Tuesday, March 29, 2016

PERLINDUNGAN NASABAH PERBANKAN


  [ PERLINDUNGAN NASABAH PERBANKAN ]



      Perlindungan hukum terhadap nasabah penyimpan dana di bank, sangat terkait dengan masalah kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.  Dan,  lembaga perbankan adalah  sangat tergantung  pada kepercayaan masyarakat.  Tanpa kepercayaan dari masyarakat,  bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik.   Sehingga tidaklah berlebihan bila dunia perbankan harus  sedemikian rupa menjaga kepercayaan dari masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah.  
Dengan demikian,  perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan terhadap kemungkinan terjadinya kerugian akibat merosotnya kepercayaan masyarakat, sangat diperlukan. Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian.  Untuk itu, tentu adalah sesuatu yang wajar apabila kepentingan dari  nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Tidak dapat disangkal bahwa memang telah ada political will   dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan dana.  Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor  7 Tahun  1992 jo. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
    Marulak Pardede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu :

a.        Perlindungan secara implicit (Implicit deposit perotection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.  Perlindungan ini yang dapat diperoleh melalui : (1)  peraturan perundang-undangan  di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan  yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan pelindungan terhadap system perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko pada bank.

b.           Perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection),  yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu  lembaga yang menjamin simpanan masyrakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank  yang gagal tersebut.  Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur  dalam Keputusan   Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.

Terkait dengan hal tersebut di atas,  Zulkarnaen Sitompul  mengemukakan bahwa  kebijakan tentang status simpanan nasabah yang ada di bank, dapat dilakukan dengan dua pilihan, yaitu : (1) pemerintah secara tegas menyatakan tidak  menjamin simpanan nasabah; (2) simpanan nasabah tidak dijamin akan tetapi nasabah penyimpan diberi hak prioritas dalam proses likuidasi bank; (3) cakupan jaminan yang tidak tegas; (4) jaminan diberikan secara terselubung; (5) jaminan terbatas yang dinyatakan secara eksplisit; dan (6) jaminan menyeluruh yang dinyatakan secara tegas.

PERLINDUNGAN TIDAK LANGSUNG
    Perlindungan atau jaminan secara tidak langsung oleh dunia perbankan  terhadap kepentingan nasabah penyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum yang diberikan kepada nasabah penyimpan dana terhadap segala resiko kerugian yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.  Hal ini adalah suatu upaya dan tindakan pencegahan yang bersifat internal oleh bank yang bersangkutan dengan melalui hal-hal yang dikemukakan berikut ini. 

Prinsip Kehati-hatian (Prudential principles)
     Ketentuan kehati-hatian pada dasarnya merupakan system pengamanan uumum atas system perbankan secara menyeluiruh melalui upaya peningkatan pengamanan terhadap bank secara individual. 


Sebagai suatu system pengamanan umum, diakui bahwa ketentuan kehati-hatian mengandung berbagai pembatasan terhadap bank secara individual, terutama yang menonjol adalah (a) pembatasan terhadap kepentingan individual dan (b) Pembatasan keleluasaan.
Karena adanya pembatasan-pembatasan tersebut, maka secara individual  menimbulkan suasana yang kurang nyaman.  Apabila pengendalian terhadap pembatasan kepentingan dan atau pembatasan keleluasaan kurang dapat dikontrol, maka akan terwujud dalam bentuk kecenderungan untuk menyimpang atau melangar ketentuan yang membatasi tersebut.  Demikian pula yang terjadi dengan ketentuan kehati-hatian di bidang perbankan. 
Pasal 2 UU No 10 Tahun 1998 menentukan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini,  menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asa terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
    Prinsip kehati-hatian tersebut  mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti selalu harus konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.  
            Berkaitan dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 di atas, kita dapat menemukan pasal lain di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang mempertegaskan kembali mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan usaha bank, yakni dalam Pasal 29 ayat (2).
           Pasal 29 ayat (2) mengemukakan bahwa:
           Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan      kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manaemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
           Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alsan apapun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggiprinsip kehati-hatian.
Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
           Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada nasabah debitur. Selengkapnya ketentuan tersebut mengemukakan bahwa:

           Pasal 29 ayat (3):
            Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya kepada bank.
            Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) di atas tentu berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa:

            Pasal 29 ayat (4):
            Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

Batas Maksimum Pemberian Kredit (“BMPK”)
    Latar belakang ditetapkannya ketentuan BMPK adalah agar bank melakukan penyebaran risiko dalam penanaman dananya sedemikian rupa agar tidak terpusat pada peminjam, kelompok peminjam atau bank sector tertentu.  Konsentrasi pemberian kredit dapat mengakibatkan risiko yang sangat besar bagi bank.  Itulah sebabnya Undang-undang Perbankan mengatur secara eksplisit ketentuan BMPK.     
           Ketentuan BMPK merupakan salah satu ketentuan prudentian banking yang sangat menentukan kinerja bank dan oleh karenanya pengaturan dan ketaatan terhadap ketentuan BMPK harus menjadi proritas Otoritas Perbankan.
Sebagai salah satu ketentuan prudential banking, ketentuan BMPK merupakan konsep yang dinamis dalam arti rumusannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan operasional bank dan kepentingan ekonomi nasional.   Walaupun demikian perubahan konsep BMPK jangan sampai dilakukan untuk melakukan kompromi dengan kondisi pelanggaran yang terjadi maupun digunakan untuk tujuan non-prudential.    
Mengenai Batasan Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)/Legal Lending Limit) telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan Peraturan Pelaksanaannya.
         
 Pasal 11 ayat (1):
           Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam yang terkait,termasuk kepada perusahaan-persahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

            Dalam bagian penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan kelompok (grup) di atas merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan atau hubungan keuangan.
           Pasal 11 ayat (2):
           Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

            Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (2) di atas, Bank Indonesia dapat menetapkan batas yang maksimum yang lebih rendah dari 30% (tiga perseratus) dari modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang digunakan dalam penilaian kesehatan bank. Batas maksimum yang dimaksud adlah untuk masing-masing peminjam termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama.
        
            Pasal 11 ayat (3):
            Bank Indonesia menetapkan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,pemberian jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,yang dapat dilakukan oleh bank kepada:

a.    pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank.
b.    anggota Dewan Komisaris.
c.    anggota Direksi.
d.    keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.
e.    pejabat bank lainnya, dan
f.    perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hurf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

        Yang dimaksud dengan keluarga dalam ketentuan Pasal11 ayat (3) butir adalah hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua, menantu, dan ipar.

      Pasal 11 ayat (4 A):
           Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bang Indonesia.
            Dalam hal ini, Bank Indonesia dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 10% (sepuluh perseratus) dri modal bank. Pengertian modal bank ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai dengan pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan bank.

            Pasal 11 ayat (4A):
            Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat(2), ayat(3), dan ayat(4).

           Penjelasan ketentuan Pasal 11 ayat (4A) mengemukakan bahwa larangan ini dimaksudkan agar dalam memberikan kredit atau pembiayaaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat. Bang dinyatakan melakukan pelanggaran atas ayat ini apabila pada saat pemberiannya, saldo kredit atau pembiayaan tersebut melampaui batas maksimum  yang ditetapkan Bank Indonesia.
     
          Pasal 11 ayat (5):
          Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

          Dalam bagian penjelasan ketentuan Pasal 11 tersebut dikemukakan, bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat, bahwa kredit atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, resiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut.
           Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.
           Berkaitan dengan itu, menurut SK Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR, yang dimaksud Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK/Legal Lending Limit) adalah persentase perbandingan batas maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank.
           Mengenai batas maksimum pemberian kredit tersebut, oleh Bank Indonesia telah ditetapkan bahwa untuk peminjam atau kelompok peminjam yang merupakan pihak tidak terkait adalah sebesar 20% dari modal, sedangkan untuk peminjam atau kelompok peminjam yang terkait adalah 10% dari modal.
            Ditetapkannya ketentuan batas maksimum pemberian kredit, baik dalam UU No. 10 Tahun 1998 maupun peraturan pelaksanaanya semata-mata bertujuan  untuk memelihara kesehatan bank dan meningkatkan daya tahan bank melalui penebaran risiko dalam bentuk penanaman kredit kepada berbagai nasabah peminjam. Lebih dari itu, adanya ketentuan batas maksimum pemberian kredit tersebut untuk mencegah pemberian kredit kepada peminjam atau kelompok peminjam tertentu saja.
           Ketaatan bank dalam melaksanakan ketentuan batas maksimum pemberian kredit juga merupakan wujud dari kehendak untuk memelihara kesehatan bank dan wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat, tertuama kepentingan nasabah penyimpan dana pada bank yang bersangkutan.
           Ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dikemukakan di atas mempunyai kaitan yang erat dengan upaya melindungi kepentingan nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menentukan bahwa: 
           Pasal 29 ayat (3):
           Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya kepada bank.

           Ketentuan Pasal 29 ayat (3) di atas menentukan secara tegas, bahwa bank dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyalur dana dalam bentuk kredit haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah timbulnya kerugian dari nasabah penyimpan dan simpanannya yang ada di bank. Mengingat, bahwa bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, tentu setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.

Kewajiban Mengumumkan Neraca dan Perhitungan Laba Rugi

           Kewajiban dari bank untuk mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi diatur dalam Pasal 35 UU No. 10 Tahun 1998. Pasal 35 ini menentukan bahwa:
           Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
           Ketentuan tersebut berhubungan erat dengan kewajiban bank untuk menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur oleh Pasal 34 UU no. 10 Tahun 1998. Secara lengkap ketentuan Pasal 34 menentukan bahwa:
        
              Pasal 34 ayat (1):
              Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

              Pasal 34 ayat (2):
              Neraca serta perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.

              Pasal 34 ayat (3):
              Tahun buku bank adalah tahun takwim.

              Bahwa adanya ketentuan yang mewajibkan bank untuk menyampaikan dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan 35 di atas, dapat memberikan informasi kepada masyarakat, terutama nasabah penyimpan mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lain yang terkait dengan bank tersebut.

Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank
             Banyak alasan dan tujuan dilakukannya merger, akuisisi, dan konsolidasi oleh pelaku usaha terhadap badan usaha bank yang dimilikinya. Salah satu yang terpenting adalah untuk meningkatkan efisiensi dan mempertinggi daya saing perusahaan. Namun demikian, dalam melakukan merger, konsolidasi, dan akuisisi di bidang perbankan tidaklah dapat dilakukan dengan sebebas-bebasnya, tetapi dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang terkait.
            Berkaitan dengan itu, menurut ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1998 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi bahwa dalam pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi harus memerhatikan kepentingan dari semua pihak, yaitu kepentingan bank, kepentingan kreditor, kepentingan pemegang saham minoritas dan karyawan bank, juga kepentingan rakyat banyak, dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha bank.
          Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi bank kepentingan dari nasabah penyimpan sebagai kreditor telah memperoleh perlindungan hukum.

Berdasarkan Undang-perlindungan Konsumen
    Dalam kegiatan perbankan, nasabah bank dapat dikatakan sebagai konsumen.  Menurut undang-undang No. 8/1999, konsumen didefinisikan sebagai  “setiap orang pemakai  dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,..”   Sementara kopnsumen sebagai nasabah bank dapat dibedakan sebagai kreditur (dalam hal penyimpanan uang melalui tabungan atau deposito) dan sebagai debitur (dalam hal nasabah melakukan pinjaman uang kepada bank).  



0 comments:

Post a Comment