يرضعن اولادهن حولين كا ملين
“Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” serta berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

لارضاع الا ما كا ن في الحولين
“Tiada susuan kecuali yang terjadi dalam masa dua tahun.”
Abu Hanifah berpendapat bahwa susuan yang menyebabkan berlakunya hukum haram di kawini adalah susuan dalam jarak masa dua setengah tahun berdasarkan firman Allah :

وحمله وفصا له ثلاثون شهرا
“Mengandungnya sampai menyampihnya adalah tiga puluh bulan.”
Al-‘allamah Al-qurtubhi berkata : “Yang benar adalah pendapat yang pertama berdasarkan firman Allah : حولين كا ملين (dua tahun penuh). Ketetapan ini menunjukkan bahwasanya tiada terdapat hukum bagi yang menyusukan seorang anak selewat usia dua tahun. Hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi saw :

لارضاع الا ما كا ن في الحولين
“Tiada susuan kecuali yang terjadi dalam masa dua tahun.”
Hadits ini di tambah dengan firman Allah serta makna yang di kandung oleh keduanya meniadakan penyusuan anak/orang yang sudah besar, dan bahwasanya tiada terdapat hukum mengenai haramnya perkawinan dalam hubungan itu. Diriwayatkan bahwasanya Aisyah ra. memberikan pendapat tentang berlakunya hukum penyusuan bagi orang dewasa. Pendapat ini dianut pula oleh Lits bin Sa’d. abu Musa Antara lain Asy’ari diriwayatkan bahwa ia berpendapat yang demikian pula mengenai penyusuan terhadap orang dewasa, tetapi diriwayatkan bahwa ia menarik kembali pendapatnya itu.

B. Beberapa Masalah Kontemporer yang Berkaitan Dengan Radha’ah
Setiap ibu tentu menginginkan anaknya tumbuh subur dan sehat. Jika air susu wanita merupakan salah satu unsur pokok yang dapat mewujudkan kesehatan anak tersebut, maka sangat wajar jika para ibu berusaha memberi bayinya air susu tersebut. namun, di zaman modern sekarang, bagi ibu-ibu yang sibuk dengan pekerjaannya, memberikan ASI secara langsung untuk anaknya bukanlah perkara yang gampang. Dalam kondisi ini tidak mustahil jika muncul ibu-ibu yang menawarkan diri untuk menyusui atau lahirnya sejumlah yayasa atau lembaga penyusuan bayi. Bahkan tidak mustahil akan muncul bank ASI dan ASI kaleng yang diproduksi secara mekanik. Semua kemungkinan ini bisa terjadi, jika hal itu terjadi tentu menimbulkan masalah hukum yang harus diselesaikan. Untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut, berikut secara singkat penulis mencoba membahasnya.
1.    Yayasan dan Lembaga Penyusuan Anak
Sampai sekarang nama yayasan atau lembaga penyusuan anak memang belum kelihatan, tetapi yayasan atau lembaga penitipan anak sudah banyak tersebar diberbagai pelosok.

Apa yang penulis ketahui selama ini, yayasan atau lembaga penitipan anak memberikan air susu kepada anak yang dipeliharanya dengan susu sapi yang biasa dijual di pasar-pasar. Tentu hal itu tidak menjadi masalah dalam kaitannya dengan radha’ah karena radha’ah yang dimaksudkan oleh syara’ adalah air susu manusia. Tetapi jika tuntutan terhadap pemberian ASI kepada bayi semakin meningkat tidak mustahil yayasan atau lembaga penitipan anak itu juga menyediakan sejumlah wanita untuk menyusui anak yang dititipkan kepada mereka, atau munculnya yayasan dan lembaga penyusuan khusus yang menyediakan para ibu untuk menyusukan anak-anak. 

Karena air susu seorang wanita produksinya terbatas, maka kalau yayasan atau lembaga itu enar, menampung banyak anak, tentu dibutuhkan sejumlah besar ibu-ibu menyusui. Konsekuensinya adalah seorang anak bisa saja disusui oleh sekian banyak wanita, sementara ini juga menyusui sekian banyak anak. Apabila wanita itu dikontrak oleh beberapa yayasan atau lembaga, ia akan berkeliling setiap hari dari satu yayasan ke yayasan lainnya sehingga jumlah anak yang disusuinya banyak sekali. Dengan demikian, anak-anak yang memiliki saudara sesusu pun sangat banyak pula.

Apabila hal tersebut terjadi, bagaimanapun, ketentuan hukum syari’at dalam masalah susuan tidak bisa diubah. Berapapun banyaknya ibu yang menyusui dan berapa banyak pun saudara sesusuan, selama syarat-syarat radha’ah terpenuhi, anak yang menyusu itu tidak boleh kawin dengan ibu susuan tersebut. karena itu, jika praktek semacam ini ingin dilaksanakan, pengurus yayasan atau lembaga harus berhati-hati. Dan pencatatan serta dokumentasi tentang wanita yang menyusui dan anak-anak yang disusukan oleh wanita tersebut seharusnya dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Jika tidak, perkawinan antar saudara sesusu atau perkawinan terlarang lainnya yang berkaitan dengan susuan akan banyak terjadi.

2.    Bank ASI, ASI Kaleng, dan Penyuntikan ASI
Jika zaman sekarang sudah ada bank mata, bank ginjal, dan lainlain, maka tidak mustahil suatu saat ada bank ASI. Kemungkinan ini didasari oleh makin meningkatnya kebutuhan ASI. Jika bank ini ada yang menjadi masalah adalah Air susu itu akan bercampur baur dengan air susu yang lain. Dalam satu gelas air susu bisa saja berasal dari lima atau enam orang wanita. Kalau terjadi, anak yang meminum air susu itu sulit mengetahui siapa pemilik air susu sebenarnya yang termasuk dalam kategori ibu susuan. Karena itu, jika bank ASI didirikan, maka pengurusnya harus berhati-hati  karena ada status keharaman menikah radha’ah sebagaimana Nasab dan sama halnya dengan permasalahan pada lembaga atau yayasan penyusuan anak.
Pengalengan ASI juga tidak mustahil akan terjadi, apabila teknologi pengalengan dewasa ini semakin canggih. Apabila kebutuhan akan ASI semakin meningkat sementara pemberian susu hewan kepada anak-anak sudah semakin berkurang, maka wajar sekali jika para pengusaha membuka mata untuk melakukan pengalengan ASI sebagai bisnis barunya, baik pengalengan dalam bentuk susu bubuk maupun dalam bentuk susu kental dan sejenisnya. Jika hal tersebut di atas terjadi maka masalah yang muncul antara lain seperti jual beli ASI, pencampuran ASI dengan yang lain yang harus dapat ditemukan hukumnya secara hukum islam.

3.    Penyuntikan ASI
Apabila infuse sekarang dipakai sebagai salah satu alternative oleh para dokter untuk memasukkan zat atau saripati makanan kedalam tubuh orang yang tidak bisa makn dengan cara biasa, maka tidak mustahil dalam perkembangan nanti aka nada proses pemasukan ASI kedalam tubuh bayi melalui sunrtikan atau semacam infuse tersebut.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukum air susu yang dimasukkan kedalam tubuh tanpa melalui kerongkongan. Sebagian ada yang berpendapat tidak menyebabkan keharaman nikah, sementara sebagian lain berpendapat tetap menyebabkan keharaman nikah.
Perbedaan pendapat itu terjadi karena mereka ragu-ragu apakah air susu bisa masuk melalui organ tubuh tertentu atau tidak. Sebenarnya, di zaman modern ini, dengan kecanggihan tehnologi









Makalah: HUKUM ADAT

                                                                      HUKUM ADAT
                               Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat


                                                                     Dosen pengampu :
                                                                Drs. Munawir, M.Hum

                                                                       Disusun Oleh :

                                                                   ZIKRI FADLI AS
                                                                   BISRI MUSTAFA
                                                                   EKO SANTOSO


                                                              JURUSAN SYARIAH
                                                    PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
                    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                             2015


KATA PENGANTAR


Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya  dalam  menulis resume  untuk  memenuhi tugas  mata kuliah Hukum Adat.
Resume  ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai  sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
 Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Adat  Bapak  Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.


                                                                        DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii

PEMBAHASAN

A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat ......................................................................1

B.    Sistem Perkawinan Adat ........................................................................................................1

C.    Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat ....................... ............................................2

D.    Perceraian Dan Akibat-akibatnya...........................................................................................4

E.    Fungsi Harta Perkawinan........................................................................................................6

F.    Pemisahan Harta Perkawinan..................................................................................................7

G.    Status  Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami Istri Dalam Perkawinan.......................10

                                                                              BAB I
                                                                     PEMBAHASAN

A.    Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan didalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain didalam hubungan yang beraneka ragam.

Perkawinan ini sekaligus juga meneruskan garis hidup (sosial), orang tuanya (atau salah satu dari orang tuanya). Dalam hubungna kerabatyang bersegi satu, maka perkawinan itu adalah juga suatu syarat yang mengatur kesanak saudaraan semenda (aanverwantschap). Perkawinan merupakan suatu bagian daripada lalu lintas dan yang menyebabkan bagian-bagian clas mempertahankan atau merubah kedudukannya, mempertahankan keseimbangan dalam sukunya, dan dalam lingkungan masyarakat seluruhnya yang bersifat sudah puasdengan seorang dirinnya (zelf genoegzaam). 

Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas atau derajat-derajat didalam dan diluar masyarakat dipertahankan. Dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.
Akan tetapi walaupun merupakanurusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, perkawinan itu senantiasa merupakan urusan hidup perseorangan, baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan orang-orang yang juga disegani.

B.    Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun  Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga dengan sistem Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang dipengaruhi oleh hukum islam.
Sistem Exogami, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga, misalnya dilingkungan masyarakat Batak. Akan tetapi saat ini sistem perkawinan Exogami suah luntur. Sedangkan pada sistem perkawinan Endogami pria diharuskan mencari calon istri dilingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini berlaku didaerah Toraja Tengah atau dikalangan masyarakat Kasta Bali.
Dalam perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dua sistem perkawinan ini, walaupun ada beberapa daerah yang masih mempertahankan guna kepentingan kerabat dan harta warisan.

C.    Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat
Sebagaimana telah disebutkan diatas, perkawinan secara Hetherogammi merupakan pengaruh dari hukum islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan  mencari calon istri dari luar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dari batas-batas nasab  atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.

Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.

Perkawinan bermadu atau seorang suami mempunyai lebih dari satu istri terdapat hampir disemua lingkungan masyarakat.didalam masyarakat hukum islam beristri lebih dari satu adalah sah berdasarkan Q.S An-Nisa’ : 3 yang artinya:
”Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua, tiga atau empat tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja.”
Tetapi untuk berlaku adil itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan segi keadilannya.

Dengan berlakunya UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 jiwa ketentuan Al-Quran itu disalurkan dalam pasal 3 yang menyatakan:
1.    Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.    Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kebolehan beristri lebih dari satu tersebut bisa dilaksanakan dengan peraturan atau syarat-syarat yang cukup ketat.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah
1.    Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2.    Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari pada anggota kerabat.
3.    Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4.    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.
5.    Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cakap umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6.    Perceraian ada yang diperbolehkan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak.
7.    Keseimbangan kedudukan antara suami istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku dan istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan istri yang bukan ibu rumah tangga.
Dengan berlakunya UU nomor 1 tahun1974, diharapkan agar masyarakat adat dapat menyesuaikan hukum adatnya.

D.    Perceraian Dan Akibat-akibatnya
1.    Perceraian
Perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela. Perceraian menurut islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah.
Dalam UU npmor 1 tahun 1974 pasal 39 yang dikatakan : Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

Didalam penjelasan dari pasal 39 tersebut dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a.    Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk atau pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.    Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
c.    Salah satu pihak mendapat hukuman penjara  lima tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung.
d.    Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan kepada pihak yang lain.
e.    Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.    Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapanakan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

1.    Akibat-akibat Perceraian
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian,perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pasal 38 UU nomor 1 tahun 1974. Dalam hukum adat, pada umumnya tidak ada kesamaan mengenai akibat putusnya perkawinan itu terhadap anak-anak, kekerabatan, dan harta kekayaan.

1.    Akibat Perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a.    Dilingkungan masyarakat patrilineal
Dimasyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus perkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada didalam kekerabatan suami. Jadi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dam pendidikan anak dimana saja mereka berada adalah ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan ibu atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataanya ibu dan kerabat ibunya yang memelihara dan mendidiknya.
Bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka penyelesaiannya dilakukan oleh kerabat kedua belah pihak, dan kerabat yang lebih menentukan adalah kerabat pihak suami.

b.    Dilingkungan masyarakat matrilineal
Didalam masyarakat matrilineal apabila terjadi perceraian maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Bisa terjadi anak ikut bersama ayahnya, jika perkawinan ayah dan ibunya semula adalah berbentuk semenda. Tetapi pada dasarnya si anak tetap berkedudukan dipihak ibu dan kerabat ibunya.
Tetapi apabila bentuk perkawinan yang putus itu semenda nunggu dimana suami istri semula berkedudukan ditempat kerabat istri hanya untuk waktu sementara nunggu guna memmbantu kehidupan orang tua istri, mak jika putusnya perkawinan  karena suami wafat, maka seharusnya kedudukan si anak berada dipihak suami oleh karena anak adalah warisan ayahnya atau kerabat ayahnya.

c.    Dilingkungan masyarakat bilateral
Putusnya perkawinan dilingkungan masyarakat bilateral yang disebabkan karena perceraian, maka kedudukan anak tergantung keadaan. Biasanya jika putus perkawinan karena perceraian, anak-anak yang sudah besar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
Sangatlah berbeda daripaa masyarakat patrilineal, dimana kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak terletah lebih berat dipihak ayah, dan masyarakat matrilineal pada pihak ibu,maka pada masyarakat bilateral kewajiban itu berimbang.


2.    Akibat bagi harta perkawinan
a.    Dilingkungan masyarakat patrilineal
Bila terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri dan maskawin. Kemudian jika karena perceraian itu istri orang tua dan kerabatnya menuntut agar harta bawaan istri dikembalikan, dan harta pencaharian serta hadiah perkawinan dibagi dengan istri, maka berarti pihak kerabat istri sudah menghendaki tidak saja putus perkawinan suami istri tetapi juga putus hubungan kekerabatan. Didalam hal demikian jika tuntutan itu diluluskan oleh pihak kerabat suami, maka semua pembayaran adat uang jujur dan biaya-biaya adat yang telah diterima kerabat istri sebelum perkawinan harus dikembalikan kepada kerabat suami. Dan bila perlu pihak suami dapat menuntut ganti kerugian lainnya.

b.    Dilingkungan masyarakat matrilineal
Dalam masyarakat matrilineal, jika putus perkawinan karena perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat istri. Walaupun demikian, pada masyarakat dimana terdapat keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya, atau hidup bermata pencaharian tanpa ikatan dengan harta peninggalan (harta pusaka), maka jika terjadi perceraian maka pembagian atas harta pencaharian, apabila peranan kedua suami istri dalam usaha mereka bermata pencaharian itu berimbang.

c.    Dilingkungan masyarakat parental/bilateral
Jika putusnya perkawinan dalam masyarakat bilateral diakibatkan karena perceraian, maka akibatnya bagi harta perkawinan adalah:
1)    Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya kedalam perkawinan.
2)    Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang menghasilkannya.
3)    Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
Dan dalam melakukan pembagian harta perkawinan itu diperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa pemeliharaan dan pendidikan si anak diserahkan.

E.    Fungsi Harta Perkawinan
 
Menurut hukum adat yang dimaksud harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencarian harta bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Harta perkawinan merupakan harta kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehati-hari bagi suami istri dan anak-anaknya, didalam suatu somah (serumah), didalam suatu rumah tangga kecil (gezin), dan satu rumah tangga keluarga besar (famili) yang setidak-tidaknya menyertakan kakek atau nenek atau yang kedua-duanya.

Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, sebagaimana dibawah ini:
1.    Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
2.    Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
3.    Harta yang diperoleh/dikuasai suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
4.    Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah perkawinan.

F.    Pemisah Harta Perkawinan

Harta perkawinan itu dapat digolongkan ke dalam empat macam :
1.    Harta bawaan
Harta bawaan ini dapat kita bedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian/hadiah.
a.    Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris secar bersama. Harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi pada setiap ahli waris. Para ahli waris hanya berhak memakai saja.
b.    Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga.
c.    Harta hibah/wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat, misalnya hibah dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus. Harta bawaan/hibah/wasiat itu dikuasai oleh suami/istri yang menerimanaya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan amanah yang menyertai harta itu. Harta hibah ini kemudian dapat diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat setempat.
d.    Harta pemberian/hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik. Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang dikuasai atau dimiliki suami istri yang berasal dari warisan terpisah dari yang berasal dari hibah sampai barang-barang tersebut dapat diteruskan kepada anak-anak mereka.

2.    Harta penghasilan (perseorangan)
Sebelum melangsukan perkawinan suami atau istri adakalanya telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat, dari hasil usaha sendiri, termasuk juga utang piutang perseorangannya. Pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa musyawarah dengan anggota keluarga/kerabat lain.
Harta kekayaan penghasilan suami didaerah Sumatera Selatan sebelum perkawinan disebut barang pembujangan, sedangkan harta istri sebelum perkawinan disebut harta penantian.
Didaerah Jawa Barat dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin, maka hasil suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik istri itu sendiri, walaupun suami bersusah payah membantu dengan tenaganya.
Didaerah Jawa Tengah semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami itu sendiri. Jika suami seorang yang kaya sedangkan istri miskin walupun istri itu membantu suami dalam melaksanakan usaha itu, tetapi ia tidak berhak atas penghasilannya, ia akan dapat pemberian dari suami atas dasar belas kasih.

3.    Harta pencaharian (bersama)
Bermodal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing, dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinannya, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga yang bahagia dan kelak mereka beruasaha dan mencari rezeki bersama-sama,sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.
Ada kalanya dalam melaksanakan usaha bersama, suami istri saling bantu membantu. Didalam melaksanakan usaha dan memanfaatkan harta pencaharian, selanjutnya suami istri mengadakan kesepakatan/bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan bersama. Tidak semua keputusan yang diambil suami telah disepakati istri, karena keputusan suami dapat saja ditolak oleh istri.
Misalnya suami membuat perjanjian hutang piutang tanpa sepengetahuan istrinya dan pula tanpa persetujuan istrinya. Maka apabila istri menolak pembayarannya, yang harus bertanggung jawab hanya suami dengan harta kekayaannya sendiri. Demikian pula sebaliknnya.

4.    Hadiah perkawinan

Segala harta pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan. Tetapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita dan yang diterima oleh kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.

Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan dapat dimasukkan dalam harta bawaan suami. Sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum perkawinan adalah harta bawaan istri. 

Tetapi semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai bersandingan dan menerima ucapan selamat dari para hadirin, adalah harta bersama kedua suami istri yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat. Harta itu hanya dibawah pengaruh kekuasaan orangtua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai yang bersangkutan. Hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersama uami istri.

Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat pernikahan merupakan pemberian perkawinan suami, begitu juga pemberian perhiasan dari suami kepada istri, maka berkedudukan pemberian ini sama dengan maskawin yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari istri tersebut.

G.    Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami Istri Dlam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri, maka sudah tentu harta perkawinan itu menjadi milik pihak istri. Tetapi apabila harta dalam perkawinan itu diperoleh suami maka sudah barang tentu harta itu menjadi milik suami.


















METODE ILMIAH

                                                                  METODE ILMIAH
                                        Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
                                                                  Metodologi Penelitian

                                                                    Dosen pengampu :
                                                             Dr. Abid Rohmanu, M.H.I
                                                                       Disusun Oleh :
                                                                        Azka Arrozi
                                                                       Bayyad Saiful
                                                                    Binti Munawaroh

                                                                 JURUSAN SYARIAH
                                                       PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
                        SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                              2015

                                                                             BAB I
                                                                   PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar. Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan mendengar dan minat yang besar.
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah.

B.    RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian metode ilmiah?
2.    Kriteria-kriteria apa saja yang tercantum dalam metode ilmiah?
3.    Langkah-langkah apa saja yang diperlukan dalam membuat metode ilimiah?

                                                                             BAB II
                                                                    PEMBAHASAN

A.    METODE ILMIAH

Manusia sebagai makhluk Tuhan selalu menghadapi berbagai masalah dan upaya penyelesaiannya sangat bergantung kepada tekad dan kesanggupan manusia untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam kehidupannya. Penelitian memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah, disamping akan menambah ragam pengetahuan lama.
Dalam memecahkan suatu masalah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari pertimbangan subyektif. Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh banyak orang.
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis,empiris, dan terkontrol.
Menurut Almadk (1939)  metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu, karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu, tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala, tanpa dapat disadari hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.

B.    KRITERIA METODE ILMIAH
Agar suatu metode yang digunakan dalam suatu penelitian disebut dengan metode ilmiah, maka ia harus memiliki sejumlah kriteria, yaitu:
a.    Berdasarkan fakta.
Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang dianalisis harus didasarkan fakta-fakta, dan bukan merupakan penemuan atau pembuktian yang didasarkan pada daya khayal, kira-kira, legenda, atau kegiatan sejenis.

b.    Bebas dari prasangka.
Metode ilmiah harus memiliki sifat bebas dari prasangka, bersih dan jauh dari pertimbangan-pertimbangan subjektif. Menggunakan suatu fakta  harus dengan alasan atau bukti lengkap dan pembuktian yang objektif.

c.    Menggunakan prinsip analisis.
Dalam memahami serta memberi arti terhadap fenomena yang kompleks harus menggunakan prinsip analisis. Semua masalah harus dicari dan temukan sebab musabab serta pemecahannya dengan menggunakan analisis yang logis. Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat deskripsinya saja. Akan tetapi, semua kejadian harus dicari sebab akaibat dengan menggunakan analisis tajam.

d.    Menggunakan hipotesis.
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir dengan menggunakan analisis. Hipotesis harus ada untuk mengakumulasi permasalahan serta memadu jalan pikiran kearah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran yang tepat. Hipotesis merupakan pegangan yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.

e.    Menggunakan ukuran obyektif.
Kerja penelitian dan analisis harus dinyatakan dengan ukuran objektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara objektif dan dengan menggunakan pikiran yang sehat.

f.    Menggunakan teknik kuantifikasi.
Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus digunakan, kecuali untuk atribut-atribut yang tidak dikuantifikasikan. Oleh karena itu harus dihindari ukuran-ukuran semisal sejauh mata memandang, sejauh batang rokok, dan sebagainya. Kuantifikasi yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ranking, dan rating.

C.    BEBERAPA LANGKAH DALAM METODE ILMIAH

Dalam suatu penelitian dengan menggunakan metode ilmiah sekurang-kurangnya dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:

a.    Merumuskan serta mendefinisikan masalah
Langkah pertama dalam meneliti adalah dengan menetapkan masalah yang akan dipecahkan untuk menghilangkan keragu-raguan, masalah tersebut harus didefinisikan secara jelas, termasuk cakupan atau lingkup masalah yang akan dipecahkan.

b.    Mengadakan studi kepustakaan
Setelah masalah dirumuskan, langkah kedua yang dilakukan dalam mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnnya dimana ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan diperpustakaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan oleh seorang peneliti. Adakalanya perumusan masalah dan studi kepustakaan dapat dikerjakan secara bersamaan.

c.    Memformulasikan hipotesis
Setelah diperoleh informasi mengenai hasil penelitian, ahli lain yang ada sangkut pautnya dengan masalah yang ingin dipecahkan, maka selanjutnya peneliti memformulasikan hipotesis-hipotesis untuk penelitian. Hipotesis tidak lain adalah kesimpulan sementara tentang hubungan antar variabel atau fenomena dalam penelitian.

d.    Menetukan model untuk menguji hipotesis
Setelah hipotesis ditetapkan adalah selanjutnya adalah merumuskan cara-cara untuk menguji hipotesis. Pada bidang ilmu-ilmu sosial yang telah lebih berkembang, semisal ilmu ekonomi, pengujian hipotesis didasarkan pada kerangka analisis yang telah ditetapkan. Model matematis dapat juga dibuat untuk merefleksikan hubungan antar fenomena yang secara implisit terdapat dalam hipotesis untuk diuji dengan teknik statistik yang ada. Pengujian hipoteis menghendaki data yang dikumpulkan untuk keperluan tersebut, dimana data tersebut dapat berupa data primer ataupun data sekunder yang akan dikumpulkan oleh peneliti.

e.    Mengumpulkan data
Peneliti memerlukan data untuk menguji hipotesis. Data yang merupakan fakta tersebut digunakan untuk menguji hipotesis. Sedangkan teknik pengumpulan data dikenal bermacam-macam, tergantung pada masalah yang dipilih serta metode penelitian yang akan digunakan.

f.    Menyusun, menganilisis dan memberi Interpretasi
Setelah data terkumpul, peneliti menyusun data untuk mengadakan analisis. Sebelum analisis dilakukan, data tersebutdisusun terlebuh dahulu untuk mempermudah analisis. Penyususnan data dapat dalam bentuk tabel ataupun dengan membuat coding untuk analisis dengan menggunakan bantuan komputer. Sesudah data dianalisis, maka selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap data yang tersaji tersebut.

g.    Membuat generalisasi dan kesimpulan
Setelah tafsiran diberikan, maka peneliti membuat generalisasi dari temuan-temuannya dan selanjutnya memberikan berupa kesimpulan. Generalisasi dan kesimpulan ini harus berkaitan dengan hipotesis yang ada. Dalam arti, apakah hipotesis benar untuk diterima, ataukah hipotesis tersebut ditolak. Apakah hubungan antar fenomena yang diperoleh akan berlaku secara umum ataukah hanya berlaku pada kondisi khusus saja. Ditentukan juga saran atau rekomendasi dari hasil penelitian dan bagaimana pula implikasinya, misalnya untuk suatu kebijaksanaan.

h.    Membuat laporan ilmiah
Langkah akhir dari suatu penelitian ilmiah adalah membuat laporan ilmiah  tentang hasil-hasil yang diperoleh dari kegiatan penelitian tersebut. Secara teknis penulisan laporan ilmiah ini juga mengikuti aturan ataupun teknik yang ada.

REVIEW SKRIPSI

Pernikahan Dengan Pemalsuan Wali Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ilustrasi Skripsi
Penilitian ini dilatarbelakangi adanya suatu pernikahan jika dilangsungkan tanpa adanya wali maka pernikahan tersebut tidak sah, karena di Indonesia pada umumnya menganut paham madzhab syafi’i yang menganggap wali adalah salah satu rukun pernikahan. Sebagian besar ketetapan hukumnya tercantum dalam hukum Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis induktif, yaitu menganalisis produk KHI tentang perwalian dalam pernikahan kemudian disimpulkan secara komprehensif.
Teknik pengumpulan data kajian ini merupakan kajian kepustakaan, sumber datanya adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari nash-nash al-Quran dan Sunnah, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum dan kitab-kitab fiqh. Sedangkan sumber tambahan (sekunder) merupakan kajian-kajian yang membahas tentang konsep pemalsuan wali dalam pernikahan yang diperoleh dari berbagai media.
Penelitian skripsi ini memberikan kesimpulan bahwa menurut pandangan KHI pernikahan dengan pemalsuan wali tersebut batal. Karena dalam pasal 71 huruf e dinyatakan bahwa “suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila pernikahan dilangsungkan oleh wali yang tidak berhak”.

HASIL RIVIEW
Dari skripsi tersebut tidak disebutkan secara spesifik mengenai pendekatan yang digunakan, hanya menyebutkan metode kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis induktif. Dalam skripsi ini data yang dikumpulkan menggunakan teknik kajian kepustakaan dan wawancara dengan beberapa orang saja.
Yang juga menjadi kekurangan dalam skripsi ini adalah tidak disebutkan mengenai pengambilan sampel (sampling) yang digunakan dalam penelitian. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, karena sampling juga menentukan validitas  dari suatu hasil penelitian..
Berkaitan  dengan pemalsuan wali serta berdasarkan pada kesimpulan dari hasil penelitian ini, realisasi pelaksanaannya kadang mencukupi, dan kadang kurang dari cukup. Sedangkan pemalsuan wali itu sendiri ada banyak ditempat lain, tidak hanya tiga orang saja. Ataukah ini terkait dengan masalah fokus dan pembatasan lokasi penelitian, sehingga penelitian tidak akan melebar kemana- mana.
Dalam skripsi ini juga hanya disebutkan akibat hukum pernikahan dengan pemalsuan wali nikah, dan tidak dijelaskan secara rinci bagaiman penyelesaiannya. Karena hanya beracuan dari Kompilasi Hukum Islam, tidak ada sampel lain yang manguatkan penelitian ini.

                                                                             BAB III
                                                                       KESIMPULAN

Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Tidak semua pengetahuan disebut ilmu, karena ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam metode ilmiah.

Kriteria metode ilmiah adalah:
1.    Berdasarkan fakta
2.    Bebas dari prasangka
3.    Menggunakan proses analisis
4.    Menggunakan hipotesis
5.    Menggunakan ukuran objektif
6.    Menggunakan teknik kuantifikasi

Langkah-langkah metode ilmiah:
a.    Merumuskan serta mendefinisikan masalah
b.    Mengadakan studi kepustakaan
c.    Memformulasikan hipotesis
d.    Menetukan model untuk menguji hipotesis
e.    Mengumpulkan data
f.    Menyusun, menganilisis dan memberi Interpretasi
g.    Membuat generalisasi dan kesimpulan
h.    Membuat laporan ilmiah

                                                                DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat.1974.Pengantar Antropologi.Jakarta: Aksara Baru.

Sunggono, Bambang .Metodologi Penelitian Hukum.2011.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Sosiologi: KEKUASAAN, KEWEWENANGAN DAN KEPEMIMPINAN

                                KEKUASAAN, KEWEWENANGAN DAN KEPEMIMPINAN
                                          Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
                                                                            Sosiologi


                                                                     Dosen pengampu :
                                                         Syamsul Wathoni, S.H.I., M.SI.
                                                                       Disusun Oleh :
                                                                     M. Bisri Mustofa
                                                                         Fredi David
                                                                     Binti Munawaroh

                                                               JURUSAN SYARIAH
                                                      PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
                     SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
                                                                           2015

                                                                         BAB I
                                                               PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Dalam ilmu sosiologi, kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, dimana pemimpin selalu ada dalam berbagai kelompok baik kelompok besar seperti pemerintahan maupun kelompok kecil seperti kelompok RT sampai kelompok ibu-ibu arisan.
Dari sekelompok individu dipilih salah satu yang mempunyai kelebihan di antara individu yang lain, dari hasil kesepakatan bersama, maka munculah seorang yang memimpin dan di sebut sebagai pemimpin. Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
Dari kepemimpinan itu, maka munculah kekuasaan. kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
Seorang pemimpin mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengarahkan anggota-anggotanya. Selain itu, pemimpin juga mempunyai wewenang untuk memerintah anggotanya. Wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
Maka kepemimpinan tidak akan pernah lepas dari kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur anggota-anggotanya. Dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana hakikat kepemimpinan, kekeuasaan, dan kewenangan yang sebenarnya karena dilihat masih banyaknya orang yang menjadi pemimpin namun menyalah gunakan kekuasaannya dan kewenangannya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian kepemimpinan, kekuasaan, dan kewenangan?
2.    Apa sumber kekuasaan, dan bagaimana cara mempertahankan kekuasaan?
3.    Apa bentuk-bentuk wewenang?
4.    Bagaimana sifat dan tugas-tugas seorang pemimpin?

BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Definisi Kekuasaan, Wewenang, dan Kepemimpinan

-    KEKUASAAN
Definisi kekuasaan, manurut para ahli sosiologi, yaitu :
a.    Max weber, kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
b.    Selo soemardjan dan soelainan soemardi, menjelaskan bahwa adanya kekuasaan tergantung dari yang berkuasa dan yang dikuasai.
c.    Ralf dahrendorf, kekuasaan adalah milik kelompok, milik individu dari pada milik struktur social.
d.    Soerjono soekanto, kekuasaan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.
-    WEWENANG
Definisi wewenang, menurut para ahli sosiologi, yaitu :
1.    George R.Terry, menjelaskan bahwa wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
2.    Mac Iver R.M, wewenang merupakan suatu hak yang didasarkan pada suatu pengaturan social, yang berfungsi untuk menetapkan kebijakan, keputusan, dan permasalahan penting dalam masyarakat. 
3.     Soerjono Soekanto, bila orang-orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang.
4.    Max weber, wewenang adalah sebagai kekuasaan yang sah.
-    KEPEMIMPINAN
Definisi kepemimpinan, diantaranya:
a.     Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama.
b.    Kepemimpinan adalah pengawalan dan pemeliharaan suatu struktur dalam harapan dan interaksi.
c.    Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.

B.    KEKUASAAN
 
1.    Sumber-sumber Kekuasaan
Sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki para penguasa atau pemimpin, dalam masyarakat informal maupun formal adalah :
a)    Seseorang yang mempunyai harta benda (kekayaan) yang lebih banyak, sehingga mempunyai keleluasan untuk bergerak dan mempengaruhi pihak lain.
b)    Dengan status tertentu, seseorang dapat memberikan pengaruhnya atau memaksa pihak lain supaya melakukan sesuatu sesuai kehendaknya.
c)    Wewenang legal atas dasar peraturan-peraturan formal (hukum) yang dimiliki seseorang, dapat memberikan kekuasaan pada seseorang untuk mempengaruhi pihak lain sesuai dengan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketetapan dalam peraturan.
d)    Kekuasaan dalam pula tumbuh dari adanya kepercayaan khalayak, seperti tradisi, kesucian, dan adat istiadat.
e)    Kekuasaan yang tumbuh dari khrisma atau wibawa seseorang.
f)    Kekuasaan yang didasarkan pada pedelegasian wewenang.
g)    Kekuasaan yang tumbuh dari pendidikan, keahlian, serta kemampuan.
2.    Unsur-unsur Kekuasaan
Soerjono Soekanto mengambarkan beberapa unsur kekuasaan yang dapat dijumpai pada hubungan sosial antara manusia maupun antar kelompok, yaitu yang meliputi :
1.    Rasa Takut
Perasaan takut pada seseorang pada orang lain menimbulkan suatu kepatuhan terhadap segala kemauan dan tidakan pada orang yang ditakuti tadi; rasa takut ini bernuansa negatif, karena orang tersebut tunduk pada orang lain dalam keadaan yang terpaksa. Untuk menghindari dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya, seseorang atau sekelompok orang akan patuh atau berbuat apa saja sesuai dengan keinginan fihak yang ditakutinya. Disamping kepatuhan, adakalanya secara disadari atau tidak orang atau sekelompok orang itu meniru tindakan orang-orang yang ditakuti (disebut sebagai matched dependend behavior) . Rasa takut merupakan gejala umum yang terdapat dimana-mana, dan bila dilekatkan pada suatu pola pemerintahan negara rasatakut ini biasanya dipergunakan sebaik-baiknya dalam masyarakat dengan pemerintahan otoriter.
2.    Rasa Cinta
Unsur kekuasaan dengan perasaan cinta menghasilkan perbuatan-perbuatan yang bernuansa positif, orang-orang dapat bertindak sesuai dengan keinginan yang berkuasa, masing-masing fihak tidak merasakan dirugikan satu sama lain. Reaksi kedua belah fihak, yaitu antara kekuasaan dan yang dikuasai, bersifat positif, dari keadaan ini maka suatu sistem kekuasaan dapat berjalan dengan baik dan teratur.
3.    Kepercayaan 
Suatu kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung dari dua orang atau lebih, satu fihak secara penuh percaya pada fihak lainnya, dalam hal ini pemegang kekuasaan, terhadap segenap tindakan sesuai dengan peranan yang dilakukannya; dengan kepercayaannya ini maka orang-orang akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh penguasa. Unsur kepercayaan ini penting ditumbuhkan untuk melanggengkan suatu bentuk kekuasaan.
4.    Pemujaan
Suatu perasaan cinta atau sistem kepercayaan mungkin pada suatu saat dapat disangkal oleh orang lain; akan tetapi dalam sistem pemujaan, maka seseorang, sekelompok orang, bahkan hampir seluruh warga masyarakat akan selalu menyatakan pembenaran atas segala tindakan dari penguasanya, ke dalam maupun ke luar masyarakat.
3.    Cara Mempertahankan Kekuasaan
Setiap penguasa yang telah memegang kekuasaan di dalam masyarakam, demi stabilnya masyrakat tersebut, akan berusaha untuk mempertahankannya. Cara-cara atau usaha-usaha yang dapat dilakukannya adalah antara lain :
1.    Dengan jalan menghilangkan segenap peraturan-peraturan lama, terutama dalam bidang politik, yang merugikan kedudukan penguasa, dimana peraturan-peraturan tersebut akan menguntungkan penguasa, keadaan tersebut biasanya terjadi pada waktu ada pergantian kekuasaan dari seseorang penguasa kepada pennguasa lain (yang baru);
2.    Mengadakan sistem-sistem kepercayaan yang akan dapat memperkokoh kedudukan penguasa atau golongannya, yang meliputi agama, ideologi dan seterusnya;
3.     Pelaksanaan administrasi dan birokrasi yang baik;
4.     Mengadakan konsolidasi horizontal dan vertikal. 

C.    KEWEWENANGAN

Sebagaimana halnya dengan kekuasaan, wewenang juga dapat dijumpai di mana-mana, walaupun tidak selamanya kekuasaan dan wewenang berada di satu tangan. Wewenang dimaksudkan sebagai suatu hak yang telah ditetapkan dalam tata tertib sosial untuk menetapkan kebijaksa¬naan, menentukan keputusan-keputusan mengenai masalah-masalah penting, dan untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangann. Dengan kata lain, seseorang yang mempunyai wewenang bertindak sebagai orang yang memimpin atau membimbing orang banyak. Apabila orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. Tekanannya adalah pada hak, dan bukan pada kekuasaan.
Dipandang dari sudut masyarakat, kekuasaan tanpa wewenang meru¬pakan kekuatan yang tidak sah. Kekuasaan harus mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari masyarakat agar menjadi wewenang. Wewenang hanya mengalami perubahan dalam bentuk. Berdasarkan kenyataannya wewenang tadi tetap ada. Perkembangan suatu wewenang terletak pada arah serta tujuannya untuk sebanyak mungkin memenuhi bentuk yang diidam-idamkan masyarakat. Wewenang ada beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut:
1.    Wewenang Kharismatis, Tradisional, dan Rasional (Legal)
Perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional, dan rasional (legal) dikemukakan oleh Max Weber. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang. Kemampuan khusus tadi melekat orang tersebut karena anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wewenang tradisional dapat dipunyai oleh seseorang maupun seke¬lompok orang. Dengan kata lain, wewenang tersebut dimiliki oleh orang-orang yang menjadi anggota kelompok, yang sudah lama sekali mempunyai kekuasaan di dalam suatu masyarakat. Wewenang tadi dipunyai oleh seseorang atau sekelompok orang bukan karena mereka mempunyai kemampuan-kemampuan khusus seperti pada wewenang kharismatis, tetapi karena kelompok tadi mempunyai kekuasaan dan wewenang yang telah melembaga clan bahkan menjiwai masyarakat.
Wewenang rasional atau legal adalah wewenang yang disandarkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. sistem hukum ini dipahamkan sebagai kaidah yang telah diakui, ditaati masyarakat, dan telah diperkuat oleh Negara.

2.    Wewenang Resmi dan Tidak Resmi
Wewenang yang berlaku dalam kelompok-kelompok kecil disebut wewenang tidak resmi karena bersifat spontan, situasional, dan factor saling kenal. Contohnya pada cirri seorang ayah dalam fungsinya sebagai kepala rumah tangga atau pada diri seorang yang sedang mengajar di kelas.
Wewenang resmi sifatnya sistematis, diperhitungkan dan rasional. Biasanya wewenang ini dapat dijumpai pada kelompok-kelompok besar yang memerlukan aturan-aturan tata tertib yang tegas dan bersifat tetap.

3.    Wewenang Pribadi dan Teritorial
Wewenang pribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota-anggota kelompok, dan unsur kebersamaannya sangat berperan penting. Para individu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris, yaitu dari satu titik pusat lalu meluas melalui lingkaran-lingkaran wewenang.
Wewenang territorial, yang berperan penting yaitu tempat tinggal. Pada kelompok teroterial unsure kebersamaan cendrung berkurang, karena desakan factor-faktor individualisme. Wewenang pribadi dan territorial sangat berbeda namun dalam kenyataan keduanya berdampingan.  
   
4.    Wewenang Terbatas dan Menyeluruh
Wewenang terbatas merupakan wewenang yang tidak mencangkup semua sector dalam bidang kehidupan, namun terbatas pada salah satu sector bidang. Contohnya, seorang mentri dalam negri tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan yang yang menjadi urusan wewenang mentri luar negri.
        Wewenang meenyeluruh berarti suatu wewenang yang tidak dibatasi oleh bidang-bidang kehidupan tertentu. Contohnya, bahwa setiap Negara mempunyai wewenang yang menyeluruh atau mutlak untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya.

D.    KEPEMIMPINAN
 
Sifat-sifat Kepemimpinan :
1.    Kepemimpinan otokratis, merupakan bentuk kepemimpinan yang relatif ditentukan sendiri, merupakan hukum sendiri, dimana seorang pemimpin disini menguasai segala-galanya.
2.    Kepemimpinan paternalistis, merupakan bentuk kepemimpinan yang hampir sama dengan bentuk otokratis, namun disini seorang pemimpin masih memerlukan konsultasi dengan fihak-fihak yang dianggap dapat membantu permasalahan-permasalan yang dihadapinya; kebutuhan-kebutuhan dan keinginan orang lain masihdiperhatikan, namun keputusan terakhir ada pada tangan seorang pemimpin.
3.    Kepemimpinan demokratis, merupakan bentuk kepemimpinan yang paling dianggap populer pada masyarakat yang telah maju, karena pola kepemimpinannya dianggap lebih aspiratif dan lebih bisa dipertanggung jawabkan, karena orang banyak ikut berperan dalam kebijakan-kebijakan seorang pemimpin.
4.    Kepemimpinan eksekutif, merupakan bentuk kepemimpinan yang biasanya tampil di belakang layar, bentuk ini sering tampil sebagai kelompok kecil atau wakil yang mendukung seorang pempinan.
Tugas-tugas pemimpin:
Secara sosiologis, tugas-tugas pokok seorang pemimpin adalah :
a.    Memberikan suatu kerangka pokok yang jelas yang dapat dijadikan pegangan bagi pengikut-pengikutnya. Dengan adanya kerangka pokok, maka dapat disusun suatu sekala prioritas mengenai keputusan yang perlu diambil untuk menangani masalah-masalah yang dihadapi.
b.    Mengawasi, mengendalikan, serta menyalurkan perilaku warga masyarakat yang dipimpinnya.
c.    Bertindak sebagai wakil kelompok kepada dunia di luar kelompok yang dipimpin.

                                                                            BAB III
                                                                     KESIMPULAN

Kekuasaan, wewenang, dan kepemimpinan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat penting dalam kehidupan kelompok social di masyarakat.
kekuasaan adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan social yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa mengiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu.
wewenang merupaka hak jabatan yang sah untuk memerintahkan orang lain bertindak dan untuk memaksa pelaksanaannya. Dengan wewenang, seseorang dapat mempengaruhi aktifitas atau tingkah laku perorangan dan grup.
Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dan diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.
Sumber kekuasaan terdiri dari harta benda, status, wewenang legal, charisma, dan pendidikan. Selain itu unsure kekuasaan juga berpengaruh yaitu meliputi: rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, dan pemujaan. Lapisan kekuasaan yaitu tipe kata, tipe oligarkis, dan tipe demokratis.
Bentuk wewenang terdiri dari:
1.      Wewenang karena charisma, tradisional, dan rasional.
2.      Wewenang resmi dan tidak resmi.
3.      Wewenang pribadi dan territorial.
4.      Wewenang terbatas dan menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani.2007.SOSIOLOGI “skematika, teori, dan terapan”.Bumi aksara : Jakarta.

Soekanto, Soerjono.2012. Sosiologi Suatu Pengantar.PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta.

RESUME MOBILITAS SOSIAL URAIAN DISKRIPSI



RESUME MOBILITAS SOSIAL
URAIAN DISKRIPSI
Bapak Samuji berumur 40 tahun, tinggal di Desa Sumberejo Kecamatan Balong Kabupaten Ponorogo. Beliau mempunyai anak satu yang sekarang sekolah di Al-Mawadah. Sekarang Beliau seorang peternak dan petani sukses. Beliau mempunyai 400 ekor bebek dan mempunyai 1 hektar kebut sawit di daerah Jambi.

Dulu bapak Samuji adalah anak seorang petani biasa, dari keluarga yang biasa. Dengan kerja keras beliau, mampu sekolah sampai STM. Dan pemuda pada masanya dulu sangat susah mencari pekerjaan.
Dulu kerja hanya srabutan, kadang kesawah, jadi tukang bangunan, dan pekerjaan yang lain yang menghasilkan uang, apa pun itu. Tapi dipikir-pikir pekerjaan itu tidak mampu membuat hidupnya semakin maju.

Akhirnya pada tahun 1992 beliau mendaftar sebagai TKI ke Korea, dulu mendafatr TKI di Korea sangat susah, mengikuti tes berkali-kali. tapi dengan kegigihannya beliau berhasil lulus dan berangkat bekerja di Korea di pabrik tekstil.

Beliau bekerja disana bertahun-tahun, kontrak habis perpanjang lagi dan seterusnya. Sampai 5 tahun disana beliau pulang untuk menikah, setelah menikah dan istrinya hamil berangkat lagi ke Korea. Jadi waktu anaknya lahir beliau tidak ada dirumah. Masih ada di Korea.

Beliau memperpanjang kontrak lagi dan pindah dipabrik pulpen. Sampai saat ini beliau pulang dan tidak ke Korea lagi kare usia yang sudah tidak diperbolehkan untuk bekerja lagi disana.

Akan tetapi selama bertahun-tahun di Korea membuahkan hasil yang luar biasa. Dengan semangatnya beliau mampu membeli 1 hektar kebun sawit di Jambi, beternak bebek 400 ekor, membeli mobil, memperbaiki rumah, dan mempunyai banyak sawah juga didesanya.

Keberhasilan beliau sampai saat ini bisa sukses, dan mampu menerima uang setiap bulan dari kebun dan ternaknya karena semangat, kerja keras, kegigihan untuk merubah kehidupannya yang dulu tidak punya apa-apa sekarang bisa sukses.

ANALISIS
Mobilitas sosial adalah perubahan, pergeseran, peningkatan ataupun penurunan status dan peran anggotanya. Menurut Paul B. Horton mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu kestata yang lainnya.
Jenis-jenis mobilitas sosial adalah
Mobilitas sosial dibagi menjadi beberapa bentuk yaitu mobilitas vertikal, horizontal, dan antar generasi. Mobilitas vertikal merupakan pepindahan status sosial yang dialami seseorang atau sekelompok warga pada lapisan sosial yang berbeda. sedangkan mobilitas horizontal adalah perpindahan status sosial seseorang atau sekelompok orang dalam satu lapisan. Adapun mobilitas sosial verikal ada 2 yaitu:
1.      Mobilitas sosial vertikal naik
2.      Mobilitas sosial vertikal ke bawah
Dalam kasus diatas bapak Samuji dari seorang anak petani biasa menjadi petani peternak sukses merupakan jenis mobilitas sosial vertikal naik. Karena kehidupan ekonominya meningkat dari yang tidak mampu sekarang menjadi orang kaya.