Friday, March 25, 2016

MUNAKAHAT

                                                                      MUNAKAHAT
                               Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                       “Hadits Ahkam”
 
                                                               
                                                                          DisusunOleh:
                                                                        Abdul Thoyibbi
                                                                       Binti Munawaroh
                                                                        Siti Mahmudah

                                                                       DosenPengampu:
                                                 Irma Rumtianing Uswatul Hanifa, S.Ag, M.SI

                                                                  JURUSAN SYARIAH
                                                 PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                           SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                (STAIN) PONOROGO
                                                                                  2015


                                                                                  BAB I
                                                                        PENDAHULUAN
 
1.    Latar Belakang
Nikah merupakan syariat yang tidak boleh diabaikan oleh setiap muslim yang beriman yang telah mampu baik secara lahiriah maupun batiniah. Nikah adalah sunah nabi Muhammad SAW yang harus dikerjakan dan kita ikuti. Namun tidak sedikit umat muslim yang secara matri ataupun jiwa tidak mau segera menikah dan memilih berlama-lama hidup membujang, dengan berbagai resiko terjerumus kepada kemaksiatan.
Nikah  itu adalah ibadah, demikian hadis nabi SAW,banoyak pemuda tak mau menikah dengan alas an belum siap bertanggung jawab padahal ia telah mampu dari berbagai segi. Allah telah memuliakan bani Adam dan menjadikan nikah itu sebagai cara memiliiki keturunan diantara mereka.
Nabi SAW bersabda “ nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak menyukai sunahku maka dia bukan termasuk umatku.

2.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian nikah sebagai sunnah Nabi?
2.    Bagaimana pernikahan yang dilarang?
3.    Apakah syarat pernikahan?
4.    Bagaimanakah perihal wali?


                                                                               BAB II
                                                                       PEMBAHASAN


1.    Nikah sebagai Sunnah Nabi
ابن ماجه
حدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنِ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Al azhari, telah mengkhabarkan kepada kami Adam, telah mengkhabarkan kepada kami Isa bin Maimun, dari Qosim dari Aisyah berkata” bahwa  Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallama  Bersabda: Menikah adalah sunnah-Ku, barang siapa tidak mengamalkan sunnah-Ku berarti bukan dari golongan-Ku. Hendaklah kalian menikah sungguh dengan jumlah kalian aku berbanyak-banyakan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak memiliki hendaknya puasa, karena puasa itu merupakan perisai”
Penjelasan:
      Dalam aspek agama pernikahan merupakan perkara yang suci dengan demikian pernikahan menurut Islam merupakan ibadah, yaitu dalam rangka terlaksananya perintah Allah SWT atas petunjuk Rasul Nya yakni terpenuhinya rukun dan syarat nikah
Suatu saat manusia berkhayal untuk hidup membujang dan menjauhkan diri dari masalah duniawi, hidup hanya untuk shalat malam, berpuasa dan tidak mau menikah selamanya sebagai hidupnya seorang pendeta yang menyalahi tabiat (naluri) manusia sehat. Islam memperingatkan bahwa hidup semacam ini berlawanan dengan fitrah dan menyalahi ajaran agama. Karena Nabi Muhammad SAW sebagai seorang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah SWT masih tetap berpuasa dan berbuka, shalat malam, tidur dan menikah pula.  Dan orang yang mau menyalahi tuntutan ini tidak patut digolongkan sebagai umat beliau.
Sebagaimana kita ketahui  bahwa nikah itu penting dan perlu sekali, dan tidaklah ada orang yang tidak mau, kecuali mereka jiwanya yang lemah dan durhaka saja sebagaimana dikatakan oleh khalifah Umar bin Khaththab dan karena hidup kependetaan memang tidak dibenarkan oleh Islam, juga karena tidak mau menikah  hanya akan menyebabkan seseorang kehilangan banyak keuntungan dan kebaikannya.
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’ dalam bukunya  Kado Pernikahan mengatakan bahwa menikah juga termasuk mencari cinta Rasulullah SAW dengan cara memperbanyak keturunan, karena Rasulullah SAW akan membanggakan kita pada umat-umat lain pada Hari Kiamat kelak.
Dengan menikah maka akan dimasukkan oleh Rasulullah SAW kedalam kelompok orang yang telah menyempurnakan separuh dari agama Islam. Jika masing-masing ridha terhadap pasangannya dan mereka menyempurnakan segala tata aturan keagamaan maka dia mendapat jaminan  masuk surga bersama dengan orang-orang yang mendahuluinya. Dengan menikah yang dibalut dengan ketaatan bersama dalam agama, maka pasangan tersebut juga akan kembali berkumpul di akhirat. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika ada seorang perempuan yang meninggal sedang suaminya ridha kepadanya maka dia akan pasti masuk surga. Selama dia menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan dalam Islam.
2.    Pernikahan yang dilarang
البخاري
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
سنن ابن ماجه
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشِّغَارِ وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ زَوِّجْنِى ابْنَتَكَ أَوْ أُخْتَكَ عَلَى أَنْ أُزَوِّجَكَ ابْنَتِى أَوْ أُخْتِى. وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
Artinya:
 Telah mengkhabarkan kepada kami suwaid bin sa’id, telah mengkhabarkan kepada kami Malik bin Anas dari Nafi’ dari Ibn Umar  “Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang nikah syighor yang bentuknya: seseorang menikahkan anaknya pada orang lain namun ia memberi syarat pada orang tersebut untuk menikahkan anaknya untuknya dan di antara keduanya tidak ada mahar”
Penjelasan :
Bentuk nikah syighor adalah si A menikahkan anak, atau saudara atau yang berada di bawah perwaliannya si B, namun dengan syarat si B harus menikahi pula anak, saudara atau yang di bawah perwaliannya si A. Bentuk dan sifat “nikah syighor” ini adalah relatif, mau ada mahar ataukah tidak [tidak ada masalah].
Larangan nikah syighor. Suatu larangan menuntut kerusakan, sehinnga yang seperti ini tidak dibenarkan. Alasan haram dan rusaknya niakh shighor adalah tidak adanya mahar muamma (yang disebutkan) atau mahar mitsl (menurut kebiasan lingkungan). Hal ini ditnjukan dalam kalimat “ sementara diantara keduanya tidak ada mahar”.
Para ulama sepakat menyatakan keharaman nikah shighar, tapi mereka berbeda pendapat mengenai kebatalannya sbb:
a.    Abu hanifah berpendapat bahwa nikah shighar sah dan mesti ada mahar standar.
b.    Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa nikah shighar tidak sah, karena larangan menuntut rusak atau batalnya akad.
Syaih Taqiyyuddin berkata, “Allah SWT mengharamkan nikah shighar karena wali mesti menikahkan budaknya mana kala calonnya setara. Hal ini dinyatakan oleh Ahmad berdasarkan pandangan maslahat. Dengan demikian, jika mahar yang dissebut diberikan dala rangka tipu daya saja atau dalam rangka shighar, maka nikah yang dilakukan tidak sah.
3.    Syarat Pernikahan

ابن ماجه
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Amru bin Abdillah dan Muhammad bin Ismail mengatakan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Usamah dari Abdil khamdi bin Ja’far dari yazid bin Abi khabib dari Marsad bin Abdillah dari Uqbah Bin Amir Dari Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk dipenuhi adalah persyaratan (Nikah) yang bisa menghalalkan bercampur dengan (seorang wanita)”
Penjelasan:
Setiap salah satu diantara suami istri mempunyai syarat sebelum melangsungkan akad nikah, maka masing-masing mempunyai syarat yang dengannya sebagai pelaksanan dari nikah itu sendiri. Palaksanan sayarat disini adalah sebagai syarat yang harus dilaksanakan dalam akad nikah.
Yang mana syarat dalam nikah merupakan suatu perkara yang besar sebagai pelindungan yang kuat yang menjadikan bolehnya berhubuangan dengan lawan jenis (nikah). Dan hukum syariat telah adil dalam  menetapkan masalah ini, sebagaimana perkataan: sesungguhnya yang paling berhak dipenuhi syaratnya adalah penghalalan kemaluan. Dengan  cara bersetubuh
      Wajibnya memenuhi sebuah syarat yang mana syarat tesebut diajukan oleh salah satu dari suami istri, seperti syarat penambahan mahar dan tempat tinggal bagi suami, dan seperti syarat keperawanan dan nasab yang di ajukan suami bagi istri
Pemenuhan kewajiban sebagai pelengkap syarat yang termasuk pamenuhan akad sebagai bentuk kebaikan bagi suami istri. Sesungguhnya pemenuhan sebuah syarat dalam nikah sangat ditekankan dari hal yang lainnya karena ia sebagai ganti dari penghalalan sebuah kemaluan.
4.    Perihal wali
ابن ماجه
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِىُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
Artinya:
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakri Ibn Syaibah, telah mengkhabarkan kepada kami Mu’ad Ibn Mu’ad, telah mengkhabarkan dari kami Ibn Zuraiz dari Sulaiman Ibn Musa dari Azuhriyyi dari ‘Urwah dari  Aisyah  ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal. Jika ia dinikahkan, maka wajib baginya mahar sebagai jaminan menghalalkan kemaluannya. Tapi jika para walinya berselisih, maka hakim menjadi wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.”
Penjelasan:
Wali dalam nikah merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, nikah tidak dianggap sah kecuali dengan wali yang memimpin akad nikah. Akad nikah termasuk akad yang mengandung banyak resiko, maksudnya membutuhkan banyak pengetahuan mengenai kemaslahatan dan kemuddhorotan dalam nikah serta membutuhkan perenungan dan musyawarah. Selain itu, wanita memiliki pemikiran dan pandangan yang kurang tajam sehingga ia membutuhkan seorang wali yang bisa memecahkan permasalahan akad ini dilihat dari sudut kemaslahatannya. Karenanya, wali dianggap sebagai salah satu syarat akad berdasarkan nash yang shahih dan pemndapat jumhur ulama.
Seorang wali disyaratkan mukallaf, laki-laki, cerdas dalam mengetahui kemaslahatan nikah, dan seagama dengan wanita diwalikan. Sekiranya wali tersebut tidak memiliki sifat-sifat ini, ia tidak berhak menjadi wali dalam akad nikah lantaran tidak memenuhi syarat menjadi wali. Seorang wali diharuskan laki-laki yang kedudukannya paling dekat dengan wanita yang diwalikan. Seorang wali yang memiliki garis hubungan yang jauh tidak bisa mewalikan selama masih ada wali yang lebih dekat dengan wanita yang akan diwalikannya. Jika seorang wali yang bergaris hubungan jauh menikahkan seorang wanita sementara masih ada wali yang bergaris dekat, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini: ada yang berpendapat nikahnya batal, ada yang berpendapat boleh, dan ada yang berpendapat bahwa wali yang dekat bisa menyrtujuinya atau membatalkannya. Jika seorang wanita tidak menemukan seorang wali baginya, maka yang menjadi walinya adalah imam atau wakilnya sebagai imam menjadi wali bagi yang tidak mempunyai wali.


TAKHRIJ HADIST
Untuk mempermudah penelitian kebersambungan sanad dan lambang periwayatan yang digunakan oleh para perawi, maka disusun bagan seperti dibawah ini:




POHON SANAD

ابْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  نَهَى عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الآخَرُ ابْنَتَهُ ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا



    أَنَّ


    عَنْ

    عَنْ


    أَخْبَرَنَا   


    حَدَّثَنَا




BIOGRAFI PERAWI

NO    NAMA PERAWI    TL/TW/UMUR    GURU    MURID    JARH WA TA’DIL

1.        Abdullah Ibnu Umr    Wafat: 73/74 H    1.    Rasulullah SAW
2.    Rafi’ bin Khadij
3.    Bilal Muadzin Rasulullah    1.    Nafi’ Maulah
2.    Nasir bin Da’aluq
3.    Na’im al Mujamar     رجل صالح
2.        Nafi’ Maulah
    Wafat: 117 H    1.    Abdullah Ibn Umar
2.    Abdullah bin Muhammad bin Abu Bakar As-Shidiq
3.    Abdullah bin Abdullah Bin Umar    1.    Malik bin Annas
2.    Malik  bin Mughal Kaufi
3.    Mubarak bin Hasan    ثقة
3.        Malik bin Annas
    Lahir: 93 H
Wafat: 179 H    1.    Nafi’ Maulah
2.    Na’im al Mujamar
3.    Hasyim bin Hasyim bin ‘Atibah bin Abi Waqos
    1.    Abdullah bin Yusuf
2.    Abdullah A’la bin Hamad Narasi
3.    Abu mashur abdul ‘ala bin mashur ghosani
   
4.        Abdullah bin Yusuf
    Wafat: 218 H    1.    Malik bin Annas
2.    Muhammad bin Muahajir
3.    Abi Muti’ Muawiyah     1.    Bukhoti
2.    Ibrahim bin Hana’i Niyasaburi
3.    Ibrahim bin Ya’qub    ثقة
الحافظ

1.    ‘Abdullah ibn Umar
Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah ibn Umar ibn khottob al-Qurasy al-‘Adwi, Abu ‘Abdurrahman al-Maki al-Madani. Beliau meriwayatkan hadits ini dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Nabi SAW, Umar bin Khattab, Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin affan, Ali bin Abi Thalib, sa’ad bin Abi Waqas, Zaid bin Khattab dan Shohib bin Sanan. Sedangkan jajaran murid-muridnya adalah : Basyar bin Sa’ad al Madani, Basyar bin ‘Aid, Bilal bin ‘Abdullah bin Umar, Jami’ bin ‘Amir At-Taimi, ‘Abdullah bin ‘Abid bin ‘Amir, ‘Abdullah bin ‘Abidullah bin Umar, Katsir bin Maroh, dan Nafi’ Maulah.
Adapun penilaian kualitas pribadinya adalah sebagai berikut: Kebersambungan sanad antara Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah SAW tidak di ragukan, begitu pula dengan kualitas pribadi dari Ali bin Abi Thalib. Penulis mengikuti pendapat jumhur muhaddits yang menyatakan bahwa seluruh shahabat adil (al-Shahabah kulluhum’udul). Menurut Nuruddin ‘Itr, sifat adil para sahabat di tetapkan melalui bukti dan dalil yang kuat, baik melalui al-kitab, Sunnah, Ijma’, dan dalil ‘aqli. Abdullah ibn Umar wafat pada tahun 73 H. Namun ada pula yang mengatakan wafat pada tahun 74 H.

2.    Nafi’
Nama lengkapnya adalah Nafi’ Abu Abdullah al-Madani. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Aslam muwalli Umar ibn Khattab, Ibrahim ibn Abdullah ibn Hanin, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Umar, Abu Hurairah, Sa’id ibn Abi Hanadi. Sedangkan jajaran murid-muridnya adalah: Ibrahim ibn Sa’id al-Madani, Asamah ibn Zaid ibn Aslam, Malik ibn Annas, Aban ibn Toriq, Hasan ibn Athoyah ibn as-Syami, Abdullah ibn al-Dhinnar, Abdurrahman ibn Abdullah al-Saroji, Umar ibn Nafi’, Musa ibn ‘Aqabah.
Adapun penilaian kualitas pribadinya adalah sebagai berikut: Muhammad ibn Sa‟id menyebutkannya dalam thabaqat ketiga ahl madinah, dia mengatakan: Tsiqah katsir al-hadits, dan Nasa’i : Tsiqah. Ibnu Khurasy juga mengatakan : Tsiqah, Nabil. Jika di lihat dari lafadz yang di gunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi, perawi yang di nilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat di kategorikan Hujjah.
Menarik untuk di cermati bahwa Nafi’ meriwayatkan hadits dari ‘Abdullah ibn Umar menggunakan kata عن. Menurut para ulama hadits, suatu riwayat yang menggunakan sighat ini dalam transmisinya, mengindikasikan adanya tadlis atau penyembunyian dari perawi. Sebab ia tidak secara eksplisit menyebutkan metode yang digunakan untuk menerima atau meriwayatkan hadits dari gurunya. Namun tuduhan ini tidak terbukti dengan adanya relasi guru murid antara Abdullah ibn Umar dengan Nafi’ . dengan kata lain tercatatnya Abdullah ubn Umar sebagai guru Nafi’ dan Nafi’ merupakan murid dari Abdullah ibn Umar, seperti yang dikemukakan oleh al-Mazzi dalam al-Maktabah al-Syamilah sudah cukup menjadi bukti adanya kebersambungan sanad. Beliau wafat pada tahun 117 H.

3.    Malik ibn Annas
Nama lengkapnya adalah Malik bin Annas bin Malik bin Abi Umar bin Amru ibn al-Ashbahi al-Humairy. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Ibrahim bin ‘Aqabah, Ayyub bin habibi azzahri, Nafi’ Muwalli bin Umar, Ja’far bin Muhammad as-Shadiq, Zaid bin Robahan, Shufwan bin Salim, Abdullah. Sedangkan dalam jajaran muridnya, disebutkan beberapa nama antara lain adalah: Ibrahim ibn Thohaman, Ahmad ibn Abdullah ibn Yunus, ‘Abdullah ibn Yusuf, Kholid bin ‘Abdurrahman al-Khurasani, ‘Abdullah bin Iddris, ‘Abdullah bin al-Mubarok.
Adapun penilaian kualitas pribadinya sebagai berikut : Muhammad bin Sa’id menyebutnya Malik Tsiqah, ma’mun, tsabit waro’a, faqih, hujjah. Yang dikatakan tsiqah ma’mun disini berarti orang yang dapat memegang amanah. Jika di lihat dari lafadz yang di gunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi perawi yang dinilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat dijadikan hujjah. Malik bin Annas lahir pada tahun 93 H. Dan beliau wafat pada tahun 179 H.
4.    ‘Abdullah bin Yusuf
Nama lengkap beliau adalah ‘Abdullah bin Yusuf al-Tanyis, Abu Muhammad al-Kula’i al-Mashory. Beliau meriwayatkan hadits dari beberapa orang gurunya, berikut ini adalah Ismail ibn Alaih, Sa’id ibn Basir, Malik ibn Anas, Bakri bin Madhor, al-Hakim bin Hisyam al-Tsaqofy, Sa’id bin Abdul ‘Aziz, ‘Abdullah bin Wahab, Isa bin Yunus dan Muhammad bin Muhajir. Sedangkan dalam jajaran muridnya disebutkan beberapa nama antara lain adalah Ishak ibn Sayari an Nashibi, Ali ibn Utsman al-Nafili, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzijani, Ali bin Utsman al-Nafili, Abu Hatim Muhammad bin Iddris al-Razi, Yahya bin Mu’in dan Bukhari.
Tidak terlalu banyak penilaian yang di kemukakan para kritikus hadits terhadap ‘Abdullah bin Yusuf. Menurut Abu Bakar ibn Khozimah mendengar dari nashar bin marzuq, mengatakan ia mendengar dari yahya bin mu’in dari malik berkata : tsabit annas, Abu Rahman bin Abi hatim : tsiqah, Ahmad bin Abdullah: tsiqah. Jika di lihat dari lafadz yang digunakan, maka penilaian ini termasuk dalam kategori ta’dil. Menurut al-Razi, perawi yang di nilai tsiqah menempati urutan pertama dalam ta’dil, sehingga haditsnya dapat di katakan hujjah.
‘Abdullah bin Yusuf meriwayatkan hadits dari Malik bin Annas dengan menggunakan lambang حَدَّثَنَا. Menurut Subhi Shahih, shighat termasuk dalam kategori yang paling tinggi dan paling kuat. Sebab perawi yang bersangkutan mendengar sendiri suatu hadits dari gurunya, atau dalam ilmu hadits disebut metode. Berbeda dengan lafadz haddatsani, lafadz haddatsana menunjukan bahwa riwayat tersebut di sampaikan oleh seorang guru kepada banyak orang., seperti yang di kemukakan oleh Abdullah bin Wahab. Dengan demikian pertautan guru-murid antara Malik bin Annas dengan Abdullah bin Yusuf tidak di ragukan lagi. Dalam jajaran murid-murid ‘Abdullah bin Yusuf di sebutkan nama al-Muslim, seperti yang di kemukakan al-Asqalani dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib. ‘Abdullah bin Yusuf wafat pada tahun 218 H.


                                                                        BAB III
                                                                  KESIMPULAN

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu membahas 4 poin yaitu:
1.    Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’ dalam bukunya  Kado Pernikahan mengatakan bahwa menikah juga termasuk mencari cinta Rasulullah SAW dengan cara memperbanyak keturunan, karena Rasulullah SAW akan membanggakan kita pada umat-umat lain pada Hari Kiamat kelak.
2.    Larangan nikah syighor. Suatu larangan menuntut kerusakan, sehinnga yang seperti ini tidak dibenarkan. Alasan haram dan rusaknya niakh shighor adalah tidak adanya mahar muamma (yang disebutkan) atau mahar mitsl (menurut kebiasan lingkungan). Hal ini ditnjukan dalam kalimat “ sementara diantara keduanya tidak ada mahar”.
3.    Syarat dalam nikah merupakan suatu perkara yang besar sebagai pelindungan yang kuat yang menjadikan bolehnya berhubuangan dengan lawan jenis (nikah). Dan hukum syariat telah adil dalam  menetapkan masalah ini, sebagaimana perkataan: sesungguhnya yang paling berhak dipenuhi syaratnya adalah penghalalan kemaluan. Dengan  cara bersetubuh. Wajibnya memenuhi sebuah syarat yang mana syarat tesebut diajukan oleh salah satu dari suami istri, seperti syarat penambahan mahar dan tempat tinggal bagi suami, dan seperti syarat keperawanan dan nasab yang di ajukan suami bagi istri.
4.    Wali dalam nikah merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, nikah tidak dianggap sah kecuali dengan wali yang memimpin akad nikah. Akad nikah termasuk akad yang mengandung banyak resiko, maksudnya membutuhkan banyak pengetahuan mengenai kemaslahatan dan kemuddhorotan dalam nikah serta membutuhkan perenungan dan musyawarah. Selain itu, wanita memiliki pemikiran dan pandangan yang kurang tajam sehingga ia membutuhkan seorang wali yang bisa memecahkan permasalahan akad ini dilihat dari sudut kemaslahatannya. Karenanya, wali dianggap sebagai salah satu syarat akad berdasarkan nash yang shahih dan pemndapat jumhur ulama.

                                                                DAFTAR PUSTAKA

Al Bassam, Abdullah bin Abdurahman al Bassam.2006. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pusaka Azzam.
https://googlemuslim.wordpress.com/2013/07/31 diakses tanggal 09-03-2015
Nuruddin „Itr, Manhaj al-Naqd fi.Ulum al-Hadits, terjemah Mujiyo. 1994.Ulum al-Hadits 1.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Sumbulah, Umi. 2008.Kritik Hadits Pendekatan Historis Metodologi.Malang: UIN-Malang Press.
Syihab al-Din Ahmad ibn „Ali ibn Hajar al-„Asqalani. 1995.Tahdzib al-Tahdzib. Juz 2.Beirut: Dar Fikr.

0 comments:

Post a Comment