HARTA DALAM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang mengandung aqidah dan mengandung aturan atau undang-undang. Unsur dari aqidah adalah mengesakan Tuhan dan menyembah kepada-Nya. Sedangkan dasar dari pada undang adalah untuk kebahagiaan masyarakat serta menjaga hak-hak seseorang agar tidak terjadi saling pertentangan satu sama lainny ataupun kemaslahatan umum. Yang kita ketahui dalam Islam, bahwa hokum Allah selamanya untuk membentuk kemaslahatan umum.
Harta dalam pandangan Islam adalah bukan satu-satunya tujuan, juga bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian, melainkan harta menjadi jalan untuk merealisir sebagian kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum tanpa berbuat dzalim dan berlebihan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Harta, Sifat-sifat dan Unsur-Unsurnya?
2. Bagaimana Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam dan Fungsinya?
3. Pembagian Harta?
4. Bagaimana pengalihan harta pada pihak lain?
5. Apa fungsi harta?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Sifat-sifat dan Unsur-unsur Harta
1. Pengertian Harta
Secara etimologi harta dalam bahasa Arab yaituالمال yang asal katanya مال- بميل- ميلا yang berarti condong, cenderung, atau berpaling dari tengah keslah satu sisi. Harta diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun dalam manfaat .
Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia dan dapat dihadirkan (dimanfaatkan) pada saat diperlukan. (Ibnu Abidin dari golongan Hanafi)
Disebutkan oleh ulama Hanafi lain, yaitu harta merupakan segala sesuatu yang dapat dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan). Berdasarkan definisi ulama Hanafiyah diatas tadi, ada dua hal yang perlu diperhatikan:
a. Harta mungkin dihimpun dan dipelihara. Dengan demikian ilmu, kesehatan, kepintaran dan kemuliaan tidak termasuk harta tetapi milik.
b. Dapat dimanfaatkan menurut adat kebiasaan, jadi makan beracun ataupun rusak tidak termasuk harta.
Definisi lain menyebutkan harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan diwajibkan ganti rugi atas orang yang merusak dan melenyapkannya (Jumhur ulama selain Hanafiyah).
Dari pengertian diatas tadi, terdapat perbedaan menegenai esensi harta. Jumhur ulama mengatakan bahwa harta tidak hanya bersifat materi tetapi juga termasuk manfaat dari suatu benda, karena yang dimaksud manfaat suatu benda bukan zatnya. Sedangkan ulama Hanafi berpendapat lain tentang harta yaitu hanya bersifat materi saja, sebab manfaat termasuk hak milik dan hak milik berbeda dengan harta.
Dengan demikian kiranya dapat kita pahami bahwa para ulama masih berselisih pendapat dalam menentukan definisi harta juga terjadi perselisihan dalam pembagian harta karena berbeda dalam pendefinisian harta tersebut.
Dari beberapa definisi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa harta adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan kepada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibbah atau pemberian. Jadi, apapun yang digunakan manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta .
2. Sifat-sifat Harta
a) Harta adalah Perhiasan Dunia
Di dalam syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati keahagiaan dan kebaikan hidup di dunia yang sejahtera secara ekonopmi haruslah diupayakan atau berusaha untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahkan hal ini merupaka pendorong yang baik agar tercipta dan dapat meningkatkan hubungan dengan Allah. Dengan harta yang mencukupi ketika kebutuhan pokoknya tercukupi maka kesejahteraan ekonomis seseorang pada akhirnya akan tercapai. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah suatu hal yang hina, karena memang Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dunia.
المَالُ وَالبَنُوْنَ زِيْنَةُ الحَيَاةِ الدُنْيَا.
“Harta dan anak-anak itu merupakan perhiasan kehidupan dunia”. (QS. Al-Kahfi: 46)
Sebaliknya, manusia tidak perlu menghindari harta karena bukan selamanya harta itu bencana bagi pemiliknya. Miskin (kurang harta) bukanlah symbol manusia taqwa sebagaimana para pandangan sufisme . Harta dalam konteks al-Qur’an adalah suatu kebaikan (خيرٌ ).
وَإنَّه لُحُبِّ الخَيْرِ لَشَديد.
“Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena cintanya kepada khoirun (kebaikan)”. (QS. al-Adiyat: 8)
Pencinta kebaikan disini maksudnya pecintan harta. Ayat ini menerangkan bawa cinta harta adalah tabi’at manusia.
Islam tidak memandang harta kekayaan sebagai pengahalang untuk mencari derajat yang tertinggi ataupun taqarraub ilallah. Pandangan ini adalah kebaikan dari apa yang kita temukan pada agama kristen . Sedangkan Allah memberi kekayaan kepada Rasul-Nya.
وَوَجَدَكَ عَا ئِلاً فَأَغْنَى
“Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan”. (QS. ad-Dhuha:8)
“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian”.
b) Harta adalah Ujian
Menurut presefektif Islam, harta bukanlah sebagai alat untuk bersenang-senang semata. Namun, harta juga merupakan ujian kenikmtan dari Allah SWT.
Harta merupakan ujian kenikmatan yang diberikan oleh Allah untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau menjadi kufur.
وَاعْلَمُوْا أنَّما أموالكم وَألاَدُكُمْ فُتْنَةٌ
3. Unsur-unsur Harta
Menurut para Fuqaha harta bersendi pada dua unsur, yaitu unsur “aniyah dan unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yan). Manfaat sebuah rumah yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk hak milik.
Unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.
B. Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam dan Fungsinya
Sikap Islam terhadap harta merupakan bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Sikap Islam terhadap dunia adalah sikap pertengahan yang seimbang. Materi atau harta dalam pandangan Islam adalah sebagai jalan, bukan satu-satunya tujuan, dan bukan sebagai sebab yang dapat menjelaskan semua kejadian-kejadian. Maka disan kewajiban itu lebih dipentingkan daripada materi. Tetapi materi menjadi jalan untuk merealisir sebagai kebutuhan-kebutuhan dan manfaat-manfaat yang tidak cukup bagi manusia, yaitu dalam pelayanan seseorang kepada hal yang bersifat materi, yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan umum, tanpa berbuat dhalim dan berlebihan.
Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya. Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karen itu pula Allah rela memberikan harta itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. telah memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT. menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah.
Adapun pemeliharaan manusia terhadap harta yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur’an adalah sebagai pemeliharaan nisbi, yaitu hanya sebagai wakil dan pemegang saja, yang mana pada dahirnya sebagai pemilik, tetapi pada hakikatnya adalah sebagai penerima yang bertanggung jawab dalam perhitungnnya. Sedangkan sebagai pemilik yang hakiki adalah terbebas dari hitungan.
Pada al-Qur’an surat al-Kahfi: 46 dan an-Nisa: 14 dijelaskan bahwa kebutuhan manusia atau kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan. Jadi, kebutuhan manusia terhadap harta adalah kebutuhan yang mendasar.
C. Pembagian Harta
Para ulama fiqh membagi harta dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagiannya sebagai berikut:
1. Mal Mutaqawwimin dan Ghoiru Mutaqawwimin
a. Harta Mutaqawwimin ialah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Harta ini ialah semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Misalnya kerbau halal dimakan umat Islam, tetapi disembelih dengan cara dipukul maka daging kerbau tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
b. Harta ghoiru mutaqawwimin ialah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Harta ini kebalikan dari hartamutaqawwimin yakni tidak boleh diambil manfaatnya.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi
a. Harta Mitsli ialah benda-benda yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam artian dapat berdiri sebagiannya ditempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.
b. Harta Qimi ialah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuanya karena tidak dapat berdiri sebagian tempat sebagian yang lainnya tanpa perbedaan.
c. Dengan pekara lain, harta mitsli adalah harat yang jenisnya diperoleh dipasar (secara persis), dan Qimi ialah harta yang jenisnya sulit didapatkan dipasar, bias diperoleh tetapi jenisnya berbeda, kecuali dalam nilai harganya. Jadi harta yang ada imbangannya disebut mitsli dan yang tidak ada imbangannya disebut qimi.
3. Harta Istihlak dan Harata Isti’mal
a. Harta Istihlak ialah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi dua yaitu istihlak haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Misalnya, korek api bila dibakar maka habislah. Selanjutnya istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya tetap ada. Misalnya, uang yang dipake membayar utang.
b. Harta Isti’mal ialah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinnya tetap terpelihara. Harta isti’mal dihabis sekali digunakan melainkan dapat digunakan lagi. Seperti kebun, tempat tidur, pakaian sepatu, laptop, hanphone dan lain sebagainya.
4. Harta Manqun dan Harta Ghoiru Manqul
a. Harta manqul yaitu segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari suatu tempat ke tempat lain. Seperti emas, perak, perunggu, pakaian, kendaraan dan lain sebagainya, termasuk harta yang dapat dipindahkan.
b. Harta Ghoiru Manqul yaitu sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dan dibawa dari tempat satu ketempat yang lain. Seperti kebun, pabrik, sawah, dan lain sebagainya. Karena tidak dapat dipindahkan. Dalam Hukum Perdata Positif digunakanlah istilah benda bergerak dan benda tetap.
5. Mal al-‘ain dan mal an-nafi (manfaat)
a. Harta ‘ain yaitu benda yang memiliki nilai dan berwujud, misalnya rumah, ternak, dll.
b. Harta Nafi ialah a’radd yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-nafi’ tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
6. Harta Mamluk, Mubah dan Manjur
a. Harta Mamluk ialah sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik perorangan maupun milik badan hokum, seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu harta perorangan yang bukan berpautan dengan hak bukan pemilik, sperti rumah yang dikontrakan, selanjutnya harta pengkongsian atara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang berkongsi memiliki sebuah pabrik.
b. Harta Mubah ialah sesuatu yang asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohon-poohon dihutan dan buah-buahannya.
c. HartaMahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syariat, adakalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid- masjid, kuburan dan lain-lain.
7. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras tepung dan lainnya.
Harta yang tidak dapat dibagi ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi, misalnya gelas, kursi, meja, mesin, dan lainnya.
8. Harta Pokok dan Harta Hasil
a. Harta pokok adalah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain.
b. Harta hasil ialah harta yang terjadi dari harta yang lain. Pokok harta itu disebut modal, misalnya uang, emas dan lainnya.
9. Harta Khos dan ‘am
a. Harta khos ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b. Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaantnya.
D. Pengalihan (pemberian) Harta Kepada Pihak Lain
1. Hibah
Hibah artinya pemberian atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara suakarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apapun.
Jumhur ulama mendefinisikan sebagai akad yang mengakibatkan harta seseorang tanpa ganti rugi dilakukan selama keadaan masih hidup kepada orang lain secara sukarela.Sedangkan menurut ulama Hanafi mendefinisikan sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang menerima hibah dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut.
Hibah dianggap syah apabila memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi bahwa rukun hibah adalah ijab, qobul dan qabdl (harta itu dapat dikuasai langsung). Sedangkan menurut jumhur ulama;
a. Orang yang menghibahkan
b. Harta yang dihibahkan
c. Lafadz Hibah
d. Orang yang menerima hibah
Syarat orang menghibahkan hartanya;
a. Baligh
b. Berakal
c. Cerdas
2. Sedekah
Sedekah ialah pemberian dari seorang muslim secara sukarela tanpa tanpa dibatasi waktu dan jumlah tertentu atau suatu pemberian yang dilakukan seseorang sebagai kebijaksanaan unuk mengharap ridho Allah semata.
a. Bentuk Sedekah
1. Memberikan sesuatu dalam bentuk materi/harta kepada fakir miskin
2. Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan
3. Berlaku adil dan mendamaikan orang yang sedang bersengketa
4. Memberi senyum dan bermuka manis dan lain-lain
Dapat kita lihat bentuk sedekah lain dalam kehidupan sehari-hari kita.
b. Perbedaan sedekah dan zakat
1. Dilihat dari segi subjeknya bersedekah dianjurkan (disunatkan kepada setiap orang yang beriman dari semua lapisan, baik yang kaya maupun yang miskin. Sedangkan zakat diwajibkan kepada yang punya dan memenuhi persyaratan sebagaimana telah diatur dalam bab zakat.
2. Dari segi yang disedekahkan, sedekah yang diberikan tidak terbatas pada harta semata tetapi dapat berupa bentuk kebaikan. Sedangkan zakat terbatas pada harta saja.
3. Dari segi penerima atau objeknya sedekah diberikan kepada kelompok asnaf yang disebutkan dalam al-Qur’an dan pihak lain. Sedangkan zakat diberikan kepada oranga-orang yang ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an surat at-Taubah:60.
c. Benda yang disedekahkan
Pada dasarnya sedekah itu hanya dibolehkan apabila benda tersebut itu milik sendiri. Tidak sah menyedekahkan milik bersama atau milik orang lain. Dengan demikian, seorang isteri tidak boleh menyedekahkan harta suaminya, tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu. Namun apabila berlaku kebiasaan dalam satu rumah tangga, bahwa isteri dapat menyedekahkan harta tertentu berupa makanan, boleh dilakukan tanpa meminta izin dari seorang suami.
3. Wasiat
Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela yang pelaksanaanya ditangguhkan setelah yang berwasiat meninggal dunia, baik yang diwasiatkan itu berupa benda atau manfaat (jasa).
Mengenai hukum wasiat para ulama berbeda pendapat; Ibnu Hazm berpendapat bahwa wasiat hukumnya Fardhu ‘Ain berdasaran surat an-Nisa: 11 bahwa warisan baru dapat dibagikan setelah dilaksanakan wasiat dan bayar hutang orang yang meninggal itu. Menurut Abu Daud dan ulama-ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib diaksanakan kepada orang tua dan kerabat-kerabat yang karena satu atau beberapa sebab tidak mendapatkan warisan, mereka berpegang kepada QS. al-Baqarah:180. Sedangkan merut jumhur fukaha bahwa wasiat orang tua atau karib kerabat tidak termasuk fardhu ‘ain ataupun wajib, dengan alasan Nabi Muhammad tidak pernah menjelaskan hal itu beliau tidak pernah berwasiat harta peninggalan beliau, kebanyakan dari sahabat Nabi tidak menjalankan wasiat ternyata tidak ada yang mengingkarinya (ijma’ sukuti).
Pelaksanaan wasiat bagi selain ahli waris tidak harus menunggu izin ahli waris, asal saja yang diwaisiatkan itu tidak melebihi 1/3 dari harta warisan. Apabila melebihi dari 1/3 perlu mendapat persetujuan ahli waris. Sedangkan apabila wasiat diberikan kepada ahli waris, maka wasiat itu belum dapat dilaksanakan sebelum ada persetujuan dari ahli waris lainnya.
E. Fungsi Harta
Fungsi harta bagi manusia sangat banyak. Harta dapat menunjang kegiatan manusia, baik dalam kegiatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasainya. Tidak jarang dengan memakai beragam cara yang dilarang syara’ dan urge urge, atau ketetapan yang disepakati oleh manusia.
Biasanya cara memperoleh harta, akan berpengaruh terhadap fungsi harta. Seperti orang yang memperoleh harta dengan mencuri, ia memfungsikan harta tersebut untuk kesenangna semata, seperti mabuk, bermain wanita, judi, dan lain-lain. Sebaliknya, orang yang mencari harta dengan cara yang halal, biasanya memfungsikan hartanya untuk hal-hal yang bermanfaat.
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan fungsi harta, antara lain untuk:
1. Kesempurnaan ibadah mahdhah, seperti shalat memerlukan kain untuk menutup aurat.
2. Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, sebagai kefakiran mendekatkan kepada kekufuran.
3. Meneruskan estafeta kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah (QS. An-Nisaa’:9).
4. Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat, Rasulullah SAW. Bersabda:
مَاأَكَلَ أَحَدٌطَعَامًاقَطٌّ خَيْرًامِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَاِنَّ نَبِيَّ اللهِ
( دَاوٗدَكَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (رواه البخارى عن المقدام بن معد يكرب
Artinya:
“tidaklah seseorang itu makan walaupun sedikit yang lebih baik daripada makanan yang ia hasilkan dari keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah, Daud, telah makan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Bukhari dari Miqdam bin Madi Kariba)
Dalam hadist lain dinyatakan:
لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ الدُنْيَالاِٰخِرَتِهِ وَلاَاٰخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ
( حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَاجَمِيْعًافَاِنَّ الدُّنْيَابَلاَغٌ إِلَى اْلاٰخِرَةِ ( رواه البخارى
Artinya:
“bukanlah orang yang baik bagi mereka, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, melainkan seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia dapat menyampaikan manusia kepada masalah akhirat” (HR. Bukhari)
5. Bekal mencari dan mengembangkan ilmu.
6. Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat, seperti orang kaya yang memberikan pekerjaan kepada orang miskin.
7. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan
8. Untuk menumbuhkan silaturrahim.
PENUTUP
Harta adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan kepada sesuatu yang legal menurut hokum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi, dan hibbah atau pemberian. Jadi, apapun yang digunakan manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta.
Pandangan Islam terhadap harta adalah pandangan yang tegas dan bijaksana, karena Allah SWT. menjadikan harta sebagai hak milik-Nya, kemudian harta ini diberikan kepada orang yang dikehendakinya untuk dibelanjakan pada jalan Allah. Harta yang baik adalah harta jika diperoleh dari yang halal dan digunakan pada tempatnya. Harta menurut pandangan Islam adalah kebaikan bukan suatu keburukan. Oleh karena itu harta tersebut tidaklah tercela menurut pandangan Islam dan Karen itu pula Allah rela memberikan harta itu kepada hamba-Nya. Dan kekayaan adalah suatu nikmat dari Allah sehingga Allah SWT. telah memberikan pula beberapa kenikmatan kepada Rasul-Nya berupa kekayaan.
Dalam Islam Pengalihan (pemberian) harta kepada pihak lain dapat dilakuan dengan cara hibah, sedekah dan wasiat. Berkenaan dengan masalah harta juaga, masih terdapat istilah lain yang perlu kita ketahui yaitu harta gono-gini. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama milik suami-isteri yang mereka peroleh selama perkawinan. Permasalahn harta gono gini ini merupakan suatu permasalahan yang sering terjadi dimasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bably, Muhammad Mahmud, Kedudukan Harta Dalam Kedudukan Islam. Jakarta: Radar Jaya Offset. 1989
Dawwabah, Muhammad, Menjadi Entrepreneur Muslim Tahan Banting. Surakarta: Al-Jadid. 2009
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000
0 comments:
Post a Comment