Saturday, April 16, 2016

HUKUM PIDANA: KASUS UNGGUL NICANOR SIAHAAN: PEMUKULAN TERHADAP ISTERI DIHUKUM 2 TAHUN.

KASUS UNGGUL NICANOR SIAHAAN: PEMUKULAN TERHADAP ISTERI DIHUKUM 2   TAHUN.

Terhadap terdakwa dengan cara menggigit sebelah kiri dan memukul pakai alu, namun terdakwa tidak membuat pengaduan, sehingga kini masih berbekas di tangan terdakwa. Tindakan saksi korban itu tidak terungkap di Pengadilan Negeri Medan, sehingga terdapat adanya manipulasi fakta. Putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara, sehingga putusan tersebut dianggap tanpa pertimbangan dan dasar hukum yang jelas. Selain itu, terdakwa keberatan dengan pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi, karena terdakwa melakukan tindak  pidana yang merendahkan wanita tidak dikuatkan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi, sehingga haruslah ditolak.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan kasasi yang diajukan pemohon terdapat cukup alasan untuk dikabulkan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Medan harus dibatalkan. Dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan yang dianggap sudah tepat, dan  pertimbangannya diambil alih oleh Mahkamah Agung, dan dengan mengadili sendiri Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi/terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, dengan menyatakan terdakwa Unggul Vicanor Siahaan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap isterinya, dan menjatuhkan  pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Analisis Putusan Hakim
     Perbuatan kekerasan fisik terhadap isteri yang menyebabkan saksi korban menderita kesakitan, karena pelipis, mata, dan lengan sebelah kiri bengkak, oleh Jaksa Penuntut Umum terdakwa didakwa melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.23 tahun 2004, dan menuntut hukuman 2 (dua) tahun penjara. Putusan Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan pidana dua tahun penjara kepada terdakwa karena terbukti melakukan ” tindak pidana penganiayaan ”. Putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Medan, dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya”, dan oleh karena itu menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.
Hukuman tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi Medan, dengan pertimbangan  bahwa penjatuhan pidana terhadap terdakwa dirasa terlalu ringan dan tidak setimpal dengan  perbuatannya. Selain itu terdakwa terlalu merendahkan martabat perempuan, yang seharusnya sebagai suami dapat menjaga dan mengangkat derajat dan martabat seorang perempuan selaku isterinya. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri, sehingga terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Ini juga berarti hakim tidak menerapkan pasal tindak pidana KDRT yang didakwakan Jaksa melainkan menerapkan pasal tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Putusan Pengadilan Tinggi Medan yang menjatuhkan pidana penjara dua tahun enam bulan karena terbukti melakukan ”perbuatan dengan kekerasan terhadap keluarganya” seperti dimaksud dalam  pidana KDRT (meskipun tidak menggunakan kalimat ”kekerasan fisik), dibatalkan oleh Mahkamah Agung, karena terdakwa lebih tepat dijatuhkan hukuman karena melakukan ”tindak pidana penganiayaan” seperti yang diputus oleh Pengadilan Negeri Medan. Sekali lagi hakim mengabaikan pidana KDRT.
Tindak pidana penganiayaan (mishandeling) yang diatur dalam Pasal 351 s/d Pasal pada intinya adalah perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka ( letsel ) atau sengaja mengakibatkan kerugian pada kesehatan orang lain (opzettelijk benadeling van de gezondheid van een ander.
Dengan memperhatikan sejarah lahirnya, sistimatika dan substansi UU 23/2004 terdapat kesan  bahwa pembentukan undang-undang tersebut adalah dengan maksud untuk mengembangkan konsepsi hukum pidana tentang tindak pidana penganiayaan. Hal itu dengan alasan bahwa pidana  penganiayaan terlalu sempit sehingga tidak dapat menjaring berbagai bentuk penganiayaan lain yang banyak muncul dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu perlu ada tindak pidana baru yang lebih luas, khususnya di dalam rumah tangga, yang diatur dengan undang-undang sendiri (di luar KUHP) yang disebut”kekerasan dalam rumah tangga”.
Pengembangan konsepsi ”penganiayaan” menjadi ”kekerasan dalam rumah tangga” menyebabkan perluasan makna dan diversifikasi penganiayaan, sehingga  – menurut UU-KDRT- mencakup: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.Jika diperhatikan dengan cermat mungkin sulit membedakan antara kekerasan psikis (psychological violence) dengan ancaman kekerasan seperti yang dipahami dalam hukum  pidana. Demikian pula bagi para penegak hukum mungkin sulit memahami konsepsi pidana ”penelantaran rumah tangga” karena unsur delik ”ketergantungan ekonomi” yang disebut dalam Pasal 9 ayat (2) bersifat kualitatif, sehingga hakim pidana mungkin kembali akan menerapkan konsep pidana penganiayaan.
Dari kasus ini terlihat bahwa hakim lebih mudah menerapkan pidana penganiayaan, dibandingkan dengan pidana KDRT, meskipun tuntutan jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa dengan pidana KDRT.
Selain itu UU 23/2004, baik judul maupun sebagian substansinya mencerminkan upaya menjabarkan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman), khususnya Article 2 sehingga tidak hanya berlaku bagi kekerasan terhadap wanita melainkan segala macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

PENUTUP
Hakim berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memiliki otoritas untuk menafsirkan undang-undang terhadap kasus yang diperiksanya. Undang-undang yang merupakan produk legislasi berdasarkan ”persetujuan bersama” Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden memuat norma umum, yang apabila terjadi sengketa antar para pihak atau pelanggaran terhadap norma tersebut, maka hakim yang berperan memberikan makna teknis yang terkandung dalam kalimat normatif (technical meaning of statutory words), yang sesuai dengan fakta dan situasi yang dihadapkan kepadanya.
Dari kasus diatas, terdapat kesan yang cukup kuat kurangnya alasan yang diuraikan oleh hakim agung untuk menolak atau mengabulkan memori kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum,  padahal uraian tersebut dangan diperlukan untuk menilai kualitas putusan hakim dalam rangka  pengembangan hukum nasional melalui penerapan hukum di pengadilan (judge mode law).

Dari kelima macam putusan Mahkamah Agung terhadap tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai ”perbuatan KDRT”, ternyata tidak ada yang divonis hakim dengan menggunakan UU 23/2004, melainkan dengan KUHP. Sebagai alasan pembenaran terhadap hal itu, mungkin kita dapat mengatakan bahwa UU-KDRT relatif masih baru, sehingga dunia peradilan kita belum dapat menelaah dan memahami sepenuhnya konsepsi pemidanaan KDRT. Namun patut pula untuk dievaluasi kemungkinan jaksa dan hakim melihat uraian delik dalam KDRT terlalu sederhana atau tidak jelas, sehingga belum dapat dibedakan dengan jelas antara kekerasan fisik dengan penganiayaan, antara cabul dengan kekerasan seksual dan seterusnya.
Pasal 44 ayat (1): ”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkuprumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).”

Pasal 356 KUHP: ”Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga: 1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, isterinya, atau anaknya. 2. jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah. 3. jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.” Bab XX tentang Penganiayaan terdiri dari Pasal 351 s/d Pasal 358.


0 comments:

Post a Comment