Sunday, April 10, 2016

FIQIH MAWARIS: HUKUM WARIS MENURUT HUKUM ADAT

HUKUM WARIS MENURUT HUKUM ADAT


                                                                            BAB I
                                                                  PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang

Hukum waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris dapat dilukiskan sebagai berikut:
1.   Hak purba/pertuanan ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2.   Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh para ahli waris.
3.   Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku semula meninggal.
4.   Struktur pengelompokkan wangsa/sanak, demikian pula bentuk perkawinan turut menentukan bentuk dan isi pewarisan.
5.   Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berimah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di lapangan hukum waris. Hukum waris dalam arti luas yaitu penyelenggaraan pemindah-tanganan dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.

                                                                            BAB II
                                                                   PEMBAHASAN
 
A.    Waris menurut hukum adat
1.TakTerbaginyaHartaBenda
Tidak terbaginya harta peninggalan ini di sementara lingkungan hukum berhubungan dengan asas bahwa harta - benda yang diterima dari nenek moyang tidak mungkin dimiliki selain dari pada bersama - sama dengan para ahli waris lainnya yang secara keseluruhan merupakah kesatuan yang tak terbagi.
Sepanjang seseorang semasa hidupnya memperoleh harta pencarian (harta hasil usaha         pribadi), maka harta tersebut sepeninggalannya berpindah sebagai kebulatan tak terbagi     kepada keturunannya yang berhak atas itu, yang semasa hidup si pewaris juga sudah                                                                                                                                                                    berhubungan dengan harta tersebut selaku ahli-waris.[3]

Kemungkinan pertama
            Harta kekayaan tetap tak terbagi karena :
a.       tidak mungkin dibagi
b.      kelompok kerabat mempunyai hak bersama, biasanya dibawah pimpinan mamak kepada waris (Minangkabau), kepala dari (Ambon) selaku kepala kerabat.
Bila harta kerabat semacam ini terbengkalai : “guntung” (Minangkabau), “linyap” (Ambon) karena kerabatnya punah, maka harta tersebut dapat jatuh ke tangan kerabat-kerabat-kerabat yang karib atau bila mereka tidak ada, kepada masyarakat.


Kemungkinan kedua
            Harta peninggalan itu mungkin juga tidak terbagi karena yang berhak mewaris hanyalah satu anak, yaitu anak laki-laki tertua (pada sebagian penduduk asli Lampung, kebanyakan pula di Bali), anak perempuan tertua sebagian) dan kalau tidak ada, anak laki-laki bungsu (pada suku Semnedo di Sumatera Selatan, suku Dayak Landak dan Tayan di Kalimantan-Barat).

Kemungkinan Ketiga
            Mungkin harta peninggalan itu tidak terbagi karena sesudah meninggalkan si pemilik, hartanya dijadikan harta keluarga sebagai kesatuan tak terbagi. Dasarnya ialah pikiran bahwa yang diperoleh itu memang tersedia untuk mencukupi kebutuhan dan keinginan materiil keluarga yang bersangkutan.

b. Pembagian Semasa Hidup dan Wasiat
1.    Pembagian/pembekalan semasa hidup
Pembagian harta-kekayaan (sekaligus ataupun sebagian demi sebagian) semasa hidup di pemilik merupakan kebalikan dari tetap tak terbaginya harta peninggalan, meskipun kedua-keduanya berdasarkan pokok pikiran yang sama (harta kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat, diperuntukkan dasar hidup materiil bagi para warganya dalam generasi-generasi berikutnya). Di waktu anak menjadi dewasa meninggalkan rumah orang tuanya, membentuk keluarga mandiri (mencar, manjai), ia seringkali dibekali tanah pertanian, pekarangan dengan rumahnya, ternak, benda-benda tersebut sejak semula menjadi dasar materiil keluarga baru dan merupakan bagiannya di dalam harta keluarga, yang kelak akan diperhitungkan pada pembagian harta peninggalan, sesudah kedua orang tuanya meninggal.

2. Wasiat
            Pemilih harta-benda semasa hidupnya dapat pula dengan cara lain melakukan pengaruh atas dan oleh karena itu mendorong ke arah pembagian harta peninggalan.

1.    “Hibah” – “Wasiat”
Cara pertama yang jarang ditempuh ini disebut dengan istilah Islam : hibah-wasiat. Lembaga tersebut bermanifestasi dalam perbuatan pemilik yang bertujuan: agar bagian tertentu dari harta kekayaanya diperuntukkan bagi salah seorang ahli-warisnya sejak saat pewaris yang bersangkutan meninggal dunia.

2.    “Wekas”, “welking”, “umnat”   
Pembagian harta secara lain yang lebih umum dikenal dan dipraktekkan diseluruh Nusantara terjadi kalau seorang pemilik pada akhir hayatnya menjumlah dan menilai harta-kekayaannya serta mengemukakan keinginan dan harapannya berkenaan dengannya kelak.

c.       Ahli Waris
a.       Waris Utama :
Pada umumnya yang menjadi ahli-waris ialah para warga yang paling karib di dalam generasi berikutnya, ialah anak-anak yang didasarkan di dalam keluarga/barayan si pewaris, yang pertama-pertama mewaris ialah anak-anak kandung. Namun pertalian dan solidaritas keluarga itu di semnetara lingkungan hukum diterobos oleh ikatan dan pertaubatan kelompok kerabat yang tersusun unilineal. Pada kerabat-kerabat yang merupakan bagian clan (patrilineal ataupun matrilineal), maka dalam hal ini terasalah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan kelaurga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut.

Lembaga Hidup waris
            Titik pangkal : harta keluarga sejak semula diperuntukkan dasar hidup materiil bagi mereka yang lahir dari keluarga yang bersangkutan mendapatkan realisasinya di dalam asas penggantian tempat, lembaga hidup waris. Keturunan dari anak (waris) yang meninggal mendahului pewarisnya, menerima porsi orang tuanya dari harta peninggalan kakeknya. Hanya peradilan agama (Islam) – lah yang kadang-kadang menyebabkan penerobosan asas tersebut.

Posisi janda 
            Mengenai posisi janda di dalam harta peninggalan, hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing tidak berhak mewaris, namun selaku isteri turut memiiki harta yang diperoleh selama, karena dan untuk ikatan perkawinan (harta kebersamaan), disamping itu di semua wilayah ia berhak atas nafkah seumur hidup dari harta peninggalan suaminya, kecuali di wilayah yang tidak memerlukan aturan demikian itu berhubung dengan tata susunan sanak yang matrilineal.

Kebersamaan harta Perkawinan
            Dalam hal ada kebersamaan harta perkawinan dan tidak ada keturunan, maka sipeninggal jodoh yang satu, yang tinggal hidup mewaris seluruh harta kekayaan/peninggalan, jika jodoh terakhir inipun meninggal pula, maka harta tersebut dibagi sama rata di antara para warga kerabat kedua pihak, atau dua pertiga untuk kerabat suami dan sepertiga bagi kerabat pihak isteri.

Anak Angkat
            Anak angkat berhak mewaris selaku anak, sedangkan sebagai unsur asing ia tidak berhak. Sepanjang adopsi itu melenyapkan sifat unsur asing dan menimbulkan sifat anak, maka anak angkat yang bersangkutan berhak mewaris sebagai anak. Itulah titik pangkal hukum adat.

Perbuatan Tunai
            Selaku perbuatan tunai, adopsi selalu menimbulkan hak mewaris sepenuhnya. Pendorong ke arah pengangkatan anak ialah biasanya hasrat meneruskan.mengoperkan harta-kekayaan kepada anak angkatnya, yang pada hakekatnya bermakna : mempertahankan garis hidup sendiri didalam proses umum kontinuasi generasi.

Pewarisan tanpa anak
            Pewarisan harta-benda dalam hal tiada anak telepas dari tuntutan hak jodoh yang hidup terlama dan anak angkat adalah mudah.

d.                  Bagian –Bagian harta Peninggalan
1.      Harta benda Kerabat
Perbedaan dalam pewarisan antara benda-benda yang berasal dari kerabat (harta warisan), dengan yang diperoleh secara mandiri di dalam keluarga, sering tampak jelas dalam hal si pewaris tidak mempunyai anak : barang asalnya kembali kepada kerabatnya sendiri (agar tidak hilang) sedangkan benda – benda keluarganya jatuh ke tangan jodoh yang masih hidup.
Telah kita ketahui bahwa di sementara lingkungan hukum, ikatan kerabat yang kuat dapat pula mempengaruhi pewarisan benda-benda yang diperoleh didalam keluarga.
2.                  Harta- Benda Keluarga
Perbedaan dalam pewarisan akibat solidaritas keluarga dapat timbul berhubung dengan adanya perkawinan kedua.
Jika dua isteri dari satu suami membentuk keluarga sendiri-sendiri dengan anak-anak mereka masing-masing, maka harta benda keluarga-keluarga itupun tetap terpisah.
3.                  Harta-Benda Martabat Tertentu
Benda-benda keramat di dalam suatu kerabat dapat terkait pada kualitas pemiliknya.

2.  Menurut Hukum Islam
a.      Dasar – dasar pewarisan Islam
Kaum muslimin yang sama-sama melakukan hijrah meninggalkan kampung halamannya sendiri memiliki ikatan bathin yang kuat, karena merasa senasib dan sependeritaan. Dalam hukum ini, apabilah salah seorang diantara mereka meninggal dunia, maka harta peninggalannya diwarisi oleh kerabatnya (ahli warisnya) yang sama-sama ikut berhijrah.[4]
Kemudian apabila sipeninggal warisan dari muhajir itu tidak mempunyai kerabat yang ikut hijrah, maka yang mewarisi hartanya adalah walinya dari golongan anshor.[5]
Adapun dasar-dasar kewarisan menurut Hukum Islam atau yang disebut juga dengan ashabul morots ada tiga :
1.      Qorobah
Pertalian hubungan darah adalah dasar pewarisan yang utama. Pertalian lurus keatas disebut ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati, termasuk ibu, bapak, kakek, nenek dst.
2.      Semenda
Perkawinan yang syah menurut syariat, menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami dan istri.
3.      Wala
Yang dimaksud wala’ disini ialah kerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budaknya.

b.      Rukun dan Syarat Kewarisan
1.      Al-Muwaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi maupun mati hukmi. Mati hukmi yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
2.      Al-Waris atau ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati lantaran memiliki dasar/sebab kewarisan
3.      Mauruts, yaitu harta peninggalan simati yang sudah bersih setelah dikurangi untuk biaya perawatan jenazahnya pembayaran hutangnya dan pelaksanaanya wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.
Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia harus benar-benar hidup pada saat muwarrisnya meninggal dunia. Persyaratan ini penting artinya terutama pada ahli waris yang mafdgud (hilang tidak diketahui beritanya) dan anak yang masih dalam kandungan ibunya.

c.       Unsur – Unsur Kewarisan
Proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang msih hidup dalam hukum Kewarisan Islam mengenal tiga unsur, yaitu : pewaris, harta warisan dan ahli waris.
1.      Yang Mewariskan atau Pewaris
Pewaris, yang dalam literatur fikih disebut al-muwarrits, ialah seseorang yang telah meninggal dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan perinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sedauh matinya pewaris, maka kata “pewaris” itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah mati. 

2.      Harta  Warisan
Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ah;I warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit  atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli

Macam-macam Harta Warisan
            Dengan melihat kepada kata-kata yang dipergunakan Allah untuk harta warisan yaitu “ apa-apa yang ditinggalkan”, yang dalam pandangan ahli Ushul Fikih berarti umum, maka dapat dikatakan bahwa harta warisan itu terdiri dari beberapa macam. Bentuk yang lazim adalah harta yang berwujud benda, baik benda bergerak, maupun benda tidak bergerak.      

3.      Ahli Waris Dan Haknya
Ahli waris atau disebut warits dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan perpenuhinya persyaratan sebagai berikut :
1.      Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris
2.      Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan.
3.      Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

Perincian Ahli waris
1.      Ahli Waris dalam hubungan kerabat
a.    Anak laki-laki dan akan perempuan
Dasar kewarisan anak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah firman Allah dalam surah al-Nisa ayat 11.
b.    Cucu, baik laki-laki maupun perempuan
Yang dimaksud dengan cucu dalam pendaat ini adalah anak- anak dari anak laki-laki seterusnya kebawah dan anak-anak dari anak perempuan seterusnya kebawah.
Menurut golongan Ahli sunnah, cucu laki-laki dan cucu perempuan baru mendapat hak kewarisn bila sudah tidak ada anak laki-laki, baik anak laki-laki itu ayahnya sendiri atau saudara ayahnya.
c.    Ayah
Ayah dapam kedudukannya sebagai ahli waris dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surah al-Nisa’ ayat 11. ayah sebagai ahli waris tidak dapat terhijab secara penuh oleh siapapun.
d.    Ibu
Hak ibu dalam kewarisan dijelaskan Allah dalam al-Qur’an ayat 11 surah al-Nisa. Dan seperti ayah, ibu tidak dapat dihijab secara penuh oleh siapapun.
e.    Kakek
Kakek berhak mendapat warisan bila ayah sudah tidak ada lagi, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ayah. Selama perantara itu masih hidup ia tidak berhak atas harta warisan. Kakek dapat mewaris bersama anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan,  atau cucu, baik laki-laki atau perempuan.
f.    Nenek
Nenek dari pihak ayah berhak menerima warisan bila ayah dan ibu sudah meningal lebih dahulu, karena hubungannya kepada pewaris adalah melalui ibu maupun ayah. 
g.    Saudara
Saudara kandung menjadi ahli waris bila tidak ada anak atau cucu dan tidak ada pula ayah. Alasan tertutupnya saudara oleh anak adalah firman Allah surat al-Nisa’ayat 12 dan 176 yang menyatakan bahwa saudara baru menjadi ahli waris bila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu.
Tentang tertutupnya saudara oleh ayah didasarkan kepada saudara baru berhak menerima warisan bila pewaris adalah punah atau kalalah (QS.IV:176) sedangkan pengertian pengertian kalalah oleh orang Arab menurut yang dipahami jumhur ulama ialah tidak mempunayi anak dan juga tidak mempunyai ayah.
Saudara seayah mendapat hak warisan sebagai pengganti saudara kandung. Saudara kandung lebih dekat kepada pewaris dibandingkan saudara seayah, karena pertaliannnya dengan saudara kandung melalui dua jalur ayah dan jalur ibu, sedangkan dengan saudara seayah hanya satu jalur yaitu jalur ayah saja.
Saudara seibu baru berhak mendapat warisan bila tidak ada anak atau cucu dari pewaris, baik laki-laki atau perempuan, tidak ada pula ayah dan kakek. Saudara kandung ataupun seayah tidak menutup hak saudara seibu. 
a.       Anak Saudara
Adanya hak kewarisan anak saudara itu pada dasarnya adalah melalui perluasan pengertian dari saudara yang haknya dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikannya oleh anaknya dijelaskan dalam al-Qur’an karena bila saudara sudah tidak ada, maka kedudukannya digantikan oleh anaknya dan anak saudara belum akan mendapatkan hak selama ayahnya yang menghubungkannya kepada pewaris masih hidup
Anak saudara kandung mendapat warisan bila sudah tidak ada saudara seayah dan orang yang menghijab saudara seayah itu, sedangkan anak saudara seayah mendapat warisan bila sudah tidak ada anak saudara kandung dan tidak ada pula orang-orang yang menutupnya. Anak saudara seibu (hanya dalam paham Syi’ah) mendapat warisan bila tidak saudara seibu dan orang yang menutup saudara seibu itu. Sebagai ahli waris, saudara beserta anak-anaknya disebut kerabat gais kesamping pertama 
b.      Paman
Penempatan paman sebagai ahli waris adalah mellaui perluasan dari pengertian kakek. Bagi mereka anak laki-laki yaitu paman atau saudara kandung atau seayah dari ayah atau yang disebut paman, sedangkan saudara ayah yang perempuan atau bibi, bukan ahli waris. Begi pula yang dapat diperluas pengertiannya hanyalah kakek, sedangkan nenek tidak dapat diperluas pengertiannnya kepada anaknya, baik laki-laki atau perempuan.
c.       Anak paman
Anak paman disini adalah anak dari paman yang hubungannya hanya dengan ayah, itu pun ayah yang kandung atau seayah dari ayah, sedangkan anak yang dimaksud hanyalah yang laki-laki. Anak bibi dalam segala bentuknya bukanlah ahli waris dalam pengertian ini

Macam-macam Ahli Waris dan Hak Masing- masing
1.    Anak perempuan. Kemungkinan bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :
a.       ½ kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak laki-laki)
b.      2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak laki-laki.
2.    Cucu perempuan. Kemungkinan bagian cucu perempuan adalah :
a.       ½ kalau ia sendiri saja atau
b.      2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan cucu laki-laki, kemudian  diantara mereka berbagai sama banyak
c.       1/6 kalau bersamanya ada anak perempuan seorang saja.
3.    Ibu. Bagian ibu ada tiga kemungkinan sebagai berikut :
a.       1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau bersama dua orang saudara atau lebih
b.      1/3 bila ia tidak bersama dengan anak atau cucu tyetapi hanya bersama ayah
c.       1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama dnegan suami atau istri 


4.    Ayah. Sebagai ahli waris szaul furudh kemungkinan bagian ayah adalah
a.       1/6 kalau ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki
b.      1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan anak atau cucu perempuan.

5.    Kakek
a.       1/6  kalau bersamanya ada anak atau cucu laki-laki
b.      1/6 bagiand an kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau cucu perempuan
6.    Nenek  (ibu dari ibu atau ibu dari ayah)
Nenek mendapat 1/6, baik ia sendirian atau lebih.
7.    Saudara peempuan kandung.
a.       ½ bila ia hanya seorang dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki kemudian diantara mereka berbagi sama banyak.
8.    Saudara perempuan seayah.
a.       ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara seayah laki-laki
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki seayah
c.       1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan 
9.    Saudara laki-laki seibu
a.       1/6 kalau ia hanya seorang
b.      1/3 kalau ia lebih dari seoarang dan diantaranya berbagi sama banyak
10.    Saudara perempuan seibu
a.       1/6 kalau ia hanya seorang diri
b.      1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama bayak
11.    Suami
a.       ½ kalau tidak ada anak atau cucu
b.      Kalau ada bersamanya anak atau cucu
12.    Istri
a.       ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris
b.      1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan.
d.      Hal – Hal Yang Mengugurkan Hak Mewarisi
Mawani’il irsi atau penghalang hak mewarisi ialah hal-hal yang dapat menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya. 
Mawani’il irsi ada empat macam, tiga diantaranya telah disepakati para        fugoha yaitu :
1.    Pembunuhan
2.    Berlainan agama
3.    Perbudakan
4.    Berlainan negara
I.        Pembunuhan
Para ulama sepakat pendapatnya (selain hawarij) bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.

II.     Berlainan Agama
Orang kafir adalah selain orang Islam baik ia beragama samawi atau bergama budaya maupu Atheis tidak beragama.
Imam Ahmad dan aliran Malikiyah menetapkan bahwa mereka tidak dapat saling mewarisi bila aham ahli waris dan pewarisnya berbeda. Adapun orang murtad mempunyai kedudukan yang tersendiri. Orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari siapapun, baik kerabatnya itu muslim ataupun bukan atau sama-sama murtad.
Harta milik orang murtad yang didapat setelah riddah, disepakati para fukoha dimasukkan ke Baitul maal. Tetapi harta yang didapat ketika masih muslim, menurut Imam hanafi diwarisi kerabatnya yang muslim. Alasan yang dikemukakan ialah saat riddah adalah saat kematian (bagi murtad laki-laki) sebab pada saat itu ia kena sanksi hukuman mati.
 
III.   Perbudakan
Meskipun sejak semula islam menghendaki perbudakan dihapus, namun karena pada waktu itu perbudakan merupakan suatu kenyataan yang sudah merata dimana-mana dan sukar dihapus, maka perbudakan mendapatkan tempat didalam pembahasan hukum Islam.
Seorang budak statusnya tidak bisa menjadi ahli waris, karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekelaurgaan dnegan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya.
Dan ia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta apa-apa.

IV.  Berlainan negara
Berlainan negara antara orang-orang yang non muslim. Berlainan negara antar orang-orang non muslim berarti terputusnya ishmah dan tidak adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan, dengan catata bahwa berlainan negara dalam hakekatnya saja tidak bepengaruh dalam segi hukum.

________________________________________
[1] Lihat Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, penerbit Liberty, 1990, Jakarta. hal 151.
[2] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris, penerbit Mujahidin, 1990, Semarang. hal 1.
[3] Ibid
[4] Lihat Drs. Muslich Maruci, Ilmu Waris, penerbit Mujahidin, 1990, Semarang.
[5] Lihat Prof. Dr. Amir syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Penerbit Kencana, 2004, Padang.

0 comments:

Post a Comment