Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu mempunyai kepentingan yang berbeda beda. Ada kalanya kepentingan mereka itu saling bertentangan yang dapat menimbulkan sengketa. Untuk menghindarkan gejala tersebut maka dibuatlah tata tertib atau ketentuan atau kaidah hukum yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Dalam kaidah hukum tersebut anggota masyarakat diharuskan bertingkah laku sedemikian rupa sehingga kepentingan anggota masyarakat yang lain akan terjaga dan terlindungi dan apabila dilanggar maka akan dikenakan sanksi.
Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil yaitu kesemua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan kepentingan(hak-hak dan kewajiban-kewajiban) perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil.
2. SIFAT HUKUM PERDATA
Dalam hukum perdata, orang yang merasa haknya dilanggar maka disebut sebagai penggugat sedangkan orang yang ditarik kepengadilan yang dianggap melanggar hak orang lain/ penggugat maka ia disebut tergugat. Apabila penggugat lebih dari satu maka disebut sebagai penggugat l, penggugat ll dan seterusnya, bergitu juga dengan tergugat yang lebih dari satu maka disebut sabagai tergugat l, tergugat ll dan seterusnya.
Menurut yurisprudensi, gugatan ditujukan kepada yang secara nyata menguasai barang sengketa (putusan MA 1 Agustus 1983 no.1072 K/Sip/1982). Sedangkan istilah turut tergugat yang digunakan untuk menyebut bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban melakukan sesuatu namun hanya demi lengkapnya suatu gugatan maka harus diikut sertakan.
Diatas telah dikemukankan bahwa penggugat adalah seorang yang merasa bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang dirasa melanggar haknya itu sebagai tergugat. Kata merasa dan dirasa sengaja dipakai karena belum tentu benar-benar melanggar hak penggugat.
Dalam hukum acara perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak adanya suatu perkara, harus diambil oleh pihak penggugat. Hal ini berbeda dengan sifat hukum acara pidana yang pada umumnya tidak menggantungkan adanya perkara dari inisiatif orang yang dirugikan.
Penggugat mempunyai pengaruh besar terhadap jalannya perkara, dalam batas-batas tertentu penggugat dapat merubah atau mencabut kembali tuntutannya namun apabila tergugat sudah memberikan jawaban maka kedua hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan izin tergugat. Walaupun penggugat memiliki pengaruh besar dalam jalannya perkara namun apabila gugatannya sudah diajukan ke pengadilan maka ia terikat oleh peraturan yang sudah baku yang sifatnya memaksa. Misalnya tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek, banding, kasasi dan peninjauan kembali ditentukan secara cermat dan tenggang waktu tersebut tidak bisa dilanggar, apabila dilanggar maka permohonan yang bersangkutan akan dinyatakan tidak diterima.
Bukan hanya para pihak termasuk kuasanya saja yang terikat dalam peraturan, tata cara atau peraturan permainan hukum acara perdata tetapi juga hakim yang memeriksa perkara tersebut.
3. HUKUM ACARA PERDATA POSITIF
Hukum acara perdata nasional hingga kini belum juga diatur dalam undang-undang begitu juga dengan dengan RUU tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum yang telah disahkan pada sidang pleno B.P. L.P.H.N. ke 13 pada tanggal 12 juni 1967 yang belum juga disahkan.
Kaidah-kaidah hukum acara perdata sebagian termuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.) yang berlaku untuk kepulauan lainnya di Indonesia, Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (B.W) dalam buku keempat, Reglement Catatan sipil yang memuat kaidah-kaidah yang semula hanya berlaku untuk golongan tertentu yang baginya berlaku perdata barat.
Ada juga yang terdapat pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU No. & Tahun 1989 tentang peradilan Agama, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan untuk banding, UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan peradilan Ulangan yang khusus untuk wilayah Jawa dan Madura yang kemudian berdasarkan yurisprudensi kini juga berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura.
Apabila ada masalah-masalah yang tidak diatur dalam H.I.R dan R. Bg maka dapat dipakai peraturan yang terdapat dalam Reglement of de Burgelijke rechtsvordering (R.V.). Surat Edaran Mahkamah Agung pun mempengaruhi hukum acara perdata misalnya S.E.M.A No.02 tahun 1964 yang berisi intruksi penghapusan sandera.
4. SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA H.I.R.
Perancang H.I.R. adalah ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhr. Mr. H. L. Wichers yang merupakan seorang jurist bangsawan pada masa itu. Beliau diberi tugas oleh Gubernur Jendral Jan Jacob R. untuk merencanakan sebuah reglemant tentang administrasi, polisi, acara perdata,dan acara pidana bagi golongan Indonesia yang waktu itu bagi golongan Indonesia berlaku Staatblad 1819 No. 20 yang memuat 7 pasal perihal hUkum acara perdata.
Dalam waktu 8 bulan, ia telah menyelesaikan rancangannya serta peraturan dan penjelasannya. Kemudian didengarkannya pendapat para hakim agung, diantara mereka ada yang setuju dan ada yang tidak setuju kemudian mengajukan usul untuk ditambah dengan lembaga penggabungan, penjaminan, intervensi dan rekes sipil seperti pada R.V., namun hal itu ditentang dengan alasan
1. Kalau ditambah-tambah menjadi tidak sederhana,
2. R.V. saja yang diberlakukan jika maksudnya ingin lengkap.
Kemudian dengan usulan seorang hakim yang berpengalaman akhirnya ditambahkan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang setelah diubah dan ditambah kini jadi pasal yang penting yaitu pasal 393 H.I.R. karena didalamnya dinyatakan dengan tegas bahwa H.I.R berlaku, akan tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat dipergunakan peraturan lain yang lebih sesuai yaitu peraturan yang mirip dengan peraturan yang terdapat dalam R.V.
Rancangan tersebut diterima oleh Gubernur Jendral dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848 dengan Stbl. 1848 No.16 yang disebut sebagai Het Inlands Reglement (I.R.) dan mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848. Pada tanggal 29 september 1849 I.R disahkan dengan Firman raja No.93 dan diumumkan dengan Stbl.1849 No.63.
Perubahan dan penambahan terjadi beberapa kali namun pada tahun 1941 terjadi perubahan yang mendalam karena terbentuknya Lembaga Kejaksaan. Karena perubahan yang mendalam dalam bahasa belanda adalah herzien maka selanjutnya disebut Het Herziene Indonesisch Reglement. Setelah Negara kita merdeka maka diadakan penerjemahan maka H.I.R disebut pula dengan R.I.B.(reglement Indonesia Baru)
BAB II
CARA MENGAJUKAN GUGAT
1. PENGERTIAN PERMOHONAN DAN GUGATAN
Dalam perkara gugatan dikenal istilah penggugat dan tergugat yang digunakan untuk menyebutkan pihak yang merasa haknya dilanggar dan pihak yang dirasa melanggar hak penggugat, sedangkan dalam permohonan dikenal istilah pemohon saja untuk menyebutkan pihak yang memohonkan sesuatu ke pengadilan.
Gugatan dan permohonan mempunyai perbedaan yaitu dalam gugatan adanya konflik atau sengketa yang harus diselesaikan dan diputuskan di pengadilan sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa. Dalam gugatan hakim berfungsi mengadili dan memutuskan siapa diantara pihak penggugat dan tergugat yang benar dan yang tidak benar. Dalam permohonan hakim sekedar bertugas menjadi seorang tenaga tata usaha negara yang mengeluarkan suatu ketetapan atau lazim disebut putusan declaratoir.
Permohonan biasanya mengenai permohonan pengangkatan anak angkat, Pewalian, pengampuan, perbaikan catatan sipil dan sebagainya.
2. PERIHAL KEKUASAAN MUTLAK DAN KEKUASAAN RELATIF
Dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan yaitu wewenang mutlak atau absolute competentie dan wewenang relatif atau relative competentie.
Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili atau attributie van rechtsmacht. Contohnya masalah perceraian bagi yang beragama islam maka berdasarkan UU no.1 tahun 1974 pasal 63(1)a wewenang tersebut ada pada pengadilan agama. Untuk masalah warisan, sewa menyewa, utang piutang, jual beli, gadai, hipotik berada dalam wewenang pengadilan negeri.
Wewenang relatif atau distributie van rechtmacht, mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengdilan yang serupa. Adapun asas yang berwenang adalah pengadiilan negeri tempat tinggal tergugat atau disebut actor sequitur forum rei.
Terhadap asa Actor Sequitur Forum Rei, terdapat beberpa pengecualian misalnya terdapat pada pasal 118 H.I.R yaitu sebagai berikut:
1. Gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat, apabila tidak diketahui tmpat tinggal tergugat;
2. Apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, gugat diajukan pada tempat tinggal salah satu tergugat, penggugatlah yang menentukan pilihan dimana gugatan tersebut diajukan;
3. Akan tetapi pad ad 2 tadi apabila pihak tergugat ada 2 prang misalnya yang 1 orang yang berhutan dan yang lain sebagai penjamin maka gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri pihak berhutang. Secara analogis dengan ketentuan yang termuat dalmam pasal 118(2)bagian akhir ini, apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda, gugatan harus diajukan di tempat tinggal tergugat;
4. Apabila ditempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugat diajukan kepada ketua pengadilan negari tempat tinggal penggugat;
5. Dalam ad 4 tadi apabila gugatan mengenai barang tetap, dapat juga diajukan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang itu terletak. Gugatan ini harus tentang barang tetap artinya untuk mendapatkan barang tetap tersebut;
6. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, guga diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal yang dilih dalam akta tersebut.
Pengecualian-pengecualian lain yang terdapat pada B.W, R.V dan UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan antara lain:
1. apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka pengedalinan, gugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tingal orang tuanya, walinya atau pengampunya(pasal 21 B.W)
2. yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri di daerah mana ia bekerja (pasal 20 B.W)
3. buruh yang menginap ditempat majikannya, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikannnya.
4. tentang kepailitan, yang berwenang untuk mengadilinya adalah pengadilan negeri yang menyatakan tergugat pailit(pasal 99 ayat 15 R.V)
3. PERIHAL GUGAT LISAN DAN TERTULIS
Menurut ketentuan pasal 118 HIR gugat harus diajukan dengan surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya yang telah diberi surat kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani surat gugatan tersebut.. Surat permintaan itu disebut sebagai surat gugatan.
Bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang berwemnang mengadili perkara tersebut, berdasarkan ketentuan pasal 120 HIR maka ketua pengadilan negeri akan membuat gugatan yang dimaksud. Untuk surat gugatan yang bercap jempol harus dilegalisasi terlebih dahulu sesuai dengan putusan mahkamah agung tanggal 24 agustus 1978 no. 769 K/Sip/1975.
Surat gugatan harus memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan. Dalam hokum acara perdata bagian dari gugat disebut Fundamenteum Petendi atau posita yang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum. Surat gugatan juga harus dilengkapi dengan petitum yaitu hal-hal apa yang diinginkan oleh penggugat agar diputuskan dan hakim wajib mengadili semua bagian dai petitum serta dilarang untuk memutuskan lebih dari apa yang diminta penggugat.
5. PERIHAL PARA PIHAK YANG BERPERKARA, PERWAKILAN ORANG, BADAN HUKUM DAN NEGARA
Pada asasnya setip orang boleh berperkara di depan pengadilan namun ada pengecualian yaitu mereka yang belum dewasa dan orang yang sakit ingatan, mereka itu harus diwakili oleh orang tua atau walinya atau juga pengampunya dalam berperkara.
Perseroan Terbatas yaitu suatu badan hukum dapat juga menjadi pihak yang berperkara. Yang ahrus bertindak untuk dan atas nama badan hukum tersebut adalah direktur PT tersebut.
Apabila negara yang digugat maka gugatan harus diajukan terhadap pemerintahan republik Indonesia. Gugatan tersebut dapat diajukan di pengadilan negeri Jakarta maupun luar Jakarta tergantung dimana perbuatan tersebut dilakukan.
Seseorang yang mewakili salah satu pihak yang berperkara harus merupakan wakil yang sah, mempunyai surat kuasa yang menyebutkan nomor perkara, pengadilan negeri dimana dan untuk apa surat kuasa tersebut.
Surat kuasa khusus dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta otentik dihadapkan seorang notaris. Surat kuasa tersebut dapat dilimpahkan kepada orang lain pada bagian akhirnya memuat kalimat”surat kuasa ini diberikan dengan hak subtitusi” yang artinya menggantikan orang yang semula diberi kuasa dan orang yang telah melimpahkan kuasanya maka tidak berhak lagi untuk mewakili pihak yang bersangkuatan.
Surat kuasa juga dapat dilakukan dengan lisan dimuka persidangan yang nantinya dimuat secara lengkap dalam berita acara pemeriksaan sidang. Apabila pemberian kuasa tersebut untuk mengajukan banding atau kasasi maka tidak diperlukan lagi surat kuasa khusus.
BAB IIl
PERIHAL ACARA ISTIMEWA
l. PENGERTIAN GUGUR DAN PERSTEK
Jika pada hari sidang yang ditentukan untuk mengadili perkara tertentu, salah satu pihak baik penggugat maupun tergugat dan atau tidak menyuruh wakilnya maka berlakulah acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan 125 HIR akan tetapi bila salah satu penggugat atau tergugat hadir maka tidak berlakulah hal acara istimewa ini.
Pada pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur yang berbunyi sebagai berikut :
“Jikalau sip[enggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pengadilan negeri pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat dihukum membayar biaya perkara; akan tetapi sipenggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukkan gugatannya sekali lagi.”
Dalam bunyi pasal 124 HIR terdapat kalimat “telah dipanggil dengan patut”. Artinya yang bersangkutan telah dipanggil dengan cara pemanggilan menurut UU yang dilakukan jurusita dengan membuat berita acara pemanggilan pihak-pihak yang dilakukan terhadap yang bersangkutan atau wakilnya yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu. Apabila cara pemanggilan tidak dilakukan dengan sah maka hakim sekali lagi akan menyuruh juru sita untuk memanggil pihak penggugat tersebut dan biaya pemanggilan tersebut menjadi tanggungan jurusita.
Dalam hal penggugat, sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para ahliwarisnya untuk meneruskan gugatan atau justru mencabut gugatan tersebut. Ahliwaris datang menghadap pada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk mengutarakan maksudnyadan surat gugatan tersebut harus diubah dengan mencantumkan para ahli waris sebagai penggugat, apabila ada salah seorang ahli waris tidak mau ikut menggugat, agar gugatan tersebut tidak dinyatakan tidak diterima maka ahli waris yang tidak mau menggugat diikut sertakan sebagai turut tergugat, sekedar untuk tunduk dan taat terhadap putusan hakim. Apabila gugat digugurkan maka dibuatlah surat putusan dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
Perstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia telah menurut hukum acara harus datang. Perstek hanya dapat dinyatakan apabila tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang pertama dan apabila perkara diundurkan sesuai dengan pasal 126 HIR, juga pihak tergufgat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Persoalan perstek diatur dalam pasal 125 HIR.
Apabila tergugat / para tergugat hadir pada sidang pertama dan tidak hadir dalam sidang-sidang berikutnya lalu hakim mengundurkan sidang maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir(dengan adanya perlawanan). Dalam pemeriksaan apabila ada seorang atau lebih dari sekian banyak tergugat ti9dak pernah hadir dalam sidang pemeriksaan perkara yang bersangkutan maka harus dijatuhkan putusan contradictoir.
Pada pasal 125 ayat 1 HIR menentukan bahwa untuk putusan perstek yang mengabulkan gugatan diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut :
1. tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan,
2. ia/mereka tidak mengirimkan wakil atau kuasanya yang syah untuk menghadap,
3. ia/mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut,
4. petitum tidak melawan hak,
5. petitum beralasan.
2. CARA PEMBERITAHUAN PUTUSAN PERSTEK
Putusan perstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan dan kepadanya diterangkan bahwa ia berhak untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek tersebut kepada pengadilan negeri yang sama, dalan tenggang waktu dan dengan cara yang telah ditentukan dalam pasal 129 HIR.
Dalam surat putusan perstek tertulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis, didalamnya juga menggambarkan keadaan yang benar-benar terjadi.
Seperti halnya berita acara pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang maka surat pemberitahuan putusan perstek dibuat oleh juru sita atas sumpah jabatan dan merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
3. KEHARUSAN PENGUNDURAN SIDANG APABILA SALAH SEORANG TERGUGAT PADA SIDANG PERTAMA TIDAK DATANG
Ketentuan pasal 126 HIR memberi kebebasan pada hakim apabila dianggap perluy untuk mengundurkan sidang serta memanggil kembali para pihak, bila para pengugat atau salah seorangnya ataupun para tergugat atau salah seorangnya tidak hadir dalam sidang pertama. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada keharusan untuk menjatuhkan putusan perstek atau putusan gugur.
Pada pasal 127 HIR menegaskan apabila pada sidang yang pertama salah seorang tergugat tidak datang ataupun tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya untuk datang kepengadilan maka pemeriksaan perkara akan ditangguhkan pada hari persidangan lain. Tetapi apabila yang tidak datang itu adalah si penggugat maka sidang dapat diteruskan. Bila tergugat telah dipanggil lagi oleh pengadilan dan tetap tidak datang maka persidangan tetap dilanjutkan dan dianggap tergugat tidak mengajukan perlawanan dan akan diputus secara contradictoir.
4. CARA MENGAJUKAN PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN PERSTEK
Cara mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek diatur dalam pasal 129 HIR. Menurut pasal 129 ayat 1 HIR, yang dapat mengajukan gugatan adalah tergugat yang dihukum dengan putusan tidak hadir dan tidak menerima dengan putusan itu. Perlawanan terhadap putusan perstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa.
Tenggang waktu mengajukan perlawanan adalah :
1. dalam waktu 14 hari setelah putusan perstek diberituahukan kepada pihak yang kalah itu sendiri.
2. sampai hari ke-8 setelah teguran seperti yang dimaksud dalam pasal 196 HIR apabila teguran itu datang menghadap
3. kalau ia tidak datang waktu ditegur, sampai hari ke-8 setelah sita eksekutor.
Perlawanan terhadap putusan perstek hanya dapat diajukan 1 kali saja atrinya hanya terhadap putusan perstek tang pertama saja sedangkan pada putusan perstek yang kedua yang bersangkutan hanya diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding.
Perihal mengenai banding ini diatur dalam pasal 8 UU no. 20 tahun 1947 yang berbunyi sebagai berikut :
1. Dari putusan pengadilan negeri yang dijatuhkan di luar hadir tergugat, tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulang melainkan hanya dapat mempergunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat minta pemeriksaan ulang tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
2. jika, dari sebab apapun juga tergugat tidak dapat mempergunakan hak perlawanan dalan pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh menggunakan pemeriksaan ulang.
Dari pasal tersebut diatas tampak jelas bahwa tergugat yang untuk pertama kalinya dikalahkan dengan putusan perstek, tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding melainkan hanya diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan perstek saja sesuai dengan pasal 129 HIR.
BAB IV
PERIHAL PEMERIKSAAN DALAM SIDANG PENGADILAN
1. SIFAT DAN ARTI AKTA PERDAMAIAN DIPERBANDINGKAN DENGAN PERDAMAIAN DILUAR SIDANG
Mungkin untuk menyelesaikan sebuah sengketa antara 2 pihak atau lebih dapat dipilih penyelesaian diluar siding secara damai dapat dengan bantuan teman baik ataupun kepala desa, apabila jalan damai itu berhasil maka gugatan harus dicabut tetapi bila tidak maka sidang akan dilanjutkan.
Adapun cara berdamai di depan hakim selama perkara diperiksa. Menurut ketentuan pasal 130 ayat 1 HIR, hakim sebelum memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga dalam taraf banding oleh pengadilan negeri. Apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara maka dibuatlah akta perdamaian dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Oleh karana perdamaian bersifat mau sama mau antar pihak maka terhadap putusan damai itu menurut ketentuan pasal 130 ayat 3 HIR yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan atau kasasi
2. PERIHAL JAWABAN TERGUGAT, GUGAT GINUGAT DAN EKSEPSI
Perihal jawaban tergugat, gugat ginugat dan eksepsi merupakan persoalan-persoalan yang akan dibahas secara bersama-sama dan sekaligus maka pada umumnya diajukan bersama-sama dalam jawaban tergugat. Sesungguhnya HIR menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan namun kini sudah lazim jawaban tergugat diajukan secara tertulis dalam bentuk replik yang kemudiam dijawab oleh pihak penggugat secara tertulis juga dalam bentuk duplik.jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam :
1. jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau eksepsi
2. jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (Verweer ten pricipale)
tentang tangkisan / eksepsi, HIR hanya mengenal 1 macam eksepsi ialah eksepsi perihal tidak berkuasanya hakim.
Eksepsi tersebut terdiri dari 2 macam yaitu eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaan relatif, kedua eksepsi itu disebut eksepsi prosesuil dal hukum acara perdata.
Eksepsi yang berdasarkan hukum materiil ada 2 macam yakni :
1. eksepsi dilatoir yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan
2. eksepsi peremptoir yaitu eksepsi yang menghalangi dikabuklannnya gugatan.
Eksepsi yang menyangkut kekuasaan absolut adalh eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak termasuk wewenang pengadilan negeri akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan lain. Hal ini diatur dalam pasal 134 HIR. Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung bahkan hakim wajib karena jabatannya.
Eksepsi mengenai kekuasaan relatif adal eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tertentu tidak berkuasan mengadili perkara tertentu.
Jawaban tergugat yang mengenai pokok perkara hendaknya dibuat dengan jelas, pendek dan berisi, langsung menjawab pokok persoalan dengan mengemukakan alsan-alasan yang mendasar.
Perihat gugat ginugat, gugat balasan, gugat balik, atau gugat rekonpensi diatur dalam pasal 132a dan pasal 132b HIR dari kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau para tergugat apabila ia atau mereka kehendaki dalam semua perkara untuk mengajukan gugat balasan atau gugat balik terhadap penggugat.
Pada asasnya gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara, pengecualiannya adalah dalam 4 hal yang disebut dalam pasal 132b HIR
1. jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat sedang gugat balasan mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya
2. jika pengadilan negeri, kepada siapa gugat asal dimasukkan, tidak berhak oleh karena berhubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan
3. dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan
4. jika dalam pemeriksaan tingklat pertama tidak dimasukkan gugat balasan maka dalam tingkat banding tidak boleh mengajukan gugat balasan.
Gugat balasan pun dapat diajukan secar lisan dipersidangan yang nantinya akan dicatat dalm berita acara sidang. Hal ini biasa terjadi di kota-kota kecil yang penduduknya memiliki perkara perdata. Gugat balasan biasanya diputuskan dalam satu putusan bersama gugat asal. Pertimbangan hukumnya yang menuat 2 hal yaitu pertimbangan dalam kopensi dan pertimbangan dalam rekopensi.
Gugat balasan sangat bermanfaat bagi pihak yang berperkara seperti menghemat ongkos perkara, mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian, menghindarkan putusan yang saling bertentangan
3. PERIHAL M,ENAMBAH ATAU MENGUBAH SURAT GUGATAN
HIR tidak mengatur perihal menambah atau mengubah surat gugatan, sehingga hakim leluasa untuk menentukan sejauhmana penambahan surat gugat itu akan diperkenankan. Sebagai patokan dapat dipergunakan ketentuan bahwa perubahan atau penambahan surat gugat diperkenankan asalkan kepentingan-kepentingan kedua belah pihak jangan sampai dirugikan.
Perihal perubahan atau penambahan gugat yang dimohonkan oleh penggugat diajukan setelah tergugat mengajukan jawaban serta harus mendapat persetujuan dari tergugat apabila tergugat tidak setuju dengan hal itu maka permohonan akan ditolak. Sebaliknya dalam hal pengurangan gugatan biasanya akan diperbolehkan oleh hakim.
HIR tidak mengatur mengenai perihal pencabutan gugat akan tetapi dalam praktek prihal pencabutan gugatan senantiasa diizinkan selama pihak tergugat tidak mengajukan jawaban.
4. PENGIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DALAM PROSES
Perihal pengikut sertaan pihak ketiga dalam proses tidak diatur dalam HIR. Namun apbila dibutuhkan dalam praktek dapat mengambil alih bentuk yang terdapat dalam peraturan lain seprti vrijwaring, voeging, tussenkomst yang berpedoman pada RV tapi disesuaikan dengan kebuituhan praktek.
Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila dalam suatu perkara yang sedang diperiksa di pengadilan, diluar belah pihak yang berperkara, ada pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut. Cara mengajukannya bahwa pihak tergugat dalam jawabannya secar lisan atau tertulis mohon kepada majelis hakim agar diperkenankan untuk memanggil seorang sebagai pihak yang turut berperkar dalam perkara yang sedang diperiksa majelis tersebut untuk melindungi tergugat. Permohonan semacam ini disebut gugatan insidentil dandengan putusan sela akan diputuskan apakah gugatan insidentil itu akan dikabulkan atau ditolak karena dianggapan tidak beralasan, putusan sela tersebut bdisebut putusan insidentil.
Penggugat dalam pokok perkara ditanya pendapatnya mengenai jawaban yang diajukan tergugat dalam vrijwaring tersebut. Dalam hal ini disampingtergugatb dapat mengajukanpermohonan vrijwaring juga sepeti dalam gugatan biasa dalam pokok perkara dapat diajukan gugat balasan. Maka akan terjadi bahwa penggugat semula menjadi penggugat konpensi/ tergugat dalam rekonpensi dan tergugat semula menjadi tergugat dalam konpensi/ penggugat dalam rekonpensi sedang pihak ketiga yang ditarik daln perkara ini menjadi tergugat dalam vrijwaring.
Hampir sama keadaannya dengan penjaminan tersebut, tussenkomst atau intervensi adalah percampuran pihak ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses dimana pihak ketiga ini tidak memihak baik terhadap penggugat maupun kepada tergugat melainkan hanya memperjuangkan kepentingan sendiri.Oleh karena ada intervensi ini, maka perdebatan menjadi perdebatan segitiga. Kemudian putusan dijatuhkan sekaligus dalam satu putusan.
Lain lagi dari percampuran pihak ketiga yang merasa berkepentingan lalu mengajukan permohonan kepada majelis agar diperkenankan mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin mkenggabungkan dirikepada salah satu pihak. Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga untuk ikut proses terlebih dahulu harus didengar kesemuanya pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim mempertimbangkan kepentingan masing-masing sebelum menolak atau mengabulkan percampuran pihak ketiga tersebut.
5. PERIHAL KUMULASI GUGATAN DAN PENGGABUNGAN PERKARA
Kumulasi gugatan tidak diatur dalam HIR. Pada umumnya setiap gugatan harus berdiri sendiri, penggabungangugat hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertantuyaitu apabila pihak penggugat atau tergugat yang masih itu-itu juga orangnya.
Apabila suatu gugatan ditujukan kepada seseorang dalam 2 kualitas, hal itu tidak diperkenankan. Misalnya beberapa penggugat secara bersama-sama menggugat beberapa tergugat dalam satu surat gugat, agar mereka membayar utang masing-masing kepada masing-masing penggugat. Hal ini tidak diperkenankan karena perkara-perkara itu tidak mempunyai koneksitas yang satu dengan yang lainnya.
Apabila pada 1 pengadilan ada 2 perkara yang saling berhubungan apalagi para pihak itu juga yang saling berperkara maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar perkara tersebut digabungkan. Permohonan penggabungan itu apabila diajukan oleh penggugat harus diajukan dalam surat gugat yang kedua atau gugat yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat maka hal itu harus diajukan bersama-sama dalam jawaban pertama. Untuk menggabungkan perkara tersebut dijatuhkan putrusan sela yang disebut putusan insidentil. Penggabungan perkara dan kumulasi gugatan diatur dalam pasal 134 dan 135 RV.
BAB V
PERIHAL PEMBUKTIAN
1. ARTI DAN PRINSIP PEMBUKTIAN SERTA ALAT-ALAT BUKTI
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatanbenar-benar ada atau tidak. Adanya hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi, maka gugatannya ditolak, apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya.
Selain untuk hal-hal yang telah diakui setidak-tidaknya tidak disangkal, masih terdapat satu hal lagi yang tidak harus dibuktikan, ialah berupa hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui khalayak ramai. Hal yang disebut terakhir ini dalam hukum acara perdata disebut faktor notoir. Adalah sudah diketahui khalayak ramai, sudah merupakan pengetahuan umum, merupakan notoir, bahwa pada hari minggu semua kantor-kantor pemerintahan tutup dan harga tanah di kota, terutama di Jakarta, lebih mahal daripada harga tanah di desa. Fakta notoir merupakan hal atau keadaan yang sudah diketahui pula sendiri oleh hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah dan berdasarkan alat-alat tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hokum acara perdata, cukup dengan kebenaran formil saja.
Pasal 162 H.I.R berbunyi bahwa tentang bukti dan tentang menerima atau menolak alat bukti dalam perkara perdata, hendaklah pengadilan negeri memperhatikan peraturan pokok yang berikut ini. Ketentuan dalam pasal ini merupakan perintah kepada hakim dalam hal hukum pembuktian harus berpokok pangkal kepada peraturan-peraturan yang terdapat dalam HIR dari pasal 163 sampai seterusnya.
Perihal tersebut dijawab oleh pasal 164 H.I.R yang menyebutkan 5 macam alat-alat bukti, ialah:
1. Bukti surat
2. Bukti saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpahan
Dalam praktek masih terdapat satu bukti lagi yang sering dipergunakan, ialah “pengetahuan hakim”. Yang dimaksud “pengetahuan hakim” adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim dalam siding, misalnya hakim melihat sendiri pada waktu melakukan pemeriksaan setempat bahwa benar ada barang-barang penggugat yang dirusak oleh tergugat dan sampai seberapa jauh kerusakannya.
2. BUKTI SURAT
Dalam pasal 137 HIR yang berbunyi kedua belah pihak boleh timbale balik menuntut melihat surat keterangan lawannya yang untuk maksud itu diserahkan kepada hakim. Hal ini memungkinkan kepada ke-2 belah pihak untuk minta dari pihak lawan untuk menyerahkan kepada hakim surat-surat yang berhubungan dengan perkara.
Pada pasal 138 HIR mengatur bagaimana cara bertindak apabila salah satu pihak menyangkal keabsahan dari surat bukti yang diajukan oleh pihak lawan. Apabila terjadi demikian maka pengadilan negeri wajib mengadakan pemeriksaan khusus mengenai hal itu. Dalam proses perdata bukti tulisan merupakan bukti yang penting dan utam. Acara perdata mengenal 3 macam surat.
1. surat biasa, merupakan surat yang tidak sengaja dijadikan sebagai bukti dan tidak dibuat secara formal.
2. Surat otentik,surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya. Surat ini mempunyai kekuatan bukti formil dan materil bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya sedangkan bagi pihak ketiga hanya sebagai bukti bebas serta mempunyai kekuatan yang mengikat.
3. Surat dibawah tangan,surat ini yang isi dan tanda tangannya maka kekuatan pembuktiannya hamper sama dengan akta otentik.
3. BUKTI SAKSI
Dalam suasana hokum adat dikenal 2 macam saksi yaitu saksi yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang dipersoalkan dan saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hokum itu dilakukan sengaja telah diminta untuk menyaksikan perbuatan hokum tersebut.
Dalam pasal 145 HIR yang berbunyi :
1. Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
b. Suami atau isteri salah satu pihak, meskipun telah bercerai
c. Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka sudah berumur lima belas tahun
d. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya terang
2. Akan tetapi keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi karena keadaan itu dalam perkara tentang keadaan menurut hokum sipil daripada orang yang berperkara atau tentang suatu perjanjian pekerjaan.
3. Orang yang tersebut dalam pasal 146 HIR 1 a dan b tidak berhak minta mengundurkan diri daripada member kesaksian dalam perkara yang tersebut dalam ayat dimuka
4. Pengadilan negeri berkuasa akan mendengar diluar sumpah anak-anak atau orang-orang gila yang kadang-kadang terang ingatannya yang dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi keterangan mereka hanya dipakai selaku penjelasan saja.
Dapat pula terjadi bahwa dalam pemeriksaan perkara perdata didengar kesaksian orang asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia atau orang bisu tuli, mengenaai hal itu pada pasal 151 HIR memberikan petunjuk agar supaya pasal 284 dan 285 HIR tentang saksi dalam pemeriksaan perkara pidana diberlakukan dalam hal ini.
4. PERSANGKAAN
Persangkaan dalam hokum acara perdata menyerupai petunjuk dalam hokum acara pidana. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang menarik kesimpulan adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas.
Menurut pasal 1916 BW persangkaan undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, yang dihubungakan dengan perbuatanm-perbuatan tertantu.
Persangkaan-persangkaan semacam itu antara lain :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal
2. Hal-hal dimana oleh UU diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu.
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hokum yang tetap
4. Kekuatan yang oleh UU diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak.
5. PENGAKUAN
Ada 2 macam pengakuan yang dikenal dalam hokum acara perdata :
1. Pengakuan yang dilakukan didepan sidang
2. Pengakuan yang dilakukan diluar sidang
Kedua pengakuan tersebut mempunyai nilai pembuktian yang berbeda.
Menrut ketentuan pasal 174 HIR bahwa pengkuan yang diucapkan didepan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberatkan orangyang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri, baikpun diucapkan oleh orang yang istimewa dikuasakan untuk mengatakannya.
Pengakuan diluar sidang yang dilakuakan secara tertulis atau lisan merupakan bukti bebas. Perbedaannya terltak pada bahwa pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak usah dibuktikan lagi tentang adanya pengakuan tersebut, sedang pengakuan diluar sidang yang dilakukan secara lisan apabila dikehendaki agar dianggap terbuktia adanya pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau bukti lainnya.
Tentang pengakuan berembel-embel ada 2 yaitu :
1. Pengakuan dengan klausula
2. Pengakuan dengan kwalifikasi
6. BUKTI SUMPAH
Pasal pasal dari HIR yang mengatur perihal sumpah adalah pasal-pasal 155, 156, 158 dan 177.
Yang disumpah adalah salah satu pihak oleh karana yang menjadi bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan dengan sumpah bukannya sumpah itu sendiri.
Ada 2 macam sumpah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim dan supah yang dimohonkan oleh pihak lawan, baik sumpah penambah (pasal 155 HIR) maupun sumpah pemutus bermaksud mennyelesaikan perkara.
Pasal 156 HIR mengatur perihal sumpah pemutus. Sumpah pemutus ataupun sumpah decisoir memutuskan persoalan, menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Oleh karan sumpah itu disebut juga sumpah penentu.
0 comments:
Post a Comment