Sunday, April 10, 2016

PENAFSIRAN HTN

PENAFSIRAN HTN 

BAB I
PENDAHULUAN
 
A.    Latar belakang
Penafsiran hukum kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Setiap peraturan perundang-undangan bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sifatnya umum, dan pasif karena tidak menimbulkan akibat hukum kalau tidak terjadi peristiwa konkret. Peraturan yang bersifat abstrak itu memerlukan rangsangan agar dapat aktif. Oleh karena itu, setiap ketentuan perundang-undangan perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Bahkan teks undang-undang itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Pihak yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut. Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Pada bidang hukum tata negara, penafsiran dalam hal ini judicial interpretation (penafsiran oleh hakim), juga dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam suatu teks Undang Undang Dasar.
B.    Rumusan Masalah

1.    Konsep Penafsiran HTN
2.    Macam-macam Penafsiran HTN
3.    Penafsiran HTN Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Konsep penafsiran HTN

    Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.cara penafsiran hukum:

1)Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
         Dalam pengertian subyektif ,apabila ditafsirkan seperti yang di kehendaki oleh pembuat undang-undang.Dalam pengertian obyektif,apabila penafsiran lepas dari pada pendapat pembuat undang-undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.

2)Dalam pengertian sempit dan luas.
     Dalam pengertian sempit(restriktif),yakni apabila dalil yang ditafsirkan di beri pengertian yang sangat di batasi misalnya;Mata uang (pasal 1756 KUH Perdata)pengertian hanya uang logam saja dan barang di artikan benda yang dapat dilihat dan di raba saja.dalam pengertian luas (ekstensif),ialah apabila dalilyang di tafsirkan di beri pengertian seluas-luasnya.Misalnya: Pasal 1756Perdata alinea ke-2 KUH Perdata tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a)    Otentik,Ialah penafsiran yang seperti diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang      di lampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.Penafsiran ini mengikat umum.
b)    Doktrinair,Ialah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya para ahli.hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c)    Hakim,Penafsiran yang bersumber pada hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu(pasal 1917 ayat (1) KUH Perdata.

B.    Macam-macam metode penafsiran HTN

    Macam-macam penafsiran HTN ada 10 macam, yaitu:
1.    Penafsiran tata bahasa (gramatikal).
    Pada penafsiran gramatikal ketentuan yang terdapat di peraturan perundang-undangan ditafsirkan dengan berpedoman pada arti perkataan menurut tatabahasa atau menurut kebiasaan.
2.    Penafsiran sahih (autentik/resmi).
    Penafsiran autentik adalah penafsiran yang dilakukan berdasarkan pengertian yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
3.    Penafsiran historis.
Penafsiran historis dilakukan berdasarkan:
a.    Sejarah hukumnya, yaitu berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut.
b.    Sejarah undang-undangnya, yaitu dengan menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada saat membentuk undang-undang tersebut.
4.    Penafsiran sistematis.
    Penafsiran sistematis dilakukan dengan meninjau susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang yang sama maupun dengan undang-undang yang lain.
5.    Penafsiran nasional.
    Penafsiran nasional merupakan penafsiran yang didasarkan pada kesesuaian dengan sistem hukum yang berlaku.
6.    Penafsiran teleologis (sosiologis).
    Penafsiran sosiologis merupakan penafsiran yang dilakukan dengan memperhatikan maksud dan tujuan dari undang-undang tersebut. Penafsiran sosiologis dilakukan karena terdapat perubahan di masyarakat, sedangkan bunyi undang-undang tidak berubah.
7.    Penafsiran ekstensif.
    Penafsiran ekstentif dilakukan dengan memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
8.    Penafsiran restriktif.
    Penafsiran restriktif dilakukan dengan mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan.
9.    Penafsiran analogis.
    Penafsiran analogis dilakukan dengan memberikan suatu kiasan atau ibarat pada kata-kata sesuai dengan asas hukumnya,
10.    Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
    Penafsiran a contrario adalah penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang.

C.    Penafsiran HTN di Indonesia
    Interpretasi atau penafsiran Merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Penafsiran Hukum
    Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang ssmenyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara dapat dituntut.
    Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio.
Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-undang.
    Cara-cara atau metode penafsirannya ada bermacam-macam ialah sebagai berikut:
1). Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie).
2). Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie).
3). Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang bersangkutan  (sistematische interpretatie).
4). Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie).
5). Penafsiran otentik (authentieke interpretatie).
6.) Penafsiran analogis.
7). Penafsiran a contrario.
8). penafsiran ekstensif
9). Penafsiran restrictif
10). Penafsiran perbandingan
    Dalam menghadapi kekosongan hukum, hakim melakukan konstruksi hukum atau penafsiran analogis. Disini hakim mengadakan penafsiran atas suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. misalnya, menyambung aliran listrik dianggap mengambil aliran listrik.
1). Penafsiran gramatikal,  adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata di dalam undang-undang tersebut.
2). Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie).
3). Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal satu dengang pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkakutan atau perundang-undangan lain atau membaca penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudya.
4). Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masarakat.
5). penafsiran otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang dilakukan  oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan,
6). Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias, sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak cocok dengan peraturannya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan itu.
7). Penafsiran a contratrio yaitu penafsiran dengan cara melawankan pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
8). Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan.
9). Penafsiran restriktif  yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam peraturan.
10). Penafsiran perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.

BAB III
PENUTUP
 
A.    Kesimpulan
    Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
macam-macam cara penafsiran hukum:
1. Penafsiran Dalam pengertian subyektif dan obyektif.
2. Penafsiran Dalam pengertian sempit dan luas.
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a. otentik
b. Doktrinair atau Ilmiah
c. Hakim
        macam- macam metode penafsiran
1.    Penafsiran tata bahasa (gramatikal).
2.    Penafsiran sahih (autentik/resmi).
3.    Penafsiran historis.
4.    Penafsiran sistematis.
5.    Penafsiran nasional.
6.    Penafsiran teleologis (sosiologis).
7.    Penafsiran ekstensif.
8.    Penafsiran restriktif.
9.    Penafsiran analogis.
10.    Penafsiran a contrario (menurut peringkaran).
        cara penerapan metode penafsiran  pertama-tama selalu dilakukan penafsira gramatikal,karna pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan  perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu arti kata-katanya.Apabila perlu dilanjutkan  dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.


DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqiey, Prof.Dr.jimly, S.H, pengantar ilmu hukum tata negara. jakarta: skretariat jendral dan kepaniteraan mahkamah konstitusi. 2006

Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum yang di akses daari http://adzata.blogspot.com/2012/11/berbagai-cara-penafsiran-dalam-ilmu.htm diakses tanggal 4 oktober 2014

Penafsiran hukum diakses dari http://kuliahhukum-rozieq.blogspot.com/2011/12/penafsiran-hukum.html diakses tanggal 4 oktober 2014


















0 comments:

Post a Comment