HUKUM ADAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat
Dosen pengampu :
Drs. Munawir, M.Hum
Disusun Oleh :
ZIKRI FADLI AS
BISRI MUSTAFA
EKO SANTOSO
JURUSAN SYARIAH
PRODI AHWAL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) PONOROGO
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan berkah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penyusun. Sehingga dapat menyelesaikan tugasnya dalam menulis resume untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat.
Resume ini disusun dengan harapan agar dapat berguna bagi para pembaca sebagai sumber referensi pembelajaran. Namun sebagaimana pepatah mengatakan,tak ada gading yang tak retak,saran dan kritik yang membangun tetap kami butuhkan guna memperdalam pengetahuan kami untuk menjadi yang lebih baik daripada sekarang.
Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan resume ini. Kepada dosen pembimbing mata kuliah Hukum Adat Bapak Drs. Munawir, M.Hum atas masukan dan nilai-nilai pelajaran yang diberikan.
Semoga Resume ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ii
PEMBAHASAN
A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat ......................................................................1
B. Sistem Perkawinan Adat ........................................................................................................1
C. Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat ....................... ............................................2
D. Perceraian Dan Akibat-akibatnya...........................................................................................4
E. Fungsi Harta Perkawinan........................................................................................................6
F. Pemisahan Harta Perkawinan..................................................................................................7
G. Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami Istri Dalam Perkawinan.......................10
BAB I
PEMBAHASAN
A. Arti Dan Tujuan Perkawinan Dalam Hukum Adat
Perkawinan didalam hukum adat menurut Ter Haar merupakan kepentingan urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi diantara satu dengan yang lain didalam hubungan yang beraneka ragam.
Perkawinan ini sekaligus juga meneruskan garis hidup (sosial), orang tuanya (atau salah satu dari orang tuanya). Dalam hubungna kerabatyang bersegi satu, maka perkawinan itu adalah juga suatu syarat yang mengatur kesanak saudaraan semenda (aanverwantschap). Perkawinan merupakan suatu bagian daripada lalu lintas dan yang menyebabkan bagian-bagian clas mempertahankan atau merubah kedudukannya, mempertahankan keseimbangan dalam sukunya, dan dalam lingkungan masyarakat seluruhnya yang bersifat sudah puasdengan seorang dirinnya (zelf genoegzaam).
Dalam suatu perkawinan yang dirancang dengan baik, maka kelas-kelas atau derajat-derajat didalam dan diluar masyarakat dipertahankan. Dengan demikian maka perkawinan itu adalah urusan derajat atau kelas.
Akan tetapi walaupun merupakanurusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masyarakat, perkawinan itu senantiasa merupakan urusan hidup perseorangan, baik perseorangan yang bersangkutan dengan urusan itu ataupun perseorangan orang-orang yang juga disegani.
B. Sistem Perkawinan Adat
Perkawinan dapat berlangsung dengan sistem Endogami maupun Exogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat bertali darah. Bisa juga dengan sistem Pleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang dipengaruhi oleh hukum islam.
Sistem Exogami, dimana seorang pria harus mencari calon istri diluar marga (klan patrilineal) dan dilarang kawin dengan wanita yang semarga, misalnya dilingkungan masyarakat Batak. Akan tetapi saat ini sistem perkawinan Exogami suah luntur. Sedangkan pada sistem perkawinan Endogami pria diharuskan mencari calon istri dilingkungan kerabat (suku) klan, famili sendiri dan dilarang mencari keluar dari lingkungan kerabat. Sistem semacam ini berlaku didaerah Toraja Tengah atau dikalangan masyarakat Kasta Bali.
Dalam perkembangan sekarang ini, tampak kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi mempertahankan dua sistem perkawinan ini, walaupun ada beberapa daerah yang masih mempertahankan guna kepentingan kerabat dan harta warisan.
C. Pengaruh Agama Islam Dalam Perkawinan Adat
Sebagaimana telah disebutkan diatas, perkawinan secara Hetherogammi merupakan pengaruh dari hukum islam, dimana seorang pria tidak lagi diharuskan mencari calon istri dari luar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dari batas-batas nasab atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.
Didalam anggota keluarga masyarakat adat yang telah maju, orang tua telah dikalahkan oleh muda mudi yang sudah tidak lagi mau terikat oleh hukum adat. Dilain pihak, peranan orang tua masih berpengaruh dalam perkawinan anak-anak mereka. Seperti dalam masyarakat Jawa orang tua masih sangat memperhatikan bibit, bebet, bobot untuk jodoh anak-anaknya. Perlu dilihat apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik, bagaimana sifat , watak perilaku dalam kesehariannya, bagaimana keadaan orangtuanya, apakah anak itu bukan anak kowar, anak kabur keinginan, dan sebagainya. Bagiamana pula bobotnya, yang berarti harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuannya. Dan bagiamana pula bebetnya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan, jabatan dan martabat yang baik dan sebagainya.
Perkawinan bermadu atau seorang suami mempunyai lebih dari satu istri terdapat hampir disemua lingkungan masyarakat.didalam masyarakat hukum islam beristri lebih dari satu adalah sah berdasarkan Q.S An-Nisa’ : 3 yang artinya:
”Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua, tiga atau empat tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka kawinlah seorang saja.”
Tetapi untuk berlaku adil itu tidak mudah, dan kenyataannya ketentuan agama ini sering banyak disalahgunakan oleh para bangsawan, para hartawan ataupun orang kebanyakan dengan melakukannya perkawinan dengan banyak istri yang tanpa memperhatikan segi keadilannya.
Dengan berlakunya UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 jiwa ketentuan Al-Quran itu disalurkan dalam pasal 3 yang menyatakan:
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Kebolehan beristri lebih dari satu tersebut bisa dilaksanakan dengan peraturan atau syarat-syarat yang cukup ketat.
Adapun asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari pada anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria atau wanita yang belum cakap umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
6. Perceraian ada yang diperbolehkan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku dan istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan istri yang bukan ibu rumah tangga.
Dengan berlakunya UU nomor 1 tahun1974, diharapkan agar masyarakat adat dapat menyesuaikan hukum adatnya.
D. Perceraian Dan Akibat-akibatnya
1. Perceraian
Perceraian baik menurut hukum adat maupun hukum agama adalah perbuatan tercela. Perceraian menurut islam merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah.
Dalam UU npmor 1 tahun 1974 pasal 39 yang dikatakan : Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Didalam penjelasan dari pasal 39 tersebut dikatakan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk atau pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan yang sah karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih beratsetelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan kepada pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapanakan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1. Akibat-akibat Perceraian
Putusnya perkawinan dapat terjadi akibat dari kematian,perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pasal 38 UU nomor 1 tahun 1974. Dalam hukum adat, pada umumnya tidak ada kesamaan mengenai akibat putusnya perkawinan itu terhadap anak-anak, kekerabatan, dan harta kekayaan.
1. Akibat Perceraian bagi anak-anak dan kekerabatan
a. Dilingkungan masyarakat patrilineal
Dimasyarakat patrilineal yang melakukan bentuk perkawinan jujur, apabila putus perkawinan karena kematian atau perceraian maka anak-anak tetap berada didalam kekerabatan suami. Jadi yang bertanggung jawab atas pemeliharaan dam pendidikan anak dimana saja mereka berada adalah ayah kandungnya atau semua keturunan lelaki (kerabat) ayah kandungnya, bukan ibu atau kerabat ibunya, walaupun dalam kenyataanya ibu dan kerabat ibunya yang memelihara dan mendidiknya.
Bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, maka penyelesaiannya dilakukan oleh kerabat kedua belah pihak, dan kerabat yang lebih menentukan adalah kerabat pihak suami.
b. Dilingkungan masyarakat matrilineal
Didalam masyarakat matrilineal apabila terjadi perceraian maka anak-anak berkedudukan dalam kekerabatan istri. Bisa terjadi anak ikut bersama ayahnya, jika perkawinan ayah dan ibunya semula adalah berbentuk semenda. Tetapi pada dasarnya si anak tetap berkedudukan dipihak ibu dan kerabat ibunya.
Tetapi apabila bentuk perkawinan yang putus itu semenda nunggu dimana suami istri semula berkedudukan ditempat kerabat istri hanya untuk waktu sementara nunggu guna memmbantu kehidupan orang tua istri, mak jika putusnya perkawinan karena suami wafat, maka seharusnya kedudukan si anak berada dipihak suami oleh karena anak adalah warisan ayahnya atau kerabat ayahnya.
c. Dilingkungan masyarakat bilateral
Putusnya perkawinan dilingkungan masyarakat bilateral yang disebabkan karena perceraian, maka kedudukan anak tergantung keadaan. Biasanya jika putus perkawinan karena perceraian, anak-anak yang sudah besar dapat mengikuti ayahnya dan yang masih kecil mengikuti ibunya.
Sangatlah berbeda daripaa masyarakat patrilineal, dimana kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak terletah lebih berat dipihak ayah, dan masyarakat matrilineal pada pihak ibu,maka pada masyarakat bilateral kewajiban itu berimbang.
2. Akibat bagi harta perkawinan
a. Dilingkungan masyarakat patrilineal
Bila terjadi putus perkawinan, maka istri boleh meninggalkan rumah tangga suami tanpa sesuatu hak untuk mendapatkan pembagian harta perkawinan, kecuali merupakan hak milik pribadinya, seperti harta penghasilan sendiri dan maskawin. Kemudian jika karena perceraian itu istri orang tua dan kerabatnya menuntut agar harta bawaan istri dikembalikan, dan harta pencaharian serta hadiah perkawinan dibagi dengan istri, maka berarti pihak kerabat istri sudah menghendaki tidak saja putus perkawinan suami istri tetapi juga putus hubungan kekerabatan. Didalam hal demikian jika tuntutan itu diluluskan oleh pihak kerabat suami, maka semua pembayaran adat uang jujur dan biaya-biaya adat yang telah diterima kerabat istri sebelum perkawinan harus dikembalikan kepada kerabat suami. Dan bila perlu pihak suami dapat menuntut ganti kerugian lainnya.
b. Dilingkungan masyarakat matrilineal
Dalam masyarakat matrilineal, jika putus perkawinan karena perceraian, maka yang berhak atas harta perkawinan adalah istri atau kerabat istri. Walaupun demikian, pada masyarakat dimana terdapat keluarga-keluarga yang hidup terpisah dari kerabatnya, atau hidup bermata pencaharian tanpa ikatan dengan harta peninggalan (harta pusaka), maka jika terjadi perceraian maka pembagian atas harta pencaharian, apabila peranan kedua suami istri dalam usaha mereka bermata pencaharian itu berimbang.
c. Dilingkungan masyarakat parental/bilateral
Jika putusnya perkawinan dalam masyarakat bilateral diakibatkan karena perceraian, maka akibatnya bagi harta perkawinan adalah:
1) Harta bawaan suami atau istri kembali kepada pihak yang membawanya kedalam perkawinan.
2) Harta penghasilan sendiri suami atau istri kembali kepada yang menghasilkannya.
3) Harta pencaharian dan barang hadiah ketika upacara perkawinan dibagi antara suami dan istri menurut rasa keadilan masyarakat setempat.
Dan dalam melakukan pembagian harta perkawinan itu diperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa pemeliharaan dan pendidikan si anak diserahkan.
E. Fungsi Harta Perkawinan
Menurut hukum adat yang dimaksud harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencarian harta bersama suami istri dan barang-barang hadiah.
Harta perkawinan merupakan harta kekayaan yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membiayai kebutuhan hidup sehati-hari bagi suami istri dan anak-anaknya, didalam suatu somah (serumah), didalam suatu rumah tangga kecil (gezin), dan satu rumah tangga keluarga besar (famili) yang setidak-tidaknya menyertakan kakek atau nenek atau yang kedua-duanya.
Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, sebagaimana dibawah ini:
1. Harta yang diperoleh atau dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
2. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
3. Harta yang diperoleh/dikuasai suami dan istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
4. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah perkawinan.
F. Pemisah Harta Perkawinan
Harta perkawinan itu dapat digolongkan ke dalam empat macam :
1. Harta bawaan
Harta bawaan ini dapat kita bedakan antara harta bawaan suami dan harta bawaan istri, dimana masing-masing dapat dibedakan lagi yaitu harta peninggalan, harta warisan, harta hibah/wasiat dan harta pemberian/hadiah.
a. Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orang tua untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan para ahli waris secar bersama. Harta peninggalan itu tidak terbagi-bagi pada setiap ahli waris. Para ahli waris hanya berhak memakai saja.
b. Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga.
c. Harta hibah/wasiat adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari hibah/wasiat anggota kerabat, misalnya hibah dari saudara-saudara ayah yang keturunannya putus. Harta bawaan/hibah/wasiat itu dikuasai oleh suami/istri yang menerimanaya untuk dimanfaatkan bagi kehidupan keluarga rumah tangga dan lainnya sesuai dengan amanah yang menyertai harta itu. Harta hibah ini kemudian dapat diteruskan pada ahli waris yang ditentukan menurut hukum adat setempat.
d. Harta pemberian/hadiah adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami atau istri kedalam perkawinan yang berasal dari pemberian/hadiah para anggota kerabat dan mungkin juga orang lain karena hubungan baik. Ada yang berpendapat bahwa antara barang-barang yang dikuasai atau dimiliki suami istri yang berasal dari warisan terpisah dari yang berasal dari hibah sampai barang-barang tersebut dapat diteruskan kepada anak-anak mereka.
2. Harta penghasilan (perseorangan)
Sebelum melangsukan perkawinan suami atau istri adakalanya telah menguasai dan memiliki harta kekayaan sendiri, baik berupa barang tetap maupun barang bergerak, yang didapat, dari hasil usaha sendiri, termasuk juga utang piutang perseorangannya. Pemiliknya dapat saja melakukan transaksi atas harta kekayaan tersebut tanpa musyawarah dengan anggota keluarga/kerabat lain.
Harta kekayaan penghasilan suami didaerah Sumatera Selatan sebelum perkawinan disebut barang pembujangan, sedangkan harta istri sebelum perkawinan disebut harta penantian.
Didaerah Jawa Barat dalam bentuk perkawinan antara istri kaya dengan suami miskin, maka hasil suatu harta kekayaan hasil pencaharian istri adalah hak milik istri itu sendiri, walaupun suami bersusah payah membantu dengan tenaganya.
Didaerah Jawa Tengah semua hasil pencaharian suami yang diperoleh dalam ikatan perkawinan adalah milik suami itu sendiri. Jika suami seorang yang kaya sedangkan istri miskin walupun istri itu membantu suami dalam melaksanakan usaha itu, tetapi ia tidak berhak atas penghasilannya, ia akan dapat pemberian dari suami atas dasar belas kasih.
3. Harta pencaharian (bersama)
Bermodal kekayaan yang diperoleh suami istri dari harta bawaan masing-masing, dan harta penghasilan masing-masing sebelum perkawinannya, maka setelah perkawinan dalam usaha suami istri membentuk dan membangun rumah tangga yang bahagia dan kelak mereka beruasaha dan mencari rezeki bersama-sama,sehingga dari sisa belanja sehari-hari akan dapat terwujud harta kekayaan sebagai hasil pencaharian bersama.
Ada kalanya dalam melaksanakan usaha bersama, suami istri saling bantu membantu. Didalam melaksanakan usaha dan memanfaatkan harta pencaharian, selanjutnya suami istri mengadakan kesepakatan/bermufakat dan mengambil keputusan serta persetujuan bersama. Tidak semua keputusan yang diambil suami telah disepakati istri, karena keputusan suami dapat saja ditolak oleh istri.
Misalnya suami membuat perjanjian hutang piutang tanpa sepengetahuan istrinya dan pula tanpa persetujuan istrinya. Maka apabila istri menolak pembayarannya, yang harus bertanggung jawab hanya suami dengan harta kekayaannya sendiri. Demikian pula sebaliknnya.
4. Hadiah perkawinan
Segala harta pemberian pada waktu upacara perkawinan merupakan hadiah perkawinan. Tetapi bila dilihat dari tempat, waktu dan tujuan dari pemberian hadiah itu maka harta hadiah perkawinan dapat dibedakan antara yang diterima oleh mempelai wanita dan yang diterima oleh kedua mempelai bersama-sama ketika upacara resmi pernikahan.
Hadiah perkawinan yang diterima mempelai pria sebelum upacara perkawinan dapat dimasukkan dalam harta bawaan suami. Sedangkan yang diterima mempelai wanita sebelum perkawinan adalah harta bawaan istri.
Tetapi semua hadiah yang disampaikan ketika kedua mempelai bersandingan dan menerima ucapan selamat dari para hadirin, adalah harta bersama kedua suami istri yang terlepas dari pengaruh kekuasaan kerabat. Harta itu hanya dibawah pengaruh kekuasaan orangtua yang melaksanakan upacara perkawinan itu yang kedudukan hartanya diperuntukkan bagi kedua mempelai yang bersangkutan. Hadiah perkawinan yang berat dan berharga disimpan untuk dimanfaatkan kedua suami istri dalam pergaulan adat dan atau dimanfaatkan bagi kepentingan membangun rumah tangga. Barang-barang hadiah ini merupakan hak milik bersama yang dapat ditransaksikan atas kehendak dan persetujuan bersama uami istri.
Apabila terjadi pemberian hadiah uang atau barang oleh suami kepada istri pada saat pernikahan merupakan pemberian perkawinan suami, begitu juga pemberian perhiasan dari suami kepada istri, maka berkedudukan pemberian ini sama dengan maskawin yang menjadi milik dari istri itu sendiri. Suami tidak boleh menggunakan barang-barang tersebut tanpa ada persetujuan dari istri tersebut.
G. Status Hukum Harta Yang Diperoleh Antara Suami Istri Dlam Perkawinan
Kedudukan harta yang diperoleh suami atau istri dalam perkawinan itu tergantung kepada siapa yang memperolehnya. Apabila harta itu diperoleh istri, maka sudah tentu harta perkawinan itu menjadi milik pihak istri. Tetapi apabila harta dalam perkawinan itu diperoleh suami maka sudah barang tentu harta itu menjadi milik suami.
sama sama.,.,.Amiinnn,
ReplyDelete