Sunday, April 10, 2016

PERKAWINAN CAMPURAN DAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

                           PERKAWINAN CAMPURAN DAN BEDA AGAMA MENURUT
                                         UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
 
                                                                           ARTIKEL

Abstrak
Perkawinan di Indonesia sesuai dengan syariat Islam telah lama terlaksana, yakni sejak zaman kedatangan Islam di bumi nusantara. Karena perkawinan adalah hal yang sangat disunnahkan dalam Islam dan mengingat bahwa Indonesia dihuni oleh penduduk yang hetorogen baik dari agamanya, budayanya maupun  suku bangsanya, maka sangat besar kemungkinan terjadi perkawinan antara satu kewarganegaraan menika (kawin) dengan orang yang berkerwarganegaraan lain begitu pula halnya dengan perkawinan anatara orang yang berbeda agama, umpamanya orang yang beragama Islam kawin dengan orang yang beragama lain. Oleh karena kompleksitas pelaksanaan perkawinan seperti itu dan juga dikhawatirkan terjadinya persoalan-persoalan social yang negatif, maka oleh pemerintah membuat suatu kebijakan tentgang perkawinan, termasuk perkawinan campuran dan perkawinan beda agama. Kebijakan tersebut ditandai dengan diformalkannya sejumlah aturan perundang-undangan yang mengatur tentag perkawinan dan berlaku bagi semua kewarganegaraan dan pemeluk agama di Indonesia. Aturan tentang perkawinan di Indonesia semakin jelas, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan disertai dengan aturan pelaksanaannya dengan keluarnya PP No. 9 Tahun 1975. Selanjutanya oleh pemerintah juga mengeluarkan Kepres tentang pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (KHI),  kemudian  terbit pula Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diberi kewenangan menangani perkara umat Islam di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, washiat, dan wakaf. Dengan adanya undang-undang dan peraturan lainnya tentang perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, berarti bahwa siapa saja (orang Islam) yang melangsungkan perkawinan di negari ini, di samping harus merujuk pada syarat dan rukun yang ada dalam fikih Islam, harus pula merujuk pada peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu maka perkawinan campuran dan perkawinan beda agama di Indonesia, semakin jelas aturannya sehingga akan lebih mempermudah bagi pelaksana-pelaksananya untuk melayani setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan. Namun, dalam kenyataannya masih ditemukan sebagian mereka yang melangsungkan perkawinan menyalahi aturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Sehingga masih terdapat kasus-kasus perkawinan antara orang yang berbeda agama dan juga masih berbeda kebangsanaan.

          Kata kunci: Perkawinan campuran, beda agama dan Undang-undang.
    Pendahuluan
     A.  Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan  kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.” ( UU No.1/Th 1974, pasal 1)
Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, dibawah ridha Allah SWT.
Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka memilih karena 4 perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya , agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya.
Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya disatu sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu undang-undang perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Departemen Agama merupakan satu-satunya instansi pemerintah yang diberi amanat berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengawasan dan pencatatan dalam memberikan pelayanan nikah dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan di seluruh Indonesia. Oleh karena itu buku nikah yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi mereka yang beragama Islam merupakan dokumen yang mempunyai status kekuatan hukum yang sama dengan akta perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang beragama selain agama Islam. Untuk itu tidak ada alasan bagi sebagian negara yang mengharuskan warganegaranya yang kawin dengan warganegara Indonesia untuk melaksanakan pendaftaran ulang perkawinannya pada Kantor Catatan Sipil.
Maka dari itulah kami mencoba melakukan tinjauan dan
ulasan masalah Perkawinan Campuran dan perkawinan
Antar Pemeluk Agama di tinjau dari Hukum Perdata Islam di Indonesia.

B.Pengertian dan Beberapa Istilah Perkawinan
1.Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974)
2.Perkawinan Campuran adalah Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57 )
3.Perkawinan antar pemeluk agama, dimaksudkan seorang laki-laki beragama Islam akan nikah dengan seorang perempuan pemeluk agama non muslim atau sebaliknya.
     C.  Azas-azas Perkawinan.
Hubungan antara laki-laki dan wanita dalam ikatan tali perkawinan merupakan sunnatullah, ketetapan Allah yang ditentukan pada alam/ manusia  dan makhluk lainnya dan bagi seorang muslim perkawinan merupakan ibadah. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhananyang Maha Esa. Perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan terjamin kelangsungan dan mempunyai kepastian hukum, maka perkawinan perlu dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh Karena itu berdasarkan ketentuan tersebut maka perkawinan bagi penduduk Indonesia tidak hanya merupakan ikatan keperdataan saja tetapi juga mempunyai ikatan batiniah sebagai refleksi dari pelaksanaan ajaran Agama dan kepercayan yang dianutnya.
Hal ini akan terlihat pada saat dilakukan upacara perkawinan, tidak boleh ada  perkawinan satu jenis antara pria dengan pria atau antara wanita dengan wanita, tidak boleh ada perkawinan yang dibatasi waktunya yang disebut dengan istilah kawin kontrak, karena dalam  perkawinan kontrak tidak bersifat kekal.
Di samping itu perkawinan harus dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa hukum agama dan kepercayaan yang dipeluknya menjadi dasar yang menentukan bagi keabsahan atau tidaknya perkawinan yang dilakukan oleh yang bersangkutan.
     Tujuan perkawinan menurut ajaran Islam adalah sebagai berikut :
1.Menyempurnakan tingkat pengamalan agama. Pernikahan adalah perintah agama Islam yang harus dijalankan oleh manusia bagiyang mampu berkeluarga.
2.   Menjaga kehormatan, tatkala seorang telah mencapai dewasa, dorongan seksual cukup deras dan terkadang tidak mampu menahan. Dengan perkawinan, dorongan seksual akan lebih terkendali sehingga kehormatan seseorang dapat terjaga dengan baik.
3. Menggapai ketenangan, kecintaan dan kasih sayang. Perkawinan diharapkan untuk memberi ketenteraman jiwa, memupuk jalinan cinta dan saling memberikan kasih sayang di antara pasangan.
4.   Melestarikan keturunan
5.   Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Ada beberapa azas yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan  Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
      a.   Azas Ketuhanan Yang Maha Esa
Perkawinan yang dilakukan oleh WNI harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu setiap perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya clan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam harus dilakukan menurut yketentuan hukum agama Islam (hukum munakahat), begitu pula bagi mereka yang beragama selain agama Islam dilakukan menurut hukum agama yang dipeluknya.

b.  Azas Pencatatan
      Dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menetapkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-¬masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 2 tersebut, maka perkawinan itu selain harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan yang dipeluknya, juga harus dihadapan Pegawai Pencacat Nikah dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan bagi rnereka yang beragama Islam. Terhadap mereka yang tidak memenuhi ketetentuan sebagaiman tersebut di atas maka perkawinannya dinyatakan tidak sah. Pegawai Pencatat Nikah (Penghulu) adalah pejabat yang diberi wewenang, hak dan tanggung jawab berdasarkan undang-undang untuk melakukan pemeriksaan, dan pencatatan perkawinan.
      Adapun tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk:
(1). Memberikan kepastian hukum bagi  pernikahan yang bersangkutan. (2). Menjadi bukti otentik dengan adanya buku nikah. (3). Mendapatkan perlindungan hukum, dan menjadi dasar bagi yang besangkutan untuk menuntut ke Pengadilan apabila salah satu pihak merasa teraniaya. (4).Menjadi terlaksananya tertib administrasi negara, sehingga dapat diketahui jumlah penduduk Indonesia yang melaksanakan perkawinan setiap tahunnya.
c.  Asas Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Bagi Suami istri dalam perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, dan masing-masing suami istri dapat melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, dan apabila cukup alasan hukum bahwa tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri, maka suami dapat mengajukan permohonan talak, sedangkan istri dapat melakukan gugatan cerai pada Pengadilan.
d.  Asas Kematangan Jiwa
Bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan diperlukan kedewasaan dan kematangan jiwa dan raganya. Usia dewasa berdasarkan Undang-Undang Perkawinan adalah 21 Tahun, baik bagi calon pria maupun wanita. Sehingga bagi mereka yang telah berusia 21 tahun dianggap telah dewasa untuk kawin dan tidak diharuskan lagi adanya surat izin untuk menikah dari kedua orang tuanya. Sedangkan bagi yang berusia kurang dari 21 tahun bila akan menikah harus ada izin dari kedua orang tuanya, dengan ketentuan bagi pria telah berusia 19 tahun dan bagi wanita telah berusia 16 tahun. Kemudian bagi pria yang usianya kurang dari 19 tahun dan bagi wanita yang usianya kurang dari 16 tahun, maka yang bersangkutan untuk dapat menikah terlebih dahulu harus mendapat izin/dispensasi dari Pengadilan.
e.  Poligami dibatasi secara ketat.
Perkawinan menurut undang-undang ini adalah monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang, hanya dapat dilakukan  apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu secara berturut-turut yakni isteri tidak dapat menjalankan tugas sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; Adanya persetujuan dari isteri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya, adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya; Izin dari pengadilan.
 f.  Perceraian dipersulit.
Perceraian suatu yang amat tidak disenangi oleh isteri, merupakan pintu darurat dalam mengatasi krisis. Oleh karena itu undang-undang menentukan  bahwa untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. D. Perkawinan Campuran
 
1. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974.
a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57)
b.Ruang Lingkup.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
      Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
1). Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
2)   Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
3). Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. ( pasal 58 ).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini. ( pasal 59 ).
Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan transnasional dan atau intemasional.
Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau globalisasi di pelbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi problem/permasalahan.
           c.  Tatacara Perkawinan Campuran
Bagi Warga Negara Asing yang akan melakukan perkawinan campuran di Indonesia, maka    yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)  Fotokopi paspor yang sah
2)  Surat     izin    menikah    dari    kedutaan   negara
     pemohon
3)  Surat Status dari catatan sipil negara pemohon
4)  Pasfoto uuran 2×3 sebanyak 3 lembar
5) Kepastian kehadirin wali  atau menyerahkan wakalah wali bagi WNA Wanita.
            6)  Membayar biaya pencatatan
Bagi pihak WNI harus memenuhi mekanisme pelayanan pernikahan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan.
1) Calon pengantin datang ke kantor kepala desa/ kelurahan untuk mendapatkan:    
a) Surat Keterangan untuk nikah (N.1)
b) Surat Keterangan asal usul (N.2)
      c) Surat Persetujuan mempelai (N.3),
      d) Surat Keterangan tentang orang tua (N.4),
      e) Surat pemberitahuan kehendak nikah (N.7)
2) Calon Pengantin datang ke Puskesmas untuk mendapatkan :
            a) Imunisasi Tetanus Toxsoid 1 bagi calon pengantin wanita,
b)  Kartu imunisasi,
c)  Imunisasi Tetanus Toxoid II,
      Setelah proses pada poin (1) dan (2) selesai, calon pengantin datang ke KUA kecamatan, untuk :
1).Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis ( menurut model N7), apabila calon pengantin berhalangan pemberitahuan nikah dapat dilakukan oleh wali atau wakilnya;
2).Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebesar 30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah). (PMA Nomor 147 Tahun 2004).
                  3). Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh penghulu.
(a)   Surat keterangan untuk nikah menurut N.1 (b)   Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa/ pejabat setingkat menurut model N2;
(c)   Persetujuan kedua calon mempelai menurut model N3,
(d)   Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/ pejabat setingkat menurut model N4,
(e)  Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun menurut model N5.
(f) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud angka 5 di atas diperlukan izin dari pengadilan. (g) Pasfoto masing-masing 3×2 sebanyak 3 lembar. (h) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 tahun. (i)   Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari atasanya atau kesatuannya.
(j) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang.                           
(k)  Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/ cerai bagi mereka  yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 1989.                          
(l)   Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/ istri dibuat oleh kepala desa/ lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar pengisian model N6 bagi janda/ duda yang akan menikah.  
(m)  Surat ganti nama bagi warganegara Indonesia keturunan.
4). Penghulu sebagai PPN memasang pengumuman kehendak nikah (menurut model NC) selama 10 hari sejak saat pendaftaran.
5). Catin wajib mengikuti kursus calon pengantin selama 1 hari.
6). Calon pengantin memperoleh sertifikat kursus calon pengantin.
7).  Pelaksanaan akad nikah dipimpin oleh penghulu.
8). Penghulu segera menyerahkan buku nikah kepada pengantin setelah pelaksanaan akad nikah.
9).Pendaftaran kehendak nikah diajukan kepada KUA kecamatan minimal 10 hari kerja sebelum pelaksanaan pernikahan.
       d.  Tata cara legalisasi Buku Nikah
1)   Mengisi formulir permohonan
2)   Menyerahkan buku nikah asli
3) Menyerahkan fotokopi buku nikah yang sudah dilegalisir oleh KUA tempat nikah
4)   Menyerahkan fotokopi KTP bagi WNI
5)   Menyerahkan fotokopi paspor bagi WNA
6)Menyerahkan surat izin menikah dari kedutaan negara pemohon bagi  perkawinan campuran.
7)Menyerahkan surat kuasa dan Kartu Tanda Penduduk yang mengurus, apabila pengurusan dilakukan orang lain.
 2.   Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
             1.Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken”, selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan ( Pasal 1 ). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asiny, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
 
b. Perkawinan  campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel).
                           Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
d.   Perkawinan Campuran Antar Agama
        Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama.
       Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 .M dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa “Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai !arangan terhadap suatu perkawinan campuran.” Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900
E.  Perkawinan Beda Agama
1.   Menurut UU N0. 1 tahun 197 4
Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.
Di samping itu lembaga pencatatan perkawinan di Indonesia hanya di Kantor Urusan Agama Kecamatan bagi yang beragama Islam, sedangkan bagi yang non Islam, pencatatannya di Catatan Sipil. Jika antara calon suami dengan calon isteri berlainan agama, maka tidak ada lembaga pencatatan perkawinannya. Oleh karena itu sebelum akad nikah kedua calon harus memilih untuk mengikuti agama dari salah satunya.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
 Perkawinan beda agama menurut kompilasi hukum Islam sama dengan prinsip yang ada pada fiqh munakahat yaitu perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik dilarang, sedangkan dengan ahli kitab dibolehkan.
3.  Menurut Hukum Islam
a.Kawin dengan perempuan musyrik.
 Para Ulama sepakat bahwa laki-laki muslim tidak halal kawin dengan perempuan penyembah berhala, perempuan zindiq, perempuan ke luar dari Islam, penyembah sapi, perempuan beragama politeisme. Firman Allah SWT:

Terjemahnya:  “Dan janganlah kamu kawin dengan perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Seorang budak perempuan Mukmin lebih baik dari perempuan musyrik walaupun mengagumkan kamu. Dan janganlah kamu kawinkan perempuan perempuan Muslim dengan laki-Jaki musy¬rik sebelum mereka beriman. Seorang budak laki-laki Mukmin lebih baik dari laki-laki musyrik walaupun mengagumkan kamu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak kamu ke sorga dan keampunan dengan izinNya. (Q.S:Al-Baqarah: 221)
b.Menurut hukum agama Islam seorang laki-laki muslim boleh nikah dengan wanita beragama Nasrani dan Yahudi yang disebut dengan ahli al-kitab sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 5.

Terjemahnya: Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila  kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi, (QS. Al-Maidah: 5).
 Perempuan musyrik tidak mempunyai Agama yang mengharam¬kannya berbuat khiyanat, mewajibkannya berbuat amanah, menyu¬ruhnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat jahat. Apa yang dikerjakannya dan pergaulan yang dilakukannya terpengaruh oleh ajaran-ajaran kemusyrikan, padahal ajaran berhala ini berisi khurafat dan sangkaan-sangkaan, lamunan dan bayangan-bayangan yang dibisikkan syaitan. Karena itu ia akan bisa berkhianat kepada suaminya dan merusak akidah agama anak-anaknya. Bilamana laki-laki Muslim kawin dengannya karena tertarik akan kecantikan¬nya, maka hal ini akan membuat perempuannya lebih bangga hidup dalam kesesatannya, bahkan tambah menyesatkannya. Jika matanya terpedaya oleh rupa yang cantik dan hatinya tergila kepada kecantikan, berarti dia terjerumus ke dalam kesenangan akan kecantikan dan melupakan nasib buruk yang menimpanya.
Adapun perempuan Ahli Kitab tidaklah berbeda jauh dengan ke¬adaan laki-laki mukmin. Karena ia percaya kepada Allah dan ber¬ibadah kepadaNya, percaya kepada para Nabi, hari kemudian dan pembalasannya, dan memeluk agama yang mewajibkan berbuat baik, mengharamkan berbuat jahat.
Perbedaan hakiki yang besar an¬tara kedua orang tersebut adalah mengenai keimanan pada kerasulan Muhammad s.a.w. Orang yang percaya kepada adanya kenabian, ti¬daklah akan ada perintang untuk percaya kepada kenabian Muham¬mad s.a.w. sebagai penutup para Nabi, kecuali karena kebodohannya terhadap ajaran yang dibawa oleh beliau. Sebab apa yang dibawa oleh beliau sama seperti yang pernah dibawa oleh para Nabi sebelumnya, tetapi dengan beberapa tambahan yang sesuai dengan tuntutan kema¬juan zaman, dan memberikan persiapan untuk menampung lebih banyak hal-hal yang akan terjadi oleh kemajuan zaman. Atau rintang¬an bagi orang yang tidak percaya kepada kenabian Muhammad kare¬na secara lahir menentang dan menolak ajaranNya, tetapi hati kecil¬nya mengakui kebenarannya.
Adapun dimaksud Perkawinan Antar Pemeluk Agama adalah perkawinan antar orang
 (pria/wanita) yang berlainan agama yaitu orang Islam dengan yang bukan orang bukan Islam.” (Zuhdi 1991: 4).
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam Undang-undang No. 1 Tahun. 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maupun dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun. 1991. Namun demikian, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang larangan orang Islam mengawini orang yang tidak beragama Islam yang diatur dalam pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam yaitu :
1.Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tetentu :
a.karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria   lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.seorang wanita yang tidak beragama Islam.
      2. Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa Seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 dan 44 KHI, tersebut mengatur larang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda sehingga jelas apabila terjadi perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda berarti perkawinannya tidak sah.
Akan tetapi apabila dilihat dari pemahaman fiqh di Indonesia, memungkinkan trjadinya perkawinann antara seorang pria yang beragama Islam untuk menikah dengan wanita ahlul kitab. Karena mempunyai kitab suci yang berasal dari wahyu Allah. Hal ini berasal dari pemahaman tekstual firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 5.
Moh. Daud Ali berpendapat bahwa dalam surah Al-Maidah ayat 5 tersebut, Allah memberi keringanan berupa hak kepada pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab. Selanjutnya ia menegaskan bahwa keringanna itu hanya diberikan kepada pria muslim, tidak kepada wanita muslimah.
Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa lelaki muslim halal kawin dengan wanita Yahudi atau Nasrani, namun demikian ia disyaratkan harus mampu menyelamatkan kehidupan agamanya, agama anak-anak, dan umat Islam pada umumnya.
Mencermati pendapat di atas mengenai perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda dalam kaitannya dengan UU No. 1 Th. 1974 dan KHI, maka dapat disebut persolan khilafiyah.
Adapun macam-macam Perkawinan antar Pemeluk Agama dan Hukumnya, Islam membedakan hukumnya sebagai berikut :
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Musyrik. Islam melarang perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik, berdasarkan Firman Allah SWT, yaitu:
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu “. (Q.S Al-Baqarah ayat 221).
Dikalangan ulama berbeda pendapat siapa musyrikah yang haram dinikahi itu. Menurut Ibnu Jarir At-Thabrani, seorang ahli Tafsir bahwa musyrikah yang dilarang itu adalah dari bangsa Arab karena pada waktu turunnya Al-Qur’an memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Akan tetapi kebanyakan dari pada ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah bai darinbangsa Arab ataupun bukan, selain ahlul kitab tidak boleh dikawini.   
Perkawinan antar seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab, Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa seorang pria Muslim boleh kawin dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi atau Kristen), berdasarkan firman Allah SWT,
….. Terjemahnya:….. Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, ….. (Q.S- Al-Maidah ayat 5).
 Namun demikian, ada sebagian ulama yang melarang perkawinan antar seorang pria   Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi, karena pada hakikatnya doktrin dan praktek ibadahnya itu mengandung unsur syrik yang cukup jelas.    Adapun Perkawinan  antara seorang wanita Muslimah dengan pria Non Muslim, Ulama    telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita Muslimah dengan seorang pria non-muslim. Adapun dalil yang menjadi dasar wanita hukum untuk larangan kawin antara wanita Muslimah dengan pria non-muslim  sesuai dengan Firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 221 : “dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik daripada orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu.”
Menurut Ijama’ para ulama bahwa hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan Islam selain ahlul kitab, ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir kepercayaannya berbeda. Mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti kepercayaan mereka.
F. Kesimpulan
   1. Perkawinan adalah salah satu sunnah Rasulullah saw, yang sangat dianjurkan, dan dianggap berdosa bagi orang Islam yang tidak mau melaksanakan perkawinan. Rasulullah saw. Sangat benci kepada orang Islam yang tidak mau menikah, oleh karenanya dia (orang tersebut) dianggap tidak termasuk golongan Rasulullah saw.
   2. Perkawinan di Indonesia telah diatur menurut perundang-undangan dan juga peraturan pemerintah, sehingga memberikan kemudahan kepada setiap pelaksana perkawinan untuk melangsungkan perkawinan berdasarkan regulasi yang telah ada. Dengan demikian maka persoalan social yang sering timbnul akibat perkawinan, terutama perkawinan campuran dan perkawinan beda agama sudah dapat ditekan, sehinghga dapat memberikan kenyamanan dan ketertiban bagi masyarakat yang hidap berdampingan antara suku bangsa dan beda agama secara harmonis.
3. Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada    hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 57)
4.  Di dalam undang-undang tentang perkawinan di Indonesia ini tidak diatur perkawinan antar atau beda agama, karena menganut azas perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berarti jika perkawinan itu sah menurut ketentuan hukum Islam, maka sah menurut undang-undang dan bila perkawinan itu tidak sah menurut agamanya, maka tidak sah menurut undang-undang.

                                                                 DAFTAR PUSTAKA
 
1.  Al-Quran al-Karim
         2.  Departemen Agama RI, Tafsir al-Quran, 2004
           3.   Kitab UU Hukum Perdata BW
4.   UU Dasar Negara RI No. 1945
5. UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
6.    UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
7.    UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
8.    Kompilasi Hukum Islam, 1991
9.    BPHN – Pengkajiari Hukum tentang Perkawinan Campuran Tahun 1992/1993
10.  BPHN – Penelitian Hukum tentang Permasalahan Hukum dalam Praktek
       Perkawinan Antar Agama Dalam Hal Harta Perkawinan, Warisan, dan Status Anak 
       tahun 1993/1994.
11.  PHN – Aspek-aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Perkawinan Campuran
       Tahun 1993.
12.  Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Anak Hasil Perkawinan Antar
       WNI dan WNA Tahun 2004.
13.   Majdi, Analisis Fatwa Hukum Munakahat, 2006



0 comments:

Post a Comment