Saturday, March 26, 2016

ASAS PARADIGMA BARU WAKAF

                                                     ASAS PARADIGMA BARU WAKAF
                             Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                             “Fiqh Wakaf dan Hukum Perwakafan di Indonesia”

 

                                                                          DisusunOleh:
                                                                            Ali Khafiz
                                                                    Novinda Asmarita A
                                                                       Binti Munawaroh

                                                                       DosenPengampu:
                                                                  Nihayaturrohmah, MHI

                                                                 JURUSAN SYARIAH
                                                  PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                           SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                 (STAIN) PONOROGO
                                                                                 2015

                                                                                BAB I
                                                                      PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan).
Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa peerintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan silaturahmi, dan berakhlak yangbaik. Sementara Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan wakaf. Dengan demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan manusia untuk mengerjakannya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana Asas Keabadian Manfaat ?
2.    Bagaimana Asas Pertanggungjawaban ?
3.    Bagaimana Profesionalitas Manajemen ?
4.    Bagaimana Asas Keadilan Sosial ?


                                                                                BAB II
                                                                        PEMBAHASAN


A.    Asas Keabadian Manfaat
Ajaran wakaf yang di ajarkan oleh Nabi di dasarkan oleh salah satu riwayat yang memerintahkan kepada Umar Bin Khatab agar tanah di khaibar yang di miliki nya di sedekah kan. Perintah Nabi itu menekankan bahwa keberadaan tersebut tidak boleh di perjual-belikan, di hibahkan, atau di wariskan, dan hasilnya di sedekahkan untuk kepentingan umat.
Wakaf yang dilakukan Umar tersebut di ikuti oleh Abu Talhah yang mewakafkan kebun kesayangannya “kebun Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah yang di peruntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekah.
Praktek pelaksanan wakaf yang di anjurkan oleh Nabi yang di anjurkan oleh beberapa  sahabat sangat menekankan pentingnya menahann eksistensi benda wakaf, yang di perintahkan untuk menyedekahkan  hasil dari pemgelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk di cerna dari maksut Nabi adalah bahwa isi ajaran wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya, tapi yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari nilai benda tersebut untuk kepentingan kebajikan umum. Di lingkungan masyarakat Islam di indonesia, sering memahami secara kurang proporsional tentang ajaran wakaf itu sendiri .pemahaman masyarakat tersebut memang lebih di pengaruhi oleh beberapa pandangan 5 madzhab, seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i yang menekankan pentingnya keabadian benda wakaf, walaupun telah rusak sekalipun pendapat-pendapat tersebut seperti : golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh” menukar harta wakaf  yang terdiri dari benda tak bergerak, walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan sesuatu. Tapi sebagian berpendapat “boleh” asal diganti dengan benda tak bergerak lainya jika dirasakan bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi. Sedangkan untuk benda bergerak golongan Malikiyah membolehkan, sebab dengan adanya penukaran maka benda wakaf itu tidak akan sia-sia.
Asas kemanfaaatan benda wakaf menjadi landasan paling relevan dengan keberadaan benda itu sendiri. Lebih lebih ibadah wakaf oleh para ulama dikategorikan sebagai amal ibadah Shadaqah Jariyah yang memiliki nilai pahala yang terus mengalir walaupun yang melakukannya telah meninggal dunia. Tentu saja, dalam pandangan yang sederhana sekalipun bahwa kontinyuitas pahala yang dimaksud itu karena terkait dengan aspek kemanfaatan yang bisa di ambil secara berkisenambungan oleh pihak kebajikan (kepentingan masyarakat banyak).
Bagaimana suatu benda wakaf itu bisa dikategorikan memiliki nilai keabadian wakaf? Paling tidak ada empat hal dimana benda wakaf akan mendapatkan nilai pahala yang terus mengalir karena kemanfaatannya, yaitu:
1.    Benda tersebut dapat dimanfaatkan oleh orang banyak. Misalkan seseorang mewakafkan tanah atau bangunan untuk mendirikan sekolah.
2.    Benda wakaf memberikan nilai yang lebih nyata kepada para wakif itu sendiri. Secara material  para wakif boleh memanfaatkan benda wakaf tersebut sebagaimana juga berlaku bagi para penerima wakaf lainnya. Secara immaterial para wakif sudah pasti akan mendapatkan nilai pahala yang bertumpuk-tumpuk dan berkesinambungan karena benda yang diserahkan kepada kebajikan umum bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat banyak dan terus menerus.
3.    Manfaat immaterial benda wakaf melebihi manfaat materialnya. Karena titik tekan wakaf itu sendiri sejatinya lebih mementingkan fungsi untuk orang banyak dari pada benda itu sendiri. Contoh, tanah wakaf yang berada dalam lokasi yang sangat strategis tidak cukup hanya dibangun sebuah masjid yang fungsinya hanya untuk sholat, tapi seharusnya bisa dibangun dengan mempertimbangkan letak tanah tersebut. Masjid tetap didirikan bersamaan dengan tempat-tempat usaha yang bisa menguntungkan dengan desain yang memungkinkan sesuai Syari’ah. Sehingga dengan demikian nilai tanah tersebut lebih kecil dibandingkan nilai immaterialnya, yaitu bisa untuk ibadah, pusat perniagaan islam, pusat koordinasi pemberdayaan ekonomi lemah, dsb.
4.    Benda wakaf itu sendiri tidak menjadikan atau mengarahkan kepada bahaya bagi orang lain dan juga wakif sendiri. Jadi tidak dinamakan wakaf  jiak ada seseorang yang menyerahkan sebagian hartanya untuk dibuat tempat perjudian misalnya.

B.    Asas Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban merupakan asas paradigma baru wakaf. Sebagai sebuah ajaran yang dimiliki dimensi ilahiyyah dan insaniyah, wakaf harus dipertanggungjawabkan, baik dunia maupun diakhirat kelak. Bentuk dari pertanggungjawaban tersebut adalah pengelolaan secar sungguh-sungguh dan semangat yang didasarkan kepada:
(a)    Tanggung jawab kepada Allah SWT atas perilaku dan perbuatannya, apakah perilakunya itu sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturanNya. Segala tindakan yang terkait dengan wakaf harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
(b)    Tanggung jawab kelembagaan, yaitu tanggung jawab kepada  pihak yang memberikan wewenang, yaitu lembaga yang lebih tinggi sesuai dengan jenjang organisasi ke nadzhiran.
(c)    Tanggung jawab hukum yaitu tanggung jawab yang dilakukan berdasarkan saluran-saluran dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Seorang nazhir atau orang yang diberi wewenang dalam pengelolaan wakaf selaku pemegang amanah harus mampu mempertanggungjawabkan tindakannya, bahwa  apa yang dilakukannya itu benar-benar sesuai hukum yang berlaku.
(d)    Tanggung jawab sosial yaitu tanggung jawab yang terkait dengan moral masyarakat. Seseorang Nadzhir wakaf dalam melakukan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan pula kepada masyarakat secara moral bahwa perbuatannya itu bisa aman secara sosial, yaitu tidak mencederai norma-norma sosial yang ada di masyarakat.

C.    Asas Profesionalitas Manajemen
Manajemen pengelolaan menempati pada posisi paling urgen dalam dunia perwakafan. Karena yang paling menentukan benda wakaf itu lebih bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau buruk. Kalau pengelolaan benda-benda wakaf selama ini hanya dikelola seada-adanya dengan menggunakan manajemen kepercayaan dan sentralisme kepemimpinan yang mengesampingkan aspek pengawasan, maka dalam pengelolaan wakaf secara modern harus menonjolkan sistem manajemen yang labih profesional. Asas profesionalitas manajemen ini harusnya dijadikan semangat pengelolaan benda wakaf dalam rangka mengambil kemanfaatan yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak.
Nabi Muhammad SAW sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa segala sesuatu, termasuk masalah yang terkait dengan manajemen jika dilakukan dengan mengikuti 4 sifat minimal yang dimiliki oleh Nabi dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang profesional. Yaitu:
(a)    Amanah (dapat dipercaya). Secara garis umum, pola menejemen dianggap profesional jika seluruh sistem yang di gunakan dapat di percaya, baik input atau output nya.  Input dalam sebuah pengelolaan bias di lihat dari sumber daya manusianya,dalam hal wakaf adalah pihak nadzhir yaitu;
•    Memiliki standar pendidikan yangtinggi (terdidik) dan standar moralitas yang unggul .
•    Memiliki ktrampilan lebih.
•    Adanya pembagian kerja atau (job diskripsen ) yang jelas, sehingga tidak akan tumpang tiindih wewenang peran dan tanggungjawab
•    Adanya hak dan kwajiban
•    Adanya standar operasional yang jelas dan terarah.
(b)    Sidiq (jujur). Di samping amanah , sidiq adalah sifat mendasar baik yang terkait dengan kepribadian SDM nya maupun bentuk program yang ditawarkan sehingga konsumen atau masyarakat merasa tidak di manfaatkan secara sepihak.
(c)    Fathanah (cerdas). Hal ini ini sangat diperlukan dalam masyarakat untuk menciptakan program yang bisa di terima oleh pasar (masyarakat) dengan menawarkan harapan yang baik dan maju.
(d)    Tablig (menyampaikan informasi yang baik). Sebenarnya konsep ini lebih kepada kemauan dan kemampuan menyampaikan segala informasi yang baik dan benar . Dalam manajemen, dalam penyebarluasan informasi yang baik dan jujur sangat terkait dengan pola pemasaran dan pelaporan keuangan.

D.    Asas Keadilan Sosial
        Penegakkan keadilan sosial dalam islam merupakan kemurnian dan realitas ajaran agama. Isi yang terkandung dalam ajaran wakaf sangat tampak adanya semangat menegakakan keadilan sosial melalui pendermawan harta untuk kebajikan umum sebagai salah satu aspek ajaran islam yang berdimensi. Wakaf menepati posisi penting dalam upaya agama ini membangun suatu sistem sosial yang berkeadilan berkesejahteraan.
    Yang terpenting dari ajaran wakaf adalah ia bukan suatu perbuatan sosial yang hanya nampak kepada sifat kedermawaan yang nampak pada seseorang tanpa adanya sebuah bangunan prinsip untuk kesejahteran masyarakat banyak. Untuk itulah, keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan yang bersifat timbal balik dan terbebasnya dari berbagai bentuk ketimpangan sosial yang berpangkal dari kepincangan kesejahteraan ekonomi. Tanpa adanya rasa keadilan social yang dapatlah dipahami betapa beratnya hati untuk mengeluarkan harta benda dalam bentuk wakaf untuk orang lain.
    Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung pada masyarakat. Dalam ajaran pendidikan pemilikan terhadap harta benda tercantum didalamnya benda lain dengan kata lain, bahwa seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut, seperti dalam firman Allah surat Adz-Dzariyat ayat 19 yang artinya “Dan didalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya) dan bagi orang-orang yang terlantar”.
Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan yang salah. Dengan menunaikan ibadah wakaf akan memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial yang positif dan dinamis penuh rasa tanggung jawab sosial, terhindar dari pengaruh paham negatif seperti kapitalisme yang membawa pada sikap individualistis, egoistis, dan komunisme yang menghasut golongan rakyat kecil dengan orang-orang kaya dan pemerintah.
Keadilan sosial ekonomi yang islami mempunyai ciri khas dari konsep ekonomi yang lai, yaitu :
1.    Keadilan sosial dilandasi prinsip keamanan
2.    Menggalakkan sistem pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya yang lebih diefektifkan lagi dengan mengaitkannya pada ridho Allah
3.    Keadilan sosial dalam islam berakar pada moral
 

                                                                            BAB III
                                                                          PENUTUP 
 
A.    Kesimpulan
Paradigma baru wakaf akan dapat diimplementasikan dalam masyarakat apabila, masyarakat menyadari bahwa harta wakaf perlu dikelola secara optimal, tersedianya sumberdaya manusia pengelola wakaf secara produktif, adanya kesadaran umat Islam terhadap penerapan system ekonomi syariah, dukungan politik pemerintah dalam pemberdayaan wakaf, banyak perbankan Syariah yang siap mengelola wakaf produktif.
Poin penting dalam pengeloaan adalah harus membuat harta-harta wakaf produktif saling menunjang dalam kegiatan ekonominya, sehingga merupakan satu jaringan ekonomi yang betul-betul efektif dan produktif, seolah-olah satu grup perusahaan yang saling menunjang. Hal ini seperti ini hanya bisa dilakukan jika ada kerjasama yang terprogram bagi semua harta wakaf tersebut.


                                                                  DAFTAR PUSTAKA
 
Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2007. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta Kementerian Agama RI.

0 comments:

Post a Comment