Saturday, March 26, 2016

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM

                                 PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI ISLAM
                             Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah
                                                                 “Metodologi Studi Islam”
                                                                                    


                                                                           DisusunOleh:
                                                                   Masjudin Fatkhu Nizar
                                                                       Binti Munawaroh
                                                                       DosenPengampu:
                                                                  Annis Hidayatul I, MHI

                                                                   JURUSAN SYARIAH
                                                   PROGRAM AHWAL SYAKHSHIYYAH
                                            SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
                                                                 (STAIN) PONOROGO
                                                                                 2015
                                                                                BAB I
                                                                      PENDAHULUAN
 
A.    Latar Belakang
    Sebagai agama yang terakhir diturunkan, Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.
    Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.
    Pendekatan agama secara fenomenologis dalam mengkaji Islam melalui pemaknaan ayat-ayat (tanda-tanda) dari Allah terhadap obyek yang bersifat abstrak maupun hal-hal yang bersifat konkrit . Hal ini dimaksudkan supaya Islam itu benar-benar dipahami dan dimengerti sesuai dengan sudut pandang kebenarannya menurut penganutnya sendiri secara hakiki.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian fenomenologi?
2.    Apa tujuan pendekatan fenomenologi?
3.    Bagaimana langkah-langkah pendekatan feomenologi?


                                                                              BAB II
                                                                     PEMBAHASAN

1.    Pengertian Fenomenologi
            Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.
            Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.
            Pertama kali pada tahun 1764 ia menggunakan istilah ini untuk merujuk pada hakikat ilusif pengalaman manusia dalam upaya untuk mengembangkan suatu teori pengetahuan yang membedakan kebenaran dari kesalahan.
Akan tetapi mayoritas fenomenolog lebih cenderung mengatakan bahwa tokoh yang pertama kali menganggap fenomenologi sebagai sebuah wacana yang bersumber dari filsafat ilmu adalah Edmund Husserl (1859-1938). Karyanya yang berjudul Logische Unteruschungen (1900-1901) untuk pertama kali memuat rencana fenomenologi. Karyanya yang lain adalah Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanmenologischen Philosophie (1913) dan Farmale und Transendentals Logic (1929). Di dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan fenomenologi harus secara sangat cermat. Mulai tahun 1970-an fenomenologi mulai banyak digunakan oleh berbagai disiplin ilmu sebagai pendekatan metologik, dan mengundang kegiatan menerjemahkan karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya Husserl. Sejak tahun 1970 hingga sekarang, baik karya-karya utamanya maupun artikel-artikel yang ditulis banyak diterjemahkan orang, dan tetap menjadi acuan utama pendekatan fenomenologi.
            Lebih lanjut metode fenomenologi dikembangkan oleh Rudolp Otto, W. Brede Kristensen, Geradus van der Leeuw, dan Mircea Eliade, juga ditunjukkan gejala itu memberikan interprestasi terhadap gejala itu sehingga maknanya yang tadi tersembunyi dapat pula dipahami. 

2.    Tujuan  Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi memahami makna atau hakikat yang sebenarnya dari suatu gejala objek yang dikaji melalui jiwa atau kesadaran objek itu sendiri. Dalam arti bahwa pendekatan fenomenologi yang dikembangkan dari pendekatan fenomenologis, membiarkan gejala yang diteliti berbicara sendiri secara tulus dan apa adanya, tidak boleh ada upaya-upaya luar dari sang peniliti membuat prakonsepsi yang macam-macam, apalagi berlebih-lebihan. Berbeda dengan pendekatan ilmiah positivistik, pendekatan fenomenologi dapat memahami adanya keterkaitan objek dengan nilai-nilai tertentu, misalnya keadilan, kemanusiaan, dll. 
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok.
Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: pertama, mencari hakikat ketuhanan. Kedua, menjelaskan teori wahyu. Dan ketiga, meneliti tingkah laku keagamaan.
 Pendekatan Fenomenologi yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal. Pertama deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tat-upacara, simbolik, atau mistik, disamping deskripsi tentang ajaran-ajaran agam. Kedua deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dalam bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologis, deskripsi psikologis dan deskripsi dialektik.
3.    Langkah-langkah Metode Fenomenologi
1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.
4.    Contoh pendekatan fenomenologi
Para wali dan sunan dalam membentuk corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan.
1.      Tahlilan   
Tahlilan adalah acara doa bersama yang diadakan di rumah keluarga orang yang meninggal, yang diikuti oleh keluarga yang berduka, para tetangga, dan sanak-saudara orang yang meninggal. Tahlilan dimulai pada hari di mana orang bersangkutan meninggal, biasanya pada malam hari setelah salat magrib atau isya. Dalam pelaksanaannya, dibacakan ayat-ayat dari Al-Quran, terutama Surat Yaasin dari ayat pertama hingga terakhir, doa-doa agar sang almarhum atau almarhumah diampuni segala dosanya dan diterima amal-ibadahnya, serta salawat (salam) terhadap Nabi Muhammad beserta para kekuarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya.
Acara tahlilan ini lazimnya diselenggarakan selama tujuh hari berturut-turut. Setelah itu, diadakan pula tahlilan untuk memperingati 40 bahkan hingga 1.000 hari kematian almarhum/almarhumah. Peringatan 7, 40, dan 100 hari merupakan tradisi Indonesia pra-Islam, yakni budaya lokal yang telah bersatu dengan tradisi Hindu-Buddha. Pada zaman Majapahit, penghormatan terhadap orang yang meninggal dilakukan secara bertahap, yakni pada hari orang bersangkutan meninggal, 3 hari kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun kemudian, dan 1000 hari kemudian. Terlihat bahwa acara tahlilan tak sepenuhnya ajaran murni Islam. Nabi Muhammad tak pernah mengadakan acara tahlilan bila ada yang meninggal, melainkan hanya mendoakan agar orang meninggal tersebut diampuni dosanya dan diterima keimanan Islamnya.

BAB III
KESIMPULAN
Istilah fenomenologi telah lama digunakan, sejak Lambert yang sezaman dengan Kant, juga Hegel, sampai Peirce, dengan arti yang berbeda-beda. Pada era Lambert fenomenologi diartikan sebagai ilusi atas pengalaman.
            Kata “fenomena” dalam bahasa Inggris disebut phenomena atau phenomenon secara etimologis berarti perwujudan, kejadian, atau gejala.Akan tetapi, pada abad XIX arti fenomenologi menjadi sinonim dengan fakta.
Langkah-langkah Fenomonologi:

1.    Mengklasifikasikan fenomena keagamaan dalam kategorinya masing-masing seperti kurban, tempat-tempat suci, waktu suci, kata-kata atau tulisan suci, dan mitos. Hal ini dilakukan untuk dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.    Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.    Melakukan “epochè” atau menunda penilaian dengan cara pandang yang netral.
4.    Mencari hubungan struktural dari informasi yang dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman  tentang berbagai aspek terdalam suatu agama.
5.    Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau manifestasi dari sebuah wahyu.

Langkah-langkah penelitian yang dilakukan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa hal. Pertama deskripsi tentang berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tat-upacara, simbolik, atau mistik, disamping deskripsi tentang ajaran-ajaran agam. Kedua deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dalam bentuk ekspresi kebudayaan. Ketiga deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa deskripsi ontologis, deskripsi psikologis dan deskripsi dialektik.



                                                                DAFTAR PUSTAKA

http://molimaulidaa.blogspot.com/

Ngainun, Naim.2009. Pendekatan Studi Islam.Yogyakarta: Teras.

Nurhakim, Mohammad.2004.Metodologi Studi Islam.Malang: UMM press.

0 comments:

Post a Comment