Monday, April 4, 2016

HUKUM PERKAWINAN: KOMPILASI HUKUM ISLAM

KOMPILASI HUKUM ISLAM

BUKU I
HUKUM PERKAWINAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan:
a.    Peminangan  ialah  kegiatan  kegiatan  upaya  ke  arah  terjadinya  hubungan  perjodohan  antara. seorang pria dengan seorang wanita.
b.    Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang  diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;
c.    Akad  nikah  ialah  rangkaian  ijab  yang  diucapkan  oleh  wali  dan  kabul  yang  diucapkan  oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;
d.    Mahar adalah pemberiandari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
e.    Taklil-talak  ialah  perjanjian  yang  diucapkan  calon  mempelai  pria  setelah  akad  nikah  yang dicantumkan  dalam  Akta  Nikah  berupa  Janji  talak  yang  digantungkan  kepada  suatu  keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang;
f.    Harta  kekayaan  dalam  perkawinan  atau  Syirkah  adalah  harta  yang  diperoleh  baik  sendiri-sendiri atau  bersam  suami-isteri  selam  dalam  ikatan  perkawinan  berlangsung  selanjutnya  sisebut  harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;
g.    Pemeliharaan  atak  atau  hadhonah  adalah  kegiatan  mengasuh,  memeliharadan  mendidik  anaka hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;
h.    Perwalian  adalah  kewenangan  yang  diberikan  kepada  seseorang  untuk  melakukan  sesuatu perbuatan  hukum  sebagai  wakil  untuk  kepentingan  dan  atas  nama  anak  yang  tidak  mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
i.    Khuluk  adalah  perceraian  yang  terjadi  atas  permintaan  isteri  dengan  memberikan  tebusan  atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;
j.    Mutah  adalah  pemberian  bekas  suami  kepada  isteri,  yang  dijatuhi  talak  berupa  bendaatau  uang dan lainnya.

BAB II
DASAR-DASAR PERKAWINAN

Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqanghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5
(1)    Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2)    Pencatatan  perkawinan  tersebut  apada  ayat  (1),  dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah sebagaimana  yang  diaturdalam  Undang-undang  No. 22  Tahun  1946  jo  Undang-undang  No.  32 Tahun 1954.

Pasal 6
(1)    Untuk  memenuhi  ketentuan  dalam  pasal  5,  seyiap  perkawinan  harus  dilangsungkan  dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Perkawinan  yang  dilakukan  di  luar  pengawasan  Pegawai  Pencatat  Nikah  tidak  mempunyai  kekuatan Hukum.

Pasal 7
(1)    Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2)    Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3)    Itsbat  nikah  yang  dapat  diajukan  ke  Pengadilan  Agama  terbatas  mengenai  hal-hal  yang berkenaan dengan :
(a)    Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b)    Hilangnya Akta Nikah;
(c)    Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d)    Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e)    Perkawinan  yang  dilakukan  oleh  mereka  yang  tidak  mempunyai  halangan  perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4)    Yang  berhak  mengajukan  permohonan  itsbat  nikah  ialah  suami  atau  isteri,  anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan  Agama  baik  yang  berbentuk  putusan  perceraian,ikrar  talak,  khuluk  atau  putusan  taklik talak.

Pasal 9
(1)    Apabila  bukti  sebagaimana  pada  pasal  8  tidak  ditemukan  karena  hilang  dan  sebagainya,  dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2)    Dalam  hal  surat  bukti  yang  dimaksud  dala  ayat  (1)  tidak  dapat  diperoleh,  maka  dapat  diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal 10
Rujuk  hanya  dapat  dibuktikan  dengan  kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  yang  dikeluarkan  oleh Pegawai Pencatat Nikah.

BAB III
PEMINANGAN

Pasal 11
Peminangan  dapat  langsung  dilakukan  oleh  orang  yang  berkehendak  mencari  pasangan  jodoh, api dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal 12
(1)    Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.
(2)    Wanita  yang  ditalak  suami  yang  masih  berada  dalam  masa  iddah  raj”iah,  haram  dan  dilarang untuk dipinang.
(3)    Dilarang  juga  meminang  seorang  wanita  yang  sedang  dipinang  pria  lain,  selama  pinangan  pria tersebut belum putus atau belaum ada penolakan dan pihak wanita.
(4)    Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau  secara  diam-diam.  Pria  yang  meminang  telah  menjauhi  dan  meninggalkan  wanita  yang dipinang.

Pasal 13
(1)    Pinangan  belum  menimbulkan  akibat  hukum  dan  para  pihak  bebas  memutuskan  hubungan peminangan.
(2)    Kebebasan  memutuskan  hubungan  peminangan  dilakukan  dengan  tata  cara  yang  baik  sesuai dengan  tuntunan  agar  dan  kebiasaan  setempat,  sehingga  tetap  terbina  kerukunan  dan  saling menghargai.

BAB IV
RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Rukun

Pasal 14
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a.    Calon Suami;
b.    Calon Isteri;
c.    Wali nikah;
d.    Dua orang saksi dan;
e.    Ijab dan Kabul.

Bagian Kedua
Calon Mempelai

Pasal 15
(1)    Untuk  kemaslahatan  keluarga  dan  rumah  tangga,  perkawinan  hanya  boleh  dilakukan  calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974  yakni  calon  suami  sekurang-kurangnya  berumur  19  tahun  dan  calon  isteri  sekurang-kurangnya berumur 16 tahun
(2)    Bagi  calon  mempelai  yang  bgelum  mencapai  umur  21  tahun  harus  mendapati  izin  sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Pasal 16
(1)    Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2)    Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17
(1)    Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
(2)    Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
(3)    Bagi calon mempelai  yang menderita tuna wicara atau tuna  rungu persetujuan dapat  dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal 18
Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan  perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

Bagian Ketiga
Wali Nikah

Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya

Pasal 20
(1)    Yang  bertindak  sebagai  wali  nikah  ialah  seorang  laki-laki  yang  memenuhi  syarat  hukum  Islam  yakni muslim, aqil dan baligh.
(2)    Wali nikah terdiri dari :
a.    Wali nasab;
b.    Wali hakim.

Pasal 21
(1)      Wali  nasab  terdiri  dari  empat  kelompok  dalam  urutan  kedudukan,  kelompok  yang  satu didahulukan  dan  kelompok  yang  lain  sesuai  erat  tidaknya  susunan  kekerabatan  dengan  calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok  kerabat laki-laki  garis  lurus  keatas  yakni  ayah, kakek dari  pihak ayah  dan seterusnya.
Kedua, kelompok  kerabat  saudara  laki-laki  kandung  atau  saudara  laki-laki  seayah,  dan  keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat  paman,  yakni  saudara  laki-laki  kandung  ayah,  saudara  seayah  dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat,  kelompok  saudara  laki-laki  kandung  kakek,  saudara  laki-laki  seayah  dan    keturunan  laki-laki mereka.
( 2)     Apabila  dalam  satu  kelompok  wali  nikah  terdapat  beberapa  orang  yang  sama-sama  berhak menjadi  wali,  maka  yang  paling  berhak  menjadi  wali  ialah  yang  lebih  dekat  derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)    Ababila  dalamsatu  kelompok  sama  derajat  kekerabatan  aka  yang  paling  berhak  menjadi  wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
(4)      Apabila  dalam  satu  kelompok,  derajat  kekerabatannya  sama  yakni  sama-sama   derajat  kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat berikutnya.

Pasal 23
(1)    Wali  hakim  baru  dapat  bertindak  sebagai  wali  nikah  apabila  wali  nasab  tidak  ada  atau  tidak mungkin  menghadirkannya  atau  tidak  diketahui  tempat  tinggalnya  atau  gaib  atau  adlal  atau enggan.
(2)    Dalam  hal  wali  adlal  atau  enggan  maka  wali  hakim  baru  dapat  bertindak  sebagai  wali  nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian Keempat
Saksi Nikah

Pasal 24
(1)    Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
(2)    Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Pasal 25
Yang  dapat  ditunjuk  menjadi  saksi  dalam  akad  nikah  ialah  seorang  laki-laki  muslim,  adil,  aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26
Saksi  harus  hadir  dan  menyaksikan  secara  langsung  akdan  nikah  serta menandatangani  Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.

Bagian Kelima
Akad Nikah

Pasal 27
Ijab  dan  kabul  antara  wali  dan  calon  mempelai  pria  harus  jelas  beruntun  dan  tidak  berselang waktu.

Pasal 28
Akad  nikah  dilaksanakan  sendiri  secara  pribadi  oleh  wali  nikah  yang  bersangkutan.  Wali  nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal 29
(1)    Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
(2)    Dalam  hal-hal  tertentu  ucapan  kabul  nikah  dapat  diwakilkan  kepada  pria  lain  sengan  ketentuan calon  mempelai  pria  memeberi  kuasa  yang  tegas  secara  tertulis  bahwa  penerimaan  wakil  atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3)    Dalam  hal  calon  mempelai  wanita  atau  wali  keberatan  calon  mempelai  pria  diwakili,maka  akad nikah tidak boleh dilangsungkan

BAB V
MAHAR

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itumenjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1)    Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
(2)    Apabila  calon  mempelai  wanita  menyetujui,  penyerahan  mahar  boleh  ditangguhkan  baik  untuk seluruhnya  atau  sebagian.  Mahar  yang  belumditunaikan  penyerahannya  menjadi  hutangcalon mempelai pria.

Pasal 34
(1)    Kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.
(2)    Kelalaian menyebut jenis dan jumalh mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal 35
(1)    Suami  yang  mentalak  isterinya  qobla  al  dukhul  wajib  membayar  setengah  mahar  yang  telah ditentukan dalam akad nikah.
(2)    Apabila  suami  meninggal  dunia  qobla  al  dukhul  tetapi  besarnya  mahar  belum  ditetapkan,  maka sumai wajib membayar mahar mitsil.

Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk  dan  jenisnya  atau  dengan  barang  lain  yang  sama  nilainya  atau  dengan  uang  yang  senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37
Apabila  terjadi  selisih  pendapat  mengenai  jenis  dan  nilai  mahar  yang ditetapkan,penyelasaian  diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38
(1)    Apabila  mahar  yang  diserahkan  mengandung  cacat  atau  kurang,  tetapi  calon mempelai  tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.
(2)    Apabila  isteri  menolak  untuk  menerima  mahar  karena  cacat,  suami  harus  menggantinya  dengan mahar  lain  yang  tidak  cacat.  Selama  Penggantinya  belum  diserahkan,  mahar  dianggap  masih belum dibayar.

BAB VI
LARANGAN KAWIN

Pasal 39
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1)      Karena pertalian nasab :
a.  dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b.  dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c.  dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2)      Karena pertalian kerabat semenda :
a.  dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b.  dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c.  dengan  seorang  wanita  keturunan  isteri  atau  bekas  isterinya,  kecuali  putusnya  hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d.  dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3)      Karena pertalian sesusuan :
a.  dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b.  dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c.  dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d.  dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e.  dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a.    karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b.    seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.    seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41
(1)      Seorang  pria  dilarang  memadu  isterinya  dengan  seoarang  wanita  yang  mempunyai  hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a.  saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b.  wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2)      Larangan  tersebut  pada  ayat  (1)  tetap  berlaku  meskipun  isteri-isterinya  telah  ditalak  raj`i,  tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42
Seorang  pria  dilarang  melangsungkan  perkawinan  dengan  seorang  wanita  apabila  pria  tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih  dalam  iddah  talak  raj`i  ataupun  salah  seorang  diantara  mereka  masih  terikat  tali  perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal 43
(1)      Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b.  dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2)      Larangan  tersebut  pada  ayat  (1)  huruf  a.  gugur,  kalau  bekas  isteri  tadi  telah  kawin  dengan  pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal 44
Seorang  wanita  Islam  dilarang  melangsungkan  perkawinan  dengan  seorang  pria  yang  tidak beragama Islam.

BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1.       Taklik talak dan
2.       Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal 46
(1)    Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2)    Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidek dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya  ke pengadilan Agama.
(3)    Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal 47
(1)    Pada  waktu  atau  sebelum  perkawinan  dilangsungkan  kedua  calon  mempelai  dapat membuat  perjanjian  tertulis  yang  disahkan  Pegawai  Pencatat  Nikah  mengenai  kedudukan  harta  dalam perkawinan.
(2)    Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta probadi dan pemisahan harta  pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
(3)    Di  samping  ketentuan  dalam  ayat  (1)  dan  (2)  di  atas,  boleh  juga  isi  perjanjian  itu  menetapkan kewenangan  masing-masing  untuk  mengadakan  ikatan  hipotik  atas  harta  pribadi  dan  harta bersama atau harta syarikat.


Pasal 48
(1)    Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian  tersebut  tidak  boleh  menghilangkan  kewajiban  suami  untuk  memenuhi  kebutuhan rumah tangga.
(2)    Apabila dibuat  perjanjian perkawinan  tidak memenuhi ketentuan tersebut  pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.


Pasal 49
(1)    Perjanjian  percampuran  harta  pribadi  dapat  meliputi  semua  harta,  baik  yang  dibawa  masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2)    Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan  tersebut  pada  ayat  (1)  dapat  juga  diperjanjikan  bahwa percampuran  harta  pribadi  yang  dibawa  pada  saat  perkawinan  dilangsungkan,  sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal 50
(1)    Perjanjian  perkawinan  mengenai  harta,  mengikat  kepada  para  pihak  dan  pihak  ketiga  terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
(2)    Perjanjian  perkawinan  mengenai  harta  dapat  dicabut  atas  persetujuan  bersama  suami  isteri  dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
(3)    sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga  pencabutan  baru  mengikat  sejak  tanggal  pendaftaran  itu  diumumkan  suami  isteri  dalam suatu surat kabar setempat.
(4)    Apaila  dalam  tempo  6  (enam)  bulan  pengumuman  tidak  dilakukan  yang  bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5)    Pencabutan perjanjian  perkawinan mengenai harta tidak boleh  merugikan perjanjian  yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama.

Pasal 52
Pada  saat  dilangsungkan  perkawinan  dengan  isteri  kedua,  ketiga  dan  keempat,  boleh
doiperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

BAB VIII
KAWIN HAMIL

Pasal 53
(1)    Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
(2)    Perkawinan  dengan  wanita  hamil  yang  disebut  pada  ayat  (1)  dapat  dialngsungkan  tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3)    Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 54
(1)    Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.
(2)    Apabila terjadi  perkawinan dalam keadaan  ihram, atau wali nikahnya masih  berada dalam ihram perkawinannya tidak sah. 

BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal 55
(1)    Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2)    Syarat  utaama  beristeri  lebih  dari  seorang,  suami  harus  mampu  berlaku  adil  terhadap  ister-isteri dan anak-anaknya.
(3)    Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal 56
(1)    Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2)    Pengajuan  permohonan  Izin  dimaksud  pada  ayat  (1)  dilakukan  menurut  pada  tata  cara sebagaimana  diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3)    Perkawinan  yang dilakukan dengan  isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin  dari  Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan  Agama hanya  memberikan izin kepada seorang suami  yang  akan beristeri  lebih dari  seorang apabila :
a.    isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.    isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1)      Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan  Agama,  harus  pula  dipenuhi  syarat-syarat  yang  ditentukan  pada  pasal  5  Undang-Undang  No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.  adanya pesetujuan isteri;
b.  adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2)    Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan  pasal  41  huruf  b  Peraturan  Pemerintah  No.  9 Tahun  1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah  ada  persetujuan  tertulis,  persetujuan  ini  dipertegas  dengan  persetujuan  lisan  isteri  pada sidang Pengadilan Agama.
(3)      Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau  isteri-isterinya  tidak  mungkin  dimintai  persetujuannya  dan  tidak  dapat  menjadi  pihak  dalam  perjanjian  atau  apabila  tidak  ada  kabar  dari  isteri  atau  isteri-isterinyasekurang-kurangnya  2  tahun atau   karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama  dapat  menetapkan  tenyang  pemberian  izin  setelah  memeriksa  dan  mendengar  isteri  yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB X
PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal 60
(1)      Pencegahan  perkawinan  bertujuan  untuk  menghindari  suatu  perkawinan  yang  dilarang  hukum Islam   dan Peraturan Perundang-undangan.
(2)      Pencegahan  perkawinan  dapat  dilakukan  bila  calon  suami  atau  calon  isteri  yang  akan melangsungkan  perkawinan  tidak  memenuhi  syarat-syarat  untuk  melangsungkan  perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan. 

Pasal 61
Tidak  sekufu  tidak  dapat  dijadikan  alasan  untuk  mencegah  perkawinan,  kecuali  tidak  sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal 62
(1)    Yang  dapat  mencegah  perkawinan  ialah  para  keluarga  dalam  garis  keturunan  lurus  ke  atas  dan lurus ke bawah, saudar, wali nikah, wali pengampu  dari  salah  seorang  calon  mempelai  dan  pihak-pihak yang bersangkutan
(2)    Ayah kandung yang tidak penah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak  kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akna dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal 63
Pencegahan  perkawinan  dapat  dilakukan  oleh  suami  atau  isteri  yang  masih  terikat  dalam perkawinan  dalam  perkawinan  dengan  salah  seorang  calon  isteri  atau  calon  suami  yang  akan melangsungkan perkawinan.

Pasal 64
Pejabat  yang  ditunjuk  untuk  mengawasi  perkawinan  berkewajiban  mencegah  perkawinan  bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal 65
(1)    Pencegahan  perkawinan  diajukan  kepada  Pengadilan  Agama  dalam  daerah  Hukum  di  mana  perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.
(2)    Kepada  calon-calon  mempelai  diberitahukan  mengenai  permohonan  pencegahan  perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.  

Pasal 66
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu dicabut.

Pasal 67
Pencegahan  perkawinan  dapat  dicabut  dengan  menarik kembali  permohonan  pencegahan  pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau denganputusan Pengadilan Agama.

Pasal 68
Pegawai  Pencatat  Nikah  tidak  diperbolehkan  melangsungkan  atau  membantu  melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal  10  atau  pasal  12  Undang-undang  No.1  Tahun  1974  meskipun  tidak  ada  pencegahan perkawinan.

Pasal 69
(1)    Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undanf No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2)    Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah  akan  diberikan  suatu  keterangan  tertulis  dari  penolakan  tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3)    Para  pihak  yang  perkawinannya  ditolak  berjak  mengajukan  permohonan  kepada  Pengadilan Agama  dalam  wilayah  mana  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mengadakan  penolakan berkedudukan  untuk  memberikan  keputusan,  dengan  menyerahkan  surat  keterangan  penolakan tersebut diatas.
(4)    Pengadilan  Agama  akan  memeriksa  perkaranya  dengan  acara  singkat  dan  akan  memebrikan ketetapan,  apabila  akan  menguatkan  penolakan  tersebut  ataukah  memerintahkan  agar  supaya perkawinan dilangsungkan.
(5)    Ketetapan  ini  hilang  kekuatannya,  jika  rintangan-rintangan  yang  mengakibatkan  penolakan tersebut  hilang  dan  para  pihak  yang  ingin  kawin  dapat  mengulangi  pemberitahuan  tentang maksud mereka.

BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 70

Perkawinan batal apabila :
a.    Suami  melakukan  perkawinan,  sedang  ia  tidak  berhak  melakukan  akad  nikah karena  sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;
b.    seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;
c.    seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri  tersebut  pernah  menikah  dengan  pria  lain  kemudian  bercerai  lagi  ba`da  al  dukhul  dan  pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;
d.    perkawinan  dilakukan  antara  dua  orang  yang  mempunyai  hubungan  darah;  semenda  dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1.  berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataukeatas.
2.  berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.  berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4.  berhubungan  sesusuan,  yaitu  orng  tua  sesusuan,  anak  sesusuan  dan    bibi  atau paman sesusuan.
e.      isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri atau isteri-isterinya.

Pasal 71
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.    seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
b.    perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.
c.    perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;
d.    perkawinan  yang  melanggar  batas  umur  perkawinan  sebagaimana  ditetapkan  dalam  pasal  7 Undang-undang-undang No.1. tahun 1974;
e.    perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
f.    perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal 72
(1)    Seorang  suami  atau  isteri  dapat  mengajukan  permohonan  pembatalan  perkawinan  apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2)    Seorang  suami  atau isteri  dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan  apabila  pada waktu  berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah  sangka  mengenai diri  suami atau isteri
(3)    Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 73
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :
a.    para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri;
b.    Suami atau isteri;
c.    Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
d.    para  pihak  yang  berkepentingan  yang  mengetahui  adanya  cacat  dalam  rukun  dan  syarat perkawinan  menurut  hukum  Islam  dan  Peraturan  Perundang-undangan  sebagaimana  tersebut dalam pasal 67.

Pasal 74
(1)    Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.
(2)    Batalnya  suatu  perkawinan  dimulai  setelah  putusan  pengadilan  Agama  mempunyai  kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal 75
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :
a.    perkawinan yang batal karena salah satu sumaiatau isteri murtad;
b.    anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c.    pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.

Pasal 76
Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB XII
HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 77
(1)    Suami  isteri  memikul  kewjiban  yang  luhur  untuk  menegakkan  rumah  tangga  yang  sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat 
(2)    Suami  isteri  wajib  saling  cinta  mencintai,  hormat  menghormati,  setia  dan  memberi  bantuan  lahir bathin yang satui kepada yang lain;
(3)    Suami  isteri  memikul  kewajiban  untuk  mengasuh  dan  memelihara  anak-anak  mereka,  baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
(4)    suami isteri wajib memelihara kehormatannya;
(5)    jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

Pasal 78
(1)    Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)    Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.


Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal 79
(1)    Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
(2)    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3)    masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.


Bagian Ketiga
Kewajiban Suami

Pasal 80
(1)    Suami  adalah  pembimbing,  terhadap  isteri  dan  rumah  tangganya,  akan  tetap  mengenai  hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai isteri bersama.
(2)    Suami  wajib  melidungi  isterinya  dan  memberikan  segala  sesuatu  keperluan  hidup  berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
(3)     Suami  wajib  memberikan  pendidikan  agama  kepada  isterinya  dan  memberi  kesempatan  belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
(4)    sesuai dengan penghasislannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5)      Kewajiban  suami  terhadap  isterinya  seperti  tersebut  pada  ayat  (4)  huruf  a  dan  b  di  atas  mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.
(6)      Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)      Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.


Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal 81
(1)    Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri  yang masih dalam iddah.
(2)    Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)    Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga  mereka  merasa  aman  dan  tenteram.  Tempat  kediaman  juga  berfungsi  sebagai  tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)    Suami  wajib  melengkapi  tempat  kediaman  sesuai  dengan  kemampuannya  serta  disesuaikan dengan  keadaan  lingkungan  tempat  tinggalnya,  baik  berupa  alat  perlengkapan  rumah  tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Bagian Kelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang

Pasal 82
(1)    Suami  yang  mempunyai  isteri  lebih  dari  seorang  berkewajiban  memberikan  tempat  tiggaldan biaya  hidup  kepada  masing-masing  isteri  secara  berimbang  menurut  besar  kecilnya  jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.
(2)    Dalam  hal  para  isteri  rela  dan  ihlas,  suami  dapat  menempatkan  isterinya  dalam  satu  tempat kediaman.

Bagian Keenam
Kewajiban Isteri

Pasal 83
(1)    Kewajibn  utama  bagi  seoarang  isteri  ialah  berbakti  lahir  dan  batin  kepada  suami  di  dalam  yang dibenarkan oleh hukum islam.
(2)    Isteri  menyelenggarakan  dan  mengatur  keperluan  rumah  tangga  sehari-hari  dengan  sebaik-baiknya.

Pasal 84
(1)    Isteri dapat  dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana  dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
(2)    Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)    Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesuadah isteri nusyuz
(4)    Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB XIII
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86
(1)    Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
(2)    Harta isteri tetap  menjadi  hak isteri  dan dikuasi penuh olehnya, demikian  juga harta suami  tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal 87
(1)    Harta  bawaan masing-masing  suami dan  isteri  dan harta  yang diperoleh masing-masing  sebagai hasiah  atau  warisan  adalah  dibawah  penguasaan  masing-masing,  sepanjang  para  pihak  tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2)    Suami  dan  isteri  mempunyai  hak  sepenuhnya  untuk  melakukan  perbuatan  hukum  atas  harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya

Pasal 88
Apabila  terjadi  perselisihan  antara  suami  isteri  tentang  harta  bersama,  maka  penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.

Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91
(1)    Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)    Harta bersaa yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)    Harta bersama yang tidak berwujug dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4)    Harta  bersama  dapat  dijadikan  sebagai  barang  jaminan  oleh  salah  satu  pihak  atas  persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92
Suami  atau  isteri  tanpa  persetujuan  pihak  lain  tidak  diperbolehkan  menjual  atau  memindahkan harta bersama.

Pasal 93
1.    Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2.    Pertanggungjawaban  terhadap  hutang  yang  dilakukan  untuk  kepentingan  keluarga,  dibebankan kepada harta bersama.
3.    Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4.    Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri

Pasal 94
1.    Harta bersama dari perkawinan  seorang suami  yang  mempunyai  isteri lebih  dari  seorang,masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2.    Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95
1.    Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan  pasal  24  ayat  (2)  huruf  c  Peraturan  Pemerintah  No.9  tahun 1975  dan  pasal  136  untuk  meletakkan  sita  jaminan  atas  harta  bersama  tanpa  adanya permohonan  gugatan  cerai,  apabila  salah  satu  melakukan  perbuatan  yang  merugikan  dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.
2.    Selama  masa  sita  dapat  dikakukan  penjualan  atas  harta  bersama  untuk  keperluan  keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96
1.    Apabila terjadi  cerai mati,  maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan  yang hidup lebih lama,
2.    Pembangian  harta  bersama  bagi  seorang  suami  atau  isteri  yang  isteri  atau  suaminya  hutang harus  ditangguhkan  sampai  adanya  kepastian  matinya  yang  hakiki  atau  matinya  secara  hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97
Janda  atau  duda  cerai  masing-masing  berhak  seperdua  dari  harta  bersama  sepanjang  tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB XIV
PEMELIHARAAN ANAK

Pasal 98
(1)    Batas  usia  anak  yang  mampu  berdiri  sendiri  atau  dewasa  adalah  21  tahun,  sepanjang  anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)    Orang  tuanya  mewakili  anak  tersebut  mengenai  segala  perbuatan  hukum  di  dalam  dan  di  luar Pengadilan.
(3)    Pengadilan  Agama  dapat  menunjuk  salah  seorang  kerabat  terdekat  yang  mampu  menunaikan kewajiban trsebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99
Anak yang sah adalah :
a.    anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b.    hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100
Anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  hanya  mempunyai  hubungan  nasab  dengan  ibunya  dan keluarga ibunya.

Pasal 101
Seorang  suami  yang  mengingkari  sahnya  anak,  sedang  isteri  tidak  menyangkalnya,  dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal 102
(1)    Suami  yang  akan  mengingkari  seorang  anak  yang  lahir  dari  isterinya,  mengajukan  gugatan kepada  Pengadilan  Agama  dalam  jangka  waktu  180  hari  sesudah  hari  lahirnya  atau  360  hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan  berada  di  tempat  yang  memungkinkan  dia  mengajukan  perkaranya  kepada  Pengadilan Agama.
(2)    Pengingkaran yang diajukansesudah lampau waktu terebut tidak dapat diterima

Pasal 103
(1)    Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)    Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat  mengeluarkan  penetapan  tentang  asal  usul  seorang  anak  setelah  mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
(3)    Atas  dasar  ketetetapan  pengadilan  Agama  tersebut  ayat  (2),  maka  instansi  Pencatat  Kelahiran yang  ada  dalam  daerah  hukum  Pengadilan  Agama  trwebut  mengeluarkan  akta  kelahiran  bagi anak yang bersangkutan.

Pasal 104
(1)    Semua  biaya  penyusuan  anak  dipertanggungkawabkan  kepada  ayahnya.  Apabila  ayahya  stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2)    Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a.    Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.    Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
c.    biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya.

Pasal 106
(1)    Orang  tua  berkewajiban  merawat  dan  mengembangkan  harta  anaknya  yang  belum  dewasa  atau dibawah  pengampunan,  dan  tidak  diperbolehkan  memindahkan  atau  menggadaikannya  kecuali karena  keperluan  yang  mendesak  jika  kepentingan  dan  keslamatan  anak  itu  menghendaki  atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2)    Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1). 

BAB XV
PERWALIAN

Pasal 107
(1)    Perwalian  hanya  terhadap  anak  yang  belum  mencapai  umur  21  tahun  dan  atau  belum  pernah melangsungkan perkawinan.
(2)    Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
(3)    Bila  wali  tidak  mampu  berbuat  atau  lalai  melaksanakan  tugas  perwaliannya,  maka  pengadilan Agama  dapat  menunjuk  salah  seorang  kerabat  untukbertindak  sebagai  wali  atas  permohonan kerabat tersebut.
(4)    Wali  sedapat-dapatnya  diambil  dari  keluarga  anak  tersebut  atau  oranglain  yang  sudah  dewasa, berpiiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109
Pengadilan  Agama  dapat  mencabut  hak  perwalian  seseorang  atau  badan  hukum    dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. 

Pasal 110
(1)    Wali  berkewajiban  mengurus  diri  dan  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya  dengan sebaik-baiknya  dan  berkewajiban  memberikan  bimbingan  agama,  pendidikan  dan  keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2)    Wali  dilarang  mengikatkan,  membebanni  dan  mengasingkan  harta  orang  yang  berada  dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan  tersebut  menguntungkan bagi  orang  yang  berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3)    Wali  bertanggung  jawab  terhadap  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4)    Dengan tidak mengurangi  kententuan  yang diatur  dalam pasal  51  ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.

Pasal 111
(1)    Wali  berkewajiban  menyerahkan  seluruh  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  bila yang bersangkutan telah mencapai  umur 21 tahun atau telah menikah.
(2)    Apabila  perwalian  telah  berakhir,  maka  Pengadilan  Agama  berwenang  mengadili  perselisihan antara  wali  dan  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya  tentang  harta  yang  diserahkan kepadanya.

Pasal 112
Wali  dapat  mempergunakan  harta  orang  yang  berada  di  bawah  perwaliannya,  sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB XVI
PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 113
Perkawinan dapat putus karena :
a.    Kematian,
b.    Perceraian, dan
c.    atas putusan Pengadilan.

Pasal 114
Putusnya  perkawinan  yang  disebabkan  karena  perceraian  dapat  terjadi  karena  talak  atau
berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a.    salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.    salah satu  pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.    salah  satu  pihak  mendapat  hukuman  penjara  5  (lima)  tahun  atau  hukuman  yang  lebih  berat setelah perkawinan berlangsung;
d.    salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.    sakah  satu  pihak  mendapat  cacat  badab  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak  dapat  menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.    antara  suami  dan  isteri  terus  menerus  terjadi  perselisihan  dan  pertengkaran  dan  tidak  ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g.    Suami menlanggar taklik talak;
h.    peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pasal 117
Talak  adalah  ikrar  suami  di  hadapan  sidang  Pengadilan  Agama  yang  menjadi  salah  satu  sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 118
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujujk selamaisteri dalam masa iddah.

Pasal 119
1.    talak  Ba`in  Shughraa  adalah  talak  yang  tidak  boleh  dirujuk  tapi  boleh  akad  nikah  baru  dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2.    Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 120
Talak Ba`in Kubraa adalah talak y6ang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan  tidak  dapat  dinikahkan  kembali,  kecuali  apabila  pernikahan  itu  dilakukan    setelah  bekas  isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Pasal 121
Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal 122
Talak  bid`I  adalahtalak  yang  dilarang,  yaitu  talak  yang  dijatuhkan  pada  waktu  isteri  dalam  keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan

Pasal 125
Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamnya.

Pasal 126
Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau  yang  sudah  lahir  dari  isterinya,  sedangkan  isteri  menolak  tuduhan  dan  atau  pengingkaran tersebut.

Pasal 127
Tata cara li`an diatur sebagai berikut :
a.    Suami  bersumpah  empat  kali  dengan  kata  tuduhan  zina  dan  atau  pengingkaran  anak  tersebut diikuti  sumpah  kelima  dengan  kata-kata  “laknat  Allah  atas  dirinya  apabila  tuduhan  dan  atau pengingkaran tersebut dusta”
b.    Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran gtersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan  dan  atau  pengingkaran  tersebut  tidak  benar”,  diikuti  sumpah  kelima  dengan  kata-kata murka Allah atas dirinya :tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;
c.    tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.    apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.

Pasal 128
Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian

Pasal 129
Seorang  suami  yang  akan  menjatuhkan  talak  kepada  isterinya  mengajukan  permohonan  baik  lisan maupun  tertulis  kepada  Pengadilan  Agama  yang  mewilayahi  tempat  tinggal  isteri  disertai  dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi

Pasal 131
1.    Pengadilan agama  yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu  selambat-lambatnya  tiga  puluh  hari  memanggil  pemohon  dan  isterinya  untuk  meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
2.    Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menashati kedua belah pihak danternyata cukup alasan untuk  menjatuhkan  talak  serta  yang  bersangkutan  tidak  mungkin  lagihidup  rukun  dalamrumah tangga,  pengadilan  Agama  menjatuhkan  keputusannya  tentang  izin  bagi  suami  untuk mengikrarkan talak.
3.    Setelah  keputusannya  mempunyai  kekeutan  hukum  tetap  suami  mengikrarkan  talaknya  disepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
4.    Bila  suami  tidak  mengucapkan  ikrar  talak  dalam  tempo  6  (enam)  bulah  terhitung  sejak  putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatanhukum  yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.
5.    Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bjukti perceraian baki bekas suami dan isteri. Helai  pertama  beserta  surat  ikrar  talak  dikirimkan  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang mewilayahi  tempat  tinggal  suami  untuk  diadakan  pencatatan,  helai  kedua  dan  ketiga  masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal 132
1.    Gugatan  perceraian  diajukan  oleh  isteri  atau  kuasanya  pada  Pengadilan  Agama,.  Yang  daerah hukumnya  mewilayahi  tempat  tinggal  penggugat  kecuali  isteri  meninggalkan  tempat  kediaman bersama tanpa izin suami.
2.    Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 133
1.    Gugatan  perceraian  karena  alasan  tersebut  dalam  pasal  116  huruf  b,  dapat  diajukan  setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.
2.    Gugatan  dapat  diterima  apabila  tergugat  menyatakan  atau  menunjukkan  sikap  tidak  mau  lagi kembali ke rumah kediaman besama.

Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup  jelas  bagi  Pengadilan  Agama  mengenai  sebab-sebab  perselisihan  dan  pertengkaran  itu  dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Pasal 135
Gugatan  perceraraian  karena  alsan  suami  mendapat  hukuman  penjara  5  (lima)  tahun  atau hukuman  yang  lebih  berat  sebagai  dimaksud  dalam  pasal  116  huruf  c,  maka  untuk  mendapatkan putusan  perceraian  sebagai  bukti  penggugat  cukup  menyapaikan  salinan  putusan  Pengadilan  yang memutuskan  perkara  disertai  keterangan  yang  menyatakan  bahwa  putusan  itu  telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 136
1.    Selama  berlangsungya  gugatan  perceraian  atas  permohonan  penggugat  atau  tergugat berdasarkan  pertimbangan  bahaya  yang  mingkin  ditimbulkan,  Penghadilan  Agama  dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
2.    Selama  berlangsungnya  gugatan  perceraian  atas  permohonan  penggugat  atau  tergugat, Pengadilan Agama dapat :
a.  menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b.  menentukan  hal-hal  yang  perlu  untuk  menjamin  terpeliharanya  barang-barang yang  menjadi hak  bersama  suami  isteri  atau  barang-barang  yang  menjadi  hak  suami  atau  barang-barang yang menjadi  hak isteri

Pasal 137
Gugatan  perceraian  gugur  apabila  suami  atau  isteri  meninggal  sebelum  adanya  putusan  pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal 138
1.    Apabila  tempat  kediaman  tergugat  tidak  jelas  atau  tergugat  tidak  mempunyai  tempat  kediaman yang tetap, panggilan  dilakukan dengan cara menempelkan gugatanpada papan pengumuman di Pengadilan  Agama  dan  mengumumkannya  melalui  satu  atau  bebrapa  surat  kabar  atau  mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
2.    Pengumuman  melalui  surat  kabar  atau  surat-siurat  kabar  atau  mass  media  tersebut  ayat  (1) ilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua
3.    Tenggang  dwaktu  antara  penggilan  terakhir  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2)  dengan persidangan ditetapkan sejurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4.    Dalam  hal  sudah  dilakukan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dan  tergugat  atau  kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140
Apabila  tergugat  berada  dalam  keadaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  pasal  132  ayat  (2), panggilandisampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat

Pasal 141
1.    Pemeriksaan  gugatan  perceraian  dilakukan  oleh  hakim  selambat-lambatnya  30  (tiga  puluh)  hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian
2.    Dalam  menetapkan  waktu  sidang  gugatan  perceraian  perlu  diperhatian  tenyang  waktu pemanggilan  dan  diterimanya  panggilan  tersebut  oleh  penggugat  maupun  tergugat  atau  kuasa meeka.
3.    Apabila  tergughat  berada  dalam  keadaan  seperti  tersebut  dalam  pasal  116  huruf  b,  sidang pemeriksaan  gugatan  perceraian  ditetapkan  sekurang-kurangnya  6  (enam)  bulan  terhitung  sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142
1.    Pada  sidang  pemeriksaan  gugatan  perceraian,  suami  isteri  datang  sendiri  atau  mewakilkan kepada kuasanya.
2.    Dalam  hal  suami  atau  isteri  mewakilkan,  untuk  kepentingan  pemeriksaan  Hakim  dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal 143
1.    Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2.    Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal 144
Apabila  terjadi  pedamaian,  maka  tidak  dapat  diajukan  gugatan  perceraian  baru  berdasarkan alasan  atau  alasan-alasan  yang  ada  sebelum  perdamaian  dan  telah  diketahui  oleh  penggugat  pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145
Apabila  tidak  dicapai  perdamaian,  pemeriksaan  gugatan  perceraian  dilakukan  dalam  sidang tertutup.

Pasal 146
(1)    Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2)    Suatu  perceraian  dianggap  terjadi  beserta  akibat-akibatnya  terhitung  sejak  jatuhnya  putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap

Pasal 147
(1)    Setelah  perkara  perceraian  itu  diputuskan,  aka  panitera  Pengadilan  Agama  menyampaikan salinan  surat putusan tersebut kepada  suami isteri atau kuasanya  dengan  menarik Kutipan  Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2)    Panitera  Pengadilan  Agama  berkewajiban  mengirimkan  satu  helai  salinan  putusan  Pengadilan Agama  yang  telah  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap  tanpa  bermaterai  kepadaPegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.
(3)    Panitera  Pengadilan  Agama  mengirimkan  surat  Keterngan  kepada  masing-masing  suami  isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4)    Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tesedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.
(5)    Apabila  Pegawai  Pencatat  Nikah  dengan  Pegawai  Pencatat  Nikah  tempat  pernikahan  mereka dilangsungkan,  maka  satu  helai  salinan  putusan  Pengadilan  Agama  sebagaimana  dimaksud dalam  ayat(2)  dikirimkan  pula  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mewilayahi  tempat perkawinan  dilangsungka  dan  bagi  perkawinan  yang  dilangsungkan  di  luar  Negeri  Salinan  itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.
(6)    Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang  bersangkutan,  apabila  yang  demikian  itu  mengakibatkan  kerugian  bagi  bekas  suami  atau isteri atau keduanya.

Pasal 148
1.    Seorang  isteri  yang  mengajukan  gugatan  perceraian  dengan  jalan  khuluk, menyanpaikan permohonannya  kepada  Pengadilan  Agama  yang  mewilayahi  tempat  tinggalnya  disertai  alasan atau lasan-alasannya.
2.    Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk disengar keterangannya masing-masing.
3.    Dalam  persidangan  tersebut  Pengadilan  Agama  memberikan  penjelasan  tentang  akibat  khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4.    Setelah  kedua  belah  pihak  sepakat  tentang  besarnya  iwadl  atau  tebusan,  maka  Pengadilan Agama  memberikan  penetapan  tentang  izin  bagi  suami  untuk  mengikrarkan  talaknya  disepan sidang  Pengadilan  Agama.  Terhadap  penetapan  itu  tidak  dapat  dilakukan  upaya  banding  dan kasasi.
5.    Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)
6.    Dalam  hal  tidak  tercapai  kesepakatan  tentang  besarnya  tebusanatau  iwadl  Pengadilan  Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

BAB XVII
AKIBAT PURUSNYA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Akibat Talak

Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a.    memberikan  mut`ah  yang  layak  kepada  bekas  isterinya,  baik  berupa  uang  atau  benda,  kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b.    memberi  nafkah,  maskan  dan  kiswah  kepada  bekas  isteri  selama  dalam  iddah,  kecuali  bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c.    melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d.    memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal 151
Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian Kedua
Waktu Tunggu

Pasal 153
1.    Bagi seorang isteri  yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2.    Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.  Apabila  perkawinan  putus  karena  kematian,  walaupun  qobla  al  dukhul,  waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b.  Apabila  perkawinan  putus  karena  perceraian,waktutunggubagi  yang  masih  haid  ditetapkan  3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid  ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c.  Apabila  perkawinan  putus  karena  perceraian  sedang  janda  tersebut  dalam keadaan  hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d.  Apabila  perkawinan  putus  karena  kematian,  sedang  janda  tersebut  dalam  keadaan  hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3.    Tidak  ada  waktu  tunggu  bagi  yang  putus  perkawinan  karena  perceraian  sedang  antara  janda gtersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
4.    Bagi perkawinan  yang  putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu  dihitung sejak jatuhnya, Putusan  Pengadilan  Agama  yang  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap,  sedangkan  bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
5.    Waktu tunggu bagi isteri yang oernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
6.    Dalam  hal  keadaan  pada  ayat  (5)  bukan  karena  menyusui,  maka  iddahnya  selama  satu  tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal 154
Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)  huruf  b,  ayat  (5)  dan  ayat  (6)pasal  153,  di  tinggal  mati  oleh  suaminya,  maka  iddahnya  berubah menjadi empat bulansepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.


Bagian Ketiga
Akibat Perceraian

Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a.      anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b.      anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayahatau ibunya;
c.     apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmanidan rohanianak, meskipun  biaya  nafkah  dan  hadhanah  telah  dicukupi,  maka  atas  permintaann  kerabat  yang bersangkutan  Pengadilan  Agama  dapat  memindahkan  hak  hadhanah  kepada  kerabat  lain  yang mempunyai hak hadhanah pula;
d.      semua  biaya  hadhanah  dan  nafkah  anak  menjadi  tanggung  jawab  ayah  menurut
kemampuannya,sekurang-kurangnya  sampai  anak  tersebut  dewasa  dapat  mengurus  diri  sendiri (21 tahun)
e.      bilamana  terjadi  perselisihan  mengenai  hadhanah  dan  nafkah  anak,  Pengadilan  Agama membverikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d);
f.     pengadilan  dapat  pula  dengan  mengingat kemampuan ayahnya  menetapkan jumlah  biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pasal 157
Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96,97

Bagian Keempat
Mut`ah

Pasal 158
Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a.    belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b.    perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159
Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158

Pasal 160
Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Bagian Kelima
Akibat Khuluk

Pasal 161
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk

Bagian Keenam
Akibat Li`an

Pasal 162
Bilamana  li`an  terjadi  maka  perkawinan  itu  putus  untuk  selamanya  dan  anak  yang  dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

BAB XVIII
RUJUK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 163
(1)    Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2)    Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a.  putusnya  perkawinan  karena  talak,  kecuali  talak  yang  telah  jatuh  tiga  kali  talak  yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b.  putusnya  perkawinan  berdasarkan  putusan  pengadilan  dengan  alasan  atau  alasan-alasan selain zina dan khuluk.

Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal 166
Rujuk  harus  dapat  dibuktikan  dengan  Kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  dan  bila  bukti  tersebut hilang  atau  rusak  sehingga  tidak  dapat  dipergunakan  lagi,  dapat  dimintakan  duplikatbya  kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian Kedua
Tata Cara Rujuk

Pasal 167
(1)    Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mewilayahi  tempat  tinggal  suami  isteridengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan
(2)    Rujuk  dilakukan  dengan  persetujuan  isteri  dihadapan  Pegawaii  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3)    Pegawai  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  memeriksa  dan  meyelidiki apakah  suami  yang  akan  merujuk  itu  memenuhi  syarat-syarat  merujuk  menurut  hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.
(4)    Setelah  itu  suami  mengucapkan  rujuknya  dan  masing-masing  yang  bersangkutan  besrta  saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5)    Setelah  rujuk  itu  dilaksanakan,  Pegawai  Pencatat  Nikah  atau  Pembantu  Pegawai  Pencatat Nikahmenasehati  suami  isteri  tentang  hukum-hukum  dan  kewajiban  mereka  yang  berhubungan dengan rujuk.

Pasal 168
(1)    Dalam  hal  rujuk  dilakukan  di  hadapan  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  daftar  rujuk  dibuat rangkap  2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh  masing-masing  yang bersangkutan besreta  saksi-saksi,  sehelai  dikirim  kepada  Pegawai  Pencatat  Nikah  yang  mewilayahinya,  disertai  surat-surat keterengan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2)    Pengiriman  lembar  pertama  dari  daftar  rujuk  oleh  Pembantu  Pegawai  Pencatat  Nikah  dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3)    Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal 169
(1)    Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan  isteri  masing-masing  diberikan  Kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  menurut  contoh  yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2)    Suami  isteri  atau  kuasanya  dengan  membawa  Kutipan  Buku  Pendaftaran  Rujuk  tersebut  datang ke  Pengadilan  Agama  di  tempat  berlangsungnya  talak  dahulu  untuk  mengurus  dan  mengambil Kutipan  akta  Nikah  masing-masing  yang  bersangkutan  setelah  diberi  catatan  oleh  Pengadilan Agama  dalam  ruang  yang  telah  tersedia  ppada  Kutipan  Akta  Nikah  tersebut,  bahwa  yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3)    Catatan  yang dimaksud ayat (dua)  berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB XIX
MASA BERKABUNG

Pasal 170
(1)    Isteri  yang  ditinggalkan  mati  oleh  suami,  wajib  melaksanakan  masa  berkabung  selama  masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2)    Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan. 

BUKU II
HUKUM KEWARISAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 171

Yang dimaksud dengan:
a.    Hukum  kewarisan  adalah  hukum  yang  mengatur  tentang  pemindahan  hak  pemilikan  harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
b.    Pewaris  adalah  orang  yang  pada  saat  meninggalnya  atau  yang  dinyatakan  meninggal berdasarkan  putusan  Pengadilan  beragama  Islam,  meninggalkan  ahli  waris  dan  harta peninggalan.
c.    Ahli  waris  adalah  orang  yang  pada  saat  meninggal  dunia  mempunyai  hubungan  darah  atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
d.    Harta  peninggalan  adalah  harta  yang  ditinggalkan  oleh  pewaris  baik  yang  berupa  benda  yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
e.    Harta  waris  adalah  harta  bawaan  ditambah  bagian  dari  harta  bersama  setelah  digunakan  untuk keperluan  pewaris  selama  sakit  sampai  meninggalnya,  biaya  pengurusan  jenazah  (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
f.    Wasiat  adalah  pemberian  suatu  benda  dari  pewaris  kepada  orang  lain  atau  lembaga  yang  akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
g.    Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada aorang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
h.    Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan  sebagainya  beralih  tanggung  jawabnya  dari  orang  tua  asal  kepada  orang  tua  angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
i.    Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

BAB II
AHLI WARIS

Pasal 172
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan  atau  kesaksian,  sedangkan  bagi  bayi  yang  baru  lahir  atau  anak  yang  belum  di\ewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal 173
Seorang  terhalang  menjadi  ahli  waris  apabila  dengan  putusan  hakim  yang  telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.    dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b.    dipersalahkan  secara  memfitnah  telah  mengajukan  pengaduan  bahwa  pewaris  telah  melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Pasal 174
(1)      Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a.  Menurut hubungan darah:
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b.  Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
(2)      Apabila  semua  ahli  waris  ada,  maka  yang  berhak  mendapat  warisan  hanya  :  anak,  ayah,  ibu, janda atau duda.

Pasal 175
(1)      Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a.  mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b.  menyelesaikan  baik  hutang-hutang  berupa  pengobatan,  perawatan,  termasuk
kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
c.  menyelesaikan wasiat pewaris;
d.  membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
(2)      Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

BAB III
BESARNYA BAHAGIAN

Pasal 176
Anak  perempuan  bila  hanya  seorang  ia  mendapat  separoh  bagian,  bila  dua  orang  atau  lebih mereka bersama-sama mendapzt  dua pertiga  bagian, dan  apabila  anask perempuan bersama-sama dengan  anak  laki-laki,  maka  bagian  anak  laki-laki  adalah  dua  berbanding  satu  dengan  anak perempuan.

Pasal 177
Ayah  mendapat  sepertiga  bagian  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  bila  ada  anak,  ayah mendapat seperenam bagian. *

Pasal 178
(1)    Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.  Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.
(2)    Ibu  mendapat  sepertiga  bagian  dari  sisa  sesudah  diambil  oleh  janda  atau  duda  bila  bersama-sama dengan ayah.

Pasal 179
Duda  mendapat  separoh  bagian,  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  dan  bila  pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian.

Pasal 180
Janda  mendapat  seperempat  bagian  bila  pewaris  tidak  meninggalkan  anak,  dan  bila  pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.

Pasal 181
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.

Pasal 182
Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan  kandung  atau  seayah,  maka  ua  mendapat  separoh  bagian.    Bila  saudara  perempuan tersebut  bersama-sama  dengan  saudara  perempuan  kandung  atau  seayah  dua  orang  atau  lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.
Bila  saudara  perempuan  tersebut  bersama-sama  dengan  saudara  laki-laki  kandung  atau  seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.

Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.

Pasal 184
Bagi ahli waris  yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannyua,  maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Pasal 185
(1)    Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2)    Bagian  ahli  waris  pengganti  tidak  boleh  melebihi  dari  bagian  ahli  waris  yang  sederajat  dengan yang diganti.

Pasal 186
Anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  hanya  mempunyai  hubungan  saling  mewaris  dengan  ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.

Pasal 187
(1)      bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh pewaris semasa hidupnya atau  oleh  para  ahli  waris  dapat  ditunjuk  beberapa  orang  sebagai  pelaksana  pembagian  harta warisan dengan tugas:
a.  mencatat  dalam  suatu  daftar  harta  peninggalan,  baik  berupa  benda  bergerak  maupun  tidak bergerak  yang  kemudian  disahkan  oleh  para  ahli  waris  yang  bersangkutan,  bila  perlu  dinilai harganya dengan uang;
b.  menghitung jumlah pengeluaran untuk kepentingan pewaris sesuai dengan Pasal 175 ayat (1) sub a, b, dan c.
(2)      Sisa  dari  pengeluaran  dimaksud  di  atas  adalah  merupakan  harta  warisan  yang  harus  dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Pasal 188
Para  ahli  waris  baik  secara  bersama-sama  atau  perseorangan  dapat  mengajukan  permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.  Bila ada diantara ahli waris yang  tidak  menyetujui  permintaan  itu,  maka  yang  bersangkutan  dapat  mengajukan  gugatan  melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Pasal 189
(1)    Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
(2)    Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 190
Bagi  pewaris  yang  beristeri  lebih  dari  seorang,  maka  masing-masing  isteri  berhak  mendapat bagian  atas  gono-gini  dari  rumah  tangga  dengan  suaminya,  sedangkan keseluruhan  bagian  pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.

Pasal 191
Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya,  maka  harta  tersebut  atas  putusan  Pengadilan  Agama  diserahkan  penguasaannya  kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.

BAB IV
AUL DAN RAD

Pasal 192
Apabila  dalam  pembagian  harta  warisan  di  antara  para  ahli  warisnya  Dzawil  furud  menunjukkan bahwa  angka  pembilang  lebih  besar  dari  angka  penyebut,  maka  angka  penyebut  dinaikkan  sesuai dengan  angka  pembilang,  dan  baru  sesudah  itu  harta  warisnya  dibagi  secara  aul  menutu  angka pembilang.

Pasal 193
Apabila  dalam  pembarian  harta  warisan  di  antara  para  ahli  waris  Dzawil  furud  menunjukkan bahwa  angka  pembilang  lebih  kecil  dari  angka  penyebut,  sedangkan  tidak  ada  ahli  waris  asabah, maka  pembagian  harta  warisan  tersebut  dilakukan  secara  rad,  yaitu  sesuai  dengan  hak  masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka.

BAB V
WASIAT

Pasal 194
(1)    Orang  yang  telah  berumur  sekurang-kurangnya  21  tahun,  berakal  sehat  dan  tanpa  adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2)    Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3)    Pemilikan  terhadap  harta  benda  seperti  dimaksud  dalam  ayat  (1)  pasal  ini  baru  dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.

Pasal 195
(1)    Wasiat  dilakukan  secara  lisan  dihadapan  dua  orang  saksi,  atau  tertulis  dihadapan  dua  orang saksi, atau dihadapan Notaris.
(2)    Wasiat  hanya  diperbolehkan  sebanyak-banyaknya  sepertiga  dari  harta  warisan  kecuali  apabila semua ahli waris menyetujui.
(3)    Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4)    Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.

Pasal 196
Dalam wasiat baik secara  tertulis maupun  lisan  harus disebutkan dengan  tegas  dan  jelas  siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Pasal 197
(1)      Wasiat  menjadi  batal  apabila  calon  penerima  wasiat  berdasarkan  putusan  Hakim  yang  telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
a.  dipersalahkan  telah  membunuh  atau  mencoba  membunuh  atau  menganiaya  berat  kepada pewasiat;
b.  dipersalahkan  secara  memfitrnah  telah  mengajukan  pengaduan  bahwa  pewasiat  telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;
c.  dipersalahkan  dengan  kekerasan  atau  ancaman  mencegah  pewasiat  untuk membuat  atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;
d.  dipersalahkan  telah  menggelapkan  atau  merusak  atau  memalsukan  surat  wasiat  dan pewasiat.
(2)  Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:
a.  tidak  mengetahui  adanya  wasiat  tersebut  sampai  meninggal  dunia  sebelum meninggalnya pewasiat;
b.  mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya;
c.  mengetahui  adanya  wasiaty  itu,  tetapi  tidak  pernah  menyatakan  menerima  atau  menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
(3)  Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah.

Pasal 198
Wasiat  yang  berupa  hasil  dari  suatu  benda  ataupun  pemanfaatan  suatu  benda  haris  diberikan jangka waktu tertentu.


Pasal 199
(1)    Pewasiat  dapat  mencabut  wasiatnya  selama  calon  penerima  wasiat  belum  menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali.
(2)    Pencabutan  wasiat  dapat  dilakukan  secara  lisan  dengan  disaksikan  oleh  dua  orang  saksi  atau tertulis  dengan  disaksikan  oleh  dua  prang  saksi  atau  berdasarkan  akte  Notaris  bila  wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
(3)    Bila  wasiat  dibuat  secara  tertulis,  maka  hanya  dapat  dicabut  dengan  cara  tertulis  dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris.
(4)    Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akte Notaris.

Pasal 200
Harta  wasiat  yang  berupa  barang  tak  bergerak,  bila  karena  suatu  sebab  yang  sah  mengalami penyusutan  atau  kerusakan  yang  terjadi  sebelum  pewasiat  meninggal  dunia,  maka  penerima  wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.

Pasal 201
Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.

Pasal 202
Apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan sedangkan harta wasiat tidak mencukupi, maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang didahulukan pelaksanaannya.

Pasal 203
(1)    Apabila  surat  wasiat  dalam  keadaan  tertup,  maka  penyimpanannya  di  tempat  Notaris  yang membuatnya atau di tempat lain, termasuk surat-surat yang ada hubungannya.
(2)    Bilamana  suatu  surat  wasiat  dicabut  sesuai  dengan  Pasal  199  maka  surat  wasiat  yang  telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat.

Pasal 204
(1)    Jika  pewasiat  meninggal  dunia,  maka  surat  wasiat  yang  tertutup  dan  disimpan  pada  Notaris, dibuka  olehnya  di  hadapan  ahli  waris,  disaksikan  dua  orang  saksi  dan  dengan  membuat  berita acara pembukaan surat wasiat itu.
(2)    Jikas  surat  wasiat  yang  tertutup  disimpan  bukan  pada  Notaris  maka  penyimpan  harus menyerahkan  kepada  Notaris  setempat  atau  Kantor  Urusan  Agama  setempat  dan  selanjutnya Notaris  atau  Kantor  Urusan  Agama  tersebut  membuka  sebagaimana  ditentukan  dalam  ayat  (1) pasal ini.
(3)    Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh Notaris atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Pasal 205
Dalam  waktu  perang,  para  anggota  tentara  dan  mereka  yang  termasuk  dalam  golongan  tentara dan berada dalam daerah pertewmpuran atau yang berda di suatu tempat yang ada dalam kepungan musuh, dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 206
Mereka yang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda  atau  mualim  kapal,  dan  jika  pejabat  tersebut  tidak  ada,  maka  dibuat  di  hadapan  seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 207
Wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan  kepada  orang  yang  memberi  tuntutran  kerohanian  sewaktu  ia  mewnderita  sakit  sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

Pasal 208
Wasiat tidak berlaku bagi Notaris dan saksi-saksi pembuat akte tersebut.

Pasal 209
(1)    Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2)    Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

BAB VI
HIBAH

Pasal 210
(1)    Orang  yang  telah  berumur  sekurang-kurangnya  21  tahun  berakal  sehat  tanpa  adanya  paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2)    Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211
Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

Pasal 212
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Pasal 213
Hibah  yang  diberikan  pada  swaat  pemberi  hibah  dalam  keadaan  sakit  yang  dekat  dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214
Warga  negara  Indonesia  yang  berada  di  negara  asing  dapat  membuat  surat  hibah  di  hadapan Konsulat  atau  Kedutaan  Republik  Indonesia  setempat  sepanjang  isinya  tidak  bertentangan  dengan ketentuan pasal-pasal ini.

BUKU III
HUKUM PERWAKAFAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 215
Yang dimaksud dengan:
(1)    Wakaf  adalah  perbuatan  hukum  seseorang  atau  kelompok  orang  atau  badan  hukum  yang memisahkan  sebagian  dari  benda  miliknya  dan  melembagakannya  untuk  selama-lamanya  guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
(2)    Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakfkan benda miliknya.
(3)    Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4)    Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak  atau tidak bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5)    Nadzir  adalah  kelompok  orang  atau  badan  hukum  yang  diserahi  tugas  pemeliharaan  dan pengurusan benda wakaf.
(6)    Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petuga spemerintah yang  diangkat  berdasarkan  peraturan  peraturan  yang  berlaku,  berkwajiban  menerima  ikrar  dan wakif  dan  menyerahkannya  kepada  Nadzir  serta melakukan  pengawasan  untuk  kelestarian perwakafan.
(7)    Pejabat  Pembuat  Ikrar Wakaf  seperti  dimaksud  dalam  ayat  (6),  diangkat  dan  diberhentikan  oleh Menteri Agama.

BAB II
FUNGSI, UNSUR-UNSUR DAN SYARAT-SYARAT WAKAF

Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf

Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf

Pasal 217
(1)    Badan-badan  Hukum  Indonesia  dan  orang  atau  orang-orang  yang  telah  dewasa  dan  sehat akalnya  serta  yang  oleh  hukum  tidak  terhalang  untuk  melakukan  perbuatan  hukum,  atas kehendak  sendiri  dapat  mewakafkan  benda  miliknya  dengan  memperhatikan  peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Dalam  hal  badan-badan  hukum,  maka  yang  bertindak  untuk  dan  atas  namanya  adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3)    Benda  wakaf  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  215  ayat  (4)  harus  merupakan  benda  milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa.

Pasal 218
(1)    Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang  kemudian  menuangkannya  dalam  bentuk  ikrar  Wakaf,  dengan  didaksikan  oleh  sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
(2)    Dalam  keadaan  tertentu,  penyimpangan  dan  ketentuan  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 219
(1)      Nadzir  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  215  ayat  (4)  terdiri  dari  perorangan  yang  harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.  warga negara Indonesia;
b.  beragama Islam;
c.  sudah dewasa;
d.  sehat jasmani dan rohani;
e.  tidak berada di bawah pengampuan;
f.     bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2)      Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.  badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.  mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang diwakafkannya.
(3)      Nadzir  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dan  (2)  harus  didaftar  pada  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan setempat  setelah  mendengar  saran  dari  Camat  Majelis  Ulama  Kecamatan  untuk  mendapatkan pengesahan.
(4)      Nadzir  sebelum  melaksanakan  tugas,  harus  mengucapkan  sumpah  di  hadapan  Kepala  Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
    “Demi  Allah,  saya  bersumpah,  bahwa  saya  untuk  diangkat  menjadi  Nadzir  langsung  atau  tidak langsung  dengan  nama  atau  dalih  apapun  tidak  memberikan  atau  menjanjikan  ataupun memberikan sesuatu kepada siapapun juga”
    “Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
    “Saya  bersumpah,  bahwa  saya  senantiasa  akan  menjunjung  tinggi  tugas  dan  tanggung  jawab yang  dibebankan  kepada  saya  selaku  Nadzir  dalam  pengurusan  harta  wakaf  sesuai  dengan maksud dan tujuannya”.
(5)      Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  atas  saran  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Camat setempat.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 220
(1)    Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama.
(2)    Nadzir  diwajibkan  membuat  laporan  secara  berkala  atas  semua  hal  yang  menjadi  tanggung jawabnya  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  kepada  Kepala  Kantor  Urusan  Agama Kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3)    Tata  cara  pembuatan  laporan  seperti  dimaksud  dalam  ayat  (2)  dilaksanakan  sesuai  dengan peraturan Menteri Agama.

Pasal 221
(1)      Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan karena:
a.  meninggal dunia;
b.  atas permohonan sendiri;
c.  tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d.  melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2)      Bilama terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya diangkat oleh  Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3)      Seorang Nadzir  yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam  ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang ahli warisnya.

Pasal 222
Nadzir  berhak  mendapatkan  penghasilan  dan  fasilitas  yang  jenis  dan  jumlahnya  ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

BAB III
TATA CARA PERWAKAFAN
DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu
Tata Cara Perwakafan

Pasal 223
(1)    Pihak  yang  hendak  mewakafkah  dapat  menyatakan  ikrar  wakaf  di  hadapan  Pejabat  Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2)    Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3)    Pelaksanaan  Ikrar,  demikian  pula  pembuatan  Akta  Ikrar  Wakaf,  dianggap  sah  jika  dihadiri  dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4)    Dalam  melaksanakan  Ikrar  seperti  dimaksud  ayat  (1)  pihak  yang  mewakafkan  diharuskan menyerahkan  kepada  Pejabat  yang  tersebut  dalam  Pasal  215  ayat  (6),  surat-surat  sebagai berikut:
a.  tanda bukti pemilikan harta benda;
b.  jika  benda  yang  diwakafkan  berupa  benda  tidak  bergerak,  maka  harus  disertai surat keterangan  dari  Kepala  Desa,  yang  diperkuat  oleh  Camat  setempat  yang  menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c.  surat  atau  dokumen  tertulis  yang  merupakan  kelengkapan  dari  benda  tidak  bergerak  yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf

Pasal 224
Setelah  Akta  Ikrar  Wakaf  dilaksanakan  sesuai  dengan  ketentuan  dalam  Pasal  223  ayat  (3)  dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan  kepada Camat  untuk mendaftarkan perwakafan benda  yang  bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.

BAB IV
PERUBAHAN, PENYELESAIAN DAN
PENGAWASAN BENDA WAKAF

Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf

Pasal 225
(1)    Pada  dasarnya  terhadap  benda  yang  telah  diwakafkan  tidak  dapat  dilakukan  perubahan  atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.
(2)    Penyimpangan  dari  ketentuantersebut  dalam  ayat  (1)  hanya  dapat  dilakukan  terhadap  hal-hal tertentu setelah terlebih  dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan  berdasarkan  saran  dari  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Camat  setempat  dengan alasan:
a.  karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.  karena kepentingan umum.

Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf

Pasal 226
Penyelesaian  perselisihan  sepanjang  yang  menyangkut  persoalan  benda  wakaf  dan  Nadzir diajukan  kepada  Pengadilan  Agama  setempat  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Ketiga
Pengawasan

Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir dilakukan secara bersama-sama  oleh  Kepala  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan,  Majelis  Ulama  Kecamatan  dan  Pengadilan agama yang mewilayahinya.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya ketentuan ini,  harus  dilaporkan  dan  didaftarkan  kepada  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  setempat  untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.

Ketentuan Penutup

Pasal 229
Hakim  dalam  menyelesaikan  perkara-perkara  yang  diajukan  kepadanya,  wajib memperhatikan dengan  sungguh-sungguh  nilai-nilai  hukum  yang  hidup  dalam  masyarakat,  sehingga  putusannya sesuai dengan rasa keadilan.

PENJELASAN  ATAS BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM

PENJELASAN UMUM

1.    Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah  mutlak  adanya  suatu  hukum  nasional  yang  menjamin  kelangsungan  hidup  beragama berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  yang  sekaligus  merupakan  poerwujudan  kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.
2.    Berdasarkan  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1970  tentang  Ketentuan-ketentuan  Pokok Kekuasaan  Kehakiman,  jo  Undang-undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung, Peradilan  Agama  mempunyai  kedudukan  yang  sederajat  dengan  lingkungan  peradilan  lainnya sebagai peradilan negara.
3.    Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada  garis  besarnya  meliputi  bidang-bidang  hukum  Perkawinan,  hukum  Kewarisan  dan  hukum Perwakafan. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil  yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4.    Dengan  berlakunya  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  dan  Peraturan Pemerintah  Nomor  28  Tahun  1977  tentang  Perwakafan  Tanah  Milik  maka  kebutuhan  hukum masyarakat  semakin  berkembang  sehingga  kitab-kitab  tersebut  dirasakan  perlu  pula  untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap  ketentuan  di  dalamnya  membandingkannya  dengan  Yurisprudensi  Peradilan  Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.
5.    Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi  Hukum  Islam  sehingga  dapat  dijadikan  pedoman  bagi  Hakim  di  lingkungan  Badan Peradilan  Agama  sebagai  hukum  terapan  dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 s/d 6
Cukup jelas

Pasal 7
Pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan agama.

Pasal 8 s/d 18
Cukup jelas

Pasal 19
Yang dapat  menjadi wali terdiri  dari wali  nasab  dan  wali  hakim, wali anak angkat dilakukan oleh ayah kandung.

Pasal 20 s/d 71
Cukup jelas
Pasal 72
Yang  dimaksud  dengan  penipuan  ialah  bila  suami  mengaku  jejaka  pada  waktu  nikah  kemudian ternyata diketahui sudah beristeri sehingga terjadi poligami tanpa izin Pengadilan.  Demikian pula penipuan terhadap identitas diri.

Pasal 73 s/d 86
Cukup jelas

Pasal 87
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 88 s/d 93
Cukup jelas

Pasal 94
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 95 s/d 97
Cukup jelas

Pasal 98
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 99 s/d 102
Cukup jelas

Pasal 103
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 104 s/d 106
Cukup jelas

Pasal 107
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 108 s/d 118
Cukup jelas

Pasal 119
Setiap talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan agama adalah talak ba’in sughraa.

Pasal 120 s/d 128
Cukup jelas


Pasal 129
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 130
Cukup jelas

Paal 131
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 132
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 133 s/d 147
Cukup jelas

Pasal 148
Ketentuan pasal ini diberlakukan setelah berlakunya Undang-undang Peradilan Agama.

Pasal 149 s/d 185
Yang  dimaksud  dengan  anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  adalah  anak  yang  dilahirkan  di  luar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.

Pasal 187 s/d 228
Cukup jelas

Pasal 229
Ketentuan dalam pasal ini berlaku untuk Buku I, Buku II dan Buku III.

Demikian UUd yang saya bagikan semoga bermanfaat bagi para pembaca, khususnya buat pelajar yang rajin belajar.,.hehe

0 comments:

Post a Comment